Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

Cerpen - Di Bawah Sinar Bulan Malam Ini.



                Anak-anak dengan kaki telanjang masih semangat berlari, beratnya pasir halus tidak membuat langkah mereka lelah, terus mengejar bola api. Oh, permainan musiman. Musim kemarau yang panjang membuat tumpukan jerami di sawah mengering, digulunglah membentuk sebuah bola, kemudian direndam berjam-jam dengan minyak tanah, lalu sulut dengan api. Jadilah permainan tradisional itu, permainan yang dulu paling aku gemari. Jika siang hari, cuaca terasa panas sekali. Sebaliknya, cuaca malam ini begitu dingin. Bulan Juni-Juli, musim panen, musim kemarau panjang. Ini adalah musim yang paling nikmat dihabiskan dengan bermain bola api di pinggir pantai. Permainan yang asyik untuk mengusir hawa dingin.
                Desa Besaku, desa tempat aku dibesarkan. Di sini, mayoritas penduduk bekerja sebagai petani, yang baru saja melewati musim panen. Sisanya lagi adalah nelayan. Petani sendiri dibagi menjadi dua kelompok: bertani di sawah dan petani rumput laut. Kalau kau bertanya kapan desaku ini berdiri, aku tidak tahu. Yang jelas, kakekku sudah menjadi penduduk asli sini ketika aku masih bayi.
                Malam ini, di bawah cahaya bulan, aku masih duduk berdiam diri sambil menyaksikan keceriaan anak-anak yang masih bersemangat mengejar bola api. Semilir angin pantai mengalun di wajahku. Kurapatkan kain sarung untuk mengusir udara dingin. Sasadara manjer kawuryan di langit, condong sedikit di bagian timur. Indah sekali. Bulan adalah salah satu ciptaan Maha Kuasa yang paling aku kagumi. Kesenduannya aku kagumi. Kesetiaannya aku kagumi. Dia tidak pernah pergi, selalu setia menemani. Bahkan, waktu kecil dulu, sampai-sampai aku tidak bisa tidur sebelum ibu menyanyikan syair tentangnya –ambilkan bulan.
                Sampai aku tumbuh menjadi dewasa, memandang bulan di  langit masih menjadi kebiasaan yang sering aku lakukan –seperti malam ini. Usiaku kini dua puluh delapan. Riwayat pekerjaankku adalah petani, nelayan dan penulis. Susahnya mencari pekerjaan dengan gelar yang aku miliki tidak lantas membuatku berdiam diri, bagiku ada banyak lapangan pekerjaan di dunia ini, jangan mempersempitnya hanya karena tidak sesuai dengan gelar yang kita miliki. Nah, dengan modal semangat itulah, aku kadang tidak ragu jika harus turun ke sawah menjadi petani, atau bersama nelayan pergi melaut berhari-hari. Ibu di rumah hanya tersenyum melihatku membawa cangkul sambil mengenakan capil tani, dia kemudian berkata mantap: apapun pekerjaan asalkan halal jangan gengsi, tetap dinikmati.
                Keterampilan menulis sendiri aku dapatkan saat masih kuliah. Keterampilan ini mungkin hasil dari seringnya aku berkunjung ke perpus, kadang bukan untuk membaca buku-buku kuliah, seringnya justru membuka buku sastra: cerpen, novel, biografi dan sebagainya. Aku kadang tertawa sendiri kalau mengingatnya.
Saat masih kuliah dulu aku bukanlah murid teladan, IPK-ku juga pas-pas an –kalau tidak bisa dibilang mengecewakan. Namun aku tidak pernah meninggalkan tanggung jawabku sebagai mahasiswa, aku tetap belajar, kuliah, diskusi kelompok dan berbagai aktivitas kampus lainnya. Rutinitas yang bagai kaset tape diputar berulang-ulang. Juga, satu hal yang masih tetap aku jaga, bahkan sampai detik ini. Menjaga sesuatu yang kadang membuatku ketar-ketir. Sesuatu yang bisa membuat hari berubah seketika, kadang menjadi rusuh sendiri, ramai di tengah kesepian atau sebaliknya sepi di tengah keramaian. Apalagi kawan yang bisa membuat harimu bisa berubah dari sedih menjadi bahagia atau sebaliknya –hanya dalam waktu sesaat, kalau bukan: cinta.
                Perkenalkan, namaku Ikhsan. Usia dua delapan. Si bujang desa.
***
                Masih di bawah sinar bulan saat tiba-tiba Bang Taufiq berteriak dari belakang. “Hei.. Ikhsan, ah kau melamun lagi!”
                Bang Taufiq membawakan segelas jahe panas tidak jauh dari rumah panggungnya yang mengapung di pinggiran laut yang tenang. Huh, ini yang paling aku suka dari Bang Taufiq, baik, orangnya yang selalu ceria, kadang bisa menjadi pelipur lara. Selain pembawaanya yang selalu ceria dan jenaka, dia juga memiliki wawasan yang luas. Petuah-petuah yang bijak selalu aku dapatkan darinya. Termasuk dalam hal ini: petuah-petuah cinta.
                Aku menyambutnya dengan tawa. “Tidak ada Bang. Menatap bulan tidak selalu melamun, seperti kebiasaan Abang waktu masih muda dulu, bukan?”
                Wajah Bang Taufiq tampak masam. “Sialan kau, aku masih muda begini kau bilang ‘dulu’,” protesnya sembari melepas tawa. “Oh,ya, bagaimana rasanya setelah enam tahun tidak pernah pulang ke sini?”
                Sebelum menjawab pertanyaan, kusempatkan terlebih dahulu melihat lampu mercusuar di tengah laut malam. “Tidak ada yang berubah Bang, kecuali pikiranku, yang sudah menyimpulkan, tidak ada kampung halaman yang benar-benar abadi kecuali kampung halaman tempat kita kembali nanti. Setelah mati.”
                “Alamak. Sampai segitunya kau. Padahal aku hanya bertanya perasaanmu saat ini. Aku tidak menanyakan apakah kampung halamanmu ini abadi.” Jawaban yang membuat kami diam beberapa saat. Sebelum akhirnya Bang Taufiq melanjutkan, “Hei.. Bujang. Apa kau masih memikirkan dia?”
                Ah, ya, aku paling tidak suka dengan pertanyaan ini. Aku yang kadang selalu ceria, dengan pertanyaan seperti ini hidup seolah jadi orang yang nestapa, padahal sebenarnya biasa saja, mungkin karena diri ini yang belum terlatih patah hati.
“Yaa.. Begitulah Bang.” Jawabku singkat, sedikit mendramatisir walau akhirnya tersenyum juga, tidak bisa berlama-lama membuatnya penasaran, “dia sudah jadi milik orang.”
Satu-satunya komunikasi kami selama ini adalah lewat telpon atau sms-an atau video chat. Sekali pun usia kami terpaut enam tahun, tapi kedekatan kami bagai teman sebaya. Dulu aku sempat satu SD dengannya, dia kelas enam sedangkan aku masih kelas satu. Bang Taufiq selalu dekat denganku, dia yang dulu mengajariku bermain laying-layang. Dia juga yang sering melindungi jika ada teman-teman yang usil menjahiliku. Kedekatan itu tetap terjalin sampai aku kuliah. Jika Bang Taufiq ada masalah keluarganya, dia selalu berbagi cerita denganku, yang dibalik cerita itu, pasti ada hikmah bagaimana mengenali kepribadian seorang wanita. Bang Taufiq sudah menikah, tepatnya delapan tahun yang lalu. Dan dikaruniai seorang putra bernama Umay, berusia hampir tiga tahun. Anaknya lucu, putih, sipit, mirip sekali bapaknya. Istrinya juga baik dan sholeha. Dari mereka berdualah aku mengenal Islam lebih dalam. Agama, yang kata Bang Taufiq memberikan banyak umat manusia kebijksanaan hidup ini. Ah, aku yang tidak minat sama sekali tentang agama, jadi tertarik jika mereka berdua yang membahasnya.
Bang Taufiq tidak terima. “Tega betul itu orang, berani merebut pujaan hatimu, apa selama ini dia tidak tahu kalau kau jatuh-bangun menyimpan perasaan?”
Aku hanya bisa tertawa. “Aih, sudahlah Bang, bukankah Abang sendiri yang selama ini mengajariku banyak hal, tidak ada yang salah dengan perasaan. Kalau akhirnya ternyata dia harus terpaut ke hati orang, setidaknya kita sudah berhasil menjaga kehormatan perasaan. Kalau melihat Abang sebagai pria yang sudah terlatih patah hati. Apalah arti yang aku alami ini.”
Hanya beberapa saat, kemudian dia tersenyum. “Aih-aih, Ikhsan. Kau memang Bujang paling membanggakan kampung ini. Sudah berapakali kau mengalami pengalaman seperti ini? Tunggu, biar aku sendiri yang jawab,” dia menyeruput jahe panas sesaat dan dengan cepat kemudian melanjutkan, “dua kali ya? Yang pertama saat kau masih kuliah dulu bukan?”
Bang Taufiq tertawa dengan pertanyaannya itu. Pertanyaan yang hanya bisa aku jawab dengan senyuman, setelah itu terputus, datang seorang wanita yang kira-kira sebaya usianya dengan Bang Taufiq mungkin beda dua atau tiga tahun. Itulah Kak Atikah, wanita itu datang menghapiri kami dengan gendongan di tangan. Ternyata tidak hanya berdua bersama Umay, Kak Atikah ditemani dengan seorang wanita, mungkin itu adiknya. Aku tidak tahu banyak tentang keluarga Kak Atikah, yang aku tahu dia tiga bersaudara, kakaknya laki-laki, sudah menikah dan kini tinggal bersama istrinya di Amerika. Mereka adalah keluarga terpandang, keluarga yang menjaga nilai-nilai Islam. Kak Atikah dan keluarga berasal dari Jakarta, kota metropolitan. Berbeda dengan kehidupan Bang Taufiq yang anak desa, hanya sempat lama tinggal di sana kuliah sambil kerja.
“Serius amat ngobrolnya?” Kak Atikah yang duluan menyapa.
Bang Taufiq melempar senyuman ke istrinya. “Biasalah, bersama si Bujang, selalu asyik berbagi cerita.”
Percakapan pun akhirnya beralih topik, menjadi pembicaraan yang ringan dan penuh canda. Adalah hampir satu jam kami terlibat obrolan langsung dengan mereka. Kini obrolan itu jadi semakin hangat, karena ditemani perapian yang aku buat dengan Bang Taufiq.
Dalam kesempatan ini juga aku di perkenalkan dengan adik Kak Atikah, namanya Atirah, lengkapnya Atirah Ibrahim, nama belakang yang diambil dari ayah mereka. Gadis itu pemalu, pendiam, cantik dan hanya bisa tersipu malu setiap kali Bang Taufiq menggodanya. Huh, aku jadi malu mengatakan cantik walau dalam hati, kalau dia sampai tahu aku memujinya gimana coba? Aku sempat memberanikan diri mencuri pandang, oh, Tuhan, Maha Besar Engkau yang menciptakan makhluk-Mu seindah ini. Lesung pipi yang terbentuk saat dia tersenyum, sungguh gambran ciptaan yang sempurna. Dengan balutan jaket tebal, kerudung kain berwarna ungu lebar yang membalut tubuhnya, membuat penampilannya semakin anggun dan mempesona, mencerminkan juga akhlaknya. Atirah baru saja meluluskan kuliahnya. Dia datang ke sini untuk berlibur sekaligus rindu bertemu kakaknya. Kedua orang tua mereka saat ini tinggal di Jakarta.
Pembicaraan masih terus berlanjut. Topik menjadi semakin menarik justru ketika pembahasan beralih ke kisah cinta. Ah, iya, kisah cinta Bang Taufiq dan Kak Atikah:
Mereka bertemu di satu perguruan tinggi, satu angkatan. Itulah yang justru membuat hubungan mereka akrab –walau hanya sebatas teman. Taufiq muda sebenarnya sudah lama menunjukkan rasa sukanya ketika mereka masih awal sebagai mahasiswa. Tapi tidak berani mengungkapkan karena dia berpikir sebaliknya dari kebanyakan orang; justru dengan langsung diungkapkan perasaan itu malah akan merusak jalan ceritanya. Karena Taufiq secara mental belum siap untuk menikah, maka dia memilih jalan berteman tersebut justru untuk menjaga perasaannya, dan tentu saja, demi menjaga kehormatan Atikah.
Kisah yang menarik kemudian adalah saat kelulusan. Tentu saja saat kelulusan setiap orang tua mahasiswa hadir untuk menyaksikan putra-putrinya wisuda. Taufiq memberanikan diri menyapa pihak keluarga Atikah. Ini tentunya setelah Atikah memberikan lampu hijau kepada Taufiq, tidak mudah melewati semua perjalanan mereka kuliah bertahun-tahun, ada banyak godaan, salah paham –salah paham seorang teman. Sampai kemudian Bang Taufiq memberanikan diri menyatakan perasaan cintanya, cinta yang sesungguhnya selama ini. Atikah tidak punya pilihan kalimat yang bisa dirangkai bagus kecuali hanya berkata: insha Allah, bismillah Bang. Duh, itulah kalimat paling romantis yang pernah Taufiq dengar langsung dari Atikah –yang hanya bisa tertunduk malu.
Pernikahan pun berlangsung setelah tiga bulan peristiwa itu. Pernikahan yang membuat Atikah menangis dipenuhi emosional. Atikah, tampak bahagia dengan air matanya. Inilah perjalanan hidup baru buatnya, setelah melewati tantangan masa muda yang rasanya begitu panjang. Kini, mereka siap menempuh mahligai rumah tangga dengan segala dinamikanya, tantangan baru tentunya. Inilah kehidupan baru, episode hidup yang juga ternyata tidak kalah menantang dan lebih panjang.
***
Bulan di langit semakin terang, tak tersaput awan. Kini sedikit agak condong di arah barat. Hari semakin larut malam. Perapian masih menyala, menghangatkan suasana. Anak-anak yang bermain bola api sudah pulang satu jam yang lalu, mungkin sudah kelelahan. Begitu juga dengan Kak Atikah dan Atirah, hendak pamit. Sempat bertatapan dengan Atirah, “Titip Umay ya Bang,” katanya. Aku menjawab dengan anggukkan dan senyuman.
Kini di perapian hanya tinggal kami bertiga, Umay yang sejak tadi tidak mau lepas dari pangkuanku pilih tetap bertahan, matanya berkedip-kedip di bawah cahaya bulan, menatapku diam. Entahlah apa yang dipikirkan oleh anak ini. Ibunya sempat memaksa mengajak pulang, dia malah menangis dan tidak mau pisah dari pangkuanku. Akhirnya Kak Atikah mengalah dan membiarkannya tetap bersamaku dan Bang Taufiq.
“Anakmu manja juga Bang,” tidak lama setelah kepergian ibu dan tantenya, anak ini langsung pulas saja di pangkuanku. Bibirnya yang mungil, alisnya yang tipis dan rambutnya yang halus membuatku gemas melihatnya.
“Itu anakku tapi bukan anak Atikah, Ikhsan.”
“Hmm,” aku belum mengerti sepenuhnya, “maksud Abang?”
Pria gagah yang duduk di depanku ini, lelaki yang selama ini memberiku banyak teladan, entah kenapa serasa berat ingin mengatakan sesuatu padaku. Dia memerlukan waktu untuk menghirup nafas panjang. “Ya, Umay, dia adalah anakku, anak hasil kawin kontrak dengan wanita lain.”
Apa aku tidak salah dengar. Sejak kapan Bang Taufiq percaya dengan kawin kontrak. “Kawin kontrak? Bukankah Abang sendiri percaya, itu tidak ada dalam keyakinan kita?”
Bang Taufiq tidak bisa berkata apa-apa, hanya mata berkaca-kaca itu yang menjadi jawabannya. Entahlah, kenapa bisa jadi seperti ini. Kenapa sampai bisa ke situ pemikirannya. Kurang apa lagi kah Atikah, cantik, sholeha, baik, selalu menjaga diri dan kehormatannya. Kisah cinta dan persahabatan yang mereka ceritakan barusan, kenapa tidak sedikit pun aku lihat pada Atikah air muka yang menyimpan marah atau dendam. Padahal di balik semua kisah yang mereka ceritakan tadi, ternyata menyimpan luka yang sangat dalam. Lelaki mana yang tega sekali menduakannya dengan perbuatan zina. Lelaki seperti itu hanya pantas dirajam. Dadakku menjadi sesak mendengar pengakuan itu. Harusnya tidak perlu kau buka aib itu Bang. Aib yang akan membuat orang yang sudah menaruh rasa percaya padamu menjadi padam.
Aku masih dipenuhi dengan rasa kecewa, tidak percaya. Kalau tadi kisah cinta yang mereka berdua tuturkan begitu indah dan mesra, dan mereka berdua pun menyampaikannya dengan ekspresi yang begitu bahagia, kenapa tiba-tiba ada kisah lain lagi yang justru merusak semua keindahannya. “Jawab pertanyaanku Bang? Apa yang membuat sampai tega melakukannya? Bagaimana bisa Atikah sampai begitu tabah dan tetap menerimamu?”
Beberapa menit berlalu hening, dan mata di depanku itu masih berkaca, “aku gelap mata Ikhsan. Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan hal ini kepadamu. Sebenarnya justru biarlah ini menjadi rahasia hidupku bersama Atikah, yang akan kami bawa sampai mati. Kau tidak pernah tahu bukan apa yang terjadi di keluarga kami selama enam tahun ini? Tak apalah kalau sampai aku ceritakan aib ini kau menjadi benci sama Abangmu ini. Aku hanya ingin kau, bujang yang masih tersisa di kampung ini tidak mengalami peristiwa serupa. Kau bisa mengambil pelajaran agar bisa menjadi orang yang lebih baik daripada Abangmu ini. Abang hanya bisa mendokan semoga kelak kau mendapatkan wanita yang baik.”
Mata yang berkaca itu berusaha menatapku. Sekali pun dalam tatapan remang, aku tahu, ada pesan mendalam yang ingin di sampaikan. “Kau tahu Ikhsan, Atikah, istri yang sangat aku cintai itu, dia tidak bisa memberikan kami buah hati karena dari awal aku menikahinya, dia sudah tidak perawan.”
Oh, Tuhan, aib dan ujian kehidupan apalagi ini.
Berceritalah ia setelah beberapa tahun pernikahan mereka yang tak kunjung dikaruniahi buah hati. Tidak sedikit pun hal itu membuat rasa sayang Bang Taufiq berkurang, dia percaya, sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholeha, bersama Atikah yang belum juga dikaruniahi buah hati, dia tetap bahagia. Sampai tahun keempat pernikahan, kabar duka itu datang. Ada pesan masuk dari nomer yang tidak dikenal: semoga bapak tetap sayang sama istri bapak sekali pun dia tidak bisa memberikan bapak buah hati, karena sampai kapan pun, dia tidak akan pernah memberikan keturunan.
                Semua kejadian berawal dari pesan itu, sampai terbongkar rahasia-rahasia berikutnya. Ternyata, Atikah tidak bisa mengandung lagi karena peristiwa aborsi yang pernah dia lakukan ketika masih awal kuliah, –bersama dengan seorang lelaki yang sempat menjalin hubungan dengannya. Lelaki itu sendiri tidak mau bertanggung jawab karena tidak yakin hanya dia yang pernah merasakan tubuh Atikah. Saat Bang Taufiq mencoba klarifikasi kepada Atikah, wanita itu hanya menangis dan tidak bisa bicara apa-apa.
                Satu bulan setelah peristiwa itu, Bang Taufiq berangkat keluar kota untuk mengurus perusahaan kecil miliknya, masih membawa rasa sakit yang ternyata tidak mudah seketika menghapusnya. Beberapa minggu di luar kota, rasa sakit itu ternyata justru terobati saat dia berkenalan dengan seorang wanita muda relasi bisnisnya. Tanpa sepengetahuan Atikah, Bang Taufiq menikah dengan gadis tersebut, dengan status: kawin kontrak. Hingga kepulangannya dari luar kota, Bang Taufiq pun sudah melupakan peristiwa yang membuat batinnya sempat terguncang. Atikah pun tak henti-hentinya memohon ampun dan restu dari suaminya. Bang Taufiq memaafkannya.
Mereka pun memutuskan untuk pindah ke kota.
                Satu tahun berlalu, mereka kembali ke desa. Warga desa menyambut kehadiran mereka dengan gembira. Terlebih, kabar bahwa Bang Taufiq kini memiliki seorang putra membuat warga Desa Besaku turut bahagia. Berkat kesabaran mereka, Tuhan menganugerahi seorang putra, begitulah komentar warga. Kalau semua warga bahagia menyambut kelahiran seorang bayi, maka hanya Atikah-lah yang merasakan sakit hati yang amat dalam. Itulah bayi yang lahir dari rahim wanita yang dikawin kontraknya. Kenapa Bang Taufiq tidak menikahinya secara resmi, kenapa tidak sekalian memilih untuk berpoligami?  Karena wanita yang sempat menjadi “istri” sementara itu sendiri ternyata wanita yang sudah memiliki suami.
                “Lantas apa bedanya Abang dengan Kak Atikah yang dulu? Bukankah justru Abang yang lebih kejam?” aku tidak tahu harus berkomentar apa lagi. Mendengar cerita mengenai Kak Atikah yang sudah tidak perawan itu sungguh serasa sembilu yang mengiris hati.
Mataku kini tertuju ke bocah yang ada dalam gendonganku. Aku lihat kembali wajahnya.  Kusapu bersih. Ah, wajah polos yang tidak tahu apa-apa. Kusapu lembut ubun-ubunnya, aku ciumi wajahnya yang sudah jatuh terlelap. Oh, Nak, semoga Tuhan mengampuni Ayah-Ibumu. Semoga kelak engkau menjadi bujang yang berkarakter, tidak terjerumus ke dalam lubang dosa yang amat dalam.
Inilah untuk pertamakalinya aku menangis tanpa suara. Hanya air mata.
“Aku tahu Atikah pasti merasa kecewa, sekali pun dia tetap menerima dan memaafkan setelah apa yang aku perbuat. Aku sadar, kini aku justru jauh lebih bobrok akhlaknya.” Bang Taufiq menyempatkan untuk menarik nafas dalam, “Ikhsan, dengarkan aku. Sekali pun mungkin kini kau muak denganku, tetap dengarkanlah nasihatku. Jika selama ini kau berniat sabar dan terus menjaga kehormatan diri agar kelak dipertemukan dengan jodoh yang baik, maka sudah saatnya kau hapus niat itu. Ketahuilah jika kita memilih untuk bersabar dan menjaga kehormatan, itu bukan berarti kita akan mendapatkan seseorang atau sesuatu pada akhirnya. Bukan pula berarti kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik seperti yang kita inginkan. Karena, hakikat sejati menjaga kehormatan diri dan perasaan adalah semata karena pengabdian kita kepada Sang Pencipta. Seperti itulah kita diperintahkan. Begitu juga dengan sabar, dia adalah proses latihan seumur hidup, bukan sabar jika tidak memberikan ketentraman di hati.”
Suasana menjadi hening, hanya terdengar desau angin dan ombak lembut di pantai.
“Berjanjilah Ikhsan kau akan selalu menjadi bujang berhati lurus. Tetap bertahan di jalan lurus itu sekali pun kelak saatnya menikah kau tidak pernah tahu dengan masa lalu calon bidadari yang akan mendampingimu nanti.” Bang Taufiq semakin dalam, “satu hal yang pasti Ikhsan, Tuhan tidak pernah salah menukar jodoh seseorang. Apapun yang terjadi. Yang baik akan dipertemukan dengan yang baik, begitu juga sebaliknya. Itulah janji yang selalu Dia tepati, tertulis jelas dalam kitab suci. Baiklah Ikhsan, fajar sebentar lagi datang. Aku harus pulang, mari aku yang gendong Umay.”
Fajar di ufuk timur tidak lama lagi tampak. Suasana menjadi sedikit berkabut. Bang Taufik pamit pergi, meninggalkan aku yang kini sendiri menatap laut di kejauhan. Meresapi hakikat cinta sejati.
Bentuk bulan sudah lama terbalik, cahayanya tampak sayu.
***
Bayanganku kembali mengingat sepuluh tahun terakhir perjalananku. Perjalanan yang tidak mudah bagi setiap anak Adam, mereka harus melewati masa muda yang penuh dengan tantangan, gejolak jiwa, emosi yang membara, dan tentu saja, penuh dengan godaan. Aku kembali mengingat setiap insan yang pernah bersinggungan perasaan denganku. Ada di mana semua mereka saat ini? Apakah mereka sudah memiliki kehidupan yang baru? Atau masih ada yang sama seperti perjalanan hidupku saat ini? Aku tidak tahu. Di atas laut, tampak cahaya bulan semakin sayu. Aku berjanji akan terus menjaga diri, menjaga hati –dengan siapa pun Kau pertemukan aku nanti.
Aku, Ikhsan, masih di bawah sinar bulan malam ini.[]
Tamat

No Response to "Cerpen - Di Bawah Sinar Bulan Malam Ini."

Posting Komentar