Anak-anak
dengan kaki telanjang masih semangat berlari, beratnya pasir halus tidak
membuat langkah mereka lelah, terus mengejar bola api. Oh, permainan musiman. Musim
kemarau yang panjang membuat tumpukan jerami di sawah mengering, digulunglah
membentuk sebuah bola, kemudian direndam berjam-jam dengan minyak tanah, lalu
sulut dengan api. Jadilah permainan tradisional itu, permainan yang dulu paling
aku gemari. Jika siang hari, cuaca terasa panas sekali. Sebaliknya, cuaca malam
ini begitu dingin. Bulan Juni-Juli, musim panen, musim kemarau panjang. Ini
adalah musim yang paling nikmat dihabiskan dengan bermain bola api di pinggir
pantai. Permainan yang asyik untuk mengusir hawa dingin.
Desa
Besaku, desa tempat aku dibesarkan. Di sini, mayoritas penduduk bekerja sebagai
petani, yang baru saja melewati musim panen. Sisanya lagi adalah nelayan.
Petani sendiri dibagi menjadi dua kelompok: bertani di sawah dan petani rumput
laut. Kalau kau bertanya kapan desaku ini berdiri, aku tidak tahu. Yang jelas, kakekku
sudah menjadi penduduk asli sini ketika aku masih bayi.
Malam
ini, di bawah cahaya bulan, aku masih duduk berdiam diri sambil menyaksikan
keceriaan anak-anak yang masih bersemangat mengejar bola api. Semilir angin pantai
mengalun di wajahku. Kurapatkan kain sarung untuk mengusir udara dingin. Sasadara
manjer kawuryan di langit, condong sedikit di bagian timur. Indah sekali.
Bulan adalah salah satu ciptaan Maha Kuasa yang paling aku kagumi. Kesenduannya
aku kagumi. Kesetiaannya aku kagumi. Dia tidak pernah pergi, selalu setia
menemani. Bahkan, waktu kecil dulu, sampai-sampai aku tidak bisa tidur sebelum
ibu menyanyikan syair tentangnya –ambilkan bulan.
Sampai
aku tumbuh menjadi dewasa, memandang bulan di
langit masih menjadi kebiasaan yang sering aku lakukan –seperti malam
ini. Usiaku kini dua puluh delapan. Riwayat pekerjaankku adalah petani, nelayan
dan penulis. Susahnya mencari pekerjaan dengan gelar yang aku miliki tidak
lantas membuatku berdiam diri, bagiku ada banyak lapangan pekerjaan di dunia
ini, jangan mempersempitnya hanya karena tidak sesuai dengan gelar yang kita
miliki. Nah, dengan modal semangat itulah, aku kadang tidak ragu jika harus
turun ke sawah menjadi petani, atau bersama nelayan pergi melaut berhari-hari.
Ibu di rumah hanya tersenyum melihatku membawa cangkul sambil mengenakan capil
tani, dia kemudian berkata mantap: apapun pekerjaan asalkan halal jangan
gengsi, tetap dinikmati.
Keterampilan
menulis sendiri aku dapatkan saat masih kuliah. Keterampilan ini mungkin hasil
dari seringnya aku berkunjung ke perpus, kadang bukan untuk membaca buku-buku
kuliah, seringnya justru membuka buku sastra: cerpen, novel, biografi dan sebagainya.
Aku kadang tertawa sendiri kalau mengingatnya.
Saat masih kuliah
dulu aku bukanlah murid teladan, IPK-ku juga pas-pas an –kalau tidak bisa
dibilang mengecewakan. Namun aku tidak pernah meninggalkan tanggung jawabku
sebagai mahasiswa, aku tetap belajar, kuliah, diskusi kelompok dan berbagai
aktivitas kampus lainnya. Rutinitas yang bagai kaset tape diputar
berulang-ulang. Juga, satu hal yang masih tetap aku jaga, bahkan sampai detik
ini. Menjaga sesuatu yang kadang membuatku ketar-ketir. Sesuatu yang bisa membuat
hari berubah seketika, kadang menjadi rusuh sendiri, ramai di tengah kesepian atau
sebaliknya sepi di tengah keramaian. Apalagi kawan yang bisa membuat harimu
bisa berubah dari sedih menjadi bahagia atau sebaliknya –hanya dalam waktu
sesaat, kalau bukan: cinta.
Perkenalkan,
namaku Ikhsan. Usia dua delapan. Si bujang desa.
***
Masih
di bawah sinar bulan saat tiba-tiba Bang Taufiq berteriak dari belakang. “Hei..
Ikhsan, ah kau melamun lagi!”
Bang
Taufiq membawakan segelas jahe panas tidak jauh dari rumah panggungnya yang
mengapung di pinggiran laut yang tenang. Huh, ini yang paling aku suka dari
Bang Taufiq, baik, orangnya yang selalu ceria, kadang bisa menjadi pelipur
lara. Selain pembawaanya yang selalu ceria dan jenaka, dia juga memiliki
wawasan yang luas. Petuah-petuah yang bijak selalu aku dapatkan darinya.
Termasuk dalam hal ini: petuah-petuah cinta.
Aku
menyambutnya dengan tawa. “Tidak ada Bang. Menatap bulan tidak selalu melamun,
seperti kebiasaan Abang waktu masih muda dulu, bukan?”
Wajah
Bang Taufiq tampak masam. “Sialan kau, aku masih muda begini kau bilang
‘dulu’,” protesnya sembari melepas tawa. “Oh,ya, bagaimana rasanya setelah enam
tahun tidak pernah pulang ke sini?”
Sebelum
menjawab pertanyaan, kusempatkan terlebih dahulu melihat lampu mercusuar di
tengah laut malam. “Tidak ada yang berubah Bang, kecuali pikiranku, yang sudah
menyimpulkan, tidak ada kampung halaman yang benar-benar abadi kecuali kampung
halaman tempat kita kembali nanti. Setelah mati.”
“Alamak.
Sampai segitunya kau. Padahal aku hanya bertanya perasaanmu saat ini.
Aku tidak menanyakan apakah kampung halamanmu ini abadi.” Jawaban yang membuat
kami diam beberapa saat. Sebelum akhirnya Bang Taufiq melanjutkan, “Hei..
Bujang. Apa kau masih memikirkan dia?”
Ah,
ya, aku paling tidak suka dengan pertanyaan ini. Aku yang kadang selalu ceria,
dengan pertanyaan seperti ini hidup seolah jadi orang yang nestapa, padahal
sebenarnya biasa saja, mungkin karena diri ini yang belum terlatih patah hati.
“Yaa..
Begitulah Bang.” Jawabku singkat, sedikit mendramatisir walau akhirnya
tersenyum juga, tidak bisa berlama-lama membuatnya penasaran, “dia sudah jadi
milik orang.”
Satu-satunya
komunikasi kami selama ini adalah lewat telpon atau sms-an atau video chat.
Sekali pun usia kami terpaut enam tahun, tapi kedekatan kami bagai teman
sebaya. Dulu aku sempat satu SD dengannya, dia kelas enam sedangkan aku masih
kelas satu. Bang Taufiq selalu dekat denganku, dia yang dulu mengajariku
bermain laying-layang. Dia juga yang sering melindungi jika ada teman-teman
yang usil menjahiliku. Kedekatan itu tetap terjalin sampai aku kuliah. Jika
Bang Taufiq ada masalah keluarganya, dia selalu berbagi cerita denganku, yang
dibalik cerita itu, pasti ada hikmah bagaimana mengenali kepribadian seorang
wanita. Bang Taufiq sudah menikah, tepatnya delapan tahun yang lalu. Dan dikaruniai
seorang putra bernama Umay, berusia hampir tiga tahun. Anaknya lucu, putih,
sipit, mirip sekali bapaknya. Istrinya juga baik dan sholeha. Dari mereka
berdualah aku mengenal Islam lebih dalam. Agama, yang kata Bang Taufiq
memberikan banyak umat manusia kebijksanaan hidup ini. Ah, aku yang tidak minat
sama sekali tentang agama, jadi tertarik jika mereka berdua yang membahasnya.
Bang Taufiq
tidak terima. “Tega betul itu orang, berani merebut pujaan hatimu, apa selama
ini dia tidak tahu kalau kau jatuh-bangun menyimpan perasaan?”
Aku hanya bisa
tertawa. “Aih, sudahlah Bang, bukankah Abang sendiri yang selama ini
mengajariku banyak hal, tidak ada yang salah dengan perasaan. Kalau akhirnya
ternyata dia harus terpaut ke hati orang, setidaknya kita sudah berhasil menjaga
kehormatan perasaan. Kalau melihat Abang sebagai pria yang sudah terlatih patah
hati. Apalah arti yang aku alami ini.”
Hanya beberapa
saat, kemudian dia tersenyum. “Aih-aih, Ikhsan. Kau memang Bujang paling
membanggakan kampung ini. Sudah berapakali kau mengalami pengalaman seperti
ini? Tunggu, biar aku sendiri yang jawab,” dia menyeruput jahe panas sesaat dan
dengan cepat kemudian melanjutkan, “dua kali ya? Yang pertama saat kau masih
kuliah dulu bukan?”
Bang Taufiq
tertawa dengan pertanyaannya itu. Pertanyaan yang hanya bisa aku jawab dengan
senyuman, setelah itu terputus, datang seorang wanita yang kira-kira sebaya
usianya dengan Bang Taufiq mungkin beda dua atau tiga tahun. Itulah Kak Atikah,
wanita itu datang menghapiri kami dengan gendongan di tangan. Ternyata tidak
hanya berdua bersama Umay, Kak Atikah ditemani dengan seorang wanita, mungkin
itu adiknya. Aku tidak tahu banyak tentang keluarga Kak Atikah, yang aku tahu
dia tiga bersaudara, kakaknya laki-laki, sudah menikah dan kini tinggal bersama
istrinya di Amerika. Mereka adalah keluarga terpandang, keluarga yang menjaga
nilai-nilai Islam. Kak Atikah dan keluarga berasal dari Jakarta, kota
metropolitan. Berbeda dengan kehidupan Bang Taufiq yang anak desa, hanya sempat
lama tinggal di sana kuliah sambil kerja.
“Serius amat
ngobrolnya?” Kak Atikah yang duluan menyapa.
Bang Taufiq
melempar senyuman ke istrinya. “Biasalah, bersama si Bujang, selalu asyik berbagi
cerita.”
Percakapan pun
akhirnya beralih topik, menjadi pembicaraan yang ringan dan penuh canda. Adalah
hampir satu jam kami terlibat obrolan langsung dengan mereka. Kini obrolan itu
jadi semakin hangat, karena ditemani perapian yang aku buat dengan Bang Taufiq.
Dalam
kesempatan ini juga aku di perkenalkan dengan adik Kak Atikah, namanya Atirah,
lengkapnya Atirah Ibrahim, nama belakang yang diambil dari ayah mereka. Gadis
itu pemalu, pendiam, cantik dan hanya bisa tersipu malu setiap kali Bang Taufiq
menggodanya. Huh, aku jadi malu mengatakan cantik walau dalam hati, kalau dia
sampai tahu aku memujinya gimana coba? Aku sempat memberanikan diri
mencuri pandang, oh, Tuhan, Maha Besar Engkau yang menciptakan makhluk-Mu
seindah ini. Lesung pipi yang terbentuk saat dia tersenyum, sungguh gambran
ciptaan yang sempurna. Dengan balutan jaket tebal, kerudung kain berwarna ungu
lebar yang membalut tubuhnya, membuat penampilannya semakin anggun dan
mempesona, mencerminkan juga akhlaknya. Atirah baru saja meluluskan kuliahnya.
Dia datang ke sini untuk berlibur sekaligus rindu bertemu kakaknya. Kedua orang
tua mereka saat ini tinggal di Jakarta.
Pembicaraan
masih terus berlanjut. Topik menjadi semakin menarik justru ketika pembahasan
beralih ke kisah cinta. Ah, iya, kisah cinta Bang Taufiq dan Kak Atikah:
Mereka bertemu
di satu perguruan tinggi, satu angkatan. Itulah yang justru membuat hubungan
mereka akrab –walau hanya sebatas teman. Taufiq muda sebenarnya sudah lama menunjukkan
rasa sukanya ketika mereka masih awal sebagai mahasiswa. Tapi tidak berani
mengungkapkan karena dia berpikir sebaliknya dari kebanyakan orang; justru
dengan langsung diungkapkan perasaan itu malah akan merusak jalan ceritanya.
Karena Taufiq secara mental belum siap untuk menikah, maka dia memilih jalan berteman
tersebut justru untuk menjaga perasaannya, dan tentu saja, demi menjaga kehormatan
Atikah.
Kisah yang
menarik kemudian adalah saat kelulusan. Tentu saja saat kelulusan setiap orang
tua mahasiswa hadir untuk menyaksikan putra-putrinya wisuda. Taufiq
memberanikan diri menyapa pihak keluarga Atikah. Ini tentunya setelah Atikah
memberikan lampu hijau kepada Taufiq, tidak mudah melewati semua perjalanan
mereka kuliah bertahun-tahun, ada banyak godaan, salah paham –salah paham
seorang teman. Sampai kemudian Bang Taufiq memberanikan diri menyatakan
perasaan cintanya, cinta yang sesungguhnya selama ini. Atikah tidak punya
pilihan kalimat yang bisa dirangkai bagus kecuali hanya berkata: insha
Allah, bismillah Bang. Duh, itulah kalimat paling romantis yang pernah
Taufiq dengar langsung dari Atikah –yang hanya bisa tertunduk malu.
Pernikahan pun
berlangsung setelah tiga bulan peristiwa itu. Pernikahan yang membuat Atikah
menangis dipenuhi emosional. Atikah, tampak bahagia dengan air matanya. Inilah
perjalanan hidup baru buatnya, setelah melewati tantangan masa muda yang
rasanya begitu panjang. Kini, mereka siap menempuh mahligai rumah tangga dengan
segala dinamikanya, tantangan baru tentunya. Inilah kehidupan baru, episode
hidup yang juga ternyata tidak kalah menantang dan lebih panjang.
***
Bulan di
langit semakin terang, tak tersaput awan. Kini sedikit agak condong di arah
barat. Hari semakin larut malam. Perapian masih menyala, menghangatkan suasana.
Anak-anak yang bermain bola api sudah pulang satu jam yang lalu, mungkin sudah
kelelahan. Begitu juga dengan Kak Atikah dan Atirah, hendak pamit. Sempat
bertatapan dengan Atirah, “Titip Umay ya Bang,” katanya. Aku menjawab dengan anggukkan
dan senyuman.
Kini di
perapian hanya tinggal kami bertiga, Umay yang sejak tadi tidak mau lepas dari
pangkuanku pilih tetap bertahan, matanya berkedip-kedip di bawah cahaya bulan,
menatapku diam. Entahlah apa yang dipikirkan oleh anak ini. Ibunya sempat
memaksa mengajak pulang, dia malah menangis dan tidak mau pisah dari
pangkuanku. Akhirnya Kak Atikah mengalah dan membiarkannya tetap bersamaku dan
Bang Taufiq.
“Anakmu manja
juga Bang,” tidak lama setelah kepergian ibu dan tantenya, anak ini langsung
pulas saja di pangkuanku. Bibirnya yang mungil, alisnya yang tipis dan
rambutnya yang halus membuatku gemas melihatnya.
“Itu anakku
tapi bukan anak Atikah, Ikhsan.”
“Hmm,” aku
belum mengerti sepenuhnya, “maksud Abang?”
Pria gagah
yang duduk di depanku ini, lelaki yang selama ini memberiku banyak teladan, entah
kenapa serasa berat ingin mengatakan sesuatu padaku. Dia memerlukan waktu untuk
menghirup nafas panjang. “Ya, Umay, dia adalah anakku, anak hasil kawin kontrak
dengan wanita lain.”
Apa aku tidak
salah dengar. Sejak kapan Bang Taufiq percaya dengan kawin kontrak. “Kawin
kontrak? Bukankah Abang sendiri percaya, itu tidak ada dalam keyakinan kita?”
Bang Taufiq
tidak bisa berkata apa-apa, hanya mata berkaca-kaca itu yang menjadi
jawabannya. Entahlah, kenapa bisa jadi seperti ini. Kenapa sampai bisa ke situ
pemikirannya. Kurang apa lagi kah Atikah, cantik, sholeha, baik, selalu menjaga
diri dan kehormatannya. Kisah cinta dan persahabatan yang mereka ceritakan
barusan, kenapa tidak sedikit pun aku lihat pada Atikah air muka yang menyimpan
marah atau dendam. Padahal di balik semua kisah yang mereka ceritakan tadi,
ternyata menyimpan luka yang sangat dalam. Lelaki mana yang tega sekali
menduakannya dengan perbuatan zina. Lelaki seperti itu hanya pantas dirajam. Dadakku
menjadi sesak mendengar pengakuan itu. Harusnya tidak perlu kau buka aib itu
Bang. Aib yang akan membuat orang yang sudah menaruh rasa percaya padamu
menjadi padam.
Aku masih
dipenuhi dengan rasa kecewa, tidak percaya. Kalau tadi kisah cinta yang mereka
berdua tuturkan begitu indah dan mesra, dan mereka berdua pun menyampaikannya
dengan ekspresi yang begitu bahagia, kenapa tiba-tiba ada kisah lain lagi yang
justru merusak semua keindahannya. “Jawab pertanyaanku Bang? Apa yang membuat
sampai tega melakukannya? Bagaimana bisa Atikah sampai begitu tabah dan tetap
menerimamu?”
Beberapa menit
berlalu hening, dan mata di depanku itu masih berkaca, “aku gelap mata Ikhsan.
Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan hal ini kepadamu. Sebenarnya justru
biarlah ini menjadi rahasia hidupku bersama Atikah, yang akan kami bawa sampai
mati. Kau tidak pernah tahu bukan apa yang terjadi di keluarga kami selama enam
tahun ini? Tak apalah kalau sampai aku ceritakan aib ini kau menjadi benci sama
Abangmu ini. Aku hanya ingin kau, bujang yang masih tersisa di kampung ini tidak
mengalami peristiwa serupa. Kau bisa mengambil pelajaran agar bisa menjadi
orang yang lebih baik daripada Abangmu ini. Abang hanya bisa mendokan semoga kelak
kau mendapatkan wanita yang baik.”
Mata yang
berkaca itu berusaha menatapku. Sekali pun dalam tatapan remang, aku tahu, ada
pesan mendalam yang ingin di sampaikan. “Kau tahu Ikhsan, Atikah, istri yang
sangat aku cintai itu, dia tidak bisa memberikan kami buah hati karena dari
awal aku menikahinya, dia sudah tidak perawan.”
Oh, Tuhan, aib
dan ujian kehidupan apalagi ini.
Berceritalah
ia setelah beberapa tahun pernikahan mereka yang tak kunjung dikaruniahi buah
hati. Tidak sedikit pun hal itu membuat rasa sayang Bang Taufiq berkurang, dia
percaya, sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholeha, bersama Atikah yang
belum juga dikaruniahi buah hati, dia tetap bahagia. Sampai tahun keempat
pernikahan, kabar duka itu datang. Ada pesan masuk dari nomer yang tidak
dikenal: semoga bapak tetap sayang sama istri bapak sekali pun dia tidak
bisa memberikan bapak buah hati, karena sampai kapan pun, dia tidak akan pernah
memberikan keturunan.
Semua
kejadian berawal dari pesan itu, sampai terbongkar rahasia-rahasia berikutnya. Ternyata,
Atikah tidak bisa mengandung lagi karena peristiwa aborsi yang pernah dia lakukan
ketika masih awal kuliah, –bersama dengan seorang lelaki yang sempat menjalin
hubungan dengannya. Lelaki itu sendiri tidak mau bertanggung jawab karena tidak
yakin hanya dia yang pernah merasakan tubuh Atikah. Saat Bang Taufiq mencoba
klarifikasi kepada Atikah, wanita itu hanya menangis dan tidak bisa bicara
apa-apa.
Satu
bulan setelah peristiwa itu, Bang Taufiq berangkat keluar kota untuk mengurus
perusahaan kecil miliknya, masih membawa rasa sakit yang ternyata tidak mudah
seketika menghapusnya. Beberapa minggu di luar kota, rasa sakit itu ternyata justru
terobati saat dia berkenalan dengan seorang wanita muda relasi bisnisnya. Tanpa
sepengetahuan Atikah, Bang Taufiq menikah dengan gadis tersebut, dengan status:
kawin kontrak. Hingga kepulangannya dari luar kota, Bang Taufiq pun sudah
melupakan peristiwa yang membuat batinnya sempat terguncang. Atikah pun tak
henti-hentinya memohon ampun dan restu dari suaminya. Bang Taufiq memaafkannya.
Mereka pun
memutuskan untuk pindah ke kota.
Satu
tahun berlalu, mereka kembali ke desa. Warga desa menyambut kehadiran mereka
dengan gembira. Terlebih, kabar bahwa Bang Taufiq kini memiliki seorang putra
membuat warga Desa Besaku turut bahagia. Berkat kesabaran mereka, Tuhan
menganugerahi seorang putra, begitulah komentar warga. Kalau semua warga
bahagia menyambut kelahiran seorang bayi, maka hanya Atikah-lah yang merasakan
sakit hati yang amat dalam. Itulah bayi yang lahir dari rahim wanita yang
dikawin kontraknya. Kenapa Bang Taufiq tidak menikahinya secara resmi, kenapa
tidak sekalian memilih untuk berpoligami? Karena wanita yang sempat menjadi “istri”
sementara itu sendiri ternyata wanita yang sudah memiliki suami.
“Lantas
apa bedanya Abang dengan Kak Atikah yang dulu? Bukankah justru Abang yang lebih
kejam?” aku tidak tahu harus berkomentar apa lagi. Mendengar cerita mengenai
Kak Atikah yang sudah tidak perawan itu sungguh serasa sembilu yang mengiris
hati.
Mataku kini
tertuju ke bocah yang ada dalam gendonganku. Aku lihat kembali wajahnya. Kusapu bersih. Ah, wajah polos yang tidak tahu
apa-apa. Kusapu lembut ubun-ubunnya, aku ciumi wajahnya yang sudah jatuh
terlelap. Oh, Nak, semoga Tuhan mengampuni Ayah-Ibumu. Semoga kelak engkau menjadi
bujang yang berkarakter, tidak terjerumus ke dalam lubang dosa yang amat dalam.
Inilah untuk
pertamakalinya aku menangis tanpa suara. Hanya air mata.
“Aku tahu
Atikah pasti merasa kecewa, sekali pun dia tetap menerima dan memaafkan setelah
apa yang aku perbuat. Aku sadar, kini aku justru jauh lebih bobrok akhlaknya.”
Bang Taufiq menyempatkan untuk menarik nafas dalam, “Ikhsan, dengarkan aku.
Sekali pun mungkin kini kau muak denganku, tetap dengarkanlah nasihatku. Jika
selama ini kau berniat sabar dan terus menjaga kehormatan diri agar kelak
dipertemukan dengan jodoh yang baik, maka sudah saatnya kau hapus niat itu.
Ketahuilah jika kita memilih untuk bersabar dan menjaga kehormatan, itu bukan
berarti kita akan mendapatkan seseorang atau sesuatu pada akhirnya. Bukan pula
berarti kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik seperti yang kita
inginkan. Karena, hakikat sejati menjaga kehormatan diri dan perasaan adalah
semata karena pengabdian kita kepada Sang Pencipta. Seperti itulah kita
diperintahkan. Begitu juga dengan sabar, dia adalah proses latihan seumur hidup,
bukan sabar jika tidak memberikan ketentraman di hati.”
Suasana
menjadi hening, hanya terdengar desau angin dan ombak lembut di pantai.
“Berjanjilah
Ikhsan kau akan selalu menjadi bujang berhati lurus. Tetap bertahan di jalan
lurus itu sekali pun kelak saatnya menikah kau tidak pernah tahu dengan masa
lalu calon bidadari yang akan mendampingimu nanti.” Bang Taufiq semakin dalam,
“satu hal yang pasti Ikhsan, Tuhan tidak pernah salah menukar jodoh seseorang.
Apapun yang terjadi. Yang baik akan dipertemukan dengan yang baik, begitu juga
sebaliknya. Itulah janji yang selalu Dia tepati, tertulis jelas dalam kitab
suci. Baiklah Ikhsan, fajar sebentar lagi datang. Aku harus pulang, mari aku
yang gendong Umay.”
Fajar di ufuk
timur tidak lama lagi tampak. Suasana menjadi sedikit berkabut. Bang Taufik pamit
pergi, meninggalkan aku yang kini sendiri menatap laut di kejauhan. Meresapi
hakikat cinta sejati.
Bentuk bulan
sudah lama terbalik, cahayanya tampak sayu.
***
Bayanganku
kembali mengingat sepuluh tahun terakhir perjalananku. Perjalanan yang tidak
mudah bagi setiap anak Adam, mereka harus melewati masa muda yang penuh dengan
tantangan, gejolak jiwa, emosi yang membara, dan tentu saja, penuh dengan godaan.
Aku kembali mengingat setiap insan yang pernah bersinggungan perasaan denganku.
Ada di mana semua mereka saat ini? Apakah mereka sudah memiliki kehidupan yang baru?
Atau masih ada yang sama seperti perjalanan hidupku saat ini? Aku tidak tahu.
Di atas laut, tampak cahaya bulan semakin sayu. Aku berjanji akan terus menjaga
diri, menjaga hati –dengan siapa pun Kau pertemukan aku nanti.
Aku, Ikhsan,
masih di bawah sinar bulan malam ini.[]
Tamat
No Response to "Cerpen - Di Bawah Sinar Bulan Malam Ini."
Posting Komentar