Adik-adikku, ada satu lagi pelajaran buat kalian dari kakak-kakak
kalian yang masih culun dan labil ini –padahal tidak bisa lagi dibilang
anak-anak, hehe. Semoga kalian bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang
berharga dari kakakmu ini.
Jadi begini, ada seorang teman sebaya yang tiba-tiba sms saya minta
pendapat untuk kasus temannya. Sahabat teman saya ini punya masalah seperti
ini: dia sedang menjalani proses ta’aruf dengan seorang pemuda yang
katanya agamanya baik, pekerjaannya mapan, juga dari keluarga berada. Pokoknya semua
okelah. Tapi sayangnya, karena terlalu lama ta’aruf mereka jadi terjebak
pacaran. Saat si gadis sadar kalau itu salah dan ingin mengakhiri hubungannya,
si bujang tetap pengen bertahan dan berjanji akan menikahi si gadis walaupun
dia sendiri belum bisa memberi kepastian kapan mau melamar.
Setelah saya anamnesis lebih lanjut: ternyata orang tua si doi
belum mengizinkan anaknya menikah, padahal usia si bujang sudah kepala tiga. Si
gadis sendiri merasa serba salah karena sudah sering menasihati si bujang yang
notabene lebih tua –beda 8 tahun dari si gadis yang usianya baru saja menginjak
sarjana.
Lebih lanjut: Orang tua si bujang sendiri ternyata bukan dari
kalangan agamis, bahkan katanya si bujang pernah dimarah waktu belajar mengaji.
Waduh. Sekali waktu si gadis pernah bertemu dengan orang tua si bujang,
ada kesan bahwa ortu si bujang memang ada rasa tidak suka dengan dia (si gadis).
Klise.
Teman saya bilang: Karena si bujang ini orangnya baik, itu yang
membuat si gadis sebenarnya tidak tega untuk memutuskan hubungan. Dia tidak pengen
menyakiti hati si bujang –hanya karena orangtuanya yang tidak merestui.
Begitulah dengan panjang lebar teman saya menuturkan.
Terus dengan santainya teman saya ini minta tanggapan saya
bagaimana? Wow.. La saya saja ta’aruf belum pernah. Apa jadinya kalau
saya ngasi masukkan. Hehehe. Dan saya sendiri sebenarnya bingung, mau
berada dipihak si gadis atau si bujang?
Maka mengalirlah jawaban-jawaban si Iwan layaknya seorang Ustad.
Haha. Tidak, saya masih terlalu jauh untuk menjadi seorang Ustad (guru). Saya
hanya akan menjawab berdasarkan rasionalitas yang saya pahami. Intinya, ta’aruf
tidak akan berjalan lama jika niat dan tujuannya memang untuk menikah, satu
atau dua minggu saja sudah lebih dari cukup. Begitu pikir si Iwan. Bahkan
proses itu sebenarnya mungkin hanya butuh satu hari jika mereka memang sudah
saling mengenal, misalnya sering ketemu dalam satu majelis atau satu
organisasi. Maka apalagikah sebenarnya yang pengen di-ta’aruf-kan? J
Jadi, bukan karena pertimbangan kasian atau tidaknya kita dalam
mengambil sikap. Tapi demi kebaikan yang ada di dalamnya. Saya hanya
ingin menegaskan kalau dalam diam saya pribadi juga menyukai seseorang, namun
tidak berani mengungkapkan, apalagi mengajaknya ta’aruf, karena saya sendiri
belum bisa memberi kepastian. Jika saya memaksakan keinginan, tentu hal itu
akan memberatkan kami berdua kedepannya nanti. Maka, biarlah perasaan itu
menjadi istimewa sendirinya dengan terus terpendam sampai waktu dan tempat
memberikan kesempatan untuk kelak diungkapakan. Akhirnya, berteman dan
bersahabat dengannya adalah sebuah pilihan yang tepat buat saya. Jika jodoh,
itu akan menjadi kado yang spesial –pikir saya. Kalau tidak jodoh, maka saya
akan patah hati, tapi mungkin Allah akan ganti dengan yang lebih baik lagi
–pikir saya lagi mencoba menghibur diri sendiri. Hahaha.
Menjadi bujang atau gadis itu memang penuh tantangan. Dia harus
terlatih patah hati. Dan itulah resiko yang terjadi ketika kita harus dengan
tulus ikhlas melepasakannya kalau ternyata si dia keduluan direbut orang lain –Hiks,
hiks, kisah ini benar-benar klise. J
Ya, mengambil sikap yang tegas sekalipun itu menyakitkan memang
harus menjadi prinsip jika tidak ingin terjebak di jalan yang salah juga jika
tidak ingin menyesal dibelakang. Tidak usah takut dengan kehilangan, toh dalam
hidup ini juga kita dipertemukan untuk kemudian dipisahkan. Maka sebuah keniscayaan
jika jodoh itu memang rahasia Tuhan, biarkanlah itu tetap menjadi rahasia-Nya
sampai kita benar-benar siap menjemputnya. Kalau suami-istri yang cerai saja
bisa rujuk kembali, maka kalian yang putus ta’aruf jangan berkecil hati. Jika
memang jodoh pasti akan dipertemukan kembali. Saya pribadi seandainya berada di
posisi si bujang pasti sakit hati jika mendapati gadis yang punya prinsip baik
seperti itu, tapi mau gimana lagi, saya juga harus menyadari kalau saya
benar-benar pengecut –tidak berani menikah tanpa restu orang tua. Maka itulah
konsekuensi yang harus diterima.
Inilah kebenaran menyakitkan yang tetap harus saya sampaikan pada
teman saya itu. J
Memang sebuah dilema ketika orang tua tidak merestui anaknya
menikah. Namun melihat kisahnya di atas juga memang sudah ada kesalahan dari
awal yang tidak perlu lagi diselali. Ilmu agama itu sangat luas, penuh dengan
penafsiran. Sehingga, orang yang sudah baik agamanya tidak ada jaminan selalu
baik dan benar dalam perbuatannya. Kadang dia salah langkah, butuh teman yang
mau mengingatkan. Dalam catatan ini saya hanya ingin menegaskan bahwa seseorang
yang menjalani proses ta’aruf memang butuh syarat yang pertama: mendapat
restu dari orangtua hendak menikah. Jika tidak, dia jadi menghambat proses
ta’aruf juga prosesnya menjadi tidak berjalan sesuai dengan niatnya.
***
Nah, adik-adikku (khusunya yang gadis), jika kalian menemukan kasus
seperti yang kakak kalian alami ini, atau malah kalian sendiri sedang
merasakannya, antisipasilah dengan bicara yang baik-baik jika si bujang itu
sendiri memang orang yang baik. Mungkin dia memang belum sadar dengan
kekeliruannya. Ada tips memberi tanggapan yang halus dan sopan
sebagaimana saya sendiri menyarankan sahabat teman saya untuk sms seperti ini ke
si bujangnya. Kira-kira redaksi kalimatnnya seperti ini:
“Bang/Akh/Mas (atau terserah kalian
mau panggil apalah dia), maaf mengganggu, saya hanya ingin mengabarkan bahwa
proses ta’aruf kita sudah selesai. Sekiranya belum ada tindak lanjutnya, maka
saya berharap proses ini akan berlanjut menjadi pacaran. Tentunya setelah
pernikahan (tambahin emoticon smile,hehe). Jika proses itu belum juga
bisa terpenuhi, maka saya merasa sesungguhnya jodoh saya ini masih dirahasiakan
oleh Allah, seperti kabut tebal yang tak kasat oleh mata. Semoga kau mengerti,
ini demi kebaikan kita bersama.”
Heem-hem-hem.
Saya menulis contoh redaksi kalimat itu sambil terkikik-kikik tertawa. Eh, tapi
kalimat itu serius lho, berdasarkan analisa dari hati yang terdalam. Eeeaaa… :P
Lagi, adik-adikku yang gadis. Ketahuilah bahwa bujang, sekalipun
dia orang alim, tidak akan pernah luput dari salah dan dosa. Maka demi kebaikan
bersama kalian sebagai gadis juga harus mengingatkan jika mereka salah
–termasuk saya pribadi. J
Juga kepada adik-adikku yang bujang, jadilah kita bujang yang tangguh, keras,
dan tahan banting –seperti abangmu ini. Hahaha.. *ke-pede- an. Mari, jadilah kita
bujang yang terlatih patah hati.
Sekian.
No Response to "Segelumit kisah tentang Ta’aruf dan Terlatih Patah Hati"
Posting Komentar