Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

Segelumit kisah tentang Ta’aruf dan Terlatih Patah Hati




Adik-adikku, ada satu lagi pelajaran buat kalian dari kakak-kakak kalian yang masih culun dan labil ini –padahal tidak bisa lagi dibilang anak-anak, hehe. Semoga kalian bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang berharga dari kakakmu ini.
Jadi begini, ada seorang teman sebaya yang tiba-tiba sms saya minta pendapat untuk kasus temannya. Sahabat teman saya ini punya masalah seperti ini: dia sedang menjalani proses ta’aruf dengan seorang pemuda yang katanya agamanya baik, pekerjaannya mapan, juga dari keluarga berada. Pokoknya semua okelah. Tapi sayangnya, karena terlalu lama ta’aruf mereka jadi terjebak pacaran. Saat si gadis sadar kalau itu salah dan ingin mengakhiri hubungannya, si bujang tetap pengen bertahan dan berjanji akan menikahi si gadis walaupun dia sendiri belum bisa memberi kepastian kapan mau melamar.
Setelah saya anamnesis lebih lanjut: ternyata orang tua si doi belum mengizinkan anaknya menikah, padahal usia si bujang sudah kepala tiga. Si gadis sendiri merasa serba salah karena sudah sering menasihati si bujang yang notabene lebih tua –beda 8 tahun dari si gadis yang usianya baru saja menginjak sarjana.
Lebih lanjut: Orang tua si bujang sendiri ternyata bukan dari kalangan agamis, bahkan katanya si bujang pernah dimarah waktu belajar mengaji. Waduh. Sekali waktu si gadis pernah bertemu dengan orang tua si bujang, ada kesan bahwa ortu si bujang memang ada rasa tidak suka dengan dia (si gadis). Klise.
Teman saya bilang: Karena si bujang ini orangnya baik, itu yang membuat si gadis sebenarnya tidak tega untuk memutuskan hubungan. Dia tidak pengen menyakiti hati si bujang –hanya karena orangtuanya yang tidak merestui.
Begitulah dengan panjang lebar teman saya menuturkan.
Terus dengan santainya teman saya ini minta tanggapan saya bagaimana? Wow.. La saya saja ta’aruf belum pernah. Apa jadinya kalau saya ngasi masukkan. Hehehe. Dan saya sendiri sebenarnya bingung, mau berada dipihak si gadis atau si bujang?
Maka mengalirlah jawaban-jawaban si Iwan layaknya seorang Ustad. Haha. Tidak, saya masih terlalu jauh untuk menjadi seorang Ustad (guru). Saya hanya akan menjawab berdasarkan rasionalitas yang saya pahami. Intinya, ta’aruf tidak akan berjalan lama jika niat dan tujuannya memang untuk menikah, satu atau dua minggu saja sudah lebih dari cukup. Begitu pikir si Iwan. Bahkan proses itu sebenarnya mungkin hanya butuh satu hari jika mereka memang sudah saling mengenal, misalnya sering ketemu dalam satu majelis atau satu organisasi. Maka apalagikah sebenarnya yang pengen di-ta’aruf-kan? J
Jadi, bukan karena pertimbangan kasian atau tidaknya kita dalam mengambil sikap. Tapi demi kebaikan yang ada di dalamnya. Saya hanya ingin menegaskan kalau dalam diam saya pribadi juga menyukai seseorang, namun tidak berani mengungkapkan, apalagi mengajaknya ta’aruf, karena saya sendiri belum bisa memberi kepastian. Jika saya memaksakan keinginan, tentu hal itu akan memberatkan kami berdua kedepannya nanti. Maka, biarlah perasaan itu menjadi istimewa sendirinya dengan terus terpendam sampai waktu dan tempat memberikan kesempatan untuk kelak diungkapakan. Akhirnya, berteman dan bersahabat dengannya adalah sebuah pilihan yang tepat buat saya. Jika jodoh, itu akan menjadi kado yang spesial –pikir saya. Kalau tidak jodoh, maka saya akan patah hati, tapi mungkin Allah akan ganti dengan yang lebih baik lagi –pikir saya lagi mencoba menghibur diri sendiri. Hahaha.
Menjadi bujang atau gadis itu memang penuh tantangan. Dia harus terlatih patah hati. Dan itulah resiko yang terjadi ketika kita harus dengan tulus ikhlas melepasakannya kalau ternyata si dia keduluan direbut orang lain –Hiks, hiks, kisah ini benar-benar klise. J
Ya, mengambil sikap yang tegas sekalipun itu menyakitkan memang harus menjadi prinsip jika tidak ingin terjebak di jalan yang salah juga jika tidak ingin menyesal dibelakang. Tidak usah takut dengan kehilangan, toh dalam hidup ini juga kita dipertemukan untuk kemudian dipisahkan. Maka sebuah keniscayaan jika jodoh itu memang rahasia Tuhan, biarkanlah itu tetap menjadi rahasia-Nya sampai kita benar-benar siap menjemputnya. Kalau suami-istri yang cerai saja bisa rujuk kembali, maka kalian yang putus ta’aruf jangan berkecil hati. Jika memang jodoh pasti akan dipertemukan kembali. Saya pribadi seandainya berada di posisi si bujang pasti sakit hati jika mendapati gadis yang punya prinsip baik seperti itu, tapi mau gimana lagi, saya juga harus menyadari kalau saya benar-benar pengecut –tidak berani menikah tanpa restu orang tua. Maka itulah konsekuensi yang harus diterima.
Inilah kebenaran menyakitkan yang tetap harus saya sampaikan pada teman saya itu. J
Memang sebuah dilema ketika orang tua tidak merestui anaknya menikah. Namun melihat kisahnya di atas juga memang sudah ada kesalahan dari awal yang tidak perlu lagi diselali. Ilmu agama itu sangat luas, penuh dengan penafsiran. Sehingga, orang yang sudah baik agamanya tidak ada jaminan selalu baik dan benar dalam perbuatannya. Kadang dia salah langkah, butuh teman yang mau mengingatkan. Dalam catatan ini saya hanya ingin menegaskan bahwa seseorang yang menjalani proses ta’aruf memang butuh syarat yang pertama: mendapat restu dari orangtua hendak menikah. Jika tidak, dia jadi menghambat proses ta’aruf juga prosesnya menjadi tidak berjalan sesuai dengan niatnya.
***
Nah, adik-adikku (khusunya yang gadis), jika kalian menemukan kasus seperti yang kakak kalian alami ini, atau malah kalian sendiri sedang merasakannya, antisipasilah dengan bicara yang baik-baik jika si bujang itu sendiri memang orang yang baik. Mungkin dia memang belum sadar dengan kekeliruannya. Ada tips memberi tanggapan yang halus dan sopan sebagaimana saya sendiri menyarankan sahabat teman saya untuk sms seperti ini ke si bujangnya. Kira-kira redaksi kalimatnnya seperti ini:
“Bang/Akh/Mas (atau terserah kalian mau panggil apalah dia), maaf mengganggu, saya hanya ingin mengabarkan bahwa proses ta’aruf kita sudah selesai. Sekiranya belum ada tindak lanjutnya, maka saya berharap proses ini akan berlanjut menjadi pacaran. Tentunya setelah pernikahan (tambahin emoticon smile,hehe). Jika proses itu belum juga bisa terpenuhi, maka saya merasa sesungguhnya jodoh saya ini masih dirahasiakan oleh Allah, seperti kabut tebal yang tak kasat oleh mata. Semoga kau mengerti, ini demi kebaikan kita bersama.”
Heem-hem-hem. Saya menulis contoh redaksi kalimat itu sambil terkikik-kikik tertawa. Eh, tapi kalimat itu serius lho, berdasarkan analisa dari hati yang terdalam. Eeeaaa… :P
Lagi, adik-adikku yang gadis. Ketahuilah bahwa bujang, sekalipun dia orang alim, tidak akan pernah luput dari salah dan dosa. Maka demi kebaikan bersama kalian sebagai gadis juga harus mengingatkan jika mereka salah –termasuk saya pribadi. J Juga kepada adik-adikku yang bujang, jadilah kita bujang yang tangguh, keras, dan tahan banting –seperti abangmu ini. Hahaha.. *ke-pede- an. Mari, jadilah kita bujang yang terlatih patah hati.
Sekian.

No Response to "Segelumit kisah tentang Ta’aruf dan Terlatih Patah Hati"

Posting Komentar