Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

Segenggam Hikmah dari Karimun Jawa




            Setelah 2 hari berada di Karimun Jawa bersama teman–Bayu, Rio, Ferdy–kami memutuskan pulang ba’da jum’at. Kisah dalam kepulangan ini menyimpan sedikit hikmah tentang ikhlas dan bagaimana mengikhlaskan sesuatu. Juga bagaimana menanamkan rasa empati.
Kapal Ferry yang hendak kami tumpangi baru saja melepas sauh sesaat setelah saya berada di pintu gerbang pelabuhan. Mengatur nafas yang ngos-ngosan karena sudah berlari-lari kecil sekitar 15 menit dengan ransel yang berat.
            “Sudah Mas, percuma lari-lari,” kata seorang bapak pemilik warung dekat pintu masuk pelabuhan itu yang seketika membuat kaki ini langsung lemas untuk digerakkan, “kapal sudah berangkat 5 menit yang lalu.”
Itu artinya kami harus menunggu 2 hari lagi di sana sampai kapal itu balik lagi ke pulau ini. Padahal, perjalanan kapal itu sendiri membutuhkan waktu sekitar 5 jam perjalanan. Pulang minggu membuat kami kemungkinan senin shubuh baru sampai di Solo. Tidak ada lagi kapal yang berangkat hari itu.
Teman-teman hanya bisa mengumpat dengan ekspresi wajah masing-masing yang menyusul di belakang. Rasa kesal itu juga ditujukan kepada pemilik home stay yang tidak menepati janjinya untuk mengantar kami ke pelabuhan yang jaraknya memang lumayan jauh kalau ditempuh dengan berjalan kaki –sekitar 2 km. Beliau yang sudah berjanji ingin mengantar kami itu ternyata sudah berangkat lebih dahulu meninggalkan kami. Sempat ada rasa tidak enak juga saat bapak-bapak dan petugas pelabuhan yang sedang berkumpul di warung pelabuhan itu ikut meramaikan umpatan kepada pemilik home stay tempat kami tinggal.
            Kalian tahu, rasa kecewa yang sudah berada di puncaknya kadang membuat seseorang lupa harus berekspresi seperti apa. Itulah yang saya rasakan saat itu. Saya langsung memesan es sirup dan ngemil jajanan yang ada di warung itu sembari melahap buku The Da Vinci Code untuk melampiaskan rasa kecewa itu. Batal semua rencana yang sudah saya susun sampai hari minggu. Saya belum KRS-an, juga sudah memesan tiket seminar di Jogja esok hari. Hangus tiket tersebut, kesempatan bertemu dengan Tere Liye.
            30 menit berlalu.
            Semua masih tetap nongkrong di warung itu. Mungkin masih belum bisa melepas kekecawaan masing-masing. Boleh jadi juga memang tidak tahu harus ngapain. Saya sendiri mencoba menikmati rasa kecewa ini. Ya, menikmati kekecewaan dalam hidup adalah seni mengendalikan emosi.
            Satu jam berlalu.
            Bapak-bapak petugas pelabuhan sudah kembali ke kantornya. Pemilik warung itu juga pergi entah kemana. Menyisakan kami berempat. Suasana menjadi semakin hening. Hanya terdengar semilir angin pantai dan kapal-kapal nelayan tampak dari kejauhan dermaga.
            “Mas, mau ke Jepara ya?” Tanya seorang bapak-bapak yang kebetulan lewat di pinggir jalan. Salah seorang teman mengangguk mengiyakan.
            “Bareng saya saja.” Aha, kalimat bapak ini sepertinya memberi secercah harapan.
            “Kapan Pak?”
            “Sekarang.”
            “Berapa Pak ongkos?” Pertanyaan seorang teman yang mewakili pertanyaan kami semua. Dari informasi yang kami ketahui, biaya carter kapal nelayan bisa sampai jutaan jika tidak ada lagi kapal yang masuk karena cuaca atau kendala lainnya.
            “Sudahlah, ayo.” Bapak tersebut memberi penawaran santai dan tanpa ekspresi.
            Rasa syukur tidak jadi terkatung-katung di pelabuhan itu benar-benar membuat kami benar-benar merasa bahagia. Kami bisa pulang dengan tiket yang bahkan lebih murah. Apalah jadinya jika kami masih berlama-lama di sana sementara uang kami juga semakin menipis. Bahagia memang sesuatu yang kadang bisa datang dengan tiba-tiba dikala kecewa. Bahkan, saking senangnya saya sampai lupa membayar minum dan camilan di warung tadi. Baru ingat setelah seorang teman mengeluarkan uangnya.
            Namun euforia hanya sebentar. Karena kami harus menyimpan rasa bahagia itu dalam hati ketika dalam kapal yang kami tumpangi ini terdengar keluarga yang sedang menangis. Ah.. ini rupanya yang membuat kami bisa menumpang kapal nelayan ke Jepara. Orang tuanya si bapak tadi meninggal dunia di sana. Dia bersama istrinya harus segera kesana siang itu juga.
            Suasan hening cipta menemani perjalanan kami ke Jepara. Kami tidak lagi menampilkan ekspresi bahagia. Bahkan untuk mengambil kamera di tas tatkala melihat lumba-lumba yang sedang ria bermain di sekitar kapal kami segan. Sekarang benar-benar bercampur aduk perasaan karena tidak tahu lagi harus berekspresi seperti apa. Apakah ini yang disebut bahagia bercampur sedih? Atau sedih yang mencipratkan kebahagiaan? Entahlah. Semua yang ada di kapal itu membawa warna hati masing-masing.
***
Kawan, dalam hal ini saya tidak tahu harus bersyukur atau istigfar. Dalam perjalanan, tiba-tiba saja saya teringat satu kisah seorang yang di zaman sesudah khalifa bernama Sirri Al-Siqthi. Entahlah, kisah ini nyambung atau tidak, yang jelas dalam perjalanan sempat terpikirkan. Saya membacanya dari buku Filsafat Moral Islam karya Murtadha Muthahhari. Yang kira-kira kisahnya seperti ini:
Dia (Sirri Al-Siqthi) pernah berkata. “Sudah 30 tahun aku beristigfar hanya karena sekali aku bersyukur kepada Allah!”
Orang-orang bertanya kepadanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Siqthi menjawab, “Saat itu aku mempunyai toko di Pasar Baghdad. Suatu saat orang-orang mengabariku bahwa Pasar Baghdad hangus dilalap api. Aku bergegas pergi untuk melihat apakah tokoku juga terbakar. Salah seorang mengabariku bahwa api tidak sampai membakar tokoku. Aku pun berkata Alhamdulillah.
Setelah itu jiwaku terusik, hatiku pun berkata, ‘Engkau tidak sendirian di dunia ini. Beberapa toko telah ternbakar! Memang tokomu tidak terbakar, tapi toko-toko lainnya terbakar. Ucapan Alhamdulillah berarti aku bersyukur api tidak membakar tokoku, meski membakar toko yang lainnya! Berarti aku rela toko orang lain terbakar asalkan tokoku tidak.’
Aku pun berkata dalam diriku, ‘Sirri! Tidakkah engkau memperhatikan urusan urusan saudaramu kaum muslimin?’ (Merujuk pada hadis Rasulullah Saw yang berbunyi, ‘Barang siapa yang melewatkan waktu paginya tanpa memperhatikan urusan kaum muslimin, maka tidaklah ia termasuk orang Islam). Saat ini sudah 30 tahun aku beristigfar atas ucapan Alhamdulillah-ku.”
***
            Maha besar Allah yang menciptakan manusia dengan nikmat; rasa. Ada milyaran orang yang hidup di dunia saat ini, Dia (Allah) Maha membolak-balikkan hati manusia –dalam waktu yang bersamaan.

Surakarta, 28 Februari 2015

No Response to "Segenggam Hikmah dari Karimun Jawa"

Posting Komentar