Setelah 2 hari
berada di Karimun Jawa bersama teman–Bayu, Rio, Ferdy–kami memutuskan pulang
ba’da jum’at. Kisah dalam kepulangan ini menyimpan sedikit hikmah tentang
ikhlas dan bagaimana mengikhlaskan sesuatu. Juga bagaimana menanamkan rasa
empati.
Kapal Ferry yang hendak kami tumpangi baru saja melepas sauh
sesaat setelah saya berada di pintu gerbang pelabuhan. Mengatur nafas yang
ngos-ngosan karena sudah berlari-lari kecil sekitar 15 menit dengan ransel yang
berat.
“Sudah Mas, percuma
lari-lari,” kata seorang bapak pemilik warung dekat pintu masuk pelabuhan itu
yang seketika membuat kaki ini langsung lemas untuk digerakkan, “kapal sudah
berangkat 5 menit yang lalu.”
Itu artinya kami harus menunggu 2 hari lagi di sana sampai kapal
itu balik lagi ke pulau ini. Padahal, perjalanan kapal itu sendiri membutuhkan
waktu sekitar 5 jam perjalanan. Pulang minggu membuat kami kemungkinan senin
shubuh baru sampai di Solo. Tidak ada lagi kapal yang berangkat hari itu.
Teman-teman hanya bisa mengumpat dengan ekspresi wajah
masing-masing yang menyusul di belakang. Rasa kesal itu juga ditujukan kepada
pemilik home stay yang tidak menepati janjinya untuk mengantar kami ke
pelabuhan yang jaraknya memang lumayan jauh kalau ditempuh dengan berjalan kaki
–sekitar 2 km. Beliau yang sudah berjanji ingin mengantar kami itu ternyata
sudah berangkat lebih dahulu meninggalkan kami. Sempat ada rasa tidak enak juga
saat bapak-bapak dan petugas pelabuhan yang sedang berkumpul di warung pelabuhan
itu ikut meramaikan umpatan kepada pemilik home stay tempat kami tinggal.
Kalian tahu, rasa
kecewa yang sudah berada di puncaknya kadang membuat seseorang lupa harus
berekspresi seperti apa. Itulah yang saya rasakan saat itu. Saya langsung
memesan es sirup dan ngemil jajanan yang ada di warung itu sembari melahap buku
The Da Vinci Code untuk melampiaskan rasa kecewa itu. Batal semua
rencana yang sudah saya susun sampai hari minggu. Saya belum KRS-an, juga sudah
memesan tiket seminar di Jogja esok hari. Hangus tiket tersebut, kesempatan
bertemu dengan Tere Liye.
30 menit berlalu.
Semua masih tetap
nongkrong di warung itu. Mungkin masih belum bisa melepas kekecawaan
masing-masing. Boleh jadi juga memang tidak tahu harus ngapain. Saya sendiri
mencoba menikmati rasa kecewa ini. Ya, menikmati kekecewaan dalam hidup adalah
seni mengendalikan emosi.
Satu jam berlalu.
Bapak-bapak
petugas pelabuhan sudah kembali ke kantornya. Pemilik warung itu juga pergi
entah kemana. Menyisakan kami berempat. Suasana menjadi semakin hening. Hanya
terdengar semilir angin pantai dan kapal-kapal nelayan tampak dari kejauhan
dermaga.
“Mas, mau ke
Jepara ya?” Tanya seorang bapak-bapak yang kebetulan lewat di pinggir jalan.
Salah seorang teman mengangguk mengiyakan.
“Bareng saya
saja.” Aha, kalimat bapak ini sepertinya memberi secercah harapan.
“Kapan Pak?”
“Sekarang.”
“Berapa Pak
ongkos?” Pertanyaan seorang teman yang mewakili pertanyaan kami semua. Dari
informasi yang kami ketahui, biaya carter kapal nelayan bisa sampai jutaan jika
tidak ada lagi kapal yang masuk karena cuaca atau kendala lainnya.
“Sudahlah, ayo.”
Bapak tersebut memberi penawaran santai dan tanpa ekspresi.
Rasa syukur tidak
jadi terkatung-katung di pelabuhan itu benar-benar membuat kami benar-benar
merasa bahagia. Kami bisa pulang dengan tiket yang bahkan lebih murah. Apalah
jadinya jika kami masih berlama-lama di sana sementara uang kami juga semakin
menipis. Bahagia memang sesuatu yang kadang bisa datang dengan tiba-tiba dikala
kecewa. Bahkan, saking senangnya saya sampai lupa membayar minum dan camilan di
warung tadi. Baru ingat setelah seorang teman mengeluarkan uangnya.
Namun euforia hanya
sebentar. Karena kami harus menyimpan rasa bahagia itu dalam hati ketika dalam
kapal yang kami tumpangi ini terdengar keluarga yang sedang menangis. Ah.. ini
rupanya yang membuat kami bisa menumpang kapal nelayan ke Jepara. Orang tuanya
si bapak tadi meninggal dunia di sana. Dia bersama istrinya harus segera kesana
siang itu juga.
Suasan hening
cipta menemani perjalanan kami ke Jepara. Kami tidak lagi menampilkan ekspresi
bahagia. Bahkan untuk mengambil kamera di tas tatkala melihat lumba-lumba yang
sedang ria bermain di sekitar kapal kami segan. Sekarang benar-benar bercampur
aduk perasaan karena tidak tahu lagi harus berekspresi seperti apa. Apakah
ini yang disebut bahagia bercampur sedih? Atau sedih yang mencipratkan
kebahagiaan? Entahlah. Semua yang ada di kapal itu membawa warna hati
masing-masing.
***
Kawan, dalam hal ini saya tidak tahu harus bersyukur atau istigfar.
Dalam perjalanan, tiba-tiba saja saya teringat satu kisah seorang yang di zaman
sesudah khalifa bernama Sirri Al-Siqthi. Entahlah, kisah ini nyambung atau
tidak, yang jelas dalam perjalanan sempat terpikirkan. Saya membacanya dari
buku Filsafat Moral Islam karya Murtadha Muthahhari. Yang kira-kira
kisahnya seperti ini:
Dia (Sirri Al-Siqthi) pernah berkata. “Sudah 30 tahun aku
beristigfar hanya karena sekali aku bersyukur kepada Allah!”
Orang-orang bertanya kepadanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Siqthi menjawab, “Saat itu aku mempunyai toko di Pasar Baghdad.
Suatu saat orang-orang mengabariku bahwa Pasar Baghdad hangus dilalap api. Aku
bergegas pergi untuk melihat apakah tokoku juga terbakar. Salah seorang
mengabariku bahwa api tidak sampai membakar tokoku. Aku pun berkata Alhamdulillah.
Setelah itu jiwaku terusik, hatiku pun berkata, ‘Engkau tidak
sendirian di dunia ini. Beberapa toko telah ternbakar! Memang tokomu tidak
terbakar, tapi toko-toko lainnya terbakar. Ucapan Alhamdulillah berarti aku
bersyukur api tidak membakar tokoku, meski membakar toko yang lainnya! Berarti
aku rela toko orang lain terbakar asalkan tokoku tidak.’
Aku pun berkata dalam diriku, ‘Sirri! Tidakkah engkau memperhatikan
urusan urusan saudaramu kaum muslimin?’ (Merujuk pada hadis Rasulullah Saw yang
berbunyi, ‘Barang siapa yang melewatkan waktu paginya tanpa memperhatikan
urusan kaum muslimin, maka tidaklah ia termasuk orang Islam). Saat ini sudah 30
tahun aku beristigfar atas ucapan Alhamdulillah-ku.”
***
Maha besar Allah
yang menciptakan manusia dengan nikmat; rasa. Ada milyaran orang yang hidup di
dunia saat ini, Dia (Allah) Maha membolak-balikkan hati manusia –dalam waktu
yang bersamaan.
Surakarta, 28 Februari 2015
No Response to "Segenggam Hikmah dari Karimun Jawa"
Posting Komentar