Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

MENGENANG NOKIA DAN PRODUKTIFITAS MEMBACA BUKU

Saya masih simpan HP Nokia, yang saya pakai dari sejak lulus SMA. Bahkan sampai 2019, saya masih memakainya --sebab Ibu saya waktu itu belum pakai android. Jadi kalau ada SMS masuk atau telepon berbunyi, 99% adalah dari Ibu saya. 

Sebenarnya di antara teman-teman kuliah, sayalah yang paling telat update kemajuan teknologi. Pertama kali pakai gadget baru tahun 2015, itu pun hanya bertahan sebulan, hilang saat mendaki Gunung Lawu. Tahun 2016 baru beli lagi, itu juga karena kebutuhan untuk koas waktu itu. 

Sampai saat itu, teman-teman lain sudah punya lebih dari satu platform media sosial, sementara saya hanya punya Facebook (yang saya buat sejak 2009). Untuk bisa update status, kemana-mana saya bawa laptop dan modem. Saya baru membuka FB ketika ada yang ingin saya tulis atau mengunggah foto dari kamera digital. Dengan demikian, saya jadi terhindar dari banyak skrol-skrol yang unfaedah. 

Sebenarnya, kalau bukan karena pekerjaan, saya masih ada keinginan untuk menggunakannya kembali. Sebab, saya rasakan, produktifitas dalam membaca buku jauh lebih besar ketika saya tidak pegang gadget. Dua jilid Di Bawah Bendera Revolusi, dan buku-buku tebal lainnya, banyak yang saya khatamkan justru ketika saya masih akrab dengan Nokia ini.

MENGENANG HATTA MELALUI OBITUARINYA HAMKA

Begitu buku "Orang-orang yang Saya Kenang" ini sampai di tangan, saya langsung buka bab kenang-kenangan Buya Hamka kepada Bung Hatta. (Hlm. 215-231).

Buku berisi kumpulan tulisan Hamka yang sudah langka ini --terutama yang tersebar di majalah Panji Masyarakat-- berhasil dihimpun oleh Abdul Hadi Hamka (cucu Buya Hamka). Mari kita simak kenangan Hamka terhadap Hatta melalui obituarinya, yang terbit di majalah Panji Masyarakat, dua pekan setelah wafatnya Bung Hatta. 

Penghormatan Hamka yang tinggi untuk Mohammad Hatta nampak jelas dalam obituari itu. Mengomentari mundurnya Hatta dari jabatan wakil presiden pada 1956 karena ketidaksejalanannya dengan Sukarno, Hamka menulis: "Kebesaran bukanlah karena suatu pangkat dan jabatan. Kebesaran terletak pada karakter pribadi. Meskipun telah berhenti menjadi wakil presiden, tetapi kebesaran dan keagungan beliau setelah 24 tahun berhenti menjadi wakil presiden, sama saja dengan saat jabatan itu beliau sandang. Selama 24 tahun menjadi rakyat biasa, beliau tetap dalam kebesaran dan keagungannya. Bukanlah beliau besar karena pangkatnya, melainkan pangkat itulah yang besar karena dia yang memikulnya." 

Tak cukup sampai di situ. Hamka bahkan membela Mohammad Hatta dari tuduhan sebagai nasionalis sekuler. 

Hamka menulis: "Gerakan Sukarno ialah semata-mata gerak kebangsaan. Jadi agama tidak usah diikutcampurkan dalam gerakan kebangsaan itu. Mereka memakai semboyan bahwa agama adalah hubungan masing-masing diri dengan Tuhan, sedang tanah air adalah kewajiban bersama.

"Hatta tidak mencampuri soal itu. Dia membela tanah airnya, dia mencita-citakan kemerdekaan bangsanya dari penjajahan, dia tetap dalam pendiriannya untuk tidak bekerjasama dengan Pemerintah Belanda dan bergantung pada kekuatan sendiri. 

"Mulanya tidaklah ada polemik antara gerakan Islam ini dengan Hatta, tetapi seorang teman dari Medan, Saudara T.M. Usman el-Muhammady, pernah menulis satu tulisan yang mengkritik kaum kebangsaan yang tidak memedulikan agama, bergerak membela tanah air dan menegakkan cita kemerdekaan Indonesia dengan memisahkan agama dari perjuangan. Dalam tulisan itu T.M. Usman (alm.) telah menyamakan Hatta dengan pemimpin-pemimpin gerakan kebangsaan yang lain."

Balasan Hatta untuk tuduhan T.M. Usman itu terbit di majalah Adil. Dalam tulisan itu Hatta menggunakan "ia" (kata ganti orang ketiga) untuk menyebut dirinya sendiri. Demikian potongan kalimatnya: "... Ia membandingkan terlebih dahulu keuntungan yang bisa didapatkan dengan pengetahuan dan ilmunya sebagai pangkat tinggi, kesenangan hidup dan pensiun besar, dengn kesukaran yang bakal dideritanya kalau masuk pergerakan, sebagai hidup melarat, bui, dan pembuangan.

"Kalau ia masih memilih yang kemudian ini, sudah tentu langkahnya itu dipengaruhi oleh keyakinan yang suci tentang kewajibannya terhadap masyarakat tempat ia dilahirkan. Bukan 'katanya', melainkan memang dirasanya sebagai suruhan suatu suara Yang Maha Kuasa dalam dadanya atau sebagai iradat Ilahi Rabbi atas dirinya, yang tiada dapat ditimbangnya dengan ukuran akal tentang berbahagia atau tidak."

Setelah membaca keterangan Hatta di atas, komentar Hamka demikian: "Saya mengakui terus terang bahwa saya pun terlibat dalam pertengkaran soal Islam dan kebangsaan itu, terutama sebelum membaca tulisan Hatta ini. Namun setelah membaca dan merenungkan tulisannya, saya pun tertegun dan termenung, lalu mengukurnya dengan diri sendiri. Ucapan ini tidak dimasukan ke dalam arena perdebatan lagi. Bung Hatta berjuang untuk kemerdekaan. Mencintai bangsa dan tanah air bukanlah semata-mata urusan pidato dan agitasi, tetapi soal iman yang mendalam di sanubari. Apa pun yang akan dideritanya karena perjuangan ini, dia berserah dan tawakkal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Ilahi Rabbi!" 

Demikianlah komentar Buya Hamka, dan benarlah bahwa Bung Hatta memang konsisten dengan keyakinannya ketika ia ditahan oleh pemerintah Hindia Belanda di penjara Glodok (tidak lama setelah tulisannya di majalah Adil itu terbit), untuk kemudian menjalani masa yang panjang sebagai interniran di Digoel; di Banda Naira; di Sukabumi; termasuk di pulau Bangka pada zaman Revolusi Kemerdekaan. 

***

Kalau Anda sudah membaca buku ke-9 Karya Lengkap Bung Hatta yang diterbitkan oleh LP3ES, akan semakin jelas bahwa Hatta memang sosok yang tidak suka menonjolkan identitas agamanya di depan publik. Dalam tulisannya, ia membagi cara berislam seseorang menjadi dua tipe: Islam garam dan Islam gincu. 

Yang pertama adalah orang yang memilih untuk tidak menampakkan identitas keagamaannya di depan publik, melainkan melalui rasanya, alias perilakunya. Sementara yang kedua adalah mereka yang memilih untuk menampakkan identitasnya. Dalam hal ini, Hatta memilih yang pertama. 

Tak ada yang salah antara keduanya, ini bukan perkara mana yang lebih baik, bahkan Hatta menyontohkan tipe kedua diwakili oleh Mohammad Natsir --sosok yang juga sederhana dan sangat bersahaja sampai akhir hayatnya.

Iwan Mariono 

APA PENTINGNYA MEMAHAMI PROSELITISASI?

Saya baru saja mengkhatamkan buku "Berebut Iman di Tanah Sunan, Islamisasi dan Kristenisasi di Surakarta Masa Kolonial hingga Awal Reformasi". (Saya tidak menyangka ulasannya akan menjadi panjang, makanya saya buat menjadi dua bagian, agar pembaca tidak mabuk tulisan). 

Dalam buku ini, Adif Fahrizal Arifyadiputra melukiskan secara kronologis berlangsungnya kontestasi antara Islam dengan Islamisasinya (dakwah) vis a vis Kristen dengan Kristenisasinya (misi, evangelization, atau penginjilan) di Surakarta. Istilah untuk kompetisi kedua agama, yang penulis gunakan dalam bukunya ini: proselitisasi --sebuah lema yang belum masuk dalam KBBI kita.

***

Mari kita ulas secara kronologis. Sampai akhir abad ke-19, hampir tidak ada penduduk pribumi Surakarta yang memeluk agama Kristen, atau selain Islam. Sebab Surakarta termasuk daerah Vorstenlanden, yang wilayahnya berada di bawah penguasaan raja. 

Mengutip dari bukunya Kuntowijoyo, Adif menulis: "Baik sunan Surakarta maupun adipati Mangkunegaran, keduanya dipandang bukan hanya sebagai pemimpin politik tapi juga kepala agama Islam. Dalam pandangan pemerintah kolonial, memperbolehkan penyebaran Kristen di daerah kekuasaan pribumi yang penguasanya adalah pemimpin politik sekaligus kepala agama Islam hanya akan menimbulkan masalah belaka. Walaupun demikian, sunan secara pribadi sesungguhnya tidak berkeberatan dengan aktivitas zending dan tidak memusuhi agama Kristen. Hanya saja, sebagai panatagama, sunan berkeberatan jika rakyatnya memeluk agama di luar Islam." (Hlm. 29)

Jadi, memang ada larangan dari pemerintah kolonial untuk perkabaran injil di Surakarta. Bahkan permohonan izin untuk pendirian rumah sakit zending pada 1891 juga ditolak oleh pemerintah. Namun demikian, lewat kebaktian keluarga, seorang dokter zending, dr. J.G. Scheurer, berhasil menarik minat beberapa orang Jawa yang diundangnya untuk menjadi Kristen. Akibat tindakannya ini, sang dokter terpaksa harus meninggalkan Surakarta. (Hlm. 28-29).

Adanya larangan tidak menghalangi usaha perkabaran Injil di Surakarta. Larangan tersebut baru dicabut pada 1910, setahun setelah A.W.F Idenburg dilantik menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, menggantikan JB. Van Heutsz. Sejak saat itu, aktivitas zending dimulai dengan penyediaan layanan pendidikan berupa sekolah.

Beberapa tahun kemudian, persaingan semakin kompetitif. Katolik mulai masuk ke Surakarta pada 1918 ditandai dengan berdirinya Gereja Santo Antonius di Purbayan. Tiga tahun kemudian, HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Katolik berdiri. Pada tahun yang sama HIS Kanisius didirikan di Sosronegaran. Nama sekolah yang terkahir ini di tahun berikutnya semakin intensif membuka cabang baru di berbagai penjuru Surakarta. Inilah sekolah yang mendapat subsidi dan kemudahan dari pemerintah kolonial yang mana pada mulanya netral agama. Banyak di antara kaum priyayi yang menyekolahkan anaknya ke sekolah Katolik, tak terkecuali putri Sunan Paku Buwono X. (Hlm. 31-33) 

Hanya dalam waktu delapan tahun sejak larangan dicabut, total pemeluk Kristen di Solo maju pesat. Pada 1918 warga jemaat Gereformeerd di Solo sudah berjumlah 228 orang yang meliputi etnis Jawa dan Tionghoa. (Hlm.31)

Sampai di sini sebenarnya bisa dimengerti --yang dalam buku ini juga ada bab khusus yang membahasnya-- latar belakang berdirinya Muhammadiyah (1912) yang  tujuan utamanya adalah untuk membendung arus (meminjam isitilah dari judul buku Alwi Shihab) Kristenisasi secara elegan, yakni dengan mendirikan layanan yang sama berbasis Islam. 

***

Zaman kolonialisme Jepang, meskipun hanya berlangsung singkat, adalah masa yang paling sulit buat umat Kristen di Indonesia, karena pada masa ini banyak pekerja zending yang berkebangsaan Belanda ditahan oleh Jepang. Mereka yang dianggap kaki tangan Belanda meliputi orang-orang Indo, Cina, dan Kristen pribumi. (Hlm. 35-36).

Sementara itu, hambatan Islamisasi tidak sesulit yang dialami oleh pihak Kristen. Bahkan beberapa tokoh Islam --Seperti Buya Hamka dan Wahid Hasyim-- dapat memanfaatkan kesempatan dari Jepang untuk mengorganisir umat Islam. Sayangnya kronik tersebut tidak dielaborasi dalam buku ini. 

***

Di masa Revolusi, sekolah-sekolah Kanisius, meskipun dalam kondisi sulit, tetap mampu berkembang dengan baik. Sekolah-sekolah ini dapat menunjukkan efektivitasnya sebagai sarana perkabaran Injil. Bahkan terjadi peningkatan jumlah murid dari 9.726 orang (163 dibaptis) pada 1945 menjadi 12.349 (675 dibaptis) orang pada 1950. Pada masa kemerdekaan ini pula ada seorang tentara yang menjadi Katolik dan belakangan ditahbiskan sebagai pahlawan Solo, yaitu Letkol Ignatius Slamet Riyadi. (Hlm. 37).

Slamet Riyadi diabadikan menjadi nama jalan utama di kota Solo. Di ujung jalan protokol tersebut terdapat patung besarnya sambil memegang senjata yang diarahkan ke langit. Ia dikenang karena berhasil mengusir NICA dan tentara Belanda serta berhasil menduduki kota Solo selama empat hari dari tanggal 7-10 Agustus 1949. 

***

Perang kemerdekaan berakhir. Babak baru dekolonisasi Indonesia dimulai. Banyak petugas misi dari Belanda yang memutuskan menjadi warga negara Indonesia. Kesempatan itu dibuka pada tahun 1949-1951. 

Namun demikian, situasi politik paska kolonial yang masih diwarnai sentimen anti-Belanda mencegah banyak sekali tenaga misi Katolik (90% adalah orang Belanda) untuk berkarya di Indonesia. Pada 1952, Kementrian Agama menolak menolak memberikan rekomendasi bagi 500 orang misionaris Katolik berkebangsaan Belanda. Malah pada 1 Agustus 1959, pemerintah melarang pengajar dari luar negeri mengajar di sekolah-sekolah Indonesia. (Hlm. 38)

*** 

Ada kejutan besar pada masa Demokrasi Terpimpin (1960-1965). Surakarta, yang menjadi lahan subur tempat proselitisasi itu, ternyata sekaligus menjadi kota dengan basis massa PKI terbesar tiada tandingnya. 

Berikut laporan hasil Pemilu 1955 di Surakarta yang dikumpulkan oleh Mulyadi dan Soedarmono:  NU hanya memperoleh 1.998 suara (1,61%) dari total jumlah suara sah; Masyumi 13.733 suara (11, 1%); PNI 37.144 suara (30%); dan PKI 70.808 suara (57, 26%). (Hlm. 26) 

Dengan dibubarkannya Masyumi, praktis tinggal NU partai Islam saat itu yang menjadi hambatan buat PKI. Data di atas menjadi penting untuk kita ingat. Sebab paska G30S, mereka yang menjadi massa PKI dan penganut agama secara nominal (baca: abangan), menjadi sasaran empuk untuk diganyang oleh rezim yang akan berkuasa selanjutnya. 

Siapa yang menyangka, konflik antara komunitas muslim (baca: santri) versus abangan --eks PKI, atau yang sekadar dituduh PKI-- inilah yang menjadi sebab perubahan besar arus proselitisasi di masa awal Orde Baru. 

*** 

Imbas dari peristiwa Gestapu (istilah terinspirasi dari nama Gestapo yang ada di Jerman) tidak sekadar mengubah konstelasi politik, melainkan juga berdampak pada tatanan sosial-budaya (konflik horisontal antara massa pendukung PKI versus anti-PKI yang diwakili oleh kaum santri), yang kemudian mengubah arus proselitisasi. Kita fokus membahas yang terakhir. 

Rezim Orde Baru berdiri, setelah sebelumnya militer AD bekerjasama dengan komunitas santri, berhasil menumpas PKI (sampai ke akar-akarnya). Banyak kader-kader PKI yang ditangkap, tak terkecuali simpatisan, termasuk pula orang-orang tak tahu menahu perkara politik (korban tertuduh PKI). Mereka semua menjadi tahanan politik (tapol). 

Mengutip dari bukunya Pdt. Jan S Aritonang dan Karel A Steenbrink, A History of Christianity in Indonesia (2008), Adif menulis: "Di luar situasi yang genting tersebut, baik GKD (Gereja Kristen Djawa) maupun Gereja Katolik mendapat lahan terbuka luas bagi perkabaran Injil seiring dengan diperkenankannya indoktrinasi bagi para tahanan militer yang disangkakan terlibat PKI. Kesempatan bagi perkabaran Injil di Solo semakin dipermudah mengingat Pejabat Wali Kota Solo yang menggantikan Oetomo Ramelan (Wali Kota Solo yang berasal dari PKI) adalah Letkol Th. J. Soemantha yang seorang Katolik." (Hlm. 41)

Wawancara Adif (2015) dengan Pdt.  (Emeritus) Edi Trimodoroempoko menyatakan: "Di Solo aparat mendatangkan para pemuka agama --termasuk Kristen-- untuk memberikan penerangan tentang agama pada para tahanan yang dikumpulkan di Pagelaran Keraton Kasunanan." (Hlm. 41-41) 

Para tapol dari PKI atau yang di-PKI-kan ini diasumsikan sebagai orang-orang yang tidak beragama. Mereka harus kembali ke "jalan yang lurus", yaitu meninggalkan PKI, dengan cara memilih agama formal yang sudah ditetapkan dan diakui negara (Ada lima: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha).

Bisa Anda bayangkan bagaimana ketakutan psikologis massa yang dikumpulkan tersebut? Jelas ada trauma untuk memilih Islam yang diwakili oleh komunitas santri yang tidak bisa memberikan jaminan keamanan buat mereka. Maka di sinilah Kristenisasi menemukan jalan landainya.

***

Tahun 70an, setelah kondisi benar-benar stabil, barulah bermunculan data statistik. Oleh karena tidak ada catatan (termasuk dalam buku yang sedang kita bedah ini) mengenai jumlah dan persentase pemeluk Kristen tahun 60an di Surakarta, maka komparasinya adalah dengan data dua dekade sebelumnya. 

Menurut catatan Kantor Urusan Agama Kota Besar Surakarta tahun 1951, jumlah penganut Kristen (Protestan dan Katolik) di kota tersebut hanya mencakup 4% dari keseluruhan jumlah penduduk Surakarta. Dua dekade kemudian (1970) angkanya naik hampir sembilan kali lipat, yakni 17,59%, alias jumlahnya mencapai 78.991 orang. (Hlm. 128).

Namun demikian, sejauh mana gelombang konversi massal paska-1965 terjadi sebagai hasil perkabaran Injil sulit untuk dipastikan. Konversi yang terjadi tidak bisa dilihat sebagai prakarsa gereja semata, sebab ada pula peran negara demi meneguhkan kepentingan politiknya. 

***

Kita memasuki era 80-90an. Terjadinya konversi juga tentu ikut mempengaruhi dinamika perimbangan jumlah penduduk Islam dan Kristen di Surakarta. Pada 1980 jumlah penduduk Kristen (Katolik & Protestan) naik menjadi 112.257 orang. Sebaliknya pada tahun yang sama jumlah Muslim naik menjadi 336.084 orang, yang pada dekade sebelumnya  (1970) sebanyak 286.928 jiwa. (Hlm.144). 

Data di atas berkorelasi dengan meningkatnya jumlah rumah ibadah. Jika pada 1969 jumlah masjid hanya 71 (sempat menurun jadi 69 pada 1970), pada 1982 meningkat menjadi 152. Sementara gereja di tahun yang sama semula hanya 29 naik menjadi 84 --peningkatan yang sangat signifikan. (Hlm.147). 

Tahun 80-90an adalah dekade puncak kekuasaan Orde Baru. Pembangunan --sebagai tanda modernitas-- semakin intensif. Dan salah satu penanda modernitas adalah sekolah. 

Pembangunan sekolah untuk memberantas buta huruf menjadi hal yang sangat penting. Di samping pemerintah, lembaga-lembaga swasta yang bercorak agama juga turut berperan dalam menyediakan layanan pendidikan. Di lapangan ini, tak ketinggalan baik Islam maupun Kristen berlomba untuk membuka institusi pendidikan formal. 

Yang menarik di era ini adalah saat terjadi arus balik proselitisasi, yakni mereka yang kembali memeluk Islam setelah sempat ikut konversi menjadi Kristen. Catatan dari Kuntowijoyo, mereka meninggalkan Islam disebabkan oleh dendam politik, bukan karena kerelaan spiritual. Tetapi, karena tema ini tidak dielaborasi dalam buku ini, makanya tidak perlu kita bahas. Saya merekomendasikan buku berjudul "Misi Kristen versus Dakwah Islam di Indonesia" karya Arif Wibowo --sebagai pelengkap buku yang sedang kita ulas ini. 

***

Orde Baru tumbang, berganti Reformasi. Lagi-lagi kita menghadapi krisis multidimensi. Konflik horisontal terjadi di banyak tempat, seperti di Poso, Sampit, dan Ambon. Apa yang terjadi di Ambon tak dipungkiri turut berdampak pula terhadap kerukunan beragama yang terjadi berbagai daerah, tak terkecuali di Solo. Di buku ini dibahas lengkap ekses-ekses akibat konflik tersebut. Saya tidak akan mengulas semuanya, silakan baca sendiri bukunya. 

Catatan menarik dari Adif: "Berakhirnya era Orde Baru membuka ruang bagi menguatnya sentimen-sentimen agama yang sebelumnya hanya dipendam di bawah permukaan, dan kemunculan kelompok-kelompok agama yang membawakan identitas keberagamaannya dengan lebih tegas. Kelompok-kelompok tersebut memang bukan kelompok yang dominan tapi kelahiran mereka sedikit-banyak adalah hasil dari proses pengagamaan pada masa Orde Baru. Di sinilah letak paradoksnya, yakni di satu sisi pemerintah Orde Baru menabukan penonjolan identitas primordial, namun di sisi lain proses pengagamaan yang mereka dukung sesungguhnya ikut menaburkan benih bagi munculnya kelompok-kelompok tersebut. Kemunculan mereka pada akhirnya hanya soal momentum belaka, dan momentum itu datang ketika." (Hlm.194-195). 

*** 

Demikianlah ulasan untuk tesis yang kemudian dibukukan ini, ada tiga kutipan dari Adif yang perlu saya tulis ulang di sini:

"Perlu pula diingat bahwa pesatnya pertumbuhan rumah ibadah secara kuantitatif belum tentu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas keberagaman --suatu hal yang sulit diukur. Namun, yang jelas, data-data kuantitatif di atas bisa menjadi indikasi bahwa proses pengagamaan berlangsung dengan sangat intensif di Surakarta." (Hlm. 150).

"Ditinjau dari dampaknya, sudah tentu Islamisasi maupun Kristenisasi mendorong tumbuhnya identitas keberagamaan dalam masyarakat Indonesia. Adalah sebuah hal yang menarik bahwa pada masa Orde Baru pemerintah RI satu sisi menabukan penonjolan identitas keberagaman, namun di sisi lain pemerintah secara tidak langsung ikut berperan dalam menumbuhkan identitas keberagamaan." (Hlm.5).

"Dalam kasus Surakarta, di balik hubungan yang harmonis di permukaan, ternyata di bawah berlangsung pula persaingan dan kecurigaan. Memang persaingan itu tidak meletup menjadi konflik terbuka. Ketegangan diam-diam antara komunitas Muslim dan Kristen juga tetap diimbangi upaya membangun toleransi dan kerja sama. Akan tetapi, runtuhnya rezim Orde Baru membuka ruang bagi munculnya kelompok dan tindakan yang sedikit-banyak menggoyahkan harmoni hubungan antar komunitas." (Hlm. 139).

*** 

Terakhir, saya ingin menutup uraian ini dengan kembali ke pertanyaan yang menjadi judul ulasan saya. Apa pentingnya kita memahami proselitisasi? Tidak lain tidak bukan adalah untuk membangun sikap moderat dan menumbuhkan kebijaksanaan. 

Segala bentuk konflik antar komunitas agama tidak bisa dipandang sekadar dari kacamata: mayoritas menindas minoritas. Tak bisa kita merasa diri paling toleran kalau akar permasalahnya kita tidak paham. 

Proselitisasi juga punya tata kramanya sendiri.[]

Iwan Mariono 

CITA-CITA MENJADI YOUTUBER WARGANET INDONESIA (sebuah renungan)

Fenomena #FBpro akhir-akhir ini meningkat. Saya amati itu dari banyaknya akun dalam daftar pertemanan yang dahulu "silent reader", kini setiap hari menjadi intens membuat unggahan. Fenomena sejenis ini tentu ada pula di platform lain seperti X, Instagram, dan Tiktok (yang terakhir saya tidak mengikuti). 


Saya jadi teringat infografik penelitian terkait cita-cita mayoritas generasi muda di negara-negara di Asia Tenggara, yang beredar beberapa bulan ini di linimasa (bagi yang belum tahu silakan telusuri sendiri di Google). 

Guru adalah profesi yang paling diminati di Malaysia dan Brunei Darussalam. Menjadi penulis untuk Singapore, dan menjadi dokter untuk Timor Leste. Ada pun impian pertama generasi muda Indonesia adalah menjadi youtuber. Tidak secara harfiah, tentu maksudnya adalah menjadi konten kreator (tanpa harus melalui platform YouTube). 

Target utama jelas berharap konten mereka ditonton oleh sebanyak mungkin warganet, selain berharap jumlah pengikut yang meningkat. Bagi selebritis yang sudah terkenal sejak sebelum era media sosial, mudah saja menambah followers. Sementara yang bukan figur publik, mereka harus berjuang. Konon sampai ada grup khusus sesama pejuang konten ini. Ada bentuk solidaritas yang ditunjukkan, adalah dengan saling berbagi bintang. 

Sampai kapan fenomena ini akan bertahan? Belum ada jawaban yang pasti. Yang sudah pasti, semakin hari kita akan semakin kebanjiran konten (entah yang murni hasil kreasi, atau sebaliknya, plagiasi). Oleh sebab target utama adalah kuantitas, kita tidak bisa berharap banyak akan lahir konten yang benar-benar berkualitas. 

Tantangan kita sebagai pengguna media sosial ke depan adalah, bagaimana memilih unggahan yang positif dan edukatif. Sebab kecenderungan konten yang kita buat atau sebaliknya kita tonton akan membentuk algoritma. Pada gilirannya, algoritma inilah yang sedikit banyak mempengaruhi atau membentuk cara kita berpikir dan memandang realitas.

Iwan Mariono

MENGENAL KESUFIAN IBNU TAIMIYYAH

Mendarasnya pelan-pelan dan paralel dengan judul lain, akhirnya saya khatamkan juga buku ini. 

Mungkin masih banyak yang mengira kalau Ibn Taimiyyah adalah sosok yang anti-tasawuf, buku ini membuktikan sebaliknya, melalui pembacaan penulisnya terhadap sumber primer, maupun sekunder --melalui karya peneliti-peneliti terdahulu. 

Di bagian epilog, dengan tegas DR. Hamdan Maghribi menulis: "Dalam membahas tema-tema pokok tasawuf, Ibn Taimiyyah tidak berhenti pada al-hadm (dekonstruksi), tapi sebagaimana pembahasannya dalam tema-tema keislaman lainnya, ia juga menghadirkan al-bina (rekonstruksi). Ibn Taimiyyah membongkar pemikiran tasawuf yang menurutnya bersebrangan dengan agama, namun juga meletakkan pondasi kokoh dalam bertasawuf yang berkelindan dengan Al-Qur'an, sunnah, dan salaf al-salih."

Ibn Taimiyyah tidak menulis sebuah kritik terhadap para Sufi terdahulu, sebelum ia membaca karya-karya mereka. Ibn Taimiyyah juga tidak taklid buta, misal hanya bermodal mengutip pendapat Ibnul Jauzi (sebagai pendahulunya) yang terkenal keras dalam melancarkan serangannya terhadap kelompok-kelompok tasawuf.

Berkat pembacaan secara saksama, lahirlah kebijaksanaan dalam menulis syarahan-nya. Tidak sekadar memberi kritik terhadap hal-hal yang dianggapnya menyimpang, Ibn Taimiyyah tak enggan untuk turut memberi apresiasi terhadap sosok yang sedang dikritisi. Sebuah sikap objektif yang tidak mudah. 

Hal yang tidak banyak orang tahu. Kita ambil satu contoh. Ihwal Imam al-Ghazali dan pandangan tasawufnya, Ibn Taimiyyah justru mempunyai banyak kesamaan dengannya. Mereka berdua sama-sama berusaha membersihkan pemikiran Islam dari praktik bid'ah yang dimunculkan para filsuf yang menyimpang, kejumudan sebagian fuqaha, dan ta'wil golongan Batiniyyah. Meskipun keduanya mendukung tasawuf, namun mereka tak luput memberi kritik terhadap praktif sufi yang menyalahi Al-Qur'an dan sunnah. 

Dalam mengkritik kelompok hululiyyah yang mengaku bisa menyatu dengan Allah melalui bahasa yang sulit dipahami misal, Imam Al-Ghazali memberikan komentarnya: "Ucapan mereka sama sekali tidak mendatangkan faedah, hanya membuat hati, akal, dan pikiran kebingungan." Ibn Taimiyyah mendukung pandangan ini. (Hlm. 100). 
 
Perbedaan di antaranya keduanya sesungguhnya masih bisa didamaikan. Misal ketika Al-Ghazali mengatakan bahwa kenikmatan dan kebahagiaan akan tercapai bila kita telah mengenal Allah (ma'rifatullah). Sementara Ibn Taimiyyah menganggap bahwa puncak kebahagiaan dicapai dengan beribadah hanya untuk dan kepada Allah (tanpa level ma'rifah). 

Ada pun yang ditentang oleh Ibn Taimiyyah dari teori Al-Ghazali adalah perkara wilayah. Al-Ghazali menganggap bahwa wahyu yang diturunkan kepada para nabi derajatnya sama dengan ilham yang dianugerahkan kepada wali, demikian pula ilmu para nabi dan para wali. Sementara bagi Ibn Taimiyyah, setinggi apa pun maqam dan ilmu para wali tak bisa mengungguli para nabi, sebagaimana karamah tidak akan pernah melebihi mukjizat.

Pertentangan ini pun, bila kita memahami bahwa sesungguhnya nabi itu juga adalah sekaligus seorang wali (di luar statusnya sebagai nabi), maka kedua perbedaan ini bisa saling rekonsiliasi.

Namun demikian, perbedaan di atas pada akhirnya menjadi dasar perbedaan rancang bangun atas tasawuf salafi yang diwakili oleh Ibn Taimiyyah dengan tasawuf sunni yang diwakili oleh Al-Ghazali. 

Yang perlu ditegaskan di sini yang menjadi sebab perbedaan paling mendasar antara tasawuf salafi dan tasawuf sunni adalah pada takwil. Salafi mengingkari takwil sedangkan sunni masih menggunakannya. Sebab pengingkaran ini menyebabkan tasawuf salafi mendapat label sebagai kelompok mujassimah. 

Secara epistemologi Ibn Taimiyyah selalu mendahulukan naql daripada aql. Hal yang selalu ditegaskan berulang kali dalam buku ini adalah bahwa ia selalu mendahulukan Al-Qur'an, sunnah dan pendapat para salafus salih. Tidak mengikuti figur ketokohan di luar itu. Menurutnya, sumber dasar syariat adalah Al-Qur'an dan tafsir Rasulullah atasnya (sunnah), sedangkan para sahabat (salafus salih) adalah orang yang mempelajari tafsir Al-Qur'an langsung dari nabi. 

Ibn Taimiyyah tidak mengingkari penggunaan akal, namun yang paling penting menurutnya: "orang yang mencari akidah hanya dengan menggunakan akal semata akan tersesat, karena akal semata tak akan mampu menemukan hakikat agama". (Hlm. 240) 

Sebenernya masih banyak tokoh lain yang dibahas dalam buku ini, terkait Ibn Taimiyyah dan pertentangan pemikirannya dengan tokoh-tokoh sufi (baik tasawuf sunni atau pun falsafi) seperti Abdul Qadir al-Jilani, Abu Yazid al-Bustami, Ibn Arabi, dan lain-lain. Namun saya tidak akan memaparkan semuanya di sini. Silakan Anda baca langsung bukunya. 

Sengaja saya pilih hanya untuk memaparkan Ibn Taimiyyah vis a vis dengan Imam Al-Ghazali, sekadar untuk membuka wawasan buat khalayak. Sebab di zaman kiwari, justru pengikut masing-masing dari kedua sosok ulama ini yang paling banyak berseteru dan sulit untuk didamaikan. 

Menarik untuk menyimak pendapat Yahya Michot, seorang Muslim Belgia yang merupakan profesor studi Islam (yang juga dikutip dalam buku ini): "Hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa informasi dan pemahaman Ibn Taimiyyah tentang Al-Ghazali jauh lebih baik daripada Ibn Rusyid, penulis "Tahafut al-Tahafut"* yang isinya mengoreksi Tahafut-nya Al-Ghazali, juga Ibn Tufail. Sayangnya, Ibn Taimiyyah jarang dipertimbangkan dalam kajian tentang Al-Ghazali (Ghazalian Studies) sehingga uraian ini diharapkan akan memberi kontribusi untuk meluruskan bias ini." (Tanda * saya cantumkan untuk mengoreksi yang tertulis di buku ini: Tahafut al-Falasifah). (Hlm.99). 

Terima kasih atas sharing ilmunya melalui buku ini, DR. Hamdan Maghribi. Saya sepakat dengan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi yang menyatakan dalam kata pengantarnya bahwa buku ini: tidak dimaksudkan untuk membela Ibn Taimiyyah sebagai penganut tasawuf, namun tidak juga mengelompokkannya sebagai anti-tasawuf. 

Saya juga membenarkan penyataan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi: "Hasil kajian buku ini mungkin akan ditentang pendukung Ibn Taimiyyah yang anti-tasawuf dan pengamal tarekat yang anti-Ibn Taimiyyah. Namun para cendekiawan tidak perlu mengikuti sentimen kedua kelompok ini, apalagi jika hanya mendasarkan pada fanatisme tanpa argumentasi ilmiah. Kritik maupun dukungan terhadap pandangan ulama harus berdasarkan dan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Seorang ulama tidak mungkin sempurna ilmunya, atau sebaliknya, seorang ulama juga tidak mungkin ditolak semua pemikirannya. Di sinilah tugas ilmuwan adalah untuk merekonstruksi pemikiran ulama pada masa lalu untuk bisa dipersembahkan kepada umat masa sekarang." (Hlm. 9) 

Selamat membaca.

Iwan Mariono

HERRI PRAS, FENOMENA KONTEN REAKSI, DAN PENTINGNYA PRINSIP KEBIJAKSANAAN DAKWAH ISLAM

Mungkin banyak warganet yang tidak sadar, bahwa keributan kita di media sosial terkait polemik salafi vis a vis non-salafi itu, banyak diproduksi dan sebagian difabrikasi oleh satu akun YouTube dengan jutaan subscriber bernama: Herri Pras. 

Akun ini menjadi semacam mahkamah penghakiman terhadap aktivitas dakwah yang berbeda afiliasi. Paling heboh tentu saja reaksinya terhadap terhadap Ustadz Adi Hidayat (bukan hanya sekali). Termasuk menyerang orang-orang yang membela beliau. Yang terbaru adalah reaksinya Ustadz Felix Siauw. Hampir semua kontennya berisi reaksi, bahkan kosakata Fir'aun yang pernah dilontarkan Cak Nun untuk Jokowi, juga tidak lepas dari reaksinya. 

Yang pula sempat viral (dalam makna positif) adalah reaksinya terhadap ceramah Kiyai Marzuqi.
https://youtu.be/VYR0ciSCfXY?si=46Cc5VWhkKOLuoEB
Judul videonya (sangat bombastis dan berpotensi memecah belah kerukunan antar jama'ah dan harakahnya): Ceramah Kyai Marzuki Mustamar Ini Akan Buat Seluruh Aswaja Kelonjotan.?! (judul yang justru tidak akan pernah kita temui dalam seluruh video di akun resmi ustadz salafi yang menjadi guru dari Herri Pras sendiri). 

Arkian, dalam video klarifikasinya, Kiyai Marzuqi justru menganggap reaksi video itu sebagai framing, dan beliau tetap sebagai seorang warga NU. 
https://youtu.be/LzS-eTW_uRs?si=lQLfAjY2CiWE3dwU

Kita tahu bahwa Herri Pras adalah seorang pesilat asal Jember yang hijrah menjadi seorang jamaah dakwah sunnah. Melihat akunnya yang hampir setiap hari rilis video baru, kita bisa menebak bahwa aktivitasnya memang seorang kreator digital (Dalam 5 tahun video di akunnya sudah mencapai lebih dari 1300). 

Tiga hari yang lalu rilis video di akun YouTube Ustadz Khalid Basalamah
https://youtu.be/yPxXTrhOqFU?si=CA3UV9i1tvY3lpk1
Dari wawancara beliau dengan Herri Pras kita jadi tahu bahwa ia termasuk generasi milenial (usianya 32 tahun), seorang kreator digital independen yang tidak menggunakan tim dalam kreasi videonya, dan baru dua tahun ini mengenal dakwah sunnah (2022). Dalam waktu sesingkat itu, ia sudah mendapat julukan sebagai pesilat anti-khurafat dari Ustadz Khalid. Julukan yang baik tentunya, semoga ia bisa istiqomah. Dalam riwayat hijrah semuda itu, kita tidak bisa berharap banyak bahwa ia akan menganut prinsip kebijaksanaan dakwah Islam (meminjam kalimat dari judul buku Buya Hamka). 

Di akhir wawancara, Ustadz Khalid Basalamah memberikan masukan untuk dia agar dalam menggunakan media sosial lebih hati-hati dan tidak melampui batas, seperti berbicara di luar kapasitas ilmunya. 

Kalau Anda menonton wawancara itu sampai selesai, terlihat satu ketidakjujuran dia dalam membangun argumen melalui konten reaksinya. Seperti ketika ia mengatakan bahwa sebelum memberikan komentar ia menonton video aslinya dulu secara full, baru ditarik benang merahnya. Padahal dalam kasus Ustadz Adi Hidayat, yang terjadi tidaklah demikian. Untuk hal ini, Fuadbakh sudah membuat konten kontra narasi:
https://youtu.be/5IrRi7LDHwU?si=a56kJyfsUvDuVPqP

Tentu bukan hanya Harri Pras yang punya fenotipe konten seperti ini, dari kelompok atau harakah manapun sosok-sosok seperti ia selalu ada. Hanya saja saya memang sengaja menjadikan ia sebagai role model untuk tulisan ini. 

Saya menulis panjang lebar semua ini bukan untuk mengajak Anda membenci seorang Herri Pras, yang baru saja hijrah. Melainkan ingin menegaskan apa yang sudah saya tulis beberapa jam yang lalu terkait penting prinsip kebijaksanaan dalam dakwah. 
https://www.facebook.com/share/p/5f9N5UqH9y2qeyA6/ 

Sebaliknya, kebijaksanaan itu juga penting buat kita sebagai objek dakwah agar tidak mudah terprovokasi oleh sebuah judul konten yang bombastis. Sebab, di zaman konten kreator menjadi subyek dari kapital, yang untung adalah mereka yang videonya viral. Sementara yang rugi adalah kita, yang tidak dapat apa-apa, kecuali justru semakin merenggangnya ukhuwah.

Iwan Mariono

REKOMENDASI BUKU TENTANG SEJARAH LAHIRNYA KORUPSI

Kalau mengikuti definisi Wertheim, maka gratifikasi itu sama dengan korupsi. Di halaman lain Mochtar Lubis menjelaskan bahwa kondisi: "di mana kesadaran rakyat banyak tentang hak mereka sebagai warga negara masih sangat tipis, nepotisme dan sistem kawan pasti akan berkembang ke tingkat yang tidak terkendalikan."


Dari mana semua sumber ini berasal? Masih dari penjelasan Mochtar Lubis yang mengutip pendapat sosiolog Max Weber, jawabannya adalah dari sistem negara yang menganut birokrasi-patrimonial (proses regenerasi yang diturunkan berdasarkan genealogis). Inilah gejala budaya yang melekat erat dengan birokrasi yang ada di Indonesia.

Ini buku lawas (1977), judulnya Etika Pegawai Negeri, tapi isinya tentang bunga rampai dari sejarah dan definisi korupsi, salah satu pelanggaran etik paling berat. Tidak hanya ditujukan untuk mereka yang berkecimpung sebagai pegawai negeri, melainkan mereka yang menjadi pejabat negara. 

Buku yang penting untuk dibaca oleh setiap pejabat dan aparatur sipil negara, sebab korupsi bisa melibatkan satu kelompok yang masing-masing pribadinya kadang tidak menyadari.

SIRAH NABAWI

Bacalah sirah nabawi untuk menanamkan rasa cinta yang dalam kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. 

Di bulan maulid ini saya ingin merekomendasikan buku sirah. Saya punya koleksi beberapa, tapi yang saya khatamkan berulang kali adalah karya Abu Bakr Siraj al-Din (nama mualaf dari seorang filsuf dan sastrawan dari Inggris, Martin Lings dari Oxford University). Tiga kali saya baca, tiga kali pula saya dibuatnya menangis. Memang beda sirah yang ditulis oleh "hanya" sejarawan dibanding sejarawan yang sekaligus sastrawan. 

Dua peristiwa yang paling saya kenang dari buku ini saat dengan epik Lings mengisahkan Nabi yang terbersit niat untuk membalas dendam kematian Hamzah (pamannya) dalam perang Uhud dengan wajahnya tercabik-cabik dan jantungnya hilang, beliau diingatkan oleh Allah melalui firman:

"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." [Q. An-Nahl: 126]

Yang kedua saat bunda Aisyah ra. menghadapi fitnah dituduh berselingkuh dengan Safwan bin al-Muattal dalam peristiwa hilangnya kalung di padang pasir. Fitnah yang membuatnya harus pulang ke rumah ayahnya (Abu Bakar). Hanya Allah yang mampu membebaskannya dari tuduhan keji itu. Dan betapa bahagianya beliau saat Nabi memberitahu Abu Bakar bahwa firman yang membebaskannya dari tuduhan itu benar-benar turun. 

Yang bikin saya menangis, adalah saat Abu Bakar meminta Aisyah ra. untuk mengucapkan terima kasih ke Nabi, namun beliau menolak dan memilih untuk hanya berterima kasih kepada Allah. Martin Lings, dengan bahasa sastra yang sangat lembut menggambarkan, betapa Nabi berusaha untuk tidak terhasut oleh desas-desus tersebut, namun sekaligus tak punya kuasa untuk membuktikannya secara nyata. 

Tanpa firman Allah, apa jadinya sejarah ummul mu'minin kita hari ini?

SALAH KAPRAH MEMAKNAI KESEDERHANAAN

Dalam hal teladan kesederhanaan, kita tidak kekurangan figur nasional. Ada banyak, tapi saya hanya akan mengambil tiga sosok yang kebetulan saya baca karya dari buah pemikirannya. Ambil contoh dari (1) Hadji Agus Salim, (2) Mohammad Hatta, dan (3) Mohammad Natsir. 


Sekelas menlu bahkan rumah masih harus ngontrak, pindah dari satu rumah ke rumah lain. Tidak minder dengan identitas pakaiannya, dan jenggotnya yang disamakan dengan kambing. "Tidak ada yang salah dengan pakaian necis, tapi pikiran kita juga harus jauh lebih necis", ungkapan yang sangat tepat bila kita sematkan ke sosoknya (1). 

Wapres yang sampai meninggal dunia tak mampu membeli sepatu bally. Setelah melepas jabatan sebagai Wapres, ia menolak tawaran banyak perusahaan untuk menjadi komisaris, baik perusahaan milik negara, swasta, bahkan asing dengan gaji sangat tinggi. Semua dilakukan demi menjaga marwahnya sebagai seorang negarawan yang telah matang dalam hal politik. Ia jelas tahu apa yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan itu, apalagi ia sendiri pernah menjadi sosok yang paling kritis terhadap kebijakan kapitalisme di era kolonial yang dianggapnya menindas rakyat kecil (2). 

Lihatlah penampilan mantan perdana menteri itu, ia tidak minder dengan pakaiannya yang lusuh, jasnya yang hasil tambalan. Bahkan Sukarno sampai prihatin melihatnya. Apa sebab yang membuat ia mampu bertahan dengan kesederhanaan? Sebanya pemikirannya yang otentik dan cemerlang. Pikiran yang cemerlang membuat kesederhanaan bukan lagi sebagai suatu pencitraan, apalagi tipuan. Maka, necis atau tak necisnya penampilan bukan lagi suatu barang yang mewah. Naik sepeda ontel ke kantor sebagai hal yang biasa dilakoninya. Selepas menjadi pejabat pun ia masih konsisten dengan penampilannya, di kemudian hari bahkan menolak hadiah mobil mewah dari Raja Arab (3). 

***

Mereka bertiga, dengan segala cerita kesederhanaan hidup yang melekat kepadanya, tidak akan mempunyai legasi apa-apa jika hanya kesederhanaan penampilan itu yang ditinggalkan. Bahkan mungkin decak kagum timbul hanya saat membaca tulisan ini, untuk kemudian dilupakan. Sama seperti membaca berita-berita yang sedang santer beredar. 

Yang membuat mereka otentik dengan kesederhanaannya, adalah pikirannya. Sayangnya pikiran ini tidak bisa hanya diceritakan oleh orang lain untuk kemudian menginspirasi banyak orang. Kita bisa benar-benar menyerap dan bahkan menghidupkan kembali keteladanan yang sudah mati itu, hanya jika kita membaca karya-karya yang ditinggalkan oleh mereka. 

Bacalah karya-karya mereka, untuk membentuk kesederhanaan yang benar-benar otentik. Seperti suluh di tengah kegelapan, menerangi namun tak sampai membuat silau yang memandang. []

SURAT UNTUK IKHWAH SALAFY

Saya tidak ikutan merundung kawan-kawan salafy yang berpandangan seperti ini (lihat foto di bawah). Sederhana saja buat saya: semua tergantung pandangan hidup (worldview) masing-masing.


Dan ini pendapat saya. Suka atau tidak suka, realitas objektif yang ada di depan mata kita saat ini adalah, kita menganut sistem pemerintahan bernama demokrasi --yang usianya baru 2.5 abad (kalau Revolusi Perancis 1789 dijadikan patokannya). Perlu diketahui bahwa Revolusi Perancis itu sendiri sezaman dengan gencarnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menegakkan pembaharuan di tanah Hejaz hingga kemudian lahir dan populer istilah Manhaj Salaf. Saya tidak ingin menggunakan diksi Wahhabi yang punya makna peyoratif buat kawan-kawan Salafy. 

Kembali ke demokrasi. Demokrasi bukan sekadar pemilihan elektif. Inti dari demokrasi adalah percakapan. Kalau dalam Islam dikenal sebagai syura, walaupun ada banyak kalangan yang menolak menyamakan kedua istilah ini. 

Dalam demokrasi, Sodara sebagai warga sipil punya hak untuk bersuara mengutarakan pendapat, termasuk ketika Sodara harus turun ke jalan untuk demonstrasi. Demonstrasi legal dalam sistem demokrasi. Yang ilegal itu anarki. Kalau kemudian ada demonstrasi yang berakhir anarki, tidak lantas menggugurkan legalitasnya. 

Perlu diketahui, bahkan di zaman monarki, demonstrasi itu juga dilegalkan. Alun-alun Jogja menjadi saksi di zaman Kerajaan Mataram di mana tempat itu, selain dipakai untuk latihan perang, ia juga digunakan sebagai tempat berdemontrasi, yang dikenal dengan istilah: pepe (berjemur di bawah terik matahari). Untuk lebih jelasnya, silakan cari tahu sendiri, bagaimana mekanisme pepe itu dijalankan. Saya pribadi melihatnya serupa dengan demonstrasi di era modern. Hanya melalui demonstrasi masyarakat sipil secara kolektif bisa mengajukan protes ketika salah satu pilar demokrasi yang ada (dalam hal ini DPR), yang justru seharusnya memperjuangkan pendapat rakyat yang diwakilinya, tidak bekerja sesuai yang diharapkan. 

Ketika teknologi informasi mengalami perkembangan pesat, Sodara jadi punya wadah baru untuk mengutarakan pendapat, salah satunya adalah media sosial. Terkait tuntutan bahasa sopan santun yang harus digunakan, tentu itu tidak lepas dari tingkat pendidikan dan ekspresi kebudayaan seseorang. 

Kezaliman sudah jelas di depan mata. Apa yang salah dari mengingatkan pemerintah, dengan fasilitas yang ada? Kalau mau menggunakan terminologi Nabi, bukankah mengingkari kezaliman (sekadar) dengan hati, justru menunjukkan selemah-lemahnya iman? 

Tapi tenang saja, saya tidak bermaksud menggunakan dalil itu untuk menyerang kawan-kawan yang berbeda pendapat. Yang ingin saya tegaskan hanyalah, janganlah Sodara mereduksi perjuangan kawan Sodara sendiri yang mencoba mengingatkan kezaliman penguasa dengan lisan dan tangannya --kecuali Sodara tidak melihatnya sebagai sebuah kezaliman. 

Memilih mendo'akan pemimpin yang zalim (agar sadar) itu tentu saja baik. Dan saya menaruh harapan besar semoga ada di antara ikhwah Salafy yang sudah mengingatkan pemerintah yang zalim itu secara diam-diam --tanpa harus menyindir saudranya sendiri yang sedang berjuang dengan caranya. 

SYAIR “LAUTAN JILBAB” DAN PEMBERONTAKAN TERHADAP BUDAYA MAPAN

SYAIR “LAUTAN JILBAB” DAN PEMBERONTAKAN TERHADAP BUDAYA MAPAN

Iwan Mariono

Syair Lautan Jilbab yang digubah pada 1987 adalah semacam mimpi Cak Nun muda (baby boomers generation) untuk masa depan muslimah Indonesia. Syair itu ditulis ketika beliau masih berusia 33 menjelang 34 tahun. Generasi (X) muda yang lahir di era 60-70an pasti merasakan zaman di mana penggunaan jilbab di ruang publik mengalami represi. Dua tahun kemudian (1989) syair itu dibukukan, dan dua tahun kemudian (1991) peraturan pelarangan penggunaan jilbab di sekolah negeri dihapuskan. 

Setelah dihapuskan, tidak otomatis siswi sekolah berbondong-bondong mengenakan jilbab. Bahkan saya sebagai generasi milenial (Gen Y) yang lahir di era 80-90an, sampai lulus SD, tidak melihat satu pun siswi di sekolah saya yang memakai jilbab. Baru ketika saya masuk SMA mulai banyak yang mengenakan jilbab, itu pun masih lebih banyak yang tidak. Bahkan di kelas saya waktu itu, yang saya ingat, hanya ada dua siswi yang mengenakannya. 

Bandingkan dengan hari-hari ini (tiga dekade sejak larangan tersebut dicabut), betapa keadaan berbalik. Hanya segelintir muslimah yang tidak mengenakan jilbab. Begitu pula muslimah yang menjadi pegawai negeri, sangat berkebalikan dengan generasi yang hidup di era 80-90an. Namun demikian, tiga puluh tahun belumlah bisa dikatakan lama untuk membentuk budaya mapan bila dibandingkan ratusan tahun penduduk muslimah (di negeri ini) asing dengan selembar kain itu. 

Maka hari ini, bisa kita katakan dengan tegas bahwa penggunaan jilbab di ruang publik bagi seorang muslimah di Indonesia adalah bagian dari budaya mapan. Bila kondisi budaya yang tampak mapan itu tiba-tiba mengalami perubahan, kita menyebutnya sebagai gegar budaya (shock culture). 

Kembali ke syair Lautan Jilbab. Jika penggunaan jilbab bagi seorang muslimah saat ini sudah menjadi budaya mapan, saya tidak mengatakan itu sebagai jasa tunggal Cak Nun, tapi sudah jelas beliau ambil peran dalam gerakan pencerahan. Bila kemudian hari-hari ini, secara insinuasi, kita dapati ada tokoh (muslim!) yang tidak memperkenankan pemakaian jilbab, sekalipun hanya sebatas di ruang (publik) upacara bendera, sebenarnya ia termasuk kategori aktor yang ikut terlibat dalam apa yang kita sebut sebagai: pemberontokan-terhadap-budaya-mapan. 

Demikianlah yang terjadi, disadari atau tidak oleh yang bersangkutan. 

NB: Bagi yang ingin mendengarkan syair-nya langsung, bisa buka di kanal YouTube CakNun(dot)com dengan kata kunci Puisi Lautan Jilbab.

SEKOLAH PEMIKIRAN BUNG HATTA

SEKOLAH PEMIKIRAN BUNG HATTA (Angkatan #1) 


Iwan Mariono

Agar tidak hilang ditelan zaman, saya ingin membuat semacam kronik, terkait acara yang sudah digelar di Universitas Paramadina kemarin. 

Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Hatta bersama LP3ES. Materinya diambil dari (jilid I) Karya Lengkap Bung Hatta yang jumlahnya 10 jilid, dengan masing-masing ketebelan bervariasi 300-600an halaman, yang sudah dikelompokkan berdasarkan tema. 

Ini adalah proyek panjang (1995- sekarang) yang melibatkan banyak pakar. Bahkan jilid pertama, yang dijadikan bahan pertama kuliah kemarin, butuh waktu sekitar tiga tahun untuk menyelesaikannya. Hari ini, setelah 29 tahun berlalu, yang berhasil dicetak masih sampai jilid ke-9. Sementara jilid ke-10 baru rencana terbit tahun depan. 

Begitu lamanya rentang waktu, sampai tiga pakar yang terlibat dalam penyusunan tidak sempat melihat hasil lengkapnya, beliau-beliau yang sudah meninggal dunia: Prof. Sjofjan Asnawi, Prof. Deliar Noer, dan Prof. Dawam Rahardjo. Kita berdo'a semoga Allah berikan mereka tempat yang terbaik di sisi-NYA. 

*** 

Mungkin karena beberapa kali belanja buku langsung ke penerbitnya, admin LP3ES terlebih dahulu mengabari saya melalui pesan WA. Poster acaranya dibuat sejak akhir bulan Juni bersamaan dengan saya mendapat kabar tersebut. Jadilah saya sebagai pendaftar pertama. 

Di luar peserta daring, kelas pemikiran (angkatan pertama) ini awalnya hanya membuka 25 kursi untuk kelas luring. Karena peminat lebih dari 50 orang, akhirnya acara harus dipindah ke tempat yang lebih besar dan luas, yang sedianya hendak diselenggarakan di kantor LP3ES yang terletak di Depok.

Peserta dihadiri oleh berbagai kalangan dan profesi. Ada guru, jurnalis, pustakawan, peneliti, dosen, aktivis, mahasiswa, dan lain-lain. Dua nama di awal adalah yang duduk di sebalah kiri dan kanan saya. Nama yang terakhir cukup membanggakan, mereka termasuk generasi Gen Z, namun punya pertanyaan yang menurut saya berbobot saat sesi tanya jawab. 

Acara dimulai dengan sambutan-sambutan dari beberapa kalangan. Yang berhasil saya catat dan menurut saya layak untuk dibagikan ke publik (yang belum mengetahui) adalah apa yang disampaikan oleh Ibu Meutia sebagai putri sulung Bung Hatta. Dalam sambutan itu beliau menegaskan bahwa sang ayah pernah membuat surat wasiat, beliau menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP). Sebaliknya beliau ingin dimakankan di taman makam biasa. "Alasan beliau supaya lebih dekat dengan rakyat yang selalu ada di hatinya," kenang Ibu Meutia. 

Sambutan dari Ibu Gemala Hatta yang saya catat adalah terkait maklumat yang sering salah dikutip oleh beberapa kalangan. Selama menjabat wakil presiden, Bung Hatta hanya dua kali membuat maklumat. Pertama: Maklumat X, banyak yang salah, mengira itu adalah maklumat untuk pembentukan partai-partai. Padahal yang dimaksud maklumat tersebut adalah hak untuk menyusun GBHN, karena waktu itu belum ada DPR dan MPR. Adapun terkait pembentukan partai-partai, itu ada di maklumat kedua: Maklumat Wakil Presiden. 

***

Sambutan-sambutan selesai. Acara inti dibuka oleh Prof. Emil Salim sebagai keynote speaker. Beliau hanya berbicara sekitar 15 menit, namun pembukaan dari beliau ini yang paling meninggalkan bekas di hati. 

Mata saya ikut berkaca saat Prof. Emil menangis demi mengenang Bung Hatta yang setelah wafatnya meninggalkan dompet berisi lipatan kertas iklan (advertisement) sepatu Bally made in Swiss. Sepatu yang sangat diimpikannya tapi tidak sanggup membelinya sampai meninggal dunia. 

"Tidak mungkin ada pemimpin (sejati) yang ia semakin kaya sementara rakyatnya semakin miskin," tegas Prof. Emil. 

Materi I dibawakan oleh Pak Sukidi (Doktor alumnus Harvard), yang dalam banyak poin mirip dengan apa yang dibahas pula oleh Prof. Mahfud MD (yang menjadi pembicara di sesi terakhir). 

Yang saya catat dari materi yang disampaikan Pak Sukidi adalah, bahwa Bung Hatta menginginkan negara yang berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan. Sebab bila yang terakhir ini dijadikan landasan bernegara, yang terjadi adalah hukum dijadikan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan-lawannya (mengutip pendapat Steven Levitski, professor bidang politik di Universitas Harvard). "Inilah yang terjadi saat ini," tukas beliau. Sungguh miris. Saya pribadi sepakat dengan kesimpulan ini. Inilah yang menjadi realitas kehidupan politik kita hari ini.

Materi II dibawakan oleh Prof. Anhar Gonggong. Beliau salah satu tokoh sejarahwan idola saya. Agak tertegun saat moderator bertanya ke peserta, ternyata masih ada yang belum mengenal beliau. Tapi tidak jadi masalah, kita maklum sebab memang yang hadir tidak semua berlatar belakang sejarah.

Pembahasan Prof. Anhar lebih banyak mengenai aspek sejarah berdirinya PNI-Baru yang dipimpin oleh Bung Hatta. Dalam analisa beliau, berbeda dengan Partindo yang dibubarkan oleh Pemerintah Hindia, Belanda tidak berani membubarkan partai ini karena khawatir pihak komunis akan masuk bila terjadi kekosongan. Namun demikian, berbeda pula dengan partai lain yang berbasis massa, partai berbasis pendidikan dan pengkaderan yang didirikan oleh Hatta justru dianggap yang paling berbahaya oleh Belanda. 

Kenapa zaman itu menjadi zaman keemasan. Sebab, kata Prof. Anhar, "Banyak di antara pendiri bangsa kita yang terdidik dan tercerahkan." Terdidik-tercerahkan, itulah dua kata inti dari beliau. Dua kosa kata yang tidak atau jarang kita temukan pada para pemimpin kiwari. Tidak heran kalau dalam sesi tanya jawab, yang terjadi justru sebaliknya, beliau tampak pesimis dengan jargon Indonesia Emas 2045. Namun beliau lekas pula menolak bila dikatakan ia sebagai seorang pesimis. "Saya hanya menjawab apa adanya berdasarkan analisa saya." 

Memang, jika kita melakukan pendekatan berdasarkan perspektif sejarah, alasan beliau sangat bisa kita pahami. Sebab, diksi terdidik-dan-tercerahkan itu tidaklah lahir dari ruang hampa. Para calon pemimpin itu dibesarkan dalam kultur yang sangat melek terhadap ilmu pengetahuan disertai integritas yang tinggi, terutama di dua dekade awal abad ke-20. Sementara generasi yang hidup di dua dekade awal abad ke-21 ini, apakah sudah menyamai atau bahkan melampui mereka? Saya mulai ragu. Tapi ini memang pertanyaan yang untuk dijawab sendiri-sendiri, sebagai bahan instropeksi.

Materi III (terakhir) dibawakan oleh Prof. Mahfud MD. Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, materi yang beliau sampaikan sebenarnya sama dengan yang dibawakan oleh Pak Sukidi, namun dengan gaya retorika yang lebih menarik. Tentu ini terkait kemampuan monolog beliau sudah tidak kita ragukan. Dan memang pantas beliau ditempatkan di sesi terakhir. 

Namun ada satu pembahasan penting yang tidak kita dapatkan dari dua pemateri sebelumnya. Yakni, dua sisi gelap demokrasi menurut Bung Hatta, yang kemudian dielaborasi oleh Prof. Mahfud dan dikaitkan dengan konteks atau realitas hari ini. 

Dua sisi gelap itu pertama, demokrasi bisa membunuh demokrasi. Dengan cara apa? Kartelisasi dan oligarki. Partai-partai bisa saja berkomplot (bahasa halusnya berkoalisi) untuk menjatuhkan pemimpin atau calon pemimpin sekalipun ia punya integritas yang tinggi. Puncaknya adalah lahirnya kediktatoran yang didukung oleh partai-partai yang membentuk kartel tadi. Dan termasuk para oligark menopang calon-calon tertentu yang dianggap menguntungkan mereka.

Sisi gelap kedua, demokrasi menimbulkan anarki karena kebebasan yang berlebihan (kerusuhan, pemogokan, penjarahan). Saya kira poin kedua ini nyambung dengan penanya di sesi tanya-jawab yang membuat korelasi antara demokrasi dan tingkat pendidikan seseorang. 

Prof. Mahfud kemudian memuji Bung Hatta yang sudah memprediksi sisi gelap ini dalam salah satu tulisannya sejak 1931, yang satu dekade kemudian dibuktikan oleh lahirnya Partai Nazi dibawah pimpinan Hitler. 

Demikianlah tiga materi untuk Kelas Pemikiran Bung Hatta angkatan pertama.

*** 

Ada hal-hal di luar acara formal yang menurut saya menarik juga untuk saya ceritakan di sini. 

Begitu serangkaian acara selesai, banyak peserta yang mengajak para pembicara untuk foto bersama. Tentu saja Prof. Mahfud yang paling menjadi ikonik. Ini pula kali pertama saya melihat langsung dan berjabat tangan dengannya. Dari dekat, tampak beliau sebagai sosok yang low profile. 

Yang unik, ada satu tokoh penting yang menurut saya kurang jadi perhatian peserta. Entah karena tidak kenal kepakarannya, atau pangling dengan wajahnya. Seperti halnya Prof. Anhar Gonggong, yang jelas saya bisa maklum kalau ada dari peserta yang belum mengenal beliau, apalagi dalam acara ini memang beliau tidak menjadi pemateri. Buktinya, tidak banyak yang menyambut beliau saat berjalan keluar meninggalkan ruangan lewat pintu belakang. 

Siapa gerangan? Dialah Prof. Taufik Abdullah, sejarahwan yang banyak memberi kata pengantar terhadap buku-buku bertema sejarah, tidak terkecuali buku-buku karangan Bung Hatta. Beliau adalah satu anggota tim redaksi Karya Lengkap Bung Hatta. Bahkan, buku jilid I yang tebal itu diberi Kata Pengantar yang panjang oleh beliau. 

Jujur saja, yang membuat saya tertarik membaca Memoir-nya Bung Hatta sampai khatam, salah satunya adalah karena pemantik dari beliau yang benar-benar menghidupkan imajinasi pembaca melalui pertanyaan di akhir kata pengantar, apa jadinya bila Bung Hatta meneruskan memoarnya sampai periode paska Konferensi Meja Bundar (KMB)? 

Memang sangat disayangkan bahwa Memoir yang kemudian diterbitkan kembali oleh Kompas dengan judul berganti menjadi Untuk Negeriku itu hanya memuat peristiwa hidup beliau sampai tahun 1950. Imajinasi dan dugaan saya: memoar itu sengaja dibuat Bung Hatta untuk mengenang hal-hal yang baik-baik saja, terutama terkait romantisisme-nya ketika berjuang bersama Sukarno sebagai dwi-tunggal. 

Mungkin dalam buku itu Bung Hatta ingin menjadi sosok yang dalam Bahasa Jawa dikenal: mikul dhuwur mendem jero --hanya mengingat hal-hal yang baik dari seorang sahabat. 

Berawal dari memoar Bung Hatta itu, saya akhirnya mengoleksi semua karya lengkapnya, termasuk hal-hal terkait ia yang ditulis oleh orang lain. 

Kalau ada yang bertanya kepada saya buku apa yang sebaiknya dibaca terlebih dahulu untuk mengenal sosok Hatta, maka memoarnya inilah sebagai buku yang pertama-tama wajib dibaca menurut saya. 

Kembali ke Prof. Taufik Abdullah. Melihat dari jauh beliau hendak keluar lewat pintu belakang, saya mengejarnya untuk meminta tanda tangan di buku jilid ke-9 Karya Lengkap Bung Hatta yang saya bawa. Beliau agak lama memandangi buku itu, untuk kemudian berkata, "Wah, saya malah belum punya jilid yang ini."

Tampak ia tersenyum gembira waktu saya katakan bahwa saya beberapa kali membeli buku hanya karena di buku itu ada pengantar dari Prof. Taufik Abdullah. Dengan bangga beliau menanggapi, "Wah, kalau masalah memberi kata pengantar, saya memang rajanya. Kadang ada penulis yang tidak saya kenal minta diberi kata pengantar, saya bilang, tunggu dulu ya, saya baca dulu isinya."

Sebuah kehormatan buat saya bisa ketemu dan bercengkrama singkat dengan beliau.[]

Sukabumi, 16 Agustus 2024

KENAPA KITA TIDAK BISA BAHASA BELANDA

Jawaban di kolom komentar foto ini sekadar guyon. Hehe.. Tapi kalau mau ditelusuri lebih serius ada beberapa alternatif jawaban. Dalam catatan ini setidaknya ada tiga alasan yang akan saya coba uraikan. 

Pertama. Kalau kita banyak membaca buku-buku biografi/otobiografi atau karya sastra yang ditulis oleh generasi veteran, kita akan bisa membuat kesimpulan bahwa kolonialisme Belanda memang yang paling rasis dari kolonialisme Eropa yang lain. Selain membedakan status hukum berdasarkan ras, orang-orang Londo juga melarang masyarakat Pribumi menggunakan bahasa Belanda ketika bercakap dengan mereka. Dengan nada yang sangat merendahkan, bahasa Belanda dianggap terlalu bersih untuk diucapkan oleh inlander yang kotor dan najis. Kalau ada Pribumi yang kemudian bisa berbahasa Belanda, itu sebab ia mendapat akses pendidikan di sekolah milik pemerintah kolonial yang hanya untuk kalangan elit atau anak priyayi rendahan tertentu itu. 

Kedua. Ternyata banyak pula Pribumi yang enggan atau bahkan menolak untuk mempelajari bahasa Belanda ataupun bahasa Inggris, yakni dari kalangan santri. Dianggapnya itu bahasa kafir. Ini bisa kita baca dari buku biografi KH. Wahid Hasyim yang ditulis oleh Aboebakar Atjeh. Tidak sedikit yang mempertanyakan atau bahkan mengecam maksud Wahid Hasyim, ketika beliau memberikan kursus untuk dua bahasa ini kepada para santri saat itu. Padahal manfaatnya sangat besar sekali, dan putra KH Hasyim Asy'ari ini berhasil mendobrak stigma itu dengan belajar secara otodidak.

Ketiga. Sumpah Pemuda. Ini adalah titik balik dari pemuda Indonesia yang progresif saat itu. Mereka mendeklarasikan diri dengan HANYA menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, dan mengidentikkan penggunaan bahasa itu sebagai bagian dari semangat nasionalisme. Ada "berkah" ketika bahasa ini kemudian dijadikan bahasa resmi nasional, saat Jepang hadir ke Indonesia menggantikan Belanda. Jepang yang ingin menghapus semua yang berbau Netherland itu tidak punya pilihan kecuali menggunakan bahasa Indonesia. 

Sumpah Pemuda inilah yang membedakan negara Indonesia dengan negara-negara bekas jajahan lain di Asia maupun Afrika. Segala perbedaan etnis dan bahasa dipersatukan oleh satu-satunya bahasa resmi negara. Jadi kita tidak punya problem terkait penggunaan bahasa. Bandingkan dengan negara lain yang punya lebih satu bahasa nasional, sangat rentan untuk terjadinya konflik.

ORANG BANGKALAN DAN BURJO MADURA

Saya selalu suka dan sering makan Bubur Kacang Ijo Madura sejak awal kuliah. Berpindah-pindah tempat dari Jawa Timur sampai Jawa Barat, masih saja saya temukan kuliner rakyat satu ini. 

Di Sukabumi saja, saya sudah mencicipi burjo ini di empat tempat berbeda. Ya, saya temukan penjualnya di hampir setiap kecamatan (bahkan desa), dari Cicurug sampai Sukalarang. Mereka semua asli orang Madura. 

Satu hal yang tidak pernah saya lewatkan setiap kali singgah adalah menanyakan Madura-nya daerah mana? Dan semua jawaban sama: Bangkalan. 

Satu-satunya yang bukan dari Bangkalan saya temukan di dekat kampus saya, yang ini dari Pamekasan. Itu pun saat saya konfirmasi ke Cak Mail yang ada di foto ini, kata beliau, "Boleh jadi orang itu dulu pernah ikut orang Bangkalan jualan bubur kacang ijo, sebelum jualan sendiri."

(Kalau teman-teman ada yang menemukan di luar Bangkalan tolong tulis di komentar ya, hehe.) 

Cak Mail menguatkan argumennya dengan menyebut bahwa semua penjual burjo Madura itu terhimpun dalam satu komunitas. Rata-rata mereka dari Kecamatan Tanah Merah, Bangkalan. 

Terkait mudik hari raya. Berbeda dari orang Madura bagian timur yang rata-rata euforia hari lebarannya saat Idul Adha, komunitas burjo Tanah Merah ini justru yang ikut arustama muslim di Indonesia: Idul Fitri. 

Cak Mail terlihat bangga waktu saya puji kuliner dari Bangkalan enak-enak, bahkan lebih enak dari daerah Madura lainnya menurut ukuran lidah saya. Favorit saya waktu tur Bangkalan-Sumenep Madura adalah Bebek Sinjai (khas Bangkalan). 

Satu lagi. Ternyata bukan hanya penjual burjo, tapi juga pangkas rambut Madura --yang bahkan sampai masuk di pelosok desa-desa yang ada di Sulawesi-- yang sudah saya tanya, semuanya berasal dari Bangkalan. Khusus penjual sate Madura saya belum survei, karena saya jarang makan sate (kecuali sate Ponorogo yang cocok di lidah saya, hehe.). 

Mungkin di sini ada bisa menjelaskan, kenapa perantau Madura itu didominasi oleh orang Bangkalan daripada daerah lainnya? Saya sudah baca disertasi Pak Kunto tentang perubahan sosial masyarakat Madura, tapi saya belum menemukan jawaban atas pertanyaan ini. 🙂