Begitu buku "Orang-orang yang Saya Kenang" ini sampai di tangan, saya langsung buka bab kenang-kenangan Buya Hamka kepada Bung Hatta. (Hlm. 215-231).
Buku berisi kumpulan tulisan Hamka yang sudah langka ini --terutama yang tersebar di majalah Panji Masyarakat-- berhasil dihimpun oleh Abdul Hadi Hamka (cucu Buya Hamka). Mari kita simak kenangan Hamka terhadap Hatta melalui obituarinya, yang terbit di majalah Panji Masyarakat, dua pekan setelah wafatnya Bung Hatta.
Penghormatan Hamka yang tinggi untuk Mohammad Hatta nampak jelas dalam obituari itu. Mengomentari mundurnya Hatta dari jabatan wakil presiden pada 1956 karena ketidaksejalanannya dengan Sukarno, Hamka menulis: "Kebesaran bukanlah karena suatu pangkat dan jabatan. Kebesaran terletak pada karakter pribadi. Meskipun telah berhenti menjadi wakil presiden, tetapi kebesaran dan keagungan beliau setelah 24 tahun berhenti menjadi wakil presiden, sama saja dengan saat jabatan itu beliau sandang. Selama 24 tahun menjadi rakyat biasa, beliau tetap dalam kebesaran dan keagungannya. Bukanlah beliau besar karena pangkatnya, melainkan pangkat itulah yang besar karena dia yang memikulnya."
Tak cukup sampai di situ. Hamka bahkan membela Mohammad Hatta dari tuduhan sebagai nasionalis sekuler.
Hamka menulis: "Gerakan Sukarno ialah semata-mata gerak kebangsaan. Jadi agama tidak usah diikutcampurkan dalam gerakan kebangsaan itu. Mereka memakai semboyan bahwa agama adalah hubungan masing-masing diri dengan Tuhan, sedang tanah air adalah kewajiban bersama.
"Hatta tidak mencampuri soal itu. Dia membela tanah airnya, dia mencita-citakan kemerdekaan bangsanya dari penjajahan, dia tetap dalam pendiriannya untuk tidak bekerjasama dengan Pemerintah Belanda dan bergantung pada kekuatan sendiri.
"Mulanya tidaklah ada polemik antara gerakan Islam ini dengan Hatta, tetapi seorang teman dari Medan, Saudara T.M. Usman el-Muhammady, pernah menulis satu tulisan yang mengkritik kaum kebangsaan yang tidak memedulikan agama, bergerak membela tanah air dan menegakkan cita kemerdekaan Indonesia dengan memisahkan agama dari perjuangan. Dalam tulisan itu T.M. Usman (alm.) telah menyamakan Hatta dengan pemimpin-pemimpin gerakan kebangsaan yang lain."
Balasan Hatta untuk tuduhan T.M. Usman itu terbit di majalah Adil. Dalam tulisan itu Hatta menggunakan "ia" (kata ganti orang ketiga) untuk menyebut dirinya sendiri. Demikian potongan kalimatnya: "... Ia membandingkan terlebih dahulu keuntungan yang bisa didapatkan dengan pengetahuan dan ilmunya sebagai pangkat tinggi, kesenangan hidup dan pensiun besar, dengn kesukaran yang bakal dideritanya kalau masuk pergerakan, sebagai hidup melarat, bui, dan pembuangan.
"Kalau ia masih memilih yang kemudian ini, sudah tentu langkahnya itu dipengaruhi oleh keyakinan yang suci tentang kewajibannya terhadap masyarakat tempat ia dilahirkan. Bukan 'katanya', melainkan memang dirasanya sebagai suruhan suatu suara Yang Maha Kuasa dalam dadanya atau sebagai iradat Ilahi Rabbi atas dirinya, yang tiada dapat ditimbangnya dengan ukuran akal tentang berbahagia atau tidak."
Setelah membaca keterangan Hatta di atas, komentar Hamka demikian: "Saya mengakui terus terang bahwa saya pun terlibat dalam pertengkaran soal Islam dan kebangsaan itu, terutama sebelum membaca tulisan Hatta ini. Namun setelah membaca dan merenungkan tulisannya, saya pun tertegun dan termenung, lalu mengukurnya dengan diri sendiri. Ucapan ini tidak dimasukan ke dalam arena perdebatan lagi. Bung Hatta berjuang untuk kemerdekaan. Mencintai bangsa dan tanah air bukanlah semata-mata urusan pidato dan agitasi, tetapi soal iman yang mendalam di sanubari. Apa pun yang akan dideritanya karena perjuangan ini, dia berserah dan tawakkal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Ilahi Rabbi!"
Demikianlah komentar Buya Hamka, dan benarlah bahwa Bung Hatta memang konsisten dengan keyakinannya ketika ia ditahan oleh pemerintah Hindia Belanda di penjara Glodok (tidak lama setelah tulisannya di majalah Adil itu terbit), untuk kemudian menjalani masa yang panjang sebagai interniran di Digoel; di Banda Naira; di Sukabumi; termasuk di pulau Bangka pada zaman Revolusi Kemerdekaan.
***
Kalau Anda sudah membaca buku ke-9 Karya Lengkap Bung Hatta yang diterbitkan oleh LP3ES, akan semakin jelas bahwa Hatta memang sosok yang tidak suka menonjolkan identitas agamanya di depan publik. Dalam tulisannya, ia membagi cara berislam seseorang menjadi dua tipe: Islam garam dan Islam gincu.
Yang pertama adalah orang yang memilih untuk tidak menampakkan identitas keagamaannya di depan publik, melainkan melalui rasanya, alias perilakunya. Sementara yang kedua adalah mereka yang memilih untuk menampakkan identitasnya. Dalam hal ini, Hatta memilih yang pertama.
Tak ada yang salah antara keduanya, ini bukan perkara mana yang lebih baik, bahkan Hatta menyontohkan tipe kedua diwakili oleh Mohammad Natsir --sosok yang juga sederhana dan sangat bersahaja sampai akhir hayatnya.
Iwan Mariono
No Response to "MENGENANG HATTA MELALUI OBITUARINYA HAMKA"
Posting Komentar