Dalam hal teladan kesederhanaan, kita tidak kekurangan figur nasional. Ada banyak, tapi saya hanya akan mengambil tiga sosok yang kebetulan saya baca karya dari buah pemikirannya. Ambil contoh dari (1) Hadji Agus Salim, (2) Mohammad Hatta, dan (3) Mohammad Natsir.
Sekelas menlu bahkan rumah masih harus ngontrak, pindah dari satu rumah ke rumah lain. Tidak minder dengan identitas pakaiannya, dan jenggotnya yang disamakan dengan kambing. "Tidak ada yang salah dengan pakaian necis, tapi pikiran kita juga harus jauh lebih necis", ungkapan yang sangat tepat bila kita sematkan ke sosoknya (1).
Wapres yang sampai meninggal dunia tak mampu membeli sepatu bally. Setelah melepas jabatan sebagai Wapres, ia menolak tawaran banyak perusahaan untuk menjadi komisaris, baik perusahaan milik negara, swasta, bahkan asing dengan gaji sangat tinggi. Semua dilakukan demi menjaga marwahnya sebagai seorang negarawan yang telah matang dalam hal politik. Ia jelas tahu apa yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan itu, apalagi ia sendiri pernah menjadi sosok yang paling kritis terhadap kebijakan kapitalisme di era kolonial yang dianggapnya menindas rakyat kecil (2).
Lihatlah penampilan mantan perdana menteri itu, ia tidak minder dengan pakaiannya yang lusuh, jasnya yang hasil tambalan. Bahkan Sukarno sampai prihatin melihatnya. Apa sebab yang membuat ia mampu bertahan dengan kesederhanaan? Sebanya pemikirannya yang otentik dan cemerlang. Pikiran yang cemerlang membuat kesederhanaan bukan lagi sebagai suatu pencitraan, apalagi tipuan. Maka, necis atau tak necisnya penampilan bukan lagi suatu barang yang mewah. Naik sepeda ontel ke kantor sebagai hal yang biasa dilakoninya. Selepas menjadi pejabat pun ia masih konsisten dengan penampilannya, di kemudian hari bahkan menolak hadiah mobil mewah dari Raja Arab (3).
***
Mereka bertiga, dengan segala cerita kesederhanaan hidup yang melekat kepadanya, tidak akan mempunyai legasi apa-apa jika hanya kesederhanaan penampilan itu yang ditinggalkan. Bahkan mungkin decak kagum timbul hanya saat membaca tulisan ini, untuk kemudian dilupakan. Sama seperti membaca berita-berita yang sedang santer beredar.
Yang membuat mereka otentik dengan kesederhanaannya, adalah pikirannya. Sayangnya pikiran ini tidak bisa hanya diceritakan oleh orang lain untuk kemudian menginspirasi banyak orang. Kita bisa benar-benar menyerap dan bahkan menghidupkan kembali keteladanan yang sudah mati itu, hanya jika kita membaca karya-karya yang ditinggalkan oleh mereka.
Bacalah karya-karya mereka, untuk membentuk kesederhanaan yang benar-benar otentik. Seperti suluh di tengah kegelapan, menerangi namun tak sampai membuat silau yang memandang. []
No Response to "SALAH KAPRAH MEMAKNAI KESEDERHANAAN"
Posting Komentar