Saya tidak ikutan merundung kawan-kawan salafy yang berpandangan seperti ini (lihat foto di bawah). Sederhana saja buat saya: semua tergantung pandangan hidup (worldview) masing-masing.
Dan ini pendapat saya. Suka atau tidak suka, realitas objektif yang ada di depan mata kita saat ini adalah, kita menganut sistem pemerintahan bernama demokrasi --yang usianya baru 2.5 abad (kalau Revolusi Perancis 1789 dijadikan patokannya). Perlu diketahui bahwa Revolusi Perancis itu sendiri sezaman dengan gencarnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menegakkan pembaharuan di tanah Hejaz hingga kemudian lahir dan populer istilah Manhaj Salaf. Saya tidak ingin menggunakan diksi Wahhabi yang punya makna peyoratif buat kawan-kawan Salafy.
Kembali ke demokrasi. Demokrasi bukan sekadar pemilihan elektif. Inti dari demokrasi adalah percakapan. Kalau dalam Islam dikenal sebagai syura, walaupun ada banyak kalangan yang menolak menyamakan kedua istilah ini.
Dalam demokrasi, Sodara sebagai warga sipil punya hak untuk bersuara mengutarakan pendapat, termasuk ketika Sodara harus turun ke jalan untuk demonstrasi. Demonstrasi legal dalam sistem demokrasi. Yang ilegal itu anarki. Kalau kemudian ada demonstrasi yang berakhir anarki, tidak lantas menggugurkan legalitasnya.
Perlu diketahui, bahkan di zaman monarki, demonstrasi itu juga dilegalkan. Alun-alun Jogja menjadi saksi di zaman Kerajaan Mataram di mana tempat itu, selain dipakai untuk latihan perang, ia juga digunakan sebagai tempat berdemontrasi, yang dikenal dengan istilah: pepe (berjemur di bawah terik matahari). Untuk lebih jelasnya, silakan cari tahu sendiri, bagaimana mekanisme pepe itu dijalankan. Saya pribadi melihatnya serupa dengan demonstrasi di era modern. Hanya melalui demonstrasi masyarakat sipil secara kolektif bisa mengajukan protes ketika salah satu pilar demokrasi yang ada (dalam hal ini DPR), yang justru seharusnya memperjuangkan pendapat rakyat yang diwakilinya, tidak bekerja sesuai yang diharapkan.
Ketika teknologi informasi mengalami perkembangan pesat, Sodara jadi punya wadah baru untuk mengutarakan pendapat, salah satunya adalah media sosial. Terkait tuntutan bahasa sopan santun yang harus digunakan, tentu itu tidak lepas dari tingkat pendidikan dan ekspresi kebudayaan seseorang.
Kezaliman sudah jelas di depan mata. Apa yang salah dari mengingatkan pemerintah, dengan fasilitas yang ada? Kalau mau menggunakan terminologi Nabi, bukankah mengingkari kezaliman (sekadar) dengan hati, justru menunjukkan selemah-lemahnya iman?
Tapi tenang saja, saya tidak bermaksud menggunakan dalil itu untuk menyerang kawan-kawan yang berbeda pendapat. Yang ingin saya tegaskan hanyalah, janganlah Sodara mereduksi perjuangan kawan Sodara sendiri yang mencoba mengingatkan kezaliman penguasa dengan lisan dan tangannya --kecuali Sodara tidak melihatnya sebagai sebuah kezaliman.
Memilih mendo'akan pemimpin yang zalim (agar sadar) itu tentu saja baik. Dan saya menaruh harapan besar semoga ada di antara ikhwah Salafy yang sudah mengingatkan pemerintah yang zalim itu secara diam-diam --tanpa harus menyindir saudranya sendiri yang sedang berjuang dengan caranya.
No Response to "SURAT UNTUK IKHWAH SALAFY"
Posting Komentar