Niat mengkhatamkan buku biografi KH. Wahid Hasjim setebal seribu halaman lebih dalam sepuluh hari itu gagal terpenuhi setelah saya harus menjemput putri sy di rumah Neneknya.
Tidak mungkin saya membawa buku sebesar bantal tersebut menemani perjalanan bus pagi Solo-Sukabumi. Sebagai gantinya, saya sembarang comot saja buku yg berserakan di meja, asal tipis dan praktis dibaca.
Sepanjang perjalanan sy baca buku ini, sampailah saya di halaman 76, demikian bunyinya: "Saya percaya saja mereka telah membaca semuanya. Tapi, hati nurani saya yang julid itu tergoda untuk membayangkan, andai tidak ada Facebook atau Instagram atau Goodreads untuk memajang deretan buku-buku itu, seberapa besarkah semangat bisa dikorbankan untuk meluangkan ratusan jam dalam kesunyian demi mengeja ribuan halaman dan jutaan kata demi khatam semua?"
Hehe.. itu sebuah paragraf menohok yg menyindir para pembaca buku (termasuk saya), yg tujuannya bukan sekadar untuk membaca, melainkan untuk mengumumkannya kepada dunia. Dalam bahasa penulis, orientasi nilai yg berubah dari "demi sebuah nilai kemanfaatan, tiba-tiba berubah nilainya karena orientasi kehumasan."
Saya harus menutup buku sejenak demi merenungkan isi dari bab "Terforsir Aplikasi dan Jiwa Kehumasan Kita" tersebut. Mungkin benar yg dikatakan Iqbal, tapi sebagai orang yg keranjingan membaca bahkan sebelum aktif di sosial media, saya kok justru merasakan sebaliknya. Aplikasi sosial media menghilangkan banyak sekali waktu sy membaca sebuah buku.
Buat saya, jauh sebelum era sosmed, mengkhatamkan seratus halaman dalam sehari adalah hal yg mudah dilakukan. Bahkan, novel Bumi Manusia yg tebalnya lebih dari lima ratus halaman itu pernah saya khatamkan dalam sehari, dari jam tujuh pagi sampai jam duabelas malam.
Hal yg mustahil untuk sekarang ini di mana saya tidak bisa lepas sehari pun tanpa membuka sosial media. Hehehe. Jadi tesis Iqbal justru berkebalikan dengan yg saya rasakan.
No Response to "Buku "Sapiens di Ujung Tanduk""
Posting Komentar