Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

TANAH

Membaca buku-buku Tania Murray Li (antropolog dari University of Toronto) yang belasan tahun meneliti proses terjadinya kapitalisasi tanah di pedalaman Sulawesi Tengah sejak zaman kolonial ---termasuk penelitian terbarunya dalam buku Hidup Bersama Raksasa yang ditulis bersama Pujo Semedi (guru besar antropologi UGM) yang merekam konflik agraria antara masyarakat adat dan perusahaan kelapa sawit terkait penguasaan tanah hutan di Kalimantan Barat--- kita jadi tahu bahkan bisa membuat prediksi secara detail bagaimana konflik agraria itu bisa dan akan terjadi. 

Konflik itu awalnya mengendap seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa meledak. Bahkan konflik agraria dalam perjalanannya banyak menjadi faktor penentu dari konflik horizontal antar RAS, salah satunya di Poso yang ekses terjadinya mendapat momentumnya saat krisis politik dilanjutkan dengan reformasi tahun 98 ---krisis yang semula hanya di bidang ekonomi merembet sampai ke bidang politik (penelitian tentang ini sayangnya lebih banyak merekam apa yang terjadi di pusat, sementara yang di daerah banyak terlewatkan). 

Apa yang ditulis Kuntowijoyo dalam buku Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas sangat nyambung dengan paparan detail hasil penelitian panjang Tania, khusunya bab "Tanah: Desakralisasi, Kapitalisasi, dan Keadilan".

Di awal bab Pak Kunto menulis: "Pada mulanya tanah adalah sakral. Pemberian Raja (lungguh, bengkok), warisan leluhur (pusaka), atau tanah yang diperoleh dengan keringat sendiri (asan) ---semuanya dikeramatkan. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan sakdumuk bathuk saknyari bumi dibelani pati ("sesentuh jidat sejengkal tanah dibela sampai mati") untuk menunjukkan bahwa tanah itu sangat berharga."

Sejak lahirnya UU Agraria pertama (1870) di Nusantara yang memungkinkan perusahaan-perusahaan besar mendapatkan tanah, dilanjut dengan UU No. 5/1960 Pokok-pokok Agraria, tentang redistribusi dan konsolidasi tanah yang tetap mempertahankan sakralisasi tanah di desa-desa sampai tahun 1990-an, praktis tidak ada lagi UU baru yang mengatur perkara agraria. 

Jadi, kita menunggu peran legislatif dalam hal ini. 

"Kapitalisasi tanah mengundang masalah keadilan," demikian Pak Kunto menegaskan, "Jika masalah bagi hasil adalah masalah intern (pemilik dan penggarap), maka kapitalisasi tanah adalah masalah ekstern (pemilik tanah dan pemilik modal)."

Pak Kunto juga menambahkan: "Banyak ketimpangan sosial yang terjadi karena kapitalisasi. Manipulasi terjadi pada jual beli tanah. Para calo, tengkulak, dan spekulan membeli tanah penduduk dengan harga murah untuk dijual kepada pengembang dengan harga mahal. Pembebasan tanah yang dikatakan kepada pemilik untuk kepentingan untuk kepentingan umum ternyata banyak yang untuk keperluan real-estate. Para pejabat sering melakukan manipulasi dengan menggunakan hukum adat tentang hak ulayat, tanah komunal, atau tanah desa. Kelemahan pemilik tanah, yang tidak tahu rencana pembangunan wilayah, sering disalahgunakan."

No Response to "TANAH"

Posting Komentar