Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

YAHUDI, ZIONISME, DAN KOLONIALIS ISRAEL

Bagi saya, salah satu cara terbaik untuk berpihak, mendukung, bahkan menumbuhkan rasa cinta pada Palestina, adalah dengan membaca. Bacaan itu akan menjadi suluh buat kita agar tak mudah goyah, oleh banyaknya apologi yang beredar di luar sana. 

***

Mungkin masih banyak yang belum bisa membedakan antara penganut Yahudi dan Zionisme. Penganut Yahudi belum tentu seorang Zionis, sedangkan Zionisme sudah pasti orang Yahudi. Silakan buka KBBI untuk mengetahui definisi lengkapnya. 

Memahami dua perbedaan ini penting, sebab di awal berdirinya negara Israel (1948) yang diperjuangkan oleh kelompok Zionis justru banyak ditentang oleh penganut Yahudi (Judaisme). 

Di antara keturunan Yahudi yang namanya paling popular mengutuk pendirian negara Israel adalah Albert Einstein. Pada 1938, sepuluh tahun sebelum Israel resmi menjadi sebuah negara (state), Einstein pernah berkata demikian: 

“Menurut pendapat saya, akan lebih masuk akal untuk mencapai kesepakatan dengan orang-orang Arab atas dasar kehidupan bersama yang damai daripada menciptakan negara Yahudi. Kesadaran yang saya miliki tentang sifat yang penting mengenai Judaisme akan bertabrakan dengan ide negara Yahudi yang dilengkapi dengan perbatasan, angkatan bersenjata, proyek kekuasaan sementara, bagaimanapun sederhananya hal itu. Saya takut akan kerusakan internal yang akan diderita Judaisme karena berkembangnya dalam barisan kita sebuah nasionalisme sempit. Kita bukan lagi orang-orang Yahudi dalam periode Macchabea. Kembali lagi dalam konsep negara, dalam arti politik, akan sama halnya dengan membelok dari spiritualisasi masyarakat kita yang kita terima dari kejeniusan nabi-nabi kita.” (Rabi Moshe Menuhin, The decadence of Judaisme in Our Time, [1969], hlm. 324) (Roger Garaudy, Mitos dan Politik Israel [2000], hlm. 6). 

Maka jangan heran jika sampai hari ini masih kita dapati orang Yahudi yang justru mengecam kebrutalan Israel terhadap warga Palestina. Seperti yang terjadi di Washington DC (18 Oktober 2023). 

Dalam buku ‘Mitos dan Politik Israel’ yang ditulis oleh Roger Garaudy ini, dijelaskan bahwa kelompok Zionis justru melakukan kolusi dengan Nazi. Jadi, pembantaian atas orang-orang Yahudi itu sendiri bukan tidak diketahui oleh Zionis. Bukti-buktinya banyak dipaparkan dalam buku ini. Mulai dari deklarasi pemimpinnya sendiri, sampai surat-menyurat dan memorandum antara Partai Nazi dan kelompok Zionis Jerman. 

Di antara banyaknya pernyataan yang dicantumkan dalam buku ini oleh Garaudy, berikut adalah salah satu memorandum yang berhasil dikutip dari Ben Gurion (pemimpin pertama negara Israel), saat memproklamirkan di hadapan para pemimpin Zionis “buruh” pada tanggal 7 Desember 1938: 

“Haruskah kita membantu semua orang yang membutuhkan tanpa memperhitungkan karakteristik setiap orang? Tidakkah kita harus memberikan satu karakter nasional Zionis pada aksi ini dan berusaha menyelamatkan mereka yang berguna bagi tanah air Israel dan Judaisme? Saya tahu bahwa tampaknya kejam untuk mengajukan pertanyaan semacam ini, teapi kita harus menegaskan secara jelas bahwa kita dapat menyelamatkan 10.000 dari 50.000 orang yang benar-benar dapat memberikan kontribusi bagi pendirian negara dan kelahiran kembali bangsa, atau menyelamatkan satu juta orang Yahudi yang akan menjadi beban bagi kita, atau paling kurang tidak memberikan kontribusi apa pun, kita harus menyelamatkan yang 10.000 itu walaupun dipersalahkan dan dipanggil oleh jutaan orang yang diabaikan.” (Garaudy, ibid, hlm. 37). 

Jadi, negara Yahudi lebih penting daripada kehidupan orang Yahudi itu sendiri. 

Dalam buku ini juga dijelaskan doktrin teologis mengenai tanah yang dijanjikan sesungguhnya hanyalah mitos untuk membenarkan penjajahan negara Israel atas Palestina. Setelah mengutip pendapat beberapa sejarawan dan teolog yang menentang doktrin ini, Garaudy menyimpulkan bahwa janji kepada orang nomaden (baca: Yahudi) tersebut sesungguhnya bukanlah untuk penaklukan politik dan militer atas suatu kawasan atau seluruh negeri, melainkan sekadar menetap (sedentarisasi) dalam wilayah tertentu.

Fundamentalis Zionis justru menjadikan ayat “Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Euprates.” untuk membenarkan pembantaian terhadap orang-orang Arab. Profesor Benjamin Cohen dari Universitas Tel-Aviv pada 8 Juni 1982 (saat berlangsungnya invasi Israel ke Lebanon) bahkan sampai mengatakan: “Sukses terbesar dari Zionisme hanya ini: ‘dejudaisasi’ orang-orang Yahudi.” (Le Monde 19 Juni 1982, hlm. 2).

Inilah pembelokan ideologi Yahudi yang semula bersifat spiritual religius ke nasionalisme Israel. Ideologi yang dicetuskan oleh pendiri Zionisme, Theodore Herzl (1860 – 1904) pada tahun 1897, setengah abad sebelum mereka (para penerusnya) berhasil menduduki tanah Palestina atas bantuan Inggris. Bukan tidak mungkin, jika mengacu pada teks dalam kitab yang kita sebut di atas (Genesis, XV: 18), bahkan seandainya seluruh wilayah Palestina itu ditaklukkan oleh Israel, tetap tidak akan cukup buat mereka. Sebab tanah yang “dijanjikan” tersebut membentang jauh dari selatan (Mesir) sampai ke utara di sungai Eufrat (Irak). 

Watak kolonial memang tidak akan pernah puas –bahkan bila dunia dan seluruh isinya sudah diberikan kepada mereka. Justru sebaliknya, semakin buas.[]

Morowali, 4 November 2023
Iwan Mariono

JILID 1 KARYA LENGKAP BUNG HATTA

Jilid pertama (Buku 1) ini justru menjadi buku terakhir yang saya dapatkan dari koleksi 'Karya Lengkap Bung Hatta'. Saya sudah membulatkan tekad harus mengoleksi semua jilid (dengan menyicil tentunya) dan membacanya dari awal, ditemani pulpen, penggaris, dan stabilo --sebagaimana kebiasaan saya, yang membuat diri ini susah beralih dari buku fisik ke buku digital, dan tentu saja bukan buku pinjaman. 


Sebenarnya banyak tulisan yang akhirnya nanti akan saya baca ulang. Beberapa buku Bung terbitan Sinar Harapan, Bulan Bintang, dan Kompas yang sudah saya baca dan miliki juga masuk dalam proyek karya lengkap ini. 

Namun hal itu tidak menjadi perkara, demi menghargai khazanah ke-intelektualan-nya. 

Magnum opus ini menghimpun semua tulisan Bung Hatta yang tersebar di seluruh media cetak (dalam maupun luar negeri) seperti: Jong Sumatra, Daulat Ra'jat, Indonesia Merdeka, De Socialist, Gedenkboek der Indonesische Vereeniging, dan masih banyak lagi. Dari sejak Bung masih berumur 16 tahun sampai menjelang ajalnya (77 tahun). 

Total buku sebanyak sepuluh jilid, namun yang sudah diterbitkan oleh LP3ES saat ini baru sampai jilid 8. Jilid 9 baru rencana terbit tahun ini (info tersebut saya konfirmasi ke penerbitnya langsung). Padahal, ini adalah proyek besar yang sudah berjalan puluhan tahun, diketuai oleh Prof. Emil Salim dengan anggotanya yang juga para professor. Bahkan dua di antaranya sudah meninggal dunia: Prof. Deliar Noer dan Prof. Dawam Rahardjo. Mereka tidak sempat melihat buku ini terpampang cantik dalam satu box.

Bagi saya, bisa mengkhatamkan karya lengkap Bung Hatta adalah kerja untuk memahami bagaimana pemikiran manusia ber-evolusi, yang sebagian besarnya mempengaruhi bagaimana negara ini dibentuk dan berdiri.

DEKOLONISASI

DEKOLONISASI. Kolonisasi (perpindahan wilayah huni) pada dasarnya adalah kosakata yang netral. Namun dalam perjalanannya, kata tersebut berkembang menjadi sebuah paham (isme) yang kemudian memiliki makna dan arti negatif. Kita akhirnya menyamakannya sebagai penjajahan bangsa Barat (Eropa) atas bangsa Timur (Asia dan Afrika). 


Dalam perjalanan terbentuknya bangsa jajahan, eksploitasi tidak hanya mencakup tanah atau wilayah geografi. Melainkan sampai pada tahap eksploitasi pemikiran. Konsep pribumi malas adalah hasil dari studi (antropologi) kolonial Belanda atas wilayah jajahannya. Hasil kajian itu mereka anggap sebagai ilmu, sementara studi dekolonisasi kontemporer menyatakan pemikiran tersebut sebagai mitos. 

Jika kolonisasi kita anggap sebagai penjajahan. Maka studi Dekolonisasi (penghapusan penjajahan pemikiran) dalam buku ini adalah upaya untuk menghapuskan penjajahan (pemikiran) tersebut. 

DR. Muhamamd Rofiq Muzakkir, yang adalah dosen Prodi HI di UMY dalam buku ini, tidaklah menuliskan hasil studi yang bersifat murni gagasannya. Melainkan menyusun gagasan-gagasan pemikir awal studi Dekolonisasi yang dimulai dari Edward W Said melalui karyanya dalam buku 'Orientalism' yang terbit tahun 1978, sampai studi kontemporer saat ini --yang sebagiannya adalah pengembangan dari buku Orientalism tersebut. 

Jadi, buku yang merupakan kumpulan catatan dari disertasi penulisnya selama di Arizona State University (2017-2020) adalah semacam prolegomena atau pengantar, yang menguraikan secara detail bagaimana studi dekolonisasi terbentuk dan menjadi satu cabang ilmu tersendiri. 

Saya secara pribadi berterima kasih kepada DR. Rofiq yang mengenalkan saya lebih dalam kepada banyak pemikir seperti Edward W Said, Talal Asad (dan murid-muridnya), Joseph Massad, Khaled Abou El-Fadl, Wael Hallaq, dan masih banyak lagi. Setelah membaca buku ini, jujur saya ingin membaca karya mereka semua. 

Siapa pun di antara kita yang tertarik mempelajari diskursus pemikiran Islam kontemporer, tidaklah lengkap jika belum membaca karya ini.

Salam 
Iwan Mariono

MENDAPAT KEPERCAYAAN

Bacaan yang ringan namun membuka banyak cakrawala pikiran. Eric Weiner mengunjungi sepuluh negara untuk mencari tahu mana yang penduduknya paling bahagia. Dari ujung barat sampai ujung timur. 


Ternyata, setiap negara yang dikunjungi punya definisi kebahagiaannya masing-masing. Tidak ada yang sama, bahkan terdapat saling kontradiksi. Ada kebahagiaan karena dominasi kekayaan materi, ada pula yang sebaliknya. 

Eric Weiner tidak menentukan satu pilihan. Tapi, dari membaca buku ini saya punya satu kesimpulan di mana terdapat satu titik persamaan. Jadi apa yang membuat umumnya orang bahagia? Jawabannya adalah kepercayaan. Kepercayaanlah --melebihi penghasilan bahkan kesehatan-- yang membuat manusia bisa mendapatkan kebahagiaannya. 

Jadi, lebih dari sekadar lingkungan fisik, lingkungan budaya sangat terkait erat dengan kehidupan yang menjadi penentu kebahagiaan seseorang. 

Buku ini memang lebih cocok disebut sebagai buku analisa sosial budaya.

SAYA PILIH POLIGAMI


Iwan Mariono

Tidak biasanya saya minum teh. Sudah tiga hari ini, saya harus mengganti kopi yang kadang empat sampai lima gelas per 24 jam, oleh karena kedatangan "tamu" bernama gastritis setelah sekian tak menyapa. 

***

Menyimak ramainya isu tentang poligami akhir-akhir ini. Saya menyarankan bapak-ibu sekalian untuk membaca buku yang diberi pengantar oleh Hadji Agus Salim ini. Monogami atau Poligami di sini dibahas melalui satu sudut pandang ilmiah oleh Mr. Yusuf Wibisono (1909-1982), dengan banyak mengutip pendapat ahli sosiologi Barat yang punya concern terhadap masalah ini. 

Oleh karena penulisnya adalah seorang sarjana hukum, maka tulisan ini pun banyak mengambil sudut pandang hukum. Khususnya sosiologi hukum. Jadi, poligini dalam hal ini tidak dipandang sekadar sebagai problem sentimen kewanitaan, melainkan dari sudut pandang yang lebih ilmiah dan holistik, yakni problem sosial. Bagaimana tanpa poligami yang diatur oleh lembaga negara, yang merebak justru menjamurnya prostitusi. 

Prostitusi ini sangat merendahkan martabat wanita yang hanya menjadi objek pemuas nafsu laki-laki. Jadi, mereka yang menolak poligini sesungguhnya adalah penganut poligami munafik, yang mengakui kebebasan seksual sebagai ganti terhadap pembatasan hubungan pernikahan (monogami). 

Inilah problem masyarakat di Barat sejak zaman kebebasan oleh Napoleon I (Bonaparte) sampai zaman kita hari ini. Bonaparte-lah yang menjadi aktor intelektual adanya prostitusi oleh negara. Dan sekaligus dalam kodenya (Code Napoleon) ia melarang adanya penyelidikan siapa bapak dari anak hasil hubungan di luar nikah. 

Sementara itu, undang-undang tentang wanita dari Nabi Muhammad, menurut Dr. Annie Bessant, seorang sosialis, teosfis dan aktivis hak asasi wanita asal Inggris (sebagaimana dikutip oleh Mr. Yusuf Wibisono) melihat justru sebaliknya:

"Adalah undang-undang yang jauh lebih liberal mengenai kemerdekaan wanita daripada undang-undang Kristen di Inggris dua puluh tahun lebih yang lalu." 

"Undang-undang kaum Muslimin mengenai kaum wanita ternyata adalah suatu teladan yang bagus."

Mengenai penganut poligami munafik tersebut, Mr. Yusuf Wibisono mengutip pendapat Gustave Le Bon (seorang ahli sosiologi Perancis), dan Schopenhauer (filsuf Kantianisme Jerman), masing-masing sebagai berikut: 

"Saya tidak melihat, dalam segi mana poligami bangsa-bangsa Timur yang diatur oleh undang-undang adalah lebih rendah daripada poligami yang munafik orang-orang Eropa: sebaliknya saya melihat benar-benar, bahwa poligami Timur lebih tinggi daripada poligami Eropa."

"Tentang adanya poligami adalah terang dan tak bisa diragu-ragukan, akan tetapi di mana-mana telah terjadi suatu kenyataan yang wajar, dan hanya memerlukan supaya diatur. Di mana ada benar-benar orang monogam? Kita semua hidup paling sedikit beberapa waktu ber-poligami, yang terbanyak selalu hidup dalam poligami."

Poligami munafik yang diterapkan oleh Barat dalam bentuk prostitusi dan pergundikan itulah yang diprotes oleh para ahli filsuf. Tidak berhenti di sana, bahkan pengaruhnya dibawa sampai ke negara jajahannya. Candu dan prostitusi adalah warisan Eropa yang dibawa ke seluruh dunia.

***

Jadi kembali ke pertanyaan dasar antara Monogami atau Poligami, maka jawaban saya adalah saya pilih Poligami. 

Oleh karena beratnya tanggung jawab yang harus saya pikul, saya tidak atau belum memberanikan diri ke arah sana. Entah kapan baru sampai ke sana? Boleh jadi sampai mati tidak akan pernah bisa saya lakukan. Saya takut tidak bisa menafkahi, lebih takut lagi tidak bisa berbuat adil. 

Kemampuan saya dalam hal ini sebatas mendukung syariat tersebut. Dan hal inilah yang terbukti dilakukan oleh tokoh-tokoh Masyumi, walaupun dalam praktiknya, saya belum menemukan satu pun pelaku poligami dari mereka, termasuk Mr. Yusuf Wibisono.

Boleh jadi, mereka terlalu asyik bergelut dengan masalah keilmuan, sampai-sampai tidak sempat memikirkan masalah yang satu ini. Hal inilah yg pernah kami diskusikan bersama di rumah Ust. Arif Wibowo, mengenai tokoh Masyumi yang tidak berpoligami sekalipun menjadi pembela teguh syariat ini. 

Memang, orang kalau sudah serius bicara tentang keilmuan, dia tidak akan sempat lagi berpikir masalah di luar itu. Seperti yang Ust. Arif sendiri katakan: "Para pembaca buku-buku serius, bukan buku motivasi dan semisalnya, apalagi pembaca buku serius yang juga aktif terlibat dalam pelayanan kepada umat, relawan lapangan dan yang semisalnya, bukan kalangan mubaligh atau motivator, sepanjang pengalaman saya bergaul, adalah orang-orang yang paling tidak tertarik bicara poligami walau sekedar untuk dijadikan bahan candaan."

Saya sendiri merasakan hal tersebut. Bahkan pernah saya sampaikan ke istri saya secara langsung, dan didengar langsung oleh Mas Dharma Setyawan bersama istrinya sebagai saksinya, demikian: "Saya tidak berani melangkahi takdir Allah, tapi hampir pasti saya tidak mungkin berpoligami, karena dengan satu istri saja waktu membaca saya jadi berkurang banyak, apalagi dengan dua istri."

Kemudian saya ceritakan kisah bagaimana Buya HAMKA (yang juga adalah tokoh Masyumi itu) mendapat saran dari AR Sutan Mansur agar tetap mempertahankan satu istri. Alasannya adalah, mengurus keluarga (dua istri atau lebih ditambah anak) akan lebih banyak menyita waktu belajar dan berkarir. Kakak ipar Buya sebagai pelaku poligini mengakui sendiri hal tersebut.

Sekian.

PLURALISME POSITIF

Istilah 'Pluralisme Positif' dari Pak Kuntowijoyo saya temukan dalam buku "Muslim Tanpa Masjid". 


Dan Pak Kunto mengutip kembali definisi tersebut dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di bidang Ilmu Sejarah FIB UGM, yang sedang saya baca malam ini. 

Boleh jadi Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib) terinspirasi dari Pak Kunto saat coba mendefinisikan sebuah kebenaran. Bahwa kebenaran itu letaknya di dapur, yang kita bawa ke ruang tamu adalah kebaikan, kasih-sayang dan cinta kasih terhadap sesama. 

Saya hanya ingin sedikit menambahkan bahwa kebaikan yang kita bawa ke ruang tamu itu tidaklah hanya berlaku untuk antar pemeluk agama saja, melainkan juga sesama muslim. Inilah yang justru paling banyak dilalaikan oleh umat: kebaikan dan tenggang rasa antar kelompok.

PIDATO GURU BESAR

Ada lima kesimpulan yang dibuat oleh Pak Kuntowijoyo di akhir pidatonya terkait kesadaran keagamaan umat. Saya tidak kutip utuh melainkan hanya inti dari kesimpulannya dan contoh kasus di luar simpulan. Demikian: 

1. Kesadaran keagamaan itu berjalan secara evolusi dan tidak lurus (linier) melainkan tumpang tindih (overlapping) antara mitos, ideologi, dan ilmu. 

2. Tahap terakhir dipegang oleh pribadi dan minoritas kreatif, sebagaimana dahulu gerakan modernis menjadi minoritas di tengah-tengah umat tradisionalis. 

3. Perkembangan kesadaran keagamaan umat ditentukan oleh mobilitas sosial (esp: akses terhadap pendidikan), dan tidak oleh kekuasaan politik. Contoh hasil dari mobilitas sosial adalah lahirnya ICMI justru di saat Islam Ideologi dibungkam.

4. Politik sama sekali tidak berperan. Sejak dari zaman kolonial sampai reformasi kesadaran itu tidak ditumbuhkan oleh kekuasaan, melainkan mobilitas sosial yang melahirkan elit baru profesional (eksekutif, akademisi, pegawai tinggi, dan intelektual). 

5. Pidato lengkap Kuntowijoyo di poin lima: "Sebagai sejarawan yang berusaha melihat ke depan, dan sebagai pribadi yang beriman kepada Al-Qur'an saya percaya kepada ilmu dan bukan kepada politik. Dalam Al-Mujadalah ayat 11 disebutkan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang berilmu. Sebaliknya, tidak satu pun ayat menyebutkan bahwa Allah meninggikan derajat orang berkuasa. Itulah sebabnya pidato ini bersemboyan Knowledge is Power yang berasal dari Michel Foucault."

***

Buat yang ingin membaca pidato beliau langsung dari draft aslinya --Ahamdulillah ada yang mengunggahnya di FB-- silakan buka link di bawah:

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10209954051563144&id=1690528556&mibextid=Nif5oz

KEBANGKITAN NASIONAL


Peran Dokter dan Evolusi Pendidikan Kedokteran di Indonesia*

*Sebuah catatan untuk para dokter
Oleh: dr. Iwan Mariono

Mungkin banyak yang belum mengetahui, pendidikan kedokteran di Indonesia telah berlangsung selama lebih dari seratus tujuh puluh tahun. Dibuka pertama kali pada 1850 di Batavia (sekarang Jakarta), dari sejak lulusannya bergelar Dokter Djawa sampai jadi seperti sekarang mengikuti gelar dokter Eropa dan Amerika dengan spesialisasi. 

Mari kita lihat dinamika dan proses evolusi perjalanannya yang panjang tersebut, dan kaitannya dengan munculnya kesadaran yang menjadi cikal bakal lahirnya pergerakan nasional. 

Awalnya, lulusan Dokter Djawa menempati kasta kelas dua. Sekalipun bergelar dokter, dalam prakteknya mereka tidak diakui sebagai dokter yang utuh. Sehingga dalam memberikan pelayanan, mereka tetap menjadi subordinasi dari dokter-dokter Eropa. Mereka harus menempuh pendidikan lanjutan di Netherland untuk menjadi setara. Namun meskipun sudah menempuh pendidikan lanjutan, tetap saja kesetaraan itu tidak benar-benar mereka dapatkan. Mereka tetap diposisikan berbeda.

Banyak dokter pribumi yang mengalami diskriminasi, oleh dokter Eropa dan pemerintah kolonial. Mulai gaji yang dibedakan dengan dokter Eropa, sampai penolakan dan rasisme yang mereka terima karena bukan bagian dari kaum Eropa. Ini menjadi suatu ironi buat dokter pribumi atau dokter Hindia. Di satu sisi mereka mendapat pencerahan ilmu yang membuat mereka berbeda (bahkan mengalami keterasingan) dari pribumi bangsanya. Di sisi lain mereka tidak diakui oleh bangsa Eropa sebagai orang yang sudah tercerahkan. Jadilah mereka berada di posisi yang ambivalen.

Pengalaman ini dirasakan sejak bernama Dokter Djawa sampai berubah nama menjadi Dokter Pribumi pada 1890, dengan nama institusi: STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Perlakuan diskirminasi tetap berlanjut, sekalipun status agak naik dan berganti (lagi) menjadi Dokter Hindia pada 1913, dengan akronim yang sama masih sama: STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Hanya satu kata yang berubah, Inlandsche (Inlander) menjadi Indische (Hindia). 

Padahal pendidikan kedokteran yang mereka tempuh tidaklah sebentar. Butuh waktu sembilan tahun dan wajib menguasai bahasa Belanda. Setelah lulus, masih harus wajib dinas selama sepuluh tahun di instansi milik pemerintah kolonial. 

Pendidikan kedokteran bukanlah jurusan yang bergengsi apalagi diminati saat itu. Rata-rata yang kuliah adalah anak bangsawan rendahan. Para calon dokter itu tidak membayar mahal biaya kuliah alias gratis. Sebaliknya, mereka mendapatkan gaji rendah, menerima subsidi seragam dan asrama dari pemerintah kolonial. Gaji yang mereka terima setelah menjadi dokter juga tak seberapa, masih kalah jauh dari assisten wedana yang bahkan tidak pernah sekolah. Belum lagi perilaku diskriminasi dari dokter Eropa. Tentu ada motivasi yang kuat kenapa masih mau kuliah di kedokteran. 

Mendapat perlakuan tidak adil dan diskriminasi seperti itu, tidak mengherankan jika mereka yang lulus sebagai dokter Hindia mengalami pemberontakan dalam jiwanya. Jiwa memberontak inilah yang kemudian mempunyai arti penting dalam perjalanan sejarah lahirnya Indonesia sebagai negara modern.

Mari kita bahas lebih lanjut. Mengenai “pemberontakan jiwa” para dokter Hindia dan kaitannya dengan kebangkitan nasional, peneliti sejarah kedokteran era kolonial, Prof. Hans Pols dalam bukunya “MERAWAT BANGSA Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia” menulis catatan panjang yang sangat menarik: “Ilmu kedokteran justru mengilhami para dokter Indonesia untuk mengkritik pemerintah kolonial karena tingginya prevalensi penyakit di antara penduduk asli dan standar perawatan kesehatan kolonial yang tidak memadai. Bidang kedokteran menawarkan metode, cara berpikir, dan metafor-metafor biologis dan fisiologis baru untuk mengevaluasi masyarakat kolonial dan penyakitnya. Para dokter Indonesia mempunyai posisi ideal untuk mendiagnosis “tubuh sosial” masa kolonial, kemudian meresepkan terapeutik apa yang tepat untuknya, dan menegaskan bagaimana realitas-realitas era kolonial menghambat proses alamiah evolusi sosial. Komitmen mereka terhadap ilmu kedokteran adalah hal yang mengilhami sejumlah pemuda untuk membayangkan sebuah negara baru yang merdeka dan sehat. Secara perseorangan serta melalui perkumpulan profesi, para dokter Hindia Belanda giat mengartikulasikan identitas profesional mereka, yang memuat pandangan tentang potensi dan peran nyata ilmu kedokteran di masyarakat kolonial. Hal ini memotivasi mereka untuk pertama-tama mengkritik penyelenggara kesehatan di era kolonial dan kemudian merumuskan kebijakan medis yang akan melayani seluruh penduduk Indonesia.” (Hlm. 7).   

*** 

Lulusan Dokter Djawa yang namanya paling dikenal sejarah adalah dr. Wahidin Soedirohoesodo (1852-1917 M), seorang dokter  keraton yang mengabdikan diri menjadi dokter di kesultanan. Memasuki abad ke-20, dokter ini gencar berpidato kemana-mana, memberikan kuliah tentang pentingnya berserikat dan berorganisasi. 

Dialah penggagas utama, ketika memontum –yang kemudian dikenang sepanjang zaman– tanggal 20 Mei 1908 di aula kuliah utama Perguruan Tinggi Kedokteran, dengan Soetomo (1888-1938 M) sebagai ketua memprakarsai berdirinya organisasi yang kemudian diberi nama: Boedi Oetomo. Anggotanya saat itu adalah para dokter dan calon dokter. Di antara nama-nama yang populer adalah Tjipto Mangoenkoesoemo (1886-1943 M), Goenawan Magoenkoesoemo (adik Tjipto), dan Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara (1889-1959 M). Nama terakhir tidak menyelesaikan pendidikan dokternya. 

Dokter yang bergabung di dekade berikutnya adalah Mas Radjiman Wedyodiningrat (1879-1952 M) dan Sardjito (1889-1970 M), dua orang yang mempunyai peran besar di kemudian hari menjelang kemerdekaan dan masa revolusi. Yang pertama sebagai panitia perumus kemerdekaan, yang kedua dalam bidang pendidikan. 

Dari sinilah perjuangan menuntut persamaan hak-hak pribumi –khususnya bangsa Jawa– mereka mulai. Dari masalah pelayanan kesehatan sampai akses terhadap pendidikan modern untuk semua orang Jawa. 

Ya, sekalipun diakui secara luas sebagai organisasi kaum nasionalis pertama di Indonesia, sesungguhnya Boedi Oetomo bersifat elitis, eksklusif ningrat dan kedaerahan. Hal itulah membuat dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang Jawa yang sangat anti-feodal dan melepas gelar kebangsawanannya, tidak bertahan lama. Selepas kongres pertama, dokter Tjipto memutuskan keluar dari organisasi tersebut, kemudian memilih berjuang sebagai perseorangan, seperti dokter-dokter Hindia (dan non-Jawa) lainnya: Abdul Rasjid (Sumatera Utara), Abdul Rivai (Sumatera Barat), dan Tehupeiory (Maluku). Dua nama terakhir bersama Tjipto di kemudian hari menjadi dokter Hindia yang sama-sama berjuang di Volksraad (parlemen yang didirikan pemerintah kolonial). 

Setelah pindah ke Bandung, dokter Tjipto bersama Dowes Dekker juga mendirikan perkumpulan pelajar, yang salah satu murid kadernya kelak menjadi orang nomor satu di Indonesia: Sukarno. 

Terkait masalah kesehatan, ada perbedaan pelayanan kesehatan antara yang pribumi dan non-pribumi menjadi perhatian beberapa Dokter Hindia saat itu. Catatan Prof. Hans Pols mengenai hal ini: “Pada awal abad ke-19, pemerintah kolonial mendirikan layanan medis untuk tantara, petugas, dan pejabat pemerintah. Meski memelihara kesehatan para pejabat itu diperlukan untuk mempertahankan pemerintahan kolonial, tetapi pelayanan medis kekurangan dana yang kronis dan mendapatkan reputasi buruk. Penduduk asli mendapat perhatian saat muncul wabah yang bisa mengancam kaum Eropa, sehingga menjadi dasar kampanye vaksin besar-besaran.” (Hlm. 9). Buku ini saya rekomendasikan agar dibaca oleh segenap dokter (Judul: MERAWAT BANGSA Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia [penerbit Kompas]).

*** 

Setelah melalui perjuangan yang panjang, kesetaraan baru diperoleh pada 1927, STOVIA dihapuskan dan diganti menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Batavia (Gebeeskundige Hoogeschool [GH]). Dokter Oen Boen Ing (1903-1982 M) adalah salah satu alumninya. Dokter Oen (demikian sapaan akrabnya), adalah seorang dokter yang terkenal karena kedermawanannya. Kini namanya diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit swasta di Kota Solo. Rumah sakit itu sendiri awalnya adalah sebuah poliklinik yang didirikan oleh dokter Oen tahun 1952, dengan nama Ji Shengyan, yang bermakna “Lembaga Penolong Kehidupan”. Ji Shengyan ini dikisahkan banyak melayani orang-orang miskin dan tidak mampu. Untuk kisah lengkapnya silakan baca biografi yang ditulis oleh Ravando dengan judul: Dr. Oen, Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil (terbitan Kompas).

Kembali ke Perguruan Tinggi Kedokteran Batavia (GH). Sejak saat itu, lulusan dokter di Hindia diakui statusnya sebagai dokter penuh –tanpa harus pergi ke Netherland untuk menempuh pendidikan lanjutan. Baru pada era inilah pendidikan kedokteran mulai sedikit bergengsi, calon pelajar justru lebih didominasi oleh non-pribumi, terutama orang-orang Eropa. Kurikulum ini berlanjut sampai Jepang menduduki Hindia, menggantikan Belanda. Nama kampus baru berganti menjadi Universitas Indonesia setelah merdeka dan melewati masa revolusi. 

Yang menarik pada zaman kolonial Jepang (1942-1945), banyak dokter yang mulai pasif. Jika masa sebelumnya ada banyak yang berjuang di medan politik, kondisi masa ini justru sebaliknya menjadi apolitik. Mereka menduduki posisi-posisi penting yang dulu hanya bisa dinikmati dokter Eropa, yang membuat status sosial dokter Indonesia mulai naik. Sikap militan justru ditunjukan oleh mahasiswanya, setelah kampus mereka ditutup oleh pemerintah kolonial Jepang dan sempat vakum selama dua minggu. Kita sebut satu nama Soedjatmoko, seorang dokter sekaligus jurnalis yang militan. Di bawah asuhan Sutan Sjahrir, dia bersama rekan-rekannya melakukan perlawanan politik bawah tanah sampai Indonesia meraih kemerdekaannya. Sosok Soedjatmoko bisa kita kenali melaui tulisan-tulisannya.  

Pada zaman Jepang ini pula Bahasa Indonesia mulai digunakan dalam proses pembelajaran –salah satu simbol budaya yang menurut George McTurnan Kahin memperkuat rasa nasionalisme. 

Kita masuk ke zaman revolusi. Banyak dokter terlibat aktif selama masa ini. Mereka yang gugur dalam perjuangan dan paling dikenang sejarah adalah dr. Moewardi –hilang diculik, tak ditemukan jasadnya sampai hari ini– dan dr. Abdurahman Saleh. Nama terakhir selain berprofesi dokter juga perwira TNI AU. Dia ini gugur dalam perjalanan menerbangkan pesawat membawa logistik obat-obatan. 29 Juli 1947, masih dalam susasana Agresi Militer Belanda I, pesawatnya jatuh ditembak oleh militer Belanda di sekitar Maguwoharjo, Yogyakarta. 

Tahun 1948, demi menghormati jasa para dokter tersebut, Sukarno dan Mohammad Hatta menjadikan tanggal 20 Mei sebagai hari Kebangkitan Nasional. Inisiatif ini mungkin terasa seperti menomorduakan peran Islam yang diwakili oleh Syarikat Islam (SI). Namun saya meyakini kedua Bung –sekalipun masih tetap dengan pandangan naisonalnya yang sekuler– tidak bermaksud melemahkan kelompok ini. Apalagi, dalam perjalanan menuju kematangan berpikirnya, kedua proklamator tidak lepas dari pengaruh dan asuhan langsung para petinggi SI, terutama Cokro Aminoto dan Hadji Agus Salim.

Setelah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, perlahan peran dokter pun juga turut surut dalam pentas nasional. Hanya segelintir yang masih bertahan menjadi polititsi. IDI dibentuk pada September 1950. 

Dokter-dokter di zaman ini lebih banyak disibukkan dengan masalah kesehatan nasional seperti malnutrisi, penyakit cacar, dan malaria yang masih menjadi endemik. Selain kesehatan juga masalah pendidikan, beberapa kampus kedokteran baru mulai dibuka untuk memenuhi kebutuhan dokter. Tidak terasa, pendidikan kedokteran di Indonesia sudah berusia seratus tahun.

*** 

Hari ini (20 Mei 2023) adalah Hari Kebangkitan Nasional. 

Kita memperingati hari di mana profesi dokter mengambil peran yang sangat besar di dalamnya. Kalau mau merefleksikan diri sesuai profesi, harusnya hari ini kita peringati pula sebagai hari kebangkitan para dokter. 

Pendidikan kedokteran di Indonesia telah berusia 173 tahun. Sebagai dokter Indonesia, harusnya ada banyak hal yang bisa kita jadikan bahan refleksi. Apakah kita sudah meneladani para sesepuh kita dahulu? Mereka dulu berjuang tanpa pamrih. Niat awal mereka menjadi dokter justru untuk mengabdikan diri buat menyehatkan rakyat bangsanya. Tidak hanya penyakit fisik mereka yang berusaha disembuhkan kemudian disehatkan, bahkan sampai penyakit sosialnya.

Adapun refleksi buat kita saat ini, tidak perlulah terlalu jauh sampai menyehatkan bangsa. Sekadar ikhtiar menyebuhkan pasien yang sedang sakit, apakah sudah benar-benar jadi pedoman utama hidup kita? Jangan-jangan tujuan utama selama ini berbeda. Orientasi terhadap materi dan imbalan jasa justru yang lebih mendominasi tujuan kita menjadi seorang dokter. 

Mari kita meng-upgrade diri dan memperbarui niat dengan bertanya kembali, kenapa saya memilih profesi ini? Apa tujuan yang ingin saya capai? Pertanyaan ini harus terjawab tuntas. Jangan sampai tujuannya benar-benar mulia saat profesi ini masih menjadi impian dan cita-cita, dan justru dilupakan setelah profesi tersebut melekat dalam diri kita.[]

Morowali, 20 Mei 2023

MENCINTAI BUKU-BUKU

Oleh: Iwan Mariono

Mari mengenang sejenak perjalanan membaca dan berkenalan dengan buku. 

Ini kisah agak panjang tentang seorang anak yang kehidupannya sangat tak ideal untuk hidup dengan literasi: tidak ada taman baca apalagi toko buku. Paling dekat ke Makassar yang jaraknya delapan ratus kilometer. 

***

(I) Sekolah Dasar

Sekolah kami dulu tidak punya perpus. Jadi memang tidak ada yang bisa dibaca selama enam tahun di sekolah, kecuali buku pelajaran terbitan Tiga Serangkai, PPKN terbitan Depdikbud, dan Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka. 

Mungkin minat sudah ada. Hanya saja, akses terhadap bacaan yang kurang. Padahal saya selalu tertarik dengan cerita-cerita yang diselipkan dalam buku pelajaran PPKN dan terutama pelajaran Bahasa Indonesia. Satu di antara yang masih saya ingat lamat-lamat cerita dari buku itu adalah, semangat gotong royong warga Desa Sukamaju: membersihkan selokan, membangun jalan, membuat pagar rumah, dan masuknya listrik ke desa (disertai ilustrasi gambar seadanya). 

Saya benar-benar membayangkan ada desa bernama Sukamaju negeri antah-berantah sana. Dan membayangkan desa saya pun juga seperti itu. Karena di rumah kami pada akhir tahun 90an dan awal abad ke-21 masih pake lampu petromax, imajinasi saya akan Desa Sukamaju itu benar-benar hidup. Betapa indah dan bahagianya hidup dan tinggal di desa itu. 

Andai waktu bisa diundur, dahaga seorang anak akan dongeng dan cerita itu harusnya terpenuhi. Di usia-usia itu, menjejali mereka dengan buku-buku fiksi ringan dengan hikmah cerita dan nilai-nilai moral, tentu akan sangat baik dalam menemani proses pembentukan karakternya. Saya membayangkan jika guru di sekolah atau orang tua saya di rumah memberikan bacaan semisal Lima Sekawan, Winnetou, Hobits, The Lord of the Rings --dan novel-novel sejenisnya-- tentu itu akan sangat baik sekali. 

Waktu sudah lewat. Apa boleh buat, orang tua atau malah guru-guru saya sendiri boleh jadi tidak pernah baca buku fiksi, jadi mana tahu mereka manfaat dari membaca buku-buku itu. Akhirnya, saya melahap buku-buku justru setelah duduk di bangku kuliah. Genre yang harusnya sudah saya tinggal dua puluh tahun silam. 

Jadi --sebagai hikmah buat bapak ibu yg sudah punya anak-- tidak terlambat jika anak-anak Bapak-Ibu sekarang akan dijejali dengan komik dan novel-novel seperti: Tere Liye, Ahmad Fuadi, Tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, serial Pengen Jadi Baik karya Ardian Candra, bahkan novel-novel pendengar Buya HAMKA, dan sebagainya --di usia sekolah dasar sampai awal masuk sekolah menengah mereka, termasuk buku-buku fiksi saya sebutkan sebelumnya di atas, buku yang terbit zaman saya SD tapi tidak sempat saya baca (Silakan kalau teman-teman punya rekomendasi juga sampaikan di komentar, semoga orang tua yang punya anak membacanya). 

Saya tidak dapat apa-apa dari meng-endors penulis-penulis di atas. Buku-buku Tere Liye misalnya, karena sudah lebih dari dua puluh judul yang saya baca selama kuliah, saya bisa memberi nilai bahwa buku-bukunya cocok dibaca anak sekolah dasar: terutama serial Bumi dan serial Anak-anak Mamak.

Demikianlah. Jangan biarkan anak Anda, melewati masa kanak-kanaknya yang singkat dengan tanpa satu pun bacaan. Betapa sia-sia hidup mereka. 

***

(II) Sekolah menengah

Ini juga sama, hampir tidak ada buku yang saya baca. Sekalipun ada perpus seluas ruangan kelas, tapi tidak banyak koleksinya, kebanyakan buku-buku lawas dan kusam yang tidak menarik untuk dibaca. Selama SMP, seingat saya hanya satu novel yang saya khatamkan, judulnya: Misteri Danau Siluman. Siapa penulisnya saya sudah lupa. Saya baca buku itu oleh karena memang bingung mau baca apa. Tidak ada yang mengarahkan harus baca buku apa. Guru penjaga perpus sangat pasif. Boleh jadi penjaganya sendiri belum baca satu pun buku yang ada di perpus itu, jadi bingung juga kalau harus memberi rekomendasi. 

Di usia ini --terutama tiga tahun pertama sekolah menengah-- dahaga saya akan bacaan sedikit terobati justru lewat tabloid Bola dan Soccer. 

Saya bersyukur sekali di penginapan orang tua saya ada dua orang bapak-bapak pedagang, membawa mobil box dari Kota Palu, yang rutin menginap sebulan sekali. Saya suka bola, mereka juga suka bola. Kami bisa diskusi bola sampai larut malam. Di momen tertentu kami nonton bareng pake TV kecil 14 inci. Waktu itu RCTI menayangkan LaLiga Spanyol. Kami tidak bisa nonton liga Inggris karena untuk bisa mengakses TV7, harus pasang LNB dua. Sementara parabola di rumah hanya ada satu LNB. Hampir semua kamar penginapan di rumah saya pasangi poster bola. Ada puluhan lembar waktu itu. Hasil berburu di pasar desa setiap minggu. Waktu itu harganya Rp 2000,- per lembar. 

Singkat cerita. Bulan selanjutnya dan bulan-bulan berikutnya, setiap kali mereka datang selalu membawakan saya satu tabloid. Gonta-ganti. Kadang Bola, kadang Soccer. 

Saya koleksi tabloid itu sampai penuh satu box lemari selama tiga tahun saya SMP. Ada puluhan jumlahnya. Jika tiga tahun ada 96 bulan, berarti sebanyak itu tabloid Bola/ Soccer yang saya koleksi. Sayangnya tidak sebanyak itu, kadang beberapa kali mereka datang tidak membawa tabloid. Dalam hati saya kecewa. Jadilah, saya baca ulang, tabloid bulan sebelumnya. Kadang saya ulang sampai tiga kali.  

Memasuki masa SMA, saya pindah ke Kota Palu. Ini mendingan, ada beberapa buku yang saya baca. Andrea Hirata waktu itu menjadi idola anak-anak. Jadi, selain nonton film Laskar Pelangi, saya juga sempat membaca novelnya. Buku Kang Abik Ketika Cinta Bertasbih juga tidak saya lewatkan. Buku Tere Liye waktu itu hanya satu, Hafalan Shalat Delisa. 

Btw, kecuali buku Laskar Pelangi yang dipinjami teman, semua judul buku di atas saya baca ebooknya. Tentu saja ilegal. Tapi masa itu saya belum paham legal dan ilegal. Jadi yang penting bisa membaca, itu sudah satu kesenangan. Di Palu ada toko buku, tapi toko buku lokal. Tidak ada Gramedia, apalagi Togamas dan SAB. Buku-bukunya juga tidak update. Untuk membaca buku fisik Laskar Pelangi saja, harus antri. Buku itu milik seorang teman yang ayahnya bekerja di Pulau Jawa. Dia dapat oleh-oleh buku saat bapaknya pulang dari Jakarta. 

Sebenarnya bukan ada atau tidak adanya toko buku yang terpenting. Jelas yang paling utama, apakah orang tua kita merupakan orang tua yang mensubsidi anaknya dengan bacaan. Orang tua saya jelas tidak termasuk kategori itu. Di rumah mereka, hanya tabloid Bola dan Soccer lah bahan yang bisa dibaca (selain Al-Qur'an). Ada sih, buku yang lain, waktu itu mama punya buku primbon dan aneka resep masakan. Selain itu tidak ada lagi. Saya tidak mungkin membacanya. 

Sekadar tambahan info: saya SMA di Kota Palu yang jaraknya 500 kilometer dari kampung halaman, pulang hanya setahun sekali menjelang lebaran. Artinya selama sekolah saya hanya tiga kali pulang. Yang saya sesali saat saya lulus SMA dan pulang ke kampung halaman, koleksi tabloid itu raib entah kemana. Mungkin dijadikan alas pakaian. Atau terbuang bersamaan dengan rumah kami yang baru direnovasi. 

Demikianlah. Di usia sekolah menengah, melewati masa dahaga akan bacaan yang tidak terobati. Kalau mengenang semua itu, kadang sedih sendiri. 

Bersyukurlah anak yang dihidupkan oleh orang tua yang mencintai buku-buku dan melek literasi. Jika dengan semua fasilitas itu anak tersebut masih malas membaca, itu ibarat tikus yang mati di lumbung padi. 

***

(III) Setelah lulus sekolah dan nganggur. 

Selepas SMA saya ingin lanjut kuliah di Pulau Jawa. Di mana saja kotanya asal di Pulau Jawa. Keinginan pertama waktu itu di Jogja. Mama mendukung, almarhum Bapak sebenarnya agak keberatan, beliau ingin saya maksimal sampai Makassar. Tapi saya sudah bulat harus di Jawa. Saya manfaatkan dukungan Mama. 

Jadilah saya berangkat ke Jogja, ditemani oleh seorang ustadz yang membawa rombongan santri-santrinya. Mereka semua akhirnya menjadi kawan saya di Jogja. 

Di Jogja inilah saya merasakan geliat literasi. Saya seperti seekor tikus yang jatuh di lumbung padi. Buku-buku harganya murah. Diskon 20-30 persen, yang kalau di Sulawesi justru sebaliknya, 20-30 persen lebih mahal dari harga asli. 

Waktu itu saya tinggal di Perum Polri Gowok. Fakta bahwa sekira dua ratus meter dari kontrakan ada toko buku diskon seumur hidup: Social Agency Baru (SAB), membuat saya sangat senang sekali. Hampir tiap hari saya ke sana. Saya masih ingat, buku yang saya beli saat pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Jawa: Rembulan Tenggelam di Wajahmu, karya Tere Liye. 

Kemewahan yang saya rasakan bukan hanya bisa membeli buku-buku dari penulis yang saya idolakan. Lebih dari itu, saya bahkan bisa bertemu langsung dengan penulisnya. Belum lama saya di Jogja, ada iklan workshop kepenulisan yang tidak saya lewatkan. Diadakan oleh FIB UNY, dengan dua pemateri: Tere Liye dan Yusuf Maulana. Belakangan baru saya mengenal Pak Yusuf Maulana melalui karya-karyanya, paling saya sukai adalah bukunya "Nuun, Kalam Pencandu Buku" yang sy anggap sebagai maknum opus. 

Selama masa menunggu kuliah itu, ada kejadian besar dalam hidup saya. Saya bertemu dengan bapak kandung saya untuk pertama kali (saya sudah pernah menulis kisah ini panjang lebar, saya tidak akan menuliskannya lagi di sini). Fakta yang baru saya ketahui, bapak kandung saya ternyata orang kuat membaca. 

Singkat cerita, setalah pertemuan selama tiga hari di Jogja itu, saya dapat uang saku dari beliau sebesar lima juta rupiah. Kemana uang sebanyak itu terbelanjakan? Ya, bisa ditebak, uang itu banyak saya belikan buku. Belum genap setahun di Jogja koleksi buku saya sudah di atas seratus. 

Nasib saya harus nganggur setahun karena tidak keterima di beberapa kampus. Tapi hikmahnya saya bisa melahap seratusan buku yang sudah saya beli. 

Genre bukunya variatif: fiksi, agama, biografi, motivasi dan sedikit buku ekonomi bisnis. Fiksi jelas di urutan pertama. Karena dahaga yang paling yang belum terobati justru buku-buku ini. Btw, kalau ada yang nanya buku fiksi apa yang saya baca berulang kali? Jawabnya: dua buku: "Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah" karya Tere Liye sebanyak lima kali; dan "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer sebanyak tiga kali. 

Selama setahun di Jogja, paling banyak saya lahap dari buku fiksi ini adalah karya Tere Liye dan Pram. Nama terakhir ini membuat saya terpesona, karena tulisannya benar-benar seperti ilmu sihir yang mampu menghipnotis pembacanya. Setidaknya itu yang saya rasakan waktu membaca Bumi Manusia. Tidak tanggung-tanggung, buku setebal 535 halaman ini saya khatamkan hanya dalam sehari, dari jam 07 pagi sampai jam 12 malam. Hanya jeda saat shalat dan makan. Dari buku-buku Pram ini pula saya jadi berkawan akrab sama sahabat saya seorang Pramisme, Dharma Setyawan. 

Ada satu cerita unik, buku Jejak Langkah saya taruh samping kaki saya saat shalat di madjid. Mungkin jamaah di belakang saya terganggu dengan buku itu, jadilah dia kejar saya sekeluarnya dari masjid. Dia tanya, "Kamu baca Pram ya?", saya menoleh ke suara di belakang saya. Dialah Mas Dharma, orang yang tersenyum bangga melihat saya membaca buku itu. 

Andrea Hirata sempat vakum di masa ini, karya terbarunya yang saya ikuti hanya satu buku waktu itu: Sebelas Patriot. Buku-buku Kang Abik terbaru juga saya koleksi. Ahmad Fuady baru awal-awal dikenal waktu itu. Untuk fiksi luar yang saya baca awal-awal adalah Sherlock Holmes, saya baru tahu juga waktu itu kalau penulisnya ternyata adalah seorang dokter: Sir Arthur Conan Doyle. 

Saya membayangkan, jika akses terhadap bacaan fiksi itu sudah terpenuhi sejak masa sekolah, mungkin saya sudah meninggalkan genre itu sejak lama. Beranjak ke bacaan yang lebih serius tentunya, hal yang baru saya lakukan sepuluh tahun terakhir. Termasuk telat menurut ukuran saya. 

Saya sempat termotivasi menjadi seorang bisnisman, saat membaca karya-karya Ippho Sentosa dan Jaya Setiabudi. 

Buku-buku agama waktu itu yang paling banyak saya ikuti adalah karya Agus Mustofa, serial Diskusi Tasawuf Modern. Saya tidak tahu sekarang sudah sampai serial ke berapa. Saya hanya mengikuti sekitar tiga puluh judul. Beliau penulis yang sangat produktif, sekaligus kontroversial. Saya termasuk membaca buku yang mengkritik pemikirannya. Tapi apa pun itu saya berterima kasih kepada penulisnya yang telah membuka cakrawala berpikir saya. 

Buku yang paling menyentuh saya juga waktu itu adalah karya Erbe Sentanu, Quantum Ikhlas. Waktu itu, buku ini membuat saya benar-benar ikhlas menjalani hidup sebagai pengangguran. Hehe. 

*** 

(IV) masa kuliah

Saya akhirnya keterima kuliah di Solo. Pindahlah saya dari Jogja ke Solo dengan membawa buku-buku yang sudah terkumpul selama setahun lebih tiga bulan. 

Ada banyak perubahan yang terjadi selama kuliah. Bacaan juga menjadi lebih bervariasi. Saya tidak mungkin merinci satu per satu di sini. Saya sudah mulai mengimbangi fiksi dengan non-fiksi. Fiksi yang tidak saya lewatkan selama kuliah adalah buku-bukunya Ahmad Tohari. 

Tidak boleh dilupakan di sini, sekalipun pelan-pelan sudah mulai beranjak dari buku fiksi, ada juga buku fiksi yang menjadi jembatan buat saya untuk mempelajari tema serupa tapi non-fiksi. Adalah Langit Kresna Hariadi yang membuat saya mencintai sejarah kerajaan di Indonesia. Novel Gajah Mada itu benar-benar menghidupkan imajinasi saya akan kehidupan abad XIII. Saya sudah menulis catatan yang panjang di FB ini mengenai perkenalan saya dengan pak Langit. Pak Langit pula yang membawa saya di kemudian hari mengenal Pak Nassirun Purwokartun. 

Sedangkan yang non-fiksi, buku-buku kiri menjadi pilihan biar tampak keren. Tapi tidak hanya keren, memang saya akui, baca buku kiri itu bikin percaya diri. Hanya saja, sekadar percaya diri sebenarnya bukanlah tujuan utama dari seseorang membaca buku. Membaca, apa pun itu, bagi saya, adalah penting untuk membentuk sudut pandang. Sehingga saat bertemu dengan lawan bicara, kita bisa mengukur sejauh mana kita melangkah, dan menjadi pandai menakar kapasitas diri sendiri. . 

Sebelum jadi pengagum Mohammad Hatta, terlebih dahulu saya mengagumi Sukarno. Jilid I Di Bawah Bendera Revolusi itu saya khatamkan selama kuliah. Jilid II saya khatamkan saat baru lulus dan wajib dinas setahun di Makassar. Bagi saya Sukarno itu tipe manusia yang sangat awet dalam berjiwa muda, penuh semangat dan agitasi. Masalahnya, dalam hidup ini, ada saat di mana kita perlu beranjak dari semangat yang terlalu gegap gempita. Bukan dipaksa oleh keadaan, tapi atas kesadaran diri sendiri. 

Sadar diri itulah yang saya temukan dalam sosok Mohammad Hatta. Tulisan-tulisan Hatta sangat mewakili hidupnya yang --dalam bahasa Cak Nun-- "hidup itu harus pintar ngegas dan ngerem". 

Siapa pun yang pernah membaca tulisan-tulisan Hatta, akan merasakan jiwa lembut dan sensitif yang sedang berbicara. Hatta menjadi sangat anti-komunis justru karena dia mendalami komunis itu sendiri. Dalam ranah praktis, Bagi Hatta, ada perbedaan mendasar antara komunisme yang diinginkan Marx dan yang terjadi dalam prakteknya dilaksanakan oleh Lenin. Yang pertama menghendaki evolusi, sedang yang kedua mempraktikkan dengan jalan revolusi. 

Duh, pembahasannya kok jadi berat gini. Hehe. Baiklah, kita beranjak dulu. Yang jelas, cakrawala pemikiran saya banyak dibuka oleh dua bapak proklamator ini.

Buku kiri yang sebenarnya tidak benar-benar kiri itu menurut saya --justru setelah membacanya-- adalah buku-buku Tan Malaka. Tan Malaka adalah tipe manusia radikal tapi tidak gegabah dan sangat penuh perhitungan. 

Pada masa kuliah ini juga saya mulai masuk ke tema-tema budaya. Berawal dari Cak Nun saat kuliah, berlanjut ke Kuntowijoyo setelah selesai kuliah. 

Namun sebelum itu, aktif di lembaga dakwah saat kuliah, pemikiran saya banyak dibentuk oleh buku-buku tarbiyah. Buku-buku Salim A Fillah berada di urutan pertama, terutama buku "Dalam Dekapan Ukhuwah". Saya rasakan betul bagaimana buku itu banyak mengarahkan saya bagaimana bergaul dengan para al-akh, yang sampai hari ini tidak banyak berubah. 

Selama masa kuliah ini pula, saya mulai berkenalan degan buku-buku Buya HAMKA. Mungkin karena di era ini buku-buku yang sebelumnya telah hilang tiba-tiba muncul kembali di rak-rak utama toko buku. Untuk ini, saya berterima kasih kepada dua penerbit: Gema Insani dan Republika. 

Demikianlah, saya sekarang adalah apa yang saya baca dari sejak belasan tahun silam. Dan saya di masa yang akan datang adalah apa yang saya baca sejak hari ini. Bukan hanya badan, pikiran manusia juga terus berevolusi. 

*** 

(V) selepas kuliah

Sebelum melanjutkan tulisan estafet ini, saya ingin mengingat kembali mengenai buku-buku yang banyak merubah hidup saya, tapi kok hampir lupa saya tuliskan. Padahal pengaruh yang ditimbulkan sangat dalam menghujam. Saya juga mengoleksi dan membaca buku-buku Sirah Nabawi, kebanyakan terjemahan. Yang bukan terjemahan (baru) satu: The Great Story, Muhammad shalallahu alaihi wassalam, karya Ahmad Hatta, dkk., terbitan Maghfirah Pustaka. Bukunya bagus full color dan full gambar. Buat pembaca Sirah Nabawi pemula, buku itu sangat rekomendasi. 

Di antara buku Sirah Nabawi terjemahan yang saya baca, yang paling menyentuh adalah karya Martin Lings. Saya pernah dibuat menangis oleh buku itu saat penulisnya mengisahkan bagaimana akhirnya Allah membebaskan fitnah berbulan-bulan yang dialami oleh bunda Aisyah ra. Buku itu tiga kali saya baca, di tiga bulan Ramadhan yang berbeda (2014, 2015, 2016). Tiga kali pula dibuat menangis. Memang beda resonansinya, buku yang ditulis oleh sejarawan murni dan oleh sejarawan sekaligus sastrawan. Martin Lings adalah perpaduan keduanya. 

Dari buku the Mistism of Hamzah Fansuri yang ditulis oleh Syed Naquib Al-Attas, saya baru tahu kalau Martin Lings adalah guru beliau. Padahal Syed Naquib sendiri adalah guru dari Ustadz yang sangat saya kagumi dan hormati: Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. Saya mengenal beliau melalui tulisan-tulisannya yang menolak paham liberalisme. Bukunya berjudul "Misykat, Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam", benar-benar membuat saya angkat topi. Tulisan-tulisannya ringkas, tapi referensi dan muatan bobotnya sangat berat. Dua kali saya khatamkan buku itu dan makin terpesona. 

Saat membaca buku Nurcholish Madjid, "Islam, Doktrin dan Peradaban", dengan segala keawaman saya, saya coba untuk menyayangkan. Andai diksi liberalisasi yang digagas oleh Cak Nur tetap seperti diksi awalnya: desakralisasi --mungkin polemiknya tidak akan berkepanjangan sampai seperti sekarang ini. 

***

Saya menjalani hidup sebagai dokter belumlah lama, baru lima tahun. 

Selama lima tahun ini saya banyak beralih bacaan. Terbentuk dari hal-hal sepele yang sebenarnya tak sepele. Genre banyak berubah saat saya sowan ke rumahnya Ust. Arif Wibowo dan melihat koleksi perpustakaannya. Saya iri mendengarnya sejak SMA sudah membaca Tafsir Al-Azhar sampai khatam. Sementara kedatangan saya ke rumah beliau pertama kali justru karena memesan kitab itu dan baru bacanya. 

Melihat perpus Ust. Arif, yang terlintas di pikiran: "saya juga harus punya bukunya, penulis yang buku-bukunya beliau koleksi." Jadilah saya berkenalan dengan penulis-penulis seperti: MC. Ricklefs, Clifford Gertz, sampai Thomas W Arnold. Setelah membaca sebagian dari karya-karya mereka, pengembaraan saya justru semakin jauh menyelami tulisan orientalis lain seperti John Williams Draper, John L. Esposito, sampai Philip K Hitti.

Yang lebih gila lagi saat saya berkunjung ke rumah Mas Bandung Mawardi a.k.a Pak Kabut. Melihat koleksi buku-bukunya bikin saya jadi malas untuk beranjak kemana-mana. Saya harus berterima kasih kepada sahabat saya Faizal Surya yang telah mengenalkan saya dengan beliau. Saya jadi semakin keranjingan baca buku kayak orang kesambet. Tidak hanya menyarankan bacaan, tapi beliau juga menyarankan saya untuk menulis. Jadilah tulisan ini sebagian besar lahir atas motivasinya. 

*

Terima kasih sudah membaca tulisan bersambung ini sampai akhir. Semoga ada hikmah yang bisa dipetik. 

Selamat memperingati Hari Buku Nasional.

Selamat Mencintai Buku-Buku.

SELESAI.

SELOROH GUS DUR

Setelah membaca dan mengenali tipe-tipe oligarki, saya langsung teringat guyonan Cak Nun yg sering beliau sampaikan berulang kali di beberapa acara Maiyah --termasuk yg pernah sy ikuti. 


Ceritanya Gus Dur bertemu Pak Harto setelah keduanya wafat. Pak Harto bertanya kepada Gus Dur, "Opo bener arek-arek jare kangen zamanku (apa benar anak-anak katanya rindu zamanku)?"

"Ooh, nggih noh Pak, leres. Sampeyan niku pancen top kok (Ooh iya dong Pak. Betul. Bapak ini memang top pokoknya)," seloroh Gus Dur, membuat Pak Harto jadi sumringah. 

"Kok iso, piye ceritane (Kok bisa, bagaimana ceritanya)?"

"Yo nggih noh Pak. Riyen niku Suharto-ne mung setunggal. Nek saiki Suharto-ne katah tenan (Yaiya dong Pak. Dulu itu Suharto-nya cuma satu. Kalau sekarang ini Suharto-nya banyak sekali."

*** 

Saya kok yakin Cak Nun sangat paham teori dan klasifikasi oligarki. Lelucon yang dibawakan Cak Nun itu sesungguhnya sangat akademis. Sejalan dengan tipe-tipe oligarki yang dipaparkan Jeffrey Winters dalam buku ini. 

Paska runtuhnya rezim Orde Baru, kita beranjak dari sistem otoriter menuju demokrasi, yang disambut dengan gegap gempita. Namun yang tidak banyak sadari orang-orang, sebagai diungkap oleh Winters:

"Akhir kekuasaan otoriter di Filipina pada 1980-an dan di Indonesia pada 1990-an banyak dielu-elukan sebagai transisi menuju demokrasi. Namun studi ini mengungkap dengan jelas bahwa ada satu lagi transisi penting yang terjadi --dari oligarki relatif jinak di bawah dominasi sultanistik ke oligarki liar di bawah pemerintahan demokratis yang tak punya kemampuan untuk mengendalikan para oligark." (Hlm. 55).

BACAAN MENJELANG PILPRES

BACAAN MENJELANG PILPRES. Selesai membaca kata pengantar dua buku ini, saya putuskan untuk terlebih dahulu meneruskan buku yang kanan: Oligarki. 


Ini adalah pertama kali saya membaca bukunya Jeffrey A.Winters. Saya mengenal namanya sejak dua tahun yang lalu, mengikuti beberapa kuliahnya di Youtube, termasuk saat membedah buku Oligarki, yang sudah saya buat ringkasan materi di FB. Ini linknya:
 https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid035fYUbFFHCwBjfuxAw9hVewEZ9Fhs5CtNwgS5xiwSNY1uDRjSgvAHXHSBocGfdcnzl&id=100000467690969&mibextid=Nif5oz

***

Buku ini langsung saya baca sampai halaman 60 (Bab 1) mengenai dasar material oligarki. Dari bab satu ini saja ada banyak sekali ringkasan yang bisa dibuat supaya pembaca punya gambaran yang jelas mengenai oligarki. 

Berikut lima ringkasan yang saya buat terkait oligarki (yang harus dibaca secara berurutan):

1. Oligarki secara etimologi berasal dari Bahasa Yunani olig-arkhia: oligoi (sedikit) dan arkhein (memerintah), yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit. Namun secara terminologi mempunyai banyak definisi, yang paling popular berdasarkan KBBI: “Pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang dari golongan atau kelompok tertentu.” 

Setelah membaca buku ini kita harus memperjelas lagi bahwa kelompok tertentu yang dimaksud itu adalah minoritas orang atau individu (oligark) yang mempunyai kekayaan material SANGAT BESAR. Kemudian dengan kekayaan itu dia ikut mengendalikan sistem pemerintahan, yang MOTIF utamanya adalah untuk (tidak hanya) mempertahankan kekayaannya, namun juga menambah pendapatannya. Caranya bisa bermacam-macam, ada yang melalui pemaksaan (koersi), ada pula yang melalui undang-undang yang mengatur hak milik. Puncaknya adalah melalui kekerasan. 

Terkait minoritas oligark ini, Jeffrey Winters menulis: “Kekayaan sangat besar di tangan minoritas kecil menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah politik, termasuk dalam demokrasi. Menyangkalnya berarti mengabaikan analisis politik berabad-abad yang menelusuri akrabnya hubungan antara kekayaan dan kekuasaan.” (Hlm.7).

Di zaman kita yang menganut sistem demokrasi ini, oligark sanggup mendanai biaya kampanye (berapapun besarnya) terhadap calon kepala negara yang dianggap lebih menguntungkan kepentingan mereka, bahkan bisa mereka kendalikan. 

2. Oligarki tidak terikat dengan sistem pemerintahan, ia bisa masuk di mana saja, baik imperium, kerajaan, otoriter, maupun demokrasi. Oligarki sudah ada sejak zaman Fir’aun sampai Yunani Kuno –yang terakhir ini bahkan Aristoteles sudah menulis panjang lebar tentangnya. Oligarki selalu ada di sepanjang zaman, yang berbeda dari setiap zaman itu hanya sifatnya: JINAK atau LIAR. 

Karena hampir tidak mungkin menghapus keberadaan oligark yang membentuk oligarki, maka paling penting yang menjadi TUGAS NEGARA melalui pemerintahannya (di zaman demokrasi ini) adalah bagaimana pemerintah bisa MENJINAKKANNYA. 

Jefrrey Winters menulis: “Penjinakan oligark adalah fenomena politik mahapenting yang tidak ada hubungannya dengan demokratisasi. Oligarki penguasa kolektif dan sultanistik selalu bukan demokrasi, tapi juga berkisar antara oligarki jinak dan liar. Sementara itu, oligarki sipil per definisi adalah sistem pemerintahan tak-pribadi di bawah rezim hukum yang lebih kuat daripada individu oligark.” (hlm. 57).

Kata kuncinya adalah menjinakkan, agar kekayaan yang mereka miliki dapat didistribusikan untuk sebanyak-banyaknya orang –melalui aturan pajak, denda, dan pengawasan kekayaan. Yang terakhir ini penting untuk diketahui karena di mana pun keberadaan oligark, ia selalu memiliki potensi dan kecenderungan untuk: menyembunyikan kekayaan, mengatur kekayaan untuk berkelit dari pajak, bahkan mengendalikan petugas pajak. 

Bayangkan jika satu saja oligark mempunyai kekayaan misal seratus triliun, apa mereka rela melepas 10 triliun "saja" (pajak 10%-nya) untuk kesejahteraan masyarakat? Mungkin ada, tapi jelas lebih banyak yang berat untuk berbagi dan mendistribusikan kekayaannya. 

3. Dari poin 1 dan 2 di atas kita bisa menyimpulkan sendiri bahwa akan selalu ada tawar-menawar antara oligark dan elit penguasa yang menjalankan pemerintahan. Hasilnya bisa menguntungkan rakyat, atau sebaliknya: merugikan rakyat, bahkan mendindas. Elit penguasa yang baik akan selalu berusaha memperjuangkan kepentingan rakyat. Negosiasi dengan oligark jangan sampai merugikan kepentingan rakyat yang telah mengangkatnya naik menjadi penguasa. 

Sekarang, tidak kalah penting harus diperjelas dan dipisahkan di sini adalah istilah ELIT dan OLIGARKI. Keduanya tidak sama. Elit adalah orang yang memiliki kedudukan, tapi belum tentu seorang oligark. Sementara oligark bisa menjadi seorang elit. Presiden itu elit, tapi belum tentu oligark. Namun ada presiden yang sekaligus oligark.

“Oligark bisa menjadi pemerintah, tapi tidak tidak harus menjadi pemerintah. Selain itu, karena pemerintahan bukan unsur pembentuk oligark, maka ketiadaan oligark dalam peran pemerintahan tak berpengaruh pada keberadaan oligark dan oligarki. Oligark adalah pelaku yang didefinisikan oleh sumber daya kekuasaan tertentu yang dimiliki dan dikuasai. Mereka merupakan satu bentuk kekuasaan dan pengaruh minoritas berkat sumber daya material yang telah mereka kumpulkan secara pribadi dan mereka mau simpan serta pertahankan." (Hlm. 58).

Dalam bukunya, Jeffrey Winters mendefinisikan dengan jelas ciri-ciri seorang oligark. Penelitiannya di beberapa negara (yang salah satunya Indonesia) adalah dengan mewawancarai masing-masing oligark. Ada yang namanya dirahasiakan, ada pula yang dia sebut secara jelas. Ada satu sosok nama yang disebut dengan jelas dalam buku ini, yakni pemilik PT. Lapindo, Abu Rizal Bakrie. Di antara semua narasumbernya, hanya satu orang yang dirinya menolak dikelompokkan sebagai bagian oligark.

4. Agar bisa membedakan dengan baik oligarki yang jinak dan yang liar, kita perlu juga mengetahui tipe-tipe oligarki. Ada empat tipe oligarki: (1) olilgarki panglima (warring), (2) oligarki penguasa kolektif (ruling), (3) oligarki sultanistik (sultanistic), dan (4) oligarki sipil (civil).  

Sederhananya, oligarki panglima adalah kebalikan dari oligarki penguasa kolektif. Yang pertama mereka berebut kekayaan dengan cara kekerasan, yakni melalui konflik atau perang antar oligark, pengumpulan kekayaaan paling sering melalui penaklukan. Sedang yang kedua mereka saling bekerjasama. "Pemerintahan kolektif oleh oligarki penguasa kolektif itu lebih tahan lama karena para oligark yang terlibat berperan lebih kecil secara pribadi dalam pelaksanaan kekerasan untuk pertahanan kekayaan. Oligark penguasa kolektif membagi biaya kekuatan pemaksa, antara yang mereka bayar dan mereka gunakan sendiri," demikian tulis Winters. (Hlm. 52-53).

Oligarki sultanistik ada ketika monopoli sarana pemaksaan berada di tangan satu oligark, bukan negara terlembaga yang dibatasi hukum. Demikian pendapat Chehabi dan Linz sebagaimana dikutip Winters, sekaligus dia memberikan contohnya adalah Presiden Soeharto.

Terakhir oligarki sipil, adalah kebalikan dari oligarki sultanisitik, sekalipun tidak sepenuhnya berbeda. "Bedanya dalam oligarki sipil, yang menggantikan individu tunggal sebagai pelaksana pemaksaan yang mempertahankan harta oligarki, ada lembaga pelaku yang dikendalikan oleh hukum," demikian penjelasan Winters. 

5. Membaca penjelasan terakhir di atas saya langsung teringat omnibus law. Tentu hukum itu dibuat sebagai tanda dari negara yang demokratis, tapi jelas proses pembuatan undang-undang sampai pengesahan hukum tersebut tidak lepas dari campur tangan dan kepentingan oligarki. 

Semoga catatan singkat ini bermanfaat dan menambah wawasan kita tentang oligarki.

NAIRA

Papa memberimu nama Naira. Yang terpikir oleh banyak orang mungkin kosakata dalam bahasa Arab: nur/noura, yang berarti sinar atau cahaya. Tidak keliru. 


Namun inspirasi pertama Papa bukan dari bahasa Qur'an itu (kecuali nama belakangmu: Nuzula Firdha). Melainkan dari sebuah pulau kecil di sebelah tenggara provinsi Maluku bernama Banda Naira. Begitu berkesan sampai sempat terpikir akan memberi pula nama depan Banda jika kau punya adik laki-laki. 

Pulau dengan nilai sejarah. Papa tahu itu dari sebuah buku Memoir karya Bung Hatta, yang pernah tinggal di sana untuk waktu cukup lama bersama Sutan Sjahrir, dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo bersama istri, sebagai interniran Belanda. Mereka adalah manusia-manusia bebas dalam arti sesungguhnya, terpenjara fisiknya namun tidak pikirannya. 

Juga melalui catatan-catatan Des Alwi, yang melukiskan keindahan tempat itu dengan sempurna. Ia, bersama dua bapak angkatnya --Hatta dan Sjahrir-- menghabiskan waktu bermain di pantai dan mendayung perahu ke pulau-pulau kecil di sekitarnya. 

Entah kenapa pulau itu begitu istimewa buat Papa, sekalipun Papa belum pernah menginjakkan kaki ke sana. 

Kelak kita akan berkunjung ke sana. InsyaAllah.

GRANADA

Novel dengan setting waktu Spanyol akhir abad XV, menceritakan kisah Bangsa Moor yang memilih tetap bertahan di negerinya paska Reconquista (1492). 

Siksaan demi siksaan, fisik maupun psikis, mereka hadapi selama puluhan tahun. Yang paling menyakitkan adalah dilarangnya menyimpan apalagi mempelajari kitab-kitab ilmu, baik yang berbahasa Castile apalagi Arab. Ancamannya adalah hukuman mati dibakar hidup-hidup. Dan korbannya adalah sang tokoh utama: Gloria Alvarez (nama baptis dari Saleemah binti Jaafar). 

Saleemah adalah cucu dari seorang kakek yang berprofesi sebagai penjilid kitab (mungkin saat ini kita menyebutnya: penerbit buku) yang sangat menjaga dan mencintai ilmu. Kakeknya meninggal mendadak setelah menyaksikan pembakaran kitab-kitab yang berhasil disita oleh tentara (saya menduganya terkena serangan stroke). 

Saleemah berjanji akan melindungi kitab-kitab yang berhasil diselamatkannya (disembunyikan). Secara diam-diam ia mempelajarinya, dan kemudian merangkumnya (di antaranya magnum opus al-Kanun karya Avicenna). Kitab-kitab itu membawanya menjadi seorang dokter yang berhasil menemukan beberapa ramuan obat. 

Otoritas Gereja saat itu menjatuhkan sanksi kepadanya, salah satu dakwaannya adalah: mempelajari ilmu sihir.

Kisah selengkapnya silakan dibaca sendiri. 

BUNG HATTA BERCERITA TENTANG PKI

Buku tipis dan langka ini, hanya 215+vii halaman, berisi wawancara Dr. Z. Yasni bersama dosen beliau, Bung Hatta, tahun 1978.


Terdiri dari lima bab. Namun setengah dari isi buku ini dihabiskan hanya untuk bab 1 saja, yakni tanya-jawab seputar PKI. 

Bung Hatta, Negarawan pembaca karya-karya Marx, namun sekaligus tokoh yang sangat anti-PKI itu, memberikan jawabannya secara mengalir saat proses wawancara. Kadang singkat, namun lebih banyak panjang-lebar saat menjawab pertanyaan dan menjelaskannya secara detail. 

Saya akan membuat ringkasan random, ada beberapa poin penting yang disampaikan Bung Hatta dalam buku ini:

1. Perbedaan mendasar antara Marx sebagai pencetus ide komunis, dan Lenin (dilanjutkan Stalin) sebagai pelaksana pertama dari ide tersebut adalah pada cara pelaksanaannya. Marx menginginkan prosesnya berjalan secara evolusi, sementara Lenin menghendaki jalan revolusi. 

Demikian jawaban Bung Hatta: "Menurut Marx, masyarakat lama tidak akan rubuh dan masyarakat baru akan tumbuh, sebelum pusat-pusat produksi yang mendukungnya berkembang seluas-luasnya. Jadi, pendek kata prosesnya adalah dinamis, tetapi bukan revolusioner, hanya adalah evolusioner, dalam arti harus berkembang dengan baik lebih dulu. Ini ditentang oleh Lenin. Pahamnya menyatakan, bila saja ada kesempatan, rebut kekuasaan. Marx menghendaki perkembangan kapitalisme dan ekspansi produksi terus menerus yang nantinya akan menyebabkan verelendung dan kemiskinan itulah yang memungkinkan saat yang matang untuk perebutan kekuasaan itu dapat dilakukan." (Hlm. 77-78) 

"Saya hantam dengan tajam bagaimana komunis yang dipraktekkan sekarang bertentangan dengan Marx-Engels." (Hlm. 15) 

2. Tidak ada pernyataan Bung Hatta yang tegas apakah sebaiknya komunisme dilarang di Indonesia, tapi menurut beliau yang terpenting bukanlah pelarangannya, melainkan bagaimana sebuah negara mampu mensejahterakan rakyatnya. Kalau rakyat sudah makmur hidupnya, komunis tidak akan bangkit di negara tersebut. 

"Dilarang atau tidak, yang terpenting adalah menghilangkan alasan-alasan serta keadaan yang memungkinkan timbulnya komunis kembali. Kemiskinan yang sangat besar, perbedaan antara si kaya dan si miskin yang menyolok sekarang masih ada dan akan senantiasa menjadi bahan yang ampuh bagi gerakan komunis baik secara nyata dan terbuka maupun secara diam-diam di bawah tanah. Selama ini ada, PKI akan senantiasa pula mengajarkan pengikut-pengikutnya begitu rupa sehingga menjadi fanatik. Makin hebat perbedaan itu, semakin tebal kefanatikan itu bisa ditanamkan komunis kepada penyokong-penyokongnya." (Hlm. 85) 

"Makin cepat kita meningkatkan kemakmuran dan meratakan kemakmuran itu makin tidak mungkin mereka mempengaruhi rakyat kembali. Di saat itu walaupun mereka dilepaskan kembali ke masyarakat, tidak akan berbahaya lagi. Ringkasnya pertanyaan itu harus dijawab oleh generasi yang sekarang dan yang akan datang, sehingga tidak usah ditakutkan lagi akan berbahaya." (Hlm. 5).

"Dalam berbagai kesan saya, negara-negara komunis yang tidak terlalu doktriner dalam pembangunan ekonomi dalam arti menggunakan juga unsur-unsur mekanisme harga, nampak lebih maju di bidang ekonomi seperti Yugoslavia. Dengan kata lain semakin jauh dia dari ajaran asli Stalinisme, semakin maju dia di bidang ekonomi." (Hlm. 6) 

3. Fakta sejarah sekaligus sebuah ironi, komunis di Indonesia lahir justru dari tubuh Syarikat Islam (SI). Pada 1921, tokoh-tokoh idealis seperti Darsono dan Semaun yang telah mendapat didikan dari Sneevlit (orang pertama yang membawa ide komunis ke Indonesia) oleh Hadji Agus Salim dikeluarkan dari organisasi, bersamaan dengan SI yang berubah menjadi PSI (Partai Syarikat Islam). 

Terkait fakta tersebut, Bung Hatta berkomentar demikian: "Di Semarang itulah terjadi pertemuan yang sering antara dia (Sneevlit) dengan Darsono dan Semaun. Syarikat Islam yang kurang memperhatikan nasib buruh, telah merupakan lowongan baik bagi ide-ide radikal yang dimasukkan oleh Semaun dan Darsono yang tadinya diinspirasikan oleh Sneevlit." (Hlm. 7)

4. Sebenarnya Bung Hatta bercerita banyak mengenai bagaimana sosok DN Aidit tiba-tiba masuk ke dalam kekuasaan dan menjadi anak kesayangan Bung Karno, juga (sebaliknya) bagaimana Bung Karno dan Sutan Sjahrir menjadi renggang karena masalah sentimen pribadi. Tapi saya ceritakan kapan-kapan saja ya, karena ringkasan ini saya rasa sudah terlalu panjang. Hehe. 

Cukup tahu bahwa bibit kerenggangan itu berawal dari Sutan Sjahrir yang menegur Bung Karno saat sedang mandi sambil bernyanyi, "Houd je mond!" (Tutup mulutmu!). Soekarno jadi jengkel. 

Itu terjadi saat Bung Karno, Sutan Sjahrir, dan Hadji Agus Salim diasingkan ke Berastagi (Sumatera Utara) oleh penjajah saat terjadi agresi Militer Belanda. Bung Hatta mendapat cerita-cerita semua dari kesaksian Hadji Agus Salim.

Kerenggangan itu terlihat sepele namun penting untuk diketahui, karena sedikit banyak memberi pengaruh dalam jalannya sejarah bagaimana PKI semakin dekat dengan Orde Lama saat PSI yang menjadi partainya Sutan Sjahrir bersama Masyumi dibubarkan oleh Sukarno.

BUKU PERINTIS CALON KRISTOLOG SEKALIGUS PAKAR ISLAMOLOGI

BUKU PERINTIS CALON KRISTOLOG SEKALIGUS PAKAR ISLAMOLOGI

Iwan Mariono

Tidak banyak kita jumpai literasi yang mengambil tema seperti buku ini, karena dianggap sebagai obrolan sensitif ---apalagi judulnya memang mengesankan konfrontasi--- yang membahasnya hanya akan membuat bangsa ini jadi terpolarisasi. 

Namun pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Kebencian terhadap Kristenisasi, atau sebaliknya Islamisasi ---yang berakhir pada tindakan kekerasan--- adalah disebabkan oleh gagalnya menilai problem tersebut dari berbagai sisi: teologi, sejarah, sosial, politik dan budaya. 

Tidak semua orang bisa membahasnya secara objektif dan ilmiah. Umumnya pembahasan seperti ini lebih banyak dilandasi oleh sentimen (dan bukan argumen) kelompok tertentu atau pribadi. Maka kefatalan yang terjadi adalah: simplifikasi. 

Nah, buku yang baru saya khatamkan ini merupakan pengecualian. Apa yang ditulis dalam buku ini merupakan fenomena yang dihadapi oleh kaum beragama ---khususnya Abrahamic Religions--- sehari-hari. Bedanya, kita diarahkan untuk melihatnya dari berbagai sudut pandang ilmu. Setelah selesai membacanya, ia akan memberi kita perspektif yang berbeda. 

Arif Wibowo (kami biasa memanggilnya Ust. Arif) adalah orang yang banyak mengkaji literasi Kekristenan dari berbagai sumber, bukan hanya dari subyek Muslim, namun juga dari kalangan seberang. Kadang kita jadi melihatnya sebagai sosok outsider. 

Sekurang-kurangnya ada lima (5) poin dari buku ini yang bisa kita bahas dan kembangkan:

1. Persamaan antara misi dan dakwah adalah seruannya kepada kebenaran, antara Islam dan Kristen, dengan keyakinan bahwa (penulis mengutip pernyataan Prof. Thomas W Arnold): "Jiwa kebenaran agama, bagi pemeluk agama ini, tidak cukup bersemayam di hati nurani seseorang. Kebenaran agama harus diaktualisasikan melalui pemikiran, perkataan, tulisan, perbuatan, dan pengajaran kepada orang lain. Agama yang dianutnya harus merasuk dalam jiwa setiap manusia hingga hal yang diyakini sebagai kebenaran agamanya, diterima pula sebagai kebenaran oleh seluruh manusia." Dengan adanya persamaan tersebut, praktis pertemuan antara Islam dan Kristen secara alamiah memunculkan kontestasi, benturan, bahkan tidak jarang pula: konflik. 

2. Sejarah pertemuan dan benturan itu tidaklah baru muncul beberapa tahun belakangan ini. Ia sudah dimulai, bahkan sejak agama Islam baru lahir. Dua keyakinan ini, pernah sama-sama berusaha menaklukkan bangsa Arab yang terkenal sebagai bangsa yang sangat individualis. Sejarah mencatat, Islam berhasil mengambil hati dan mengubah peradaban bangsa Arab dari yang semula individualis menjadi bangsa yang punya semangat kolektif, hanya dalam dua dekade. 

3. Perbedaan mendasar antara misi dan dakwah terletak pada caranya. Kristen sebagai misionary religion pertama kali dicetuskan oleh Paulus sebagai orang yang pertama kali menyebarkan Kristen ke kalangan non-Yahudi. Dalam buku ini ada kutipan dari penulis demikian: "Spirit misionarisme Paulus ini dilandasi oleh pesan Yesus: " Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertaimu kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Matius 28: 19-20)." 

4. Berbeda dengan Islam yang tidak mengenal sistem hierarki seperti gereja. Kosakata "dakwah Islam" lebih dipahami sebagai upaya meningkatkan kualitas keislaman individu, masyarakat, dan institusi sosial. Sehingga ia tidak lahir dari atas ke bawah seperti halnya instruksi gereja kepada jemaahnya, melainkan sebaliknya, dari bawah ke atas (bottom up). 

5. Namun demikian, misi tidaklah sesederhana seperti yang dipahami oleh kebanyak umat Islam, yakni upaya mengajak orang lain untuk mempercayai keyakinan Kristen (proselitisasi), atau yang lebih populer di kalangan aktivis dakwah: gerakan pemurtadan. Pendapat penulis dalam buku ini demikian: "Ketika mencoba berdiskusi langsung dengan tertuduh pemurtadan dan juga membaca buku-buku tenteng penginjilan, saya dapati kenyataan misi Kristen tidak sesederhana gerakan proselitisasi."

Saya tidak akan mengurai lebih dalam poin-poin di atas karena akan membuat tulisan ini jadi panjang sekali. Silakan baca langsung bukunya. 

***

Karena dalam membaca buku ini saya lebih sebagai penikmat daripada seorang kritikus, maka sampai khatam banyak saya gunakan untuk mengoreksi kesalahan penulisan, mulai dari kosakata yang kurang atau sebaliknya berulang; puluhan typo; penulisan tempat dan nama yang kurang tepat; sampai paragraf yang berulang, semuanya saya beri centang dengan stabilo orange untuk saya serahkan langsung ke Ust. Arif demi kesempurnaan tulisan dan kenikmatan bacaan saat cetakan selanjutnya nanti, jika buku ini menjadi best-seller. InsyaAllah. 

Akan tetapi, jika kelak ada edisi revisi, saya berharap dalam buku ini akan dicantumkan pula hasil wawancara Ust. Arif langsung ke narasumber yang tinggal di Lereng Merapi-Merbabu (hal yang tidak saya temukan sepanjang membaca). Jangan lupa buatkan pula daftar index, agar memudahkan peneliti selanjutnya yang menjadikan buku ini sebagai salah satu referensi.

Dai tentu harus membaca banyak buku jika ingin menjadi seorang kristolog atau sebaliknya menjadi pakar Islamologi. Dan kalau boleh saya berkata: buku ini sangat cocok sebagai pengantarnya. Ada banyak buku-buku yang dijadikan referensi oleh penulis buku ini, dan tugas dai atau kita selanjutnya adalah, membaca pula buku-buku yang digunakan sebagai sumber referensinya tersebut.

BUNG HATTA DAN GILA BACA

BUNG HATTA DAN GILA BACA

Setelah menyelesaikan studinya, sewaktu pulang dari Rotterdam ke Indonesia, Bung Hatta membawa pula koleksi bukunya sebanyak dua meter kubik yang dibagi ke dalam enam belas kotak peti berukuran setengah meter kubik. Buku sebanyak itu adalah koleksinya selama sebelas tahun menempuh pendidikan di Belanda sejak umur 19 tahun (1921-1932 M).

Ketika tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, butuh satu mobil truk khusus untuk mengangkut buku-buku tersebut.

Sebenarnya koleksi bukunya lebih dari itu, tapi Bung memang sudah merencanakan harus membatasi barang bawaannya sehingga lebihnya ditinggalkan untuk dua orang temannya. “Apa yg lebih dari itu,” demikian tutur Hatta, “akan aku tinggalkan. Kubagi antara dua orang yang dekat di waktu itu dengan aku.” Dua orang itu adalah Sumadi (teman se-kos) dan Rasjid Manggis, teman semasa kecilnya di Bukittinggi. 

Bung Hatta adalah penggila baca! 

Di era milenial ini, anak muda yang ingin menghidupkan literasi bisa mengambil semangat baca dari beliau. Apalagi jika dia masih bujang, tidak bekerja, dan mendapat uang bulanan dari orang tua, tidak ada alasan untuk tidak membaca. Manfaatnya mungkin bukan untuk saat dia masih muda, boleh jadi setelah lanjut usia. 

Selama di Den Haag, dalam sehari Bung Hatta bisa menghabiskan waktunya untuk membaca selama sepuluh sampai dua belas jam. Demikian rincian waktunya: Pukul 08.00 beliau sarapan dilanjutkan membaca selama satu jam. Pukul 09.00 sampai 10.00 beliau gunakan untuk jalan berjalan-jalan mengelilingi kota selama satu jam. Pukul 10.00 sampai 12.00 beliau lanjut lagi membaca. Setelah break lunch, beliau membaca lagi dari pukul 13.30 sampai 17.30. Malam hari dari jam 19.30 jika tidak ada teman yg datang mengajak diskusi beliau bisa membaca lagi sampai pukul 24.00, bahkan kadang 02.00 dini hari (bayangkan hampir tujuh jam non-stop!). Waktu malam lebih banyak digunakan untuk membaca buku-buku berat sesuai bidangnya.

Membaca adalah soal budaya. 

“Memang, membaca dan mempelajari ada lain,” demikian kata H. Agus Salim suatu hari sebagaimana tertulis dalam buku memoir Bung Hatta. “Tetapi, tidak ada bacaan yg hilang dari kepala sama sekali. Banyak juga yg tersangkut dalam otak yg kemudian dapat menjadi dasar pembacaan dan pelajaran terus dalam masalah hidup. Banyak membaca, itulah jalan yg baik untuk menambah pengetahuan dan mengasah kecerdasaan. Di luar sekolah tidak sedikit pelajaran yg dapat diperoleh jadi pembantu penyambung yg dipelajari di sekolah.”

Buku-buku yang dibaca oleh Hatta sangat bervariasi, tidak melulu sesuai bidang yang digelutinya. Berikut daftar bacaan Bung di luar bidangnya (ekonomi): Ilmu tatanegara dan ilmu hukum internasional, sejarah umum, filosofi (filsafat), buku-buku tentang politik kolonial dan penjajahan, dan buku-buku tentang pergerakan nasional di Turki, Arab, Mesir, India, China. Mungkin masih banyak lagi, hanya secara umum tema-tema seperti itu. 

Jadi kita tidak perlu heran jika kemudian Bung Hatta bisa menghasilkan banyak karya pemikiran lintas bidang, juga menjadi seorang diplomat yang ulung seperti ketika berjuang di KMB (Konferensi Meja Bundar) tahun 1949 –tiga dekade dari sejak menyandang gelar doktorandus. Saya sangat yakin, kemampuan itu dibentuk oleh bacaan-bacaannya sewaktu masih kuliah, berlanjut sampai masa menjalani hidup sebagai seorang interniran. 

***

Nah, teman-teman atau adik-adik mahasiswa yang baaanyak sekali waktu longgarnya, sudah berapa buku yang kalian baca? 

[Sumber rujukan utama: Mohammad Hatta, “UNTUK NEGERIKU, Sebuah Otobiografi” Jilid I: p.112-114, 242-243; Jilid II: p.15-18]

Hunayn ibn Ishaq dan Perhargaan Terhadap Ilmu Pengetahuan

Hunayn ibn Ishaq dan Perhargaan Terhadap Ilmu Pengetahuan (sebuah refleksi untuk Indonesia) 

Oleh: Iwan Mariono

Buku History of the Arabs karya Philip K Hitti ini saya baca baru sampai di Bab 16. Ada satu kisah di bab ini yang ingin saya bahas dan bagikan buat teman-teman, khususnya mengenai kebangkitan intelektual bangsa Arab (Hlm. 381-394).

Zaman dinasti Abbasiyah, khususnya masa Khalifah al-Ma'mun (786-833 M) putra dari khalifah ke-5 Harun Al-Rasyid, adalah zaman keemasan buat tumbuhnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Buku-buku dari bahasa Yunani banyak diterjemahkan ke bahasa Arab di zaman ini, terutama karya-karya ilmuan dan filsuf seperti Plato, Aristoteles, Dioscorides, Galenus, dan Hippocrates. Dua nama terakhir adalah seorang dokter. 

Buku-buku mereka semua diterjemahkan oleh seorang penerjemah bernama Hunayn ibn Ishaq (809-873 M), yang di Eropa ia dikenal dengan nama Joannitius. Nama yang asing di telinga bukan? Ya, karena selama ini kita memang tidak banyak melirik dan menghargai peran penerjemah. 

Hasil terjemahan Hunayn ini menjadi penting terutama karya-karya Claudius Galenus (129-199 M) mengenai anatomi sebanyak tujuh jilid, karena naskah dalam bahasa aslinya sudah tidak ditemukan lagi hari ini. Jika kita menemukan bukunya hari ini, itu adalah hasil terjemahannya dari bahasa Arab. Artinya naskah bahasa Arab-nya-lah yang kini menjadi sumber induknya.

Apa yang menjadi pendorong buat seorang Hunayn (dan para penerjemah lain tentunya) sampai semangat menerjemahkan karya sebanyak itu? Philip K Hitti tidak membahasnya, tapi dugaan saya karena penghargaan terhadap ilmu yang diberikan oleh Khalifah al-Ma'mun begitu sangat tinggi. 

Bayangkan, dari usahanya sebagai seorang penerjemah, Hunayn menerima gaji 500 dinar per bulan atau sekitar 25 juta rupiah jika mau dikonversi ke nilai mata uang kita hari ini. Dan hasil bukunya akan dihargai dengan emas seberat buku yang ia terjemahkan.

Tentu Hunayn dkk penerjemah lain tidak datang langsung ke Bizantium untuk mencari salinan naskah tersebut dalam bahasanya aslinya. Naskah-naskah itu sampai ke Baghdad (ibukota dinasti saat itu) melalui ekspedisi yang melibatkan militer. Dan itu tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan penguasa. 

Yang perlu dicatat, dinasti Abbasiyah itu umurnya sangat panjang, lebih dari lima ratus tahun dan mengalami pergantian sebanyak 38 khalifah. Tidak semua khalifah itu mempunyai karir cemerlang, yang banyak terjadi justru sebaliknya. Tinta emas sejarah mencatat dua nama khalifah yang paling cemerlang di zaman Abbasiyah, Harun al-Rasyid dan putranya al-Ma'mun. Apa yang membuat dua nama (bapak dan anak) ini harum? Menurut saya di urutan pertama adalah warisan peradabannya, yakni ilmu dan pengetahuan. 

Negara kita Indonesia tercinta, jika diberi umur panjang sampai 500 tahun, kita tidak pernah tahu di generasi siapa negeri ini akan menjadi negeri dengan generasi emas, apakah benar 2045 nanti? Masih belum pasti. Yang sudah nyata adalah, negara-negara akan lahir menjadi negara emas yang unggul jika negara itu menghargai dan menjunjung tinggi peradaban ilmu. 

Khusus Indonesia, contoh kongkrit apa yang bisa negara lakukan dalam waktu dekat ini? Mulailah dari menghargai para penulis-penulis kita. Buku kalau bisa bebas cukai atau pajaknya serendah mungkin sehingga harga buku-buku tetap terjangkau; pembajakan harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Bahkan kalau harga buku original terjangkau, usaha pembajakan itu akan mati dengan sendirinya. 

Untuk mengakhiri tulisan ini kita kembali ke sosok Hunayn. Apa yang istimewa darinya? Pertama, sebagai penerjemah tentu dialah orang pertama yang mendapat ilmu dari buku-buku yang dia terjemahkan. 

Kedua, ilmu itu pula yang menjadikan dia di kemudian hari diangkat menjadi dokter pribadi istana untuk khalifah selanjutnya, Al-Mutawakkil (822-861 M), keponakan Al-Ma'mun, cucu Harun al-Rasyid. 

Ketiga (ini yang paling penting), setelah menjadi dokter istana, Hunayn pernah dijebloskan ke penjara karena menolak meresepkan obat yang akan digunakan meracuni lawan politik tuannya. Ketika kemudian terbebas dan dibawa ke hadapan khalifah untuk diuji integritasnya, apa yang membuatnya menolak meresepkan racun tersebut? Sebagaimana dicatat oleh Ibnu al-'Ibri dan dikutip oleh Hitti, Hunayn menjawab: 

"Dua hal: agama dan profesi. Agama saya mengajarkan bahwa kita harus berbuat baik, bahkan kepada musuh kita sekalipun, apalagi kepada teman sendiri. Dan profesi saya dibangun untuk kemaslahatan manusia, hanya untuk kesembuhan mereka. Di samping itu, setiap dokter disumpah untuk tidak pernah memberikan obat mematikan bagi seseorang."

Saya menduga jawaban Hunayn yang sangat mulia itu terinspirasi dari bapak kedokteran modern: Hippocrates, yang buku-bukunya dia terjemahan ke dalam bahasa Arab. 

Itulah hasil dari peradaban ilmu, Hunayn yang beragama Kristen Nestor dari Hirah (Irak) itu benar-benar merasakan nikmatnya peradaban ilmu: peradaban yang lahir dari zaman keemasan Islam di masa Khalifah Al-Ma'mun.