Hunayn ibn Ishaq dan Perhargaan Terhadap Ilmu Pengetahuan (sebuah refleksi untuk Indonesia)
Oleh: Iwan Mariono
Buku History of the Arabs karya Philip K Hitti ini saya baca baru sampai di Bab 16. Ada satu kisah di bab ini yang ingin saya bahas dan bagikan buat teman-teman, khususnya mengenai kebangkitan intelektual bangsa Arab (Hlm. 381-394).
Zaman dinasti Abbasiyah, khususnya masa Khalifah al-Ma'mun (786-833 M) putra dari khalifah ke-5 Harun Al-Rasyid, adalah zaman keemasan buat tumbuhnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Buku-buku dari bahasa Yunani banyak diterjemahkan ke bahasa Arab di zaman ini, terutama karya-karya ilmuan dan filsuf seperti Plato, Aristoteles, Dioscorides, Galenus, dan Hippocrates. Dua nama terakhir adalah seorang dokter.
Buku-buku mereka semua diterjemahkan oleh seorang penerjemah bernama Hunayn ibn Ishaq (809-873 M), yang di Eropa ia dikenal dengan nama Joannitius. Nama yang asing di telinga bukan? Ya, karena selama ini kita memang tidak banyak melirik dan menghargai peran penerjemah.
Hasil terjemahan Hunayn ini menjadi penting terutama karya-karya Claudius Galenus (129-199 M) mengenai anatomi sebanyak tujuh jilid, karena naskah dalam bahasa aslinya sudah tidak ditemukan lagi hari ini. Jika kita menemukan bukunya hari ini, itu adalah hasil terjemahannya dari bahasa Arab. Artinya naskah bahasa Arab-nya-lah yang kini menjadi sumber induknya.
Apa yang menjadi pendorong buat seorang Hunayn (dan para penerjemah lain tentunya) sampai semangat menerjemahkan karya sebanyak itu? Philip K Hitti tidak membahasnya, tapi dugaan saya karena penghargaan terhadap ilmu yang diberikan oleh Khalifah al-Ma'mun begitu sangat tinggi.
Bayangkan, dari usahanya sebagai seorang penerjemah, Hunayn menerima gaji 500 dinar per bulan atau sekitar 25 juta rupiah jika mau dikonversi ke nilai mata uang kita hari ini. Dan hasil bukunya akan dihargai dengan emas seberat buku yang ia terjemahkan.
Tentu Hunayn dkk penerjemah lain tidak datang langsung ke Bizantium untuk mencari salinan naskah tersebut dalam bahasanya aslinya. Naskah-naskah itu sampai ke Baghdad (ibukota dinasti saat itu) melalui ekspedisi yang melibatkan militer. Dan itu tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan penguasa.
Yang perlu dicatat, dinasti Abbasiyah itu umurnya sangat panjang, lebih dari lima ratus tahun dan mengalami pergantian sebanyak 38 khalifah. Tidak semua khalifah itu mempunyai karir cemerlang, yang banyak terjadi justru sebaliknya. Tinta emas sejarah mencatat dua nama khalifah yang paling cemerlang di zaman Abbasiyah, Harun al-Rasyid dan putranya al-Ma'mun. Apa yang membuat dua nama (bapak dan anak) ini harum? Menurut saya di urutan pertama adalah warisan peradabannya, yakni ilmu dan pengetahuan.
Negara kita Indonesia tercinta, jika diberi umur panjang sampai 500 tahun, kita tidak pernah tahu di generasi siapa negeri ini akan menjadi negeri dengan generasi emas, apakah benar 2045 nanti? Masih belum pasti. Yang sudah nyata adalah, negara-negara akan lahir menjadi negara emas yang unggul jika negara itu menghargai dan menjunjung tinggi peradaban ilmu.
Khusus Indonesia, contoh kongkrit apa yang bisa negara lakukan dalam waktu dekat ini? Mulailah dari menghargai para penulis-penulis kita. Buku kalau bisa bebas cukai atau pajaknya serendah mungkin sehingga harga buku-buku tetap terjangkau; pembajakan harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Bahkan kalau harga buku original terjangkau, usaha pembajakan itu akan mati dengan sendirinya.
Untuk mengakhiri tulisan ini kita kembali ke sosok Hunayn. Apa yang istimewa darinya? Pertama, sebagai penerjemah tentu dialah orang pertama yang mendapat ilmu dari buku-buku yang dia terjemahkan.
Kedua, ilmu itu pula yang menjadikan dia di kemudian hari diangkat menjadi dokter pribadi istana untuk khalifah selanjutnya, Al-Mutawakkil (822-861 M), keponakan Al-Ma'mun, cucu Harun al-Rasyid.
Ketiga (ini yang paling penting), setelah menjadi dokter istana, Hunayn pernah dijebloskan ke penjara karena menolak meresepkan obat yang akan digunakan meracuni lawan politik tuannya. Ketika kemudian terbebas dan dibawa ke hadapan khalifah untuk diuji integritasnya, apa yang membuatnya menolak meresepkan racun tersebut? Sebagaimana dicatat oleh Ibnu al-'Ibri dan dikutip oleh Hitti, Hunayn menjawab:
"Dua hal: agama dan profesi. Agama saya mengajarkan bahwa kita harus berbuat baik, bahkan kepada musuh kita sekalipun, apalagi kepada teman sendiri. Dan profesi saya dibangun untuk kemaslahatan manusia, hanya untuk kesembuhan mereka. Di samping itu, setiap dokter disumpah untuk tidak pernah memberikan obat mematikan bagi seseorang."
Saya menduga jawaban Hunayn yang sangat mulia itu terinspirasi dari bapak kedokteran modern: Hippocrates, yang buku-bukunya dia terjemahan ke dalam bahasa Arab.
Itulah hasil dari peradaban ilmu, Hunayn yang beragama Kristen Nestor dari Hirah (Irak) itu benar-benar merasakan nikmatnya peradaban ilmu: peradaban yang lahir dari zaman keemasan Islam di masa Khalifah Al-Ma'mun.
No Response to "Hunayn ibn Ishaq dan Perhargaan Terhadap Ilmu Pengetahuan"
Posting Komentar