Peran Dokter dan Evolusi Pendidikan Kedokteran di Indonesia*
Oleh: dr. Iwan Mariono
Mungkin banyak yang belum mengetahui, pendidikan kedokteran di Indonesia telah berlangsung selama lebih dari seratus tujuh puluh tahun. Dibuka pertama kali pada 1850 di Batavia (sekarang Jakarta), dari sejak lulusannya bergelar Dokter Djawa sampai jadi seperti sekarang mengikuti gelar dokter Eropa dan Amerika dengan spesialisasi.
Mari kita lihat dinamika dan proses evolusi perjalanannya yang panjang tersebut, dan kaitannya dengan munculnya kesadaran yang menjadi cikal bakal lahirnya pergerakan nasional.
Awalnya, lulusan Dokter Djawa menempati kasta kelas dua. Sekalipun bergelar dokter, dalam prakteknya mereka tidak diakui sebagai dokter yang utuh. Sehingga dalam memberikan pelayanan, mereka tetap menjadi subordinasi dari dokter-dokter Eropa. Mereka harus menempuh pendidikan lanjutan di Netherland untuk menjadi setara. Namun meskipun sudah menempuh pendidikan lanjutan, tetap saja kesetaraan itu tidak benar-benar mereka dapatkan. Mereka tetap diposisikan berbeda.
Banyak dokter pribumi yang mengalami diskriminasi, oleh dokter Eropa dan pemerintah kolonial. Mulai gaji yang dibedakan dengan dokter Eropa, sampai penolakan dan rasisme yang mereka terima karena bukan bagian dari kaum Eropa. Ini menjadi suatu ironi buat dokter pribumi atau dokter Hindia. Di satu sisi mereka mendapat pencerahan ilmu yang membuat mereka berbeda (bahkan mengalami keterasingan) dari pribumi bangsanya. Di sisi lain mereka tidak diakui oleh bangsa Eropa sebagai orang yang sudah tercerahkan. Jadilah mereka berada di posisi yang ambivalen.
Pengalaman ini dirasakan sejak bernama Dokter Djawa sampai berubah nama menjadi Dokter Pribumi pada 1890, dengan nama institusi: STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Perlakuan diskirminasi tetap berlanjut, sekalipun status agak naik dan berganti (lagi) menjadi Dokter Hindia pada 1913, dengan akronim yang sama masih sama: STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Hanya satu kata yang berubah, Inlandsche (Inlander) menjadi Indische (Hindia).
Padahal pendidikan kedokteran yang mereka tempuh tidaklah sebentar. Butuh waktu sembilan tahun dan wajib menguasai bahasa Belanda. Setelah lulus, masih harus wajib dinas selama sepuluh tahun di instansi milik pemerintah kolonial.
Pendidikan kedokteran bukanlah jurusan yang bergengsi apalagi diminati saat itu. Rata-rata yang kuliah adalah anak bangsawan rendahan. Para calon dokter itu tidak membayar mahal biaya kuliah alias gratis. Sebaliknya, mereka mendapatkan gaji rendah, menerima subsidi seragam dan asrama dari pemerintah kolonial. Gaji yang mereka terima setelah menjadi dokter juga tak seberapa, masih kalah jauh dari assisten wedana yang bahkan tidak pernah sekolah. Belum lagi perilaku diskriminasi dari dokter Eropa. Tentu ada motivasi yang kuat kenapa masih mau kuliah di kedokteran.
Mendapat perlakuan tidak adil dan diskriminasi seperti itu, tidak mengherankan jika mereka yang lulus sebagai dokter Hindia mengalami pemberontakan dalam jiwanya. Jiwa memberontak inilah yang kemudian mempunyai arti penting dalam perjalanan sejarah lahirnya Indonesia sebagai negara modern.
Mari kita bahas lebih lanjut. Mengenai “pemberontakan jiwa” para dokter Hindia dan kaitannya dengan kebangkitan nasional, peneliti sejarah kedokteran era kolonial, Prof. Hans Pols dalam bukunya “MERAWAT BANGSA Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia” menulis catatan panjang yang sangat menarik: “Ilmu kedokteran justru mengilhami para dokter Indonesia untuk mengkritik pemerintah kolonial karena tingginya prevalensi penyakit di antara penduduk asli dan standar perawatan kesehatan kolonial yang tidak memadai. Bidang kedokteran menawarkan metode, cara berpikir, dan metafor-metafor biologis dan fisiologis baru untuk mengevaluasi masyarakat kolonial dan penyakitnya. Para dokter Indonesia mempunyai posisi ideal untuk mendiagnosis “tubuh sosial” masa kolonial, kemudian meresepkan terapeutik apa yang tepat untuknya, dan menegaskan bagaimana realitas-realitas era kolonial menghambat proses alamiah evolusi sosial. Komitmen mereka terhadap ilmu kedokteran adalah hal yang mengilhami sejumlah pemuda untuk membayangkan sebuah negara baru yang merdeka dan sehat. Secara perseorangan serta melalui perkumpulan profesi, para dokter Hindia Belanda giat mengartikulasikan identitas profesional mereka, yang memuat pandangan tentang potensi dan peran nyata ilmu kedokteran di masyarakat kolonial. Hal ini memotivasi mereka untuk pertama-tama mengkritik penyelenggara kesehatan di era kolonial dan kemudian merumuskan kebijakan medis yang akan melayani seluruh penduduk Indonesia.” (Hlm. 7).
***
Lulusan Dokter Djawa yang namanya paling dikenal sejarah adalah dr. Wahidin Soedirohoesodo (1852-1917 M), seorang dokter keraton yang mengabdikan diri menjadi dokter di kesultanan. Memasuki abad ke-20, dokter ini gencar berpidato kemana-mana, memberikan kuliah tentang pentingnya berserikat dan berorganisasi.
Dialah penggagas utama, ketika memontum –yang kemudian dikenang sepanjang zaman– tanggal 20 Mei 1908 di aula kuliah utama Perguruan Tinggi Kedokteran, dengan Soetomo (1888-1938 M) sebagai ketua memprakarsai berdirinya organisasi yang kemudian diberi nama: Boedi Oetomo. Anggotanya saat itu adalah para dokter dan calon dokter. Di antara nama-nama yang populer adalah Tjipto Mangoenkoesoemo (1886-1943 M), Goenawan Magoenkoesoemo (adik Tjipto), dan Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara (1889-1959 M). Nama terakhir tidak menyelesaikan pendidikan dokternya.
Dokter yang bergabung di dekade berikutnya adalah Mas Radjiman Wedyodiningrat (1879-1952 M) dan Sardjito (1889-1970 M), dua orang yang mempunyai peran besar di kemudian hari menjelang kemerdekaan dan masa revolusi. Yang pertama sebagai panitia perumus kemerdekaan, yang kedua dalam bidang pendidikan.
Dari sinilah perjuangan menuntut persamaan hak-hak pribumi –khususnya bangsa Jawa– mereka mulai. Dari masalah pelayanan kesehatan sampai akses terhadap pendidikan modern untuk semua orang Jawa.
Ya, sekalipun diakui secara luas sebagai organisasi kaum nasionalis pertama di Indonesia, sesungguhnya Boedi Oetomo bersifat elitis, eksklusif ningrat dan kedaerahan. Hal itulah membuat dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang Jawa yang sangat anti-feodal dan melepas gelar kebangsawanannya, tidak bertahan lama. Selepas kongres pertama, dokter Tjipto memutuskan keluar dari organisasi tersebut, kemudian memilih berjuang sebagai perseorangan, seperti dokter-dokter Hindia (dan non-Jawa) lainnya: Abdul Rasjid (Sumatera Utara), Abdul Rivai (Sumatera Barat), dan Tehupeiory (Maluku). Dua nama terakhir bersama Tjipto di kemudian hari menjadi dokter Hindia yang sama-sama berjuang di Volksraad (parlemen yang didirikan pemerintah kolonial).
Setelah pindah ke Bandung, dokter Tjipto bersama Dowes Dekker juga mendirikan perkumpulan pelajar, yang salah satu murid kadernya kelak menjadi orang nomor satu di Indonesia: Sukarno.
Terkait masalah kesehatan, ada perbedaan pelayanan kesehatan antara yang pribumi dan non-pribumi menjadi perhatian beberapa Dokter Hindia saat itu. Catatan Prof. Hans Pols mengenai hal ini: “Pada awal abad ke-19, pemerintah kolonial mendirikan layanan medis untuk tantara, petugas, dan pejabat pemerintah. Meski memelihara kesehatan para pejabat itu diperlukan untuk mempertahankan pemerintahan kolonial, tetapi pelayanan medis kekurangan dana yang kronis dan mendapatkan reputasi buruk. Penduduk asli mendapat perhatian saat muncul wabah yang bisa mengancam kaum Eropa, sehingga menjadi dasar kampanye vaksin besar-besaran.” (Hlm. 9). Buku ini saya rekomendasikan agar dibaca oleh segenap dokter (Judul: MERAWAT BANGSA Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia [penerbit Kompas]).
***
Setelah melalui perjuangan yang panjang, kesetaraan baru diperoleh pada 1927, STOVIA dihapuskan dan diganti menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Batavia (Gebeeskundige Hoogeschool [GH]). Dokter Oen Boen Ing (1903-1982 M) adalah salah satu alumninya. Dokter Oen (demikian sapaan akrabnya), adalah seorang dokter yang terkenal karena kedermawanannya. Kini namanya diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit swasta di Kota Solo. Rumah sakit itu sendiri awalnya adalah sebuah poliklinik yang didirikan oleh dokter Oen tahun 1952, dengan nama Ji Shengyan, yang bermakna “Lembaga Penolong Kehidupan”. Ji Shengyan ini dikisahkan banyak melayani orang-orang miskin dan tidak mampu. Untuk kisah lengkapnya silakan baca biografi yang ditulis oleh Ravando dengan judul: Dr. Oen, Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil (terbitan Kompas).
Kembali ke Perguruan Tinggi Kedokteran Batavia (GH). Sejak saat itu, lulusan dokter di Hindia diakui statusnya sebagai dokter penuh –tanpa harus pergi ke Netherland untuk menempuh pendidikan lanjutan. Baru pada era inilah pendidikan kedokteran mulai sedikit bergengsi, calon pelajar justru lebih didominasi oleh non-pribumi, terutama orang-orang Eropa. Kurikulum ini berlanjut sampai Jepang menduduki Hindia, menggantikan Belanda. Nama kampus baru berganti menjadi Universitas Indonesia setelah merdeka dan melewati masa revolusi.
Yang menarik pada zaman kolonial Jepang (1942-1945), banyak dokter yang mulai pasif. Jika masa sebelumnya ada banyak yang berjuang di medan politik, kondisi masa ini justru sebaliknya menjadi apolitik. Mereka menduduki posisi-posisi penting yang dulu hanya bisa dinikmati dokter Eropa, yang membuat status sosial dokter Indonesia mulai naik. Sikap militan justru ditunjukan oleh mahasiswanya, setelah kampus mereka ditutup oleh pemerintah kolonial Jepang dan sempat vakum selama dua minggu. Kita sebut satu nama Soedjatmoko, seorang dokter sekaligus jurnalis yang militan. Di bawah asuhan Sutan Sjahrir, dia bersama rekan-rekannya melakukan perlawanan politik bawah tanah sampai Indonesia meraih kemerdekaannya. Sosok Soedjatmoko bisa kita kenali melaui tulisan-tulisannya.
Pada zaman Jepang ini pula Bahasa Indonesia mulai digunakan dalam proses pembelajaran –salah satu simbol budaya yang menurut George McTurnan Kahin memperkuat rasa nasionalisme.
Kita masuk ke zaman revolusi. Banyak dokter terlibat aktif selama masa ini. Mereka yang gugur dalam perjuangan dan paling dikenang sejarah adalah dr. Moewardi –hilang diculik, tak ditemukan jasadnya sampai hari ini– dan dr. Abdurahman Saleh. Nama terakhir selain berprofesi dokter juga perwira TNI AU. Dia ini gugur dalam perjalanan menerbangkan pesawat membawa logistik obat-obatan. 29 Juli 1947, masih dalam susasana Agresi Militer Belanda I, pesawatnya jatuh ditembak oleh militer Belanda di sekitar Maguwoharjo, Yogyakarta.
Tahun 1948, demi menghormati jasa para dokter tersebut, Sukarno dan Mohammad Hatta menjadikan tanggal 20 Mei sebagai hari Kebangkitan Nasional. Inisiatif ini mungkin terasa seperti menomorduakan peran Islam yang diwakili oleh Syarikat Islam (SI). Namun saya meyakini kedua Bung –sekalipun masih tetap dengan pandangan naisonalnya yang sekuler– tidak bermaksud melemahkan kelompok ini. Apalagi, dalam perjalanan menuju kematangan berpikirnya, kedua proklamator tidak lepas dari pengaruh dan asuhan langsung para petinggi SI, terutama Cokro Aminoto dan Hadji Agus Salim.
Setelah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, perlahan peran dokter pun juga turut surut dalam pentas nasional. Hanya segelintir yang masih bertahan menjadi polititsi. IDI dibentuk pada September 1950.
Dokter-dokter di zaman ini lebih banyak disibukkan dengan masalah kesehatan nasional seperti malnutrisi, penyakit cacar, dan malaria yang masih menjadi endemik. Selain kesehatan juga masalah pendidikan, beberapa kampus kedokteran baru mulai dibuka untuk memenuhi kebutuhan dokter. Tidak terasa, pendidikan kedokteran di Indonesia sudah berusia seratus tahun.
***
Hari ini (20 Mei 2023) adalah Hari Kebangkitan Nasional.
Kita memperingati hari di mana profesi dokter mengambil peran yang sangat besar di dalamnya. Kalau mau merefleksikan diri sesuai profesi, harusnya hari ini kita peringati pula sebagai hari kebangkitan para dokter.
Pendidikan kedokteran di Indonesia telah berusia 173 tahun. Sebagai dokter Indonesia, harusnya ada banyak hal yang bisa kita jadikan bahan refleksi. Apakah kita sudah meneladani para sesepuh kita dahulu? Mereka dulu berjuang tanpa pamrih. Niat awal mereka menjadi dokter justru untuk mengabdikan diri buat menyehatkan rakyat bangsanya. Tidak hanya penyakit fisik mereka yang berusaha disembuhkan kemudian disehatkan, bahkan sampai penyakit sosialnya.
Adapun refleksi buat kita saat ini, tidak perlulah terlalu jauh sampai menyehatkan bangsa. Sekadar ikhtiar menyebuhkan pasien yang sedang sakit, apakah sudah benar-benar jadi pedoman utama hidup kita? Jangan-jangan tujuan utama selama ini berbeda. Orientasi terhadap materi dan imbalan jasa justru yang lebih mendominasi tujuan kita menjadi seorang dokter.
Mari kita meng-upgrade diri dan memperbarui niat dengan bertanya kembali, kenapa saya memilih profesi ini? Apa tujuan yang ingin saya capai? Pertanyaan ini harus terjawab tuntas. Jangan sampai tujuannya benar-benar mulia saat profesi ini masih menjadi impian dan cita-cita, dan justru dilupakan setelah profesi tersebut melekat dalam diri kita.[]
Morowali, 20 Mei 2023
No Response to "KEBANGKITAN NASIONAL"
Posting Komentar