Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

Kutipan

Catatan menarik dari Pak Kunto mengenai politisasi budaya dalam buku ini, demikian:

"Generasi baru (tahun 1990-an) pasti tidak sadar bagaimana parahnya politisasi budaya pada zaman Orla sehingga mereka tidak percaya dengan fakta yang demikian telanjang itu. Ketika Taufiq Ismail berkeliling kampus pada pra-1998 untuk membahas buku Prahara Budaya yang ditulisnya bersama D.S. Moeljanto timbul kesan di antara mahasiswa seolah-olah dia telah menyulap fakta-fakta sebagaimana biasa terjadi pada zaman Orba. 

Generasi muda itu sepertinya melihat bahwa pada pra-1965 ada budaya yang sungguh-sungguh memihak rakyat. Akan tetapi, sekelompok orang reaksioner telah menentangnya sehingga patut kalau orang revolusioner memburu hantu orang-orang kontrarevolusi. Mereka mengira bahwa Lekra berpihak pada rakyat, pejuang kemerdekaan, dan pembela HAM seperti yang mereka kenal. Mereka tidak tahu bahwa "atas nama rakyat", kemerdekaan kreatif telah diberangus oleh Lekra. Ada uniformasi cara berpikir melalui indoktrinasi. Ada informasi simbol-simbol melalui melalui realisme sosialis. Ada uniformasi nilai-nilai melalui dalih revolusi. Rupanya empati generasi muda pada penderitaan dan penindasan telah membutakan mereka dari fakta-fakta keras yang tak terbantahkan. Mereka tidak mau tahu bahwa dahulu melalui media massa, aksi-aksi politik, aksi-aksi birokrasi, aksi-aksi hukum, dan aksi-aksi semimiliter, musuh-musuh budaya "rakyat" difitnah dan dihukum. Maka, kita sungguh heran ketika generasi muda mengidealisir zaman Orla itu. Mereka berpikir sangat politis, "musuhnya musuh adalah kawan"." (Hlm. 87-88)

TANAH

Membaca buku-buku Tania Murray Li (antropolog dari University of Toronto) yang belasan tahun meneliti proses terjadinya kapitalisasi tanah di pedalaman Sulawesi Tengah sejak zaman kolonial ---termasuk penelitian terbarunya dalam buku Hidup Bersama Raksasa yang ditulis bersama Pujo Semedi (guru besar antropologi UGM) yang merekam konflik agraria antara masyarakat adat dan perusahaan kelapa sawit terkait penguasaan tanah hutan di Kalimantan Barat--- kita jadi tahu bahkan bisa membuat prediksi secara detail bagaimana konflik agraria itu bisa dan akan terjadi. 

Konflik itu awalnya mengendap seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa meledak. Bahkan konflik agraria dalam perjalanannya banyak menjadi faktor penentu dari konflik horizontal antar RAS, salah satunya di Poso yang ekses terjadinya mendapat momentumnya saat krisis politik dilanjutkan dengan reformasi tahun 98 ---krisis yang semula hanya di bidang ekonomi merembet sampai ke bidang politik (penelitian tentang ini sayangnya lebih banyak merekam apa yang terjadi di pusat, sementara yang di daerah banyak terlewatkan). 

Apa yang ditulis Kuntowijoyo dalam buku Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas sangat nyambung dengan paparan detail hasil penelitian panjang Tania, khusunya bab "Tanah: Desakralisasi, Kapitalisasi, dan Keadilan".

Di awal bab Pak Kunto menulis: "Pada mulanya tanah adalah sakral. Pemberian Raja (lungguh, bengkok), warisan leluhur (pusaka), atau tanah yang diperoleh dengan keringat sendiri (asan) ---semuanya dikeramatkan. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan sakdumuk bathuk saknyari bumi dibelani pati ("sesentuh jidat sejengkal tanah dibela sampai mati") untuk menunjukkan bahwa tanah itu sangat berharga."

Sejak lahirnya UU Agraria pertama (1870) di Nusantara yang memungkinkan perusahaan-perusahaan besar mendapatkan tanah, dilanjut dengan UU No. 5/1960 Pokok-pokok Agraria, tentang redistribusi dan konsolidasi tanah yang tetap mempertahankan sakralisasi tanah di desa-desa sampai tahun 1990-an, praktis tidak ada lagi UU baru yang mengatur perkara agraria. 

Jadi, kita menunggu peran legislatif dalam hal ini. 

"Kapitalisasi tanah mengundang masalah keadilan," demikian Pak Kunto menegaskan, "Jika masalah bagi hasil adalah masalah intern (pemilik dan penggarap), maka kapitalisasi tanah adalah masalah ekstern (pemilik tanah dan pemilik modal)."

Pak Kunto juga menambahkan: "Banyak ketimpangan sosial yang terjadi karena kapitalisasi. Manipulasi terjadi pada jual beli tanah. Para calo, tengkulak, dan spekulan membeli tanah penduduk dengan harga murah untuk dijual kepada pengembang dengan harga mahal. Pembebasan tanah yang dikatakan kepada pemilik untuk kepentingan untuk kepentingan umum ternyata banyak yang untuk keperluan real-estate. Para pejabat sering melakukan manipulasi dengan menggunakan hukum adat tentang hak ulayat, tanah komunal, atau tanah desa. Kelemahan pemilik tanah, yang tidak tahu rencana pembangunan wilayah, sering disalahgunakan."

ANDIKA SAPUTRA DAN ILMU ARSITEKTUR PROFETIK

ANDIKA SAPUTRA DAN ILMU ARSITEKTUR PROFETIK
Oleh: Iwan Mariono

Saya belum lama mengenalnya, baru sekira setahun lebih sedikit, terhitung sejak dia pertama kali minta nomer WA saya via messenger. Awalnya sayalah yg meminta pertemanan, setelah Ust. Arif Wibowo  menyarankan mengikuti postingan FB-nya jika ingin mendalami pemikiran Kuntowijoyo yang ber-sanad. 

Sebagai pengagum baru Kuntowijoyo, tentu saja tertarik. 2021 memang menjadi tahun di mana saya mulai banyak membaca buku-buku Pak Kunto. Beberapa buku beliau yang sudah saya baca kadang saya buat postingan di FB, dan hampir selalu dikomentari oleh Pak Andika. Puncaknya saya semakin semangat saat diundang masuk di WAG-nya Islam dan IPTEK, yang dikelola oleh Seed Institute, salah satu lembaga keilmuan yang didirikannya. 

Kadang saya menanggapi buku apa saja yang sedang dia baca melalui stori WA-nya atau catatan pemantik yang dia bikin di WAG. Sejak saat itu saya jadi tahu, orang ini benar-benar manusia yang haus akan ilmu. 

Cita-citanya adalah meneruskan gagasan estafet Kuntowijoyo tentang Ilmu Profetik, tapi bukan dalam bidang sastra atau ilmu-ilmu sosial, melainkan dalam bidang arsitektur. Gagasan yang juga termasuk baru menurut saya. Pak Andika memadukan antara ilmu sosial profetik ala Kuntowijoyo dengan filosofi Masjid sebagai pusat peradaban ala Sidi Gazalba. 

Setahun lebih saya mengikuti postingan-postingannya, hampir setiap saat selalu membahas atau mengutip pemikiran Kuntowijoyo. Sepertinya dia sangat mengagumi dan mencintai sosok jenius tersebut. Saking cintanya, dia bisa sampai kecewa waktu ada intelektual yang membawa label profetik dalam bidang tertentu tapi lupa merujuk kepada penggagas utamanya. 

Semangat belajarnya pun boleh dikata sama dengan Kuntowijoyo. Saya langsung teringat cerita Pak Kunto yang dalam kondisi lemah bahkan sempat lumpuh karena meningitis (infeksi selaput otak), tetap menghasilkan karya buku yang luar biasa. Begitu pula, buku Kemelut Pandemi itu, dibidaninya saat kondisi fisiknya mulai melemah, di mana klinis penyakit ganas itu mulai menunjukkan gejalanya. 

Awalnya saya menduga itu gejala stroke, saat malam itu, saya ditelpon oleh Pak Andika tapi yang berbicara justru istrinya (semoga Bu Nurul Ummatun Kamal diberi kesabaran dan ketabahan yang besar oleh Allah). Manifestasi klinisnya hampir sama, tiba-tiba pelo dan sebelah anggota geraknya tiba-tiba melemah, meskipun tidak berlangsung lama. 

Belakang baru diketahui, ternyata Allah mengirimkan sakit yang lebih serius daripada stroke. Saya merasa perih saat diberi tahu hasil ct-scan kepalanya. 

Namun demikian, saya mencoba melihat fakta itu dari sudut pandang yang berbeda: justru mungkin itu sebagai tanda Allah cinta kepadanya. Sebab tidak satupun penyakit yang diturunkan oleh-Nya, bahkan yang ringan seperti tertusuk jarum sekalipun, melainkan Allah akan menghapuskan segala dosa hamba-Nya. 

Komunikasi kami lebih banyak via daring, saya baru dua kali bertemu langsung dengannya. Pertama saat bedah bukunya dan kedua ---sayang sekali--- saat menjenguknya di RS PKU Solo enam minggu yang lalu (2 Desember 2022), dalam kondisi sangat lemah. Hanya sekali saya melihatnya membuka mata. Itulah terakhir kalinya dia senyum ke saya sambil berkata, "Mas dokter." Saya langsung mengelus lengannya. 

Seandainya Allah memanjangkan umurnya dua atau tiga dekade lagi, mungkin dia akan menjadi intelektual besar seperti tokoh idolanya, Kuntowijoyo.

Saya selalu memanggilnya Pak (Pak Andika Saputra), bukan Mas (sekalipun usia kami hanya terpaut lima tahun), sebab dari awal saya memang sudah menganggapnya sebagai Pak Guru saya, seperti halnya Pak Kunto sekalipun belum pernah bertatap wajah. Dua guru Ilmu Profetik saya yang telah pergi menghadap-Nya. 

Semoga Allah pertemukan mereka berdua dan menempatkan mereka di tempat terbaik bersama orang-orang saleh lain yang telah mendahuluinya. Aamiin.

Buku "Sapiens di Ujung Tanduk"

Niat mengkhatamkan buku biografi KH. Wahid Hasjim setebal seribu halaman lebih dalam sepuluh hari itu gagal terpenuhi setelah saya harus menjemput putri sy di rumah Neneknya. 

Tidak mungkin saya membawa buku sebesar bantal tersebut menemani perjalanan bus pagi Solo-Sukabumi. Sebagai gantinya, saya sembarang comot saja buku yg berserakan di meja, asal tipis dan praktis dibaca. 

Sepanjang perjalanan sy baca buku ini, sampailah saya di halaman 76, demikian bunyinya: "Saya percaya saja mereka telah membaca semuanya. Tapi, hati nurani saya yang julid itu tergoda untuk membayangkan, andai tidak ada Facebook atau Instagram atau Goodreads untuk memajang deretan buku-buku itu, seberapa besarkah semangat bisa dikorbankan untuk meluangkan ratusan jam dalam kesunyian demi mengeja ribuan halaman dan jutaan kata demi khatam semua?"

Hehe.. itu sebuah paragraf menohok yg menyindir para pembaca buku (termasuk saya), yg tujuannya bukan sekadar untuk membaca, melainkan untuk mengumumkannya kepada dunia. Dalam bahasa penulis, orientasi nilai yg berubah dari "demi sebuah nilai kemanfaatan, tiba-tiba berubah nilainya karena orientasi kehumasan."

Saya harus menutup buku sejenak demi merenungkan isi dari bab "Terforsir Aplikasi dan Jiwa Kehumasan Kita" tersebut. Mungkin benar yg dikatakan Iqbal, tapi sebagai orang yg keranjingan membaca bahkan sebelum aktif di sosial media, saya kok justru merasakan sebaliknya. Aplikasi sosial media menghilangkan banyak sekali waktu sy membaca sebuah buku. 

Buat saya, jauh sebelum era sosmed, mengkhatamkan seratus halaman dalam sehari adalah hal yg mudah dilakukan. Bahkan, novel Bumi Manusia yg tebalnya lebih dari lima ratus halaman itu pernah saya khatamkan dalam sehari, dari jam tujuh pagi sampai jam duabelas malam.

Hal yg mustahil untuk sekarang ini di mana saya tidak bisa lepas sehari pun tanpa membuka sosial media. Hehehe. Jadi tesis Iqbal justru berkebalikan dengan yg saya rasakan. 

Tapi over all, dari 15 bab yg sudah sy baca, buku Sapiens di Ujung Tanduk ini adalah buku yg sangat layak dibaca, terutama buat semua netizen yg aktif bersosial media. Lebih banyak tamparan yg saya terima daripada ketidaksetujuan saya dengan beberapa pernyataannya.