Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

Seperti Sakaratul Maut




            Ini adalah peristiwa yang saya alami tadi sore, saat kuliah bersama dr. Bramantyo –kuliah tentang katarak. Setelah panjang lebar menjelaskan tentang katarak, mulai dari yang sifatnya genetik sampai yang disebabkan oleh trauma, tibalah saatnya pemutaran video. Dalam video itu ditampilkan proses pembedahan mata bagian lensa secara konvensional. Bagaimana cairan yang keruh itu disedot kemudian digantikan dengan cairan yang baru. Setelah itu saya tidak tahu lagi apa yang terjadi.
Yang terjadi selanjutnya adalah saya heran kenapa teman-teman bertanya: ada apa Wan? Kamu kenapa?
Setelah minum air putih dan kesadaran mulai kembali. Saya mencoba mengingat kembali apa yang sudah terjadi. Kenapa teman-teman sampai memandangi saya, menanyakan apa yang terjadi, sampai kuliah sempat jeda sejenak. Ternyata saya sempat tidak sadarkan diri. Berapa lama tidak sadarnya saya tidak bisa mengukur karena setelah saya tanyakan ke teman disamping katanya saya kejang-kejang seperti orang yang sakaratul maut, kira-kira hampir 5 menit sampai saya benar-benar sadar dan bisa diajak bicara.
Setelah mendapat informasi itu, saya mencoba merekam kembali apa yang terakhir saya rasakan: Saya menonton video, kemudian teringat cerita bagaimana (alm) Bapak dulu pernah kedatangan seorang pekerja yang matanya ketusuk duri rotan sampai pandangannya menjadi kabur. Setelah teringat memori itu, saya merasa sedang mengalami hal serupa, seperti dioperasi tapi tidak dibius atau dianastesi.
Pandangan kabur, perut mulas, nafas terasa cepat, seperti ada yang mengejar. Dan.. BLANK. Begitu bangun langsung keringat dingin.
Hahaha.. saya jadi malu saat sadar dan kemudian ada yang bertanya: kenapa? Jawabannya; saya tidak sadarkan diri, karena terpengaruh oleh video yang saya nonton.
Ini adalah kedua kali saya tiba-tiba tidak sadar diri. Dulu karena buku, entahlah, begitu kuatnya buku itu menghipnotis seolah saya sendiri berada langsung dalam cerita menjadi tokoh utama yang menyaksikan peristiwa itu. Berarti memang semacam ada phobia terhadap sesuatu. Kok sampai membuat kejang dan tidak sadarkan diri? Saya belum mendapat penjelasannya.
Anehnya, tindakan operasi lain tidak membuat saya ketakutan seperti tadi. Bahkan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan video pembantaian kerusuhan Poso yang saya liat. Kecuali mata. Ya, ketika menyaksikan pembedahan mata atau hal-hal lain tentang mata, ada perasaan phobia. Bahkan ketika kecelakaan motor beberapa bulan lalu saya membayangkan hal serupa. Jujur, trauma yang paling saya takuti di tubuh saya sendiri adalah trauma mata. Entahlah, mungkin karena di daerah saya sendiri banyak melihat penderita yang berhubungan dengan mata, katarak mata, trauma mata, dan sebagainya.
Setelah selesai kuliah, Dokter Bram bertanya kenapa dan kemudian saya jelaskan sebagaimana adanya, dan beliau menjawab: tidak apa-apa, perlu latihan agar terbiasa. J
Sekian. [Solo, 15 April 2015]

‘Hipotesis’ Lingkungan dan Tujuan Kebaikan.




            Rumus menjadi baik adalah dengan mengajak orang lain bersama-sama menjadi lebih baik. Kebaikan menjadi tidak ada jika menunggu kita 'baik' dulu baru menasihati orang lain. Jika engkau malu atas penilaian orang lain, maka hijrahlah ke tempat yang baru, di sana akan kau temui orang-orang yang membutuhkan uluran tangan dan nasihatmu.
            Pada dasarnya hidup adalah penyesuaian dengan lingkungan. Lingkungan memegang peranan besar atas perubahan hidup seseorang. Maka hijrah untuk mencari tempat atau lingkungan yang mendukung kita menjadi lebih baik itu wajib hukumnya. Carilah lingkungan sosial yang mendukungmu menjadi lebih baik, bukan sebaliknya.
            Ada seseorang yang agamanya baik, ilmunya luar biasa, tapi tidak berhasil mengajak orang lain pada kebaikan, maka sudah saatnya mencari lingkungan baru yang mendukung dia mencapai tujuan kebaikan. Bahkan hal itu dicontohkan langsung oleh seorang tokoh nomer satu paling berpengaruh dalam sejarah: Muhammad Shallallahu alaihi wassalam.
*Begitulah seorang guru mengajarkan cara terbaik untuk berubah menjadi lebih baik. Lingkungan sosial adalah kata kuncinya.

Cerpen - Mahasiswa dari Pulau Seberang.




Perkenalkan namaku Mariono, orang biasa memanggilku Iwan. Nama lengkapku Iwan Mariono. Sedari kecil aku tidak pernah tahu apa arti namaku, ayah dan ibu juga tak tahu. Aku heran, kenapa mereka beri nama itu ke aku kalau mereka sendiri tidak tahu artinya. Sejak saat itu aku tidak pernah tahu arti namaku, kecuali baru kemarin, saat temanku yang asli orang jawa itu bilang kalau namaku sebenarnya ada artinya dalam bahasa jawa: Iwan itu artinya; idaman wanita. Ini ngasal. Sedangkan Mariono itu dari kata ‘mari=sudah’ dan ‘ono=ada’, sudah ada. Ini benar. Berarti namaku memiliki arti; Iwan sudah ada. Temanku itu juga menambahkan, sebenarnya nama itu adalah sebuah doa. Sebagian lain mengatakan; apalah arti sebuah nama. Namun bagi sebagian besar orang jawa, pemberian nama lebih karena faktor budaya.
“Begitulah Mas, Iwan sudah ada.” Katanya sembari tersenyum.
Aku hanya bisa tertawa mendengarnya. Sudahlah. Lupakan perkenalan di atas, tidak penting! Kalau pun sudah ada terus mau apa?
Saat ini aku sedang mendengarkan alunan seruling indah instrumen Bali karya Gus Teja berjudul hero, instrumen Bali pertama yang aku kenal langsung memikat hati karena alunannya yang syahdu menenangkan hati. Tahukah kalian setiap mendengarnya semakin mengingatkanku kepada kampung halaman.
Bukan. Aku bukan orang Bali. Bahkan ke Bali saja belum pernah. Hanya saja, setiap mendengarnya imajinasiku melayang jauh terbang; berbaring di gubuk kecil depan rumah dengan hamparan sawah yang luas sepanjang mata memandang. Hijau. Hanya hijau dan biru yang nampak sampai di ujung garis langit. Hanya sawah dan rumput alang-alang yang nampak sepanjang mata memandang. Semakin menenangkan dengan paduan suara gemricik air yang mengalir dari saluran kecil irigasi yang mengelilingi sekitarnya.
“Woi. Kau tidak kuliah hari ini?”
Suara khas itu bertanya, menepuk bahuku, memutus lamunanku pagi ini tentang indahnya alam pedesaan kami. Adalah Andi, teman sejawatku dalam perantauan ini. Kami yang sama-sama dari Morowali, sebuah daerah di ujung tenggara Sulawesi Tengah.
“Tidak, hari ini aku mau bolos dulu,” jawabku dengan tegas seraya menawarkan Andi jalan-jalan kemana tempat yang bagus untuk dikunjungi hari ini.
“Ke Simpang Lima, ke Lawang Sewu, kayaknya bagus.” jawabnya dengan mantap.
Senyum cengegesan Andi yang mantap seolah meyakinkan. Ide yang bagus. Akhirnya, dengan berbekal motor Beat putih kesayanganku itu, pagi ini kami berangkat ke Semarang.
Sepanjang perjalanan, kami melewati indahnya Magelang, kota terbersih yang berhasil meraih adipura se-Jawa Tengah. Berangkat dari arah Jogja otomatis tidak lewat alun-alun Magelang, karena ada jalan perboden. Sering kami ditahan polisi karena ketahuan melanggar jalan satu arah. Kadang jadi geli tertawa jika mengingat kenakalan ketika SMA dulu, bagaimana aku dan Andi sering mencoba kabur lewat jalan tikus alias lorong-lorong saat ketahuan melanggar. Dasar bocah nakal. Hanya bisa tertawa mengingatnya. Kami berteman sejak masih SMA di Kota Palu.
Ini adalah bolos pertamaku sejak diterima jadi Mahasiswa Kedokteran, UMS__Universitas Muhammadiyah Surakarta. Aku lebih suka menyebutnya Muhammadiyah Sukoharjo. Karena memang, lokasi tempat kuliah itu berdomisili di Kabupaten Sukoharjo. Sering aku dan teman-teman memelesetkannya dalam bahasa Jawa; UMS, Universitas Meh Solo, yang berarti universitas dekat Solo, karena letaknya di Sukoharjo yang sudah bukan daerah Solo, nama populer Surakarta. Andi sendiri kuliah di Jogja, jurusan Teknik Industri, Akprind. itulah sebabnya perjalanan ke Semarang pagi ini kami melewati Magelang, karena jum’at malam sebelumnya aku jalan-jalan ke Jogja, menginap di kontrakan Andi yang tidak jauh dari kampusnya. Hingga pagi ini, rencana jalan-jalan itu muncul dengan sendirinya.
Walau kami tidak satu jurusan, itu tidak membuat persahabatan kami regang, justru menjadi kiat erat. Selain karena kami satu kampung halaman, teman sejak kecil, hal yang membuat persahabatanku erat, kami juga sama-sama kolektor buku sejak datang di Jawa. Hal yang tidak pernah kami lakukan ketika masih di Sulawesi, selain karena harga buku-buku yang mahal juga karena memang tidak ada toko buku seperti Gramedia, Togamas, SAB, di sana.
Ada hal menarik yang kami temui ketika berkunjung ke Semarang. Mungkin inilah transformasi budaya melalui institusi pendidikan antara Jawa dan Sulawesi yang berhasil aku rekam melalui percakapan antara sahabatku Andi dan seorang lelaki tua yang kami temui di kota itu.
Langit tampak mendung, walau demikian tidak tampak adanya tanda-tanda akan turunnya hujan kecuali hanya matahari yang tersapu oleh awan. Kami duduk di bundaran Tugu Muda, melepas penat setelah puas berkeliling kota Semarang dan diakhiri dengan menjelajahi penjara bawah tanah Lawang Sewu. Di bundaran, kami bertemu dengan Pak Tua yang sedang asyik membaca buku. Dilihat dari cover-nya yang sadah kusam sepertinya buku jadul. Sekilas tampak judulnya; Max Havelaar.
            “Kalian ini asalnya dari mana?” sapa Pak Tua dengan nada bersahabat, setelah sebelumnya Andi yang terlebih dahulu mengajak berkenalan.
“Kami dari Sulawesi, Pak,” jawab kami serempak.
Saya pernah tinggal di Sulawesi, hampir tiga puluh tahun saya di sana. Sempat tinggal lama di Wakatobi sebelum pindah ke Makassar. Pulau yang indah, masih banyak hutannya.” Wah, sungguh kejutan, ternyata kami bertemu dengan orang yang pernah tinggal di Sulawesi, yang bahkan melebihi usia kami.
Pak Tua, dari perawakannya tampak kalau Pak Tua ini kira-kira sudah berumur tujuh puluhan. Walau demikian, dia masih tampak sehat dan bugar, mungkin karena kebiasaannya yang murah senyum dan suka berbagi pengalaman, membuatnya sepuluh tahun lebih muda dari orang tua sebayanya. Dan, diskusi-diskusi kami dengan Pak Tua inilah yang kemudian menjadi diskusi yang abadi kawan. Ada banyak hal yang kami bahas berhubungan dengan status kami sebagai mahasiswa sekaligus status kami sebagai anak perantauan yang berada jauh dari kampung halaman. Maka, dalam kesibukanku sebagai mahasiswa, walau sempat bolos, aku tetap mencoba untuk menuliskan kisah ini.
Pak Tua memulai percakapan, “Saat itu aku masih berumur dua puluh tahun. Mungkin sama seperti kalian sekarang.”
“Benar Pak, kecuali temanku yang satu ini,” sial Andi selalu membuka kartuku sebagai mantan pengangguran sebelum jadi mahasiswa.
Pak Tua hanya tertawa, “tidak apa-apa, aku juga dulu sama sepertimu, pernah menjadi pengangguran sebelum kuliah. Aku kuliah di Universitas Haluoleo, Kendari. Namun hanya bertahan satu tahun, karena tahun kedua aku sudah pindah ke Maros. Aku kuliah lagi mulai dari semester awal, lanjut di Unhas Makassar, jurusan Ekonomi. Saat itu Makassar belum ramai seperti sekarang, Pantai Losari bahkan belum menjadi objek wisata, masih berupa jalanan lurus yang berbatasan dengan pasir tepi pantai.”
“Kau tahu Andi,” kali ini Pak Tua fokus pada Andi yang memang berdarah bugis, keturunan asli Sulawesi. Berbeda dengan aku yang blasteran, ibuku yang Jawa, tapi bapak yang Sulawesi, toraja. Maka jangan heran kalau aku bisa bahasa jawa sekaligus toraja, beda dengan Andi yang masih kaku lidahnya dengan logat jawa. “kenapa orang Sulawesi di mata orang Jawa itu terkesan kasar, coba kau lihat mahasiswanya, hampir tiap hari terlibat tawuran?”
“Itu karena faktor budaya Pak,” jawabku. “budaya orang Sulawesi hampir sama dengan sebagian orang Sumatera yang terkesan keras, baik dalam bicara maupun bersikap. Lihatlah Makassar, mungkin alasan diberi nama Makassar karena artinya; memang kassar.
“Sebenarnya tidak sepenuhnya benar,” jawab Pak Tua sambil tersenyum mendengar gurauan itu, “kita ambil contoh orang Makassar, kebetulan aku yang lama tinggal di sana. Cara bicara orang makassar memang cenderung keras dan terkadang sedikit agak lantang. Namun keras bukan berarti kasar, dan biasanya mereka langsung berbicara pada pokok pembahasan dan tidak bertele-tele.”
“Lantas, bagaimana Pak Tua menanggapi kampus Unhas yang sering kita lihat di TV terlibat tawuran?” Andi kali ini yang bertanya, dia memanggil beliau Pak Tua, tapi beliau tidak marah, malah suka dengan panggilan itu.
            “Itu karena media. Media yang membuat mindset mahasiswa Makassar itu terkesan kasar. Ketika ada aksi-aksi entah yang dilakukan mahasiswa atau organisasi yang terdapat di Makassar, dalam hal ini yang mungkin berakhir bentrok dan sebagianya, maka media langsung saja memblow-up kejadian tersebut,” lanjut Pak Tua seolah mengenang masa lalunya sebagai mahasiswa Makassar yang tidak ingin mendapat pandangan buruk dari orang-orang yang bahkan belum pernah ke Makassar. “bahkan tidak sedikit beritanya yang dilebih-lebihkan oleh media dari Ibukota mengenai situasi Kota Makassar. Berbeda sekali ketika mahasiswa Makassar ataupun organisasi di Makassar melakukan hal-hal positif, media terkadang tidak tertarik untuk menyebarkannya.”
            “Tapi itu kan dulu Pak, waktu Pak Tua masih menjadi mahasiswa, sekarang beda. Makassar sudah menjadi kota metropolitan yang dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai daerah.” Andi menyampaikan pendapatnya pada Pak Tua.
            Sebenarnya, walaupun Andi orang Sulawesi, tapi dia orang yang mengagumi kulturasi dan budaya jawa. Bahkan, dia berkeinginan mencari jodoh orang jawa, ssst, untuk yang satu ini tolong jangan bilang siapa-siapa, nanti aku kena semprot Andi. Tidak sedikit orang Sulawesi yang cenderung mendiskreditkan budayanya sendiri. Dalam hal ini, sahabatku Andi inilah orangnya. Walau demikian, aku tetap mengagumi keberanian temanku yang satu ini. Andi bahkan datang sendiri ke pulau Jawa, saat aku sudah setahun lebih berada di sini.
            “Sama saja Andi, bukankah di Jawa juga seperti itu. Kau lihat saja di Surabaya, bukankah di sana juga orang-orangnya kasar dan suka tawuran.”
            “Itu suporter Persebaya Pak, bukan mahasiswa.” Kali ini aku yang bersuara.
            “Tetap saja sama, tidak sedikit Bonek Surabaya itu dari kalangan mahasiswa.” Jawab Pak Tua.
            “Apakah Pak Tua tidak pernah terlibat tawuran selama menjadi mahasiswa Unhas?” Andi mencoba bertanya, mencari tahu seperti apa kehidupan Pak Tua ketika masih menjadi mahasiswa, orang asli Semarang yang pernah lama tinggal di Sulawesi.
            Seolah mencoba membuka kembali kenangannya di masa lalu sebagai mahasiswa, di hadapan Andi, Pak Tua kali ini tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa, “Aku dulu anggota geng, sering terlibat tawuran dengan mahasiswa lain dari kampus seberang, bahkan ikut bergabung dengan suporter PSM, tidak sedikit dari kami yang berbuat anarkis, apalagi saat klub kesayangan kami itu kalah.”
            Kali ini aku ikut tertawa. Ternyata Pak Tua mewariskan benar apa yang menjadi budaya sebagian besar pemuda Makassar. Walau demikian ada satu ungkapannya yang ternyata menjadi alasan kuat mengapa dia sangat menyukai budaya orang Sulawesi, dalam hal ini Makassar. Sehingga, mindset-nya mengenai orang Sulawesi itu selalu postif.
            “Dalam hal tertentu, sikap tegas dan budaya keras sangat kita perlukan. Lemah-lembut atau yang orang jawa kenal dengan istilah ewuh-pakewuh itulah yang justru melemahkan. Mengapa bangsa Indonesia bisa dijajah puluhan tahun lamanya oleh Belanda. Itu karena orangnya terlalu lemah dalam mengambil sikap. Sikap itu lahir dari budaya, atau sebaliknya budaya itulah yang membuat kita bersikap sebagaimana kita sekarang. Kau tahu, kenapa Sultan Hasanuddin itu sangat disegani oleh orang-orang Portugis, itu karena beliau tidak pernah mau berkompromi dengan pihak penjajah, tidak ada tawar-menawar dalam penjajahan, semua kolonial dimana pun mereka berada; sama. Tujuan mereka hanya ingin menjajah. Begitu juga Surapati, sampai saat ini, kalau kalian bertanya kepada orang-orang tua dulu, khususnya orang Surabaya, maka tidak ada di antara mereka yang tidak mengenal nama tersebut, bagaimana idealismenya dianggap sebagai ancaman oleh penjajah Belanda. Belum lagi kalau kita mau membahas sosok Bung Tomo.”
            “Untuk Surabaya, sangat bertolak belakang bukan dengan budaya Jawa pada umumnya? Berapa banyak pegawai pemerintahan pada masa pendudukan Hindia Belanda yang menjadi kurir Belanda? Banyak di antara mereka yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi pejabat atau lurah, bekerja untuk keperluan Hindia dengan cara memeras penduduknya yang notabene merupakan saudaranya sendiri; sesama pribumi. Mereka, para lurah-lurah itu terlalu lemah di hadapan penjajah. Dan ironisnya, pribumi juga ternyata takut pada lurah-lurah. Jadilah ketakutan di atas ketakutan.”
            Aku hanya bengong, masih belum mengerti kemana arah pembicaraan Pak Tua.
“Cobalah kau baca ini?” Pak Tua menyerahkan buku kusam yang dipegangnya sejak tadi kepada Andi.
            “Ini kan sejarah penjajahan Pak Tua, tidak ada hubungannya dengan pembahasan kita mengenai tingkah-laku dan budaya mahasiswa kita sekarang.” Andi mencoba menyangga pendapat Pak Tua.
            “Sama saja Andi, janganlah kau bantah aku,” Pak Tua mengambil jeda sejenak, “sikap kita terhadap kehidupan sangat mempengaruhi sikap kehidupan terhadap kita. Dan sikap itu, tidak mungkin hadir kalau tidak dipengaruhi oleh lingkungannya. Mungkin hanya aku yang berani bilang kalau para Bonek itu mewarisi darah Bung Tomo. Orang jawa itu lemah lembut terwarisi oleh budaya keraton yang mewajibkan seperti itu. Bahkan anak lewat depan orang tua yang lagi ngobrol dengan tamu sudah dianggap aib besar, tidak punya etika. Apalagi kau kuliah di Jogja, tentu banyak kau jumpai warganya yang lemah lembut bukan? Ah, atau jangan-jangan kau juga sudah tertarik dengan kelemah-lembutan gadis Jawa?”
Andi hanya tertawa.
“Aku punya cucu, orangnya manis dan asli jawa, cantik, baik, lemah-lembut orangnya. Masih jomblo pula. Mau kau?”
Saat bersamaan pula, tiba-tiba muncul dari belakang kami dua orang gadis, yang satu berkerudung merah dengan kemeja bermotif merah lengan panjang, yang satunya lagi tidak berkerudung tapi hitam-manis, rambutnya tergerai berombak. Walau demikian sepertinya mereka kakak-beradik, wajah mereka hampir mirip. Mereka baru saja keluar dari Lawang Sewu. Dengan ramah menyapa aku dan Andi, tersenyum manis, kemudian ikut nimbrung di samping Pak Tua. Alamak. Itulah cucu Pak Tua yang dia maksud tadi. Kali ini Andi tidak berkutik, seperti lele kehabisan air di hadapan Pak Tua.
Bengong.
            “Iya kan?” Tanya Pak Tua lagi sambil tersenyum.
            “Eh,” muka Andi langsung merah seperti udang rebus. Aku hanya tersenyum, ikut merasakan kalimat terakhir Pak Tua mengenai gadis jawa..
            Suasana debat diganti menjadi suasana hening beberapa saat. Beginilah nasib mahasiswa tuna asrama, eh, asmara. Giliran dibahas masalah cinta, langsung terdiam dia seperti anak TK.
            “Mau tidak??”
            Dan Andi salah tingkah. Aku hanya bisa tertawa.
            Tampak langit memerah, matahari sebentar lagi akan kembali ke peraduannya. Kehidupan hari ini berlalu dengan kesibukan kota yang masih akan terus berlanjut hingga malam tiba. Debu dan asap kendaraan ikut mewarnai langit Semarang.
***
Percakapan hari itu berakhir begitu saja. Hari itu juga aku belajar, dan hikmah yang besar; tidak ada budaya yang penuh warna di belahan bumi mana pun selain Indonesia. Tidak ada. Bahkan ini hanya secuil budaya yang berhasil ter-ekspose menjadi sebuah kisah yang aku tulis bersama Andi dan Pak Tua__seorang mantan mahasiswa dari pulau seberang. Dimana antara mereka sebenarnya telah terjadi pertukaran budaya. Ada sekitar tujuhratus suku budaya-bangsa Indonesia, bahkan kita mengenal belum setengahnya.
Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.
TAMAT

Surakarta Hadiningrat, 01 Desember 2013