Perkenalkan
namaku Mariono, orang biasa memanggilku Iwan. Nama lengkapku Iwan Mariono. Sedari
kecil aku tidak pernah tahu apa arti namaku, ayah dan ibu juga tak tahu. Aku
heran, kenapa mereka beri nama itu ke aku kalau mereka sendiri tidak tahu
artinya. Sejak saat itu aku tidak pernah tahu arti namaku, kecuali baru kemarin,
saat temanku yang asli orang jawa itu bilang kalau namaku sebenarnya ada
artinya dalam bahasa jawa: Iwan itu artinya; idaman wanita. Ini ngasal. Sedangkan Mariono itu dari kata
‘mari=sudah’ dan ‘ono=ada’, sudah ada. Ini benar. Berarti namaku
memiliki arti; Iwan sudah ada.
Temanku itu juga menambahkan, sebenarnya nama itu adalah sebuah doa. Sebagian
lain mengatakan; apalah arti sebuah nama. Namun bagi sebagian besar orang jawa,
pemberian nama lebih karena faktor budaya.
“Begitulah
Mas, Iwan sudah ada.” Katanya sembari tersenyum.
Aku
hanya bisa tertawa mendengarnya. Sudahlah. Lupakan perkenalan di atas, tidak
penting! Kalau pun sudah ada terus
mau apa?
Saat
ini aku sedang mendengarkan alunan seruling indah instrumen Bali karya Gus Teja
berjudul hero, instrumen Bali pertama
yang aku kenal langsung memikat hati karena alunannya yang syahdu menenangkan
hati. Tahukah kalian setiap mendengarnya semakin mengingatkanku kepada kampung
halaman.
Bukan.
Aku bukan orang Bali. Bahkan ke Bali saja belum pernah. Hanya saja, setiap
mendengarnya imajinasiku melayang jauh terbang; berbaring di gubuk kecil depan
rumah dengan hamparan sawah yang luas sepanjang mata memandang. Hijau. Hanya
hijau dan biru yang nampak sampai di ujung garis langit. Hanya sawah dan rumput
alang-alang yang nampak sepanjang mata memandang. Semakin menenangkan dengan
paduan suara gemricik air yang mengalir dari saluran kecil irigasi yang
mengelilingi sekitarnya.
“Woi. Kau
tidak kuliah hari ini?”
Suara
khas itu bertanya, menepuk bahuku, memutus lamunanku pagi ini tentang indahnya
alam pedesaan kami. Adalah Andi, teman sejawatku dalam perantauan ini. Kami
yang sama-sama dari Morowali, sebuah daerah di ujung tenggara Sulawesi Tengah.
“Tidak,
hari ini aku mau bolos dulu,” jawabku dengan tegas seraya menawarkan Andi
jalan-jalan kemana tempat yang bagus untuk dikunjungi hari ini.
“Ke
Simpang Lima, ke Lawang Sewu, kayaknya bagus.” jawabnya dengan mantap.
Senyum cengegesan
Andi yang mantap seolah meyakinkan. Ide yang bagus. Akhirnya, dengan berbekal
motor Beat putih kesayanganku itu,
pagi ini kami berangkat ke Semarang.
Sepanjang
perjalanan, kami melewati indahnya Magelang, kota terbersih yang berhasil
meraih adipura se-Jawa Tengah. Berangkat dari arah Jogja otomatis tidak lewat
alun-alun Magelang, karena ada jalan perboden.
Sering kami ditahan polisi karena ketahuan melanggar jalan satu arah.
Kadang jadi geli tertawa jika mengingat kenakalan ketika SMA dulu, bagaimana
aku dan Andi sering mencoba kabur lewat jalan
tikus alias lorong-lorong saat ketahuan melanggar. Dasar bocah nakal. Hanya
bisa tertawa mengingatnya. Kami berteman sejak masih SMA di Kota Palu.
Ini
adalah bolos pertamaku sejak diterima jadi Mahasiswa Kedokteran, UMS__Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Aku lebih suka menyebutnya Muhammadiyah Sukoharjo.
Karena memang, lokasi tempat kuliah itu berdomisili di Kabupaten Sukoharjo.
Sering aku dan teman-teman memelesetkannya dalam bahasa Jawa; UMS, Universitas Meh Solo, yang berarti
universitas dekat Solo, karena letaknya di Sukoharjo yang sudah bukan daerah
Solo, nama populer Surakarta. Andi sendiri kuliah di Jogja, jurusan Teknik
Industri, Akprind. itulah sebabnya perjalanan ke Semarang pagi ini kami
melewati Magelang, karena jum’at malam sebelumnya aku jalan-jalan ke Jogja,
menginap di kontrakan Andi yang tidak jauh dari kampusnya. Hingga pagi ini,
rencana jalan-jalan itu muncul dengan sendirinya.
Walau
kami tidak satu jurusan, itu tidak membuat persahabatan kami regang, justru
menjadi kiat erat. Selain karena kami satu kampung halaman, teman sejak kecil,
hal yang membuat persahabatanku erat, kami juga sama-sama kolektor buku sejak
datang di Jawa. Hal yang tidak pernah kami lakukan ketika masih di Sulawesi,
selain karena harga buku-buku yang mahal juga karena memang tidak ada toko buku
seperti Gramedia, Togamas, SAB, di sana.
Ada hal
menarik yang kami temui ketika berkunjung ke Semarang. Mungkin inilah
transformasi budaya melalui institusi pendidikan antara Jawa dan Sulawesi yang
berhasil aku rekam melalui percakapan antara sahabatku Andi dan seorang lelaki
tua yang kami temui di kota itu.
Langit
tampak mendung, walau demikian tidak tampak adanya tanda-tanda akan turunnya
hujan kecuali hanya matahari yang tersapu oleh awan. Kami duduk di bundaran
Tugu Muda, melepas penat setelah puas berkeliling kota Semarang dan diakhiri
dengan menjelajahi penjara bawah tanah Lawang Sewu. Di bundaran, kami bertemu
dengan Pak Tua yang sedang asyik membaca buku. Dilihat dari cover-nya yang sadah kusam sepertinya
buku jadul. Sekilas tampak judulnya; Max
Havelaar.
“Kalian ini asalnya dari mana?” sapa
Pak Tua dengan nada bersahabat, setelah sebelumnya Andi yang terlebih dahulu
mengajak berkenalan.
“Kami
dari Sulawesi, Pak,” jawab kami serempak.
“Saya pernah tinggal di Sulawesi, hampir
tiga puluh tahun saya di sana. Sempat tinggal lama di Wakatobi sebelum pindah
ke Makassar. Pulau yang indah, masih banyak hutannya.” Wah, sungguh kejutan, ternyata
kami bertemu dengan orang yang pernah tinggal di Sulawesi, yang bahkan melebihi
usia kami.
Pak
Tua, dari perawakannya tampak kalau Pak Tua ini kira-kira sudah berumur tujuh
puluhan. Walau demikian, dia masih tampak sehat dan bugar, mungkin karena
kebiasaannya yang murah senyum dan suka berbagi pengalaman, membuatnya sepuluh
tahun lebih muda dari orang tua sebayanya. Dan, diskusi-diskusi kami dengan Pak
Tua inilah yang kemudian menjadi diskusi yang abadi kawan. Ada banyak hal yang
kami bahas berhubungan dengan status kami sebagai mahasiswa sekaligus status
kami sebagai anak perantauan yang berada jauh dari kampung halaman. Maka, dalam
kesibukanku sebagai mahasiswa, walau sempat bolos, aku tetap mencoba untuk
menuliskan kisah ini.
Pak Tua
memulai percakapan, “Saat itu aku masih berumur dua puluh tahun. Mungkin sama
seperti kalian sekarang.”
“Benar
Pak, kecuali temanku yang satu ini,” sial Andi selalu membuka kartuku sebagai
mantan pengangguran sebelum jadi mahasiswa.
Pak Tua
hanya tertawa, “tidak apa-apa, aku juga dulu sama sepertimu, pernah menjadi
pengangguran sebelum kuliah. Aku kuliah di Universitas Haluoleo, Kendari. Namun
hanya bertahan satu tahun, karena tahun kedua aku sudah pindah ke Maros. Aku
kuliah lagi mulai dari semester awal, lanjut di Unhas Makassar, jurusan
Ekonomi. Saat itu Makassar belum ramai seperti sekarang, Pantai Losari bahkan
belum menjadi objek wisata, masih berupa jalanan lurus yang berbatasan dengan
pasir tepi pantai.”
“Kau
tahu Andi,” kali ini Pak Tua fokus pada Andi yang memang berdarah bugis,
keturunan asli Sulawesi. Berbeda dengan aku yang blasteran, ibuku yang Jawa,
tapi bapak yang Sulawesi, toraja. Maka jangan heran kalau aku bisa bahasa jawa
sekaligus toraja, beda dengan Andi yang masih kaku lidahnya dengan logat jawa.
“kenapa orang Sulawesi di mata orang Jawa itu terkesan kasar, coba kau lihat mahasiswanya,
hampir tiap hari terlibat tawuran?”
“Itu
karena faktor budaya Pak,” jawabku. “budaya orang Sulawesi hampir sama dengan
sebagian orang Sumatera yang terkesan keras, baik dalam bicara maupun bersikap.
Lihatlah Makassar, mungkin alasan diberi nama Makassar karena artinya; memang kassar.”
“Sebenarnya
tidak sepenuhnya benar,” jawab Pak Tua sambil tersenyum mendengar gurauan itu,
“kita ambil contoh orang Makassar, kebetulan aku yang lama tinggal di sana. Cara bicara orang makassar memang cenderung keras dan
terkadang sedikit agak lantang. Namun keras bukan berarti kasar, dan biasanya
mereka langsung berbicara pada pokok pembahasan dan tidak bertele-tele.”
“Lantas,
bagaimana Pak Tua menanggapi kampus Unhas yang sering kita lihat di TV terlibat
tawuran?” Andi kali ini yang bertanya, dia memanggil beliau Pak Tua, tapi
beliau tidak marah, malah suka dengan panggilan itu.
“Itu karena media. Media yang
membuat mindset mahasiswa Makassar
itu terkesan kasar. Ketika ada aksi-aksi entah
yang dilakukan mahasiswa atau organisasi yang terdapat di Makassar, dalam hal ini yang mungkin
berakhir bentrok dan sebagianya, maka media langsung saja memblow-up kejadian tersebut,” lanjut Pak
Tua seolah mengenang masa lalunya sebagai mahasiswa Makassar yang tidak ingin
mendapat pandangan buruk dari orang-orang yang bahkan belum pernah ke Makassar.
“bahkan tidak sedikit beritanya yang dilebih-lebihkan oleh media dari Ibukota
mengenai situasi Kota Makassar. Berbeda sekali ketika mahasiswa Makassar
ataupun organisasi di Makassar melakukan hal-hal positif, media terkadang tidak
tertarik untuk menyebarkannya.”
“Tapi itu
kan dulu Pak, waktu Pak Tua masih menjadi mahasiswa, sekarang beda. Makassar
sudah menjadi kota metropolitan yang dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai
daerah.” Andi menyampaikan pendapatnya pada Pak Tua.
Sebenarnya,
walaupun Andi orang Sulawesi, tapi dia orang yang mengagumi kulturasi dan
budaya jawa. Bahkan, dia berkeinginan mencari jodoh orang jawa, ssst, untuk
yang satu ini tolong jangan bilang siapa-siapa, nanti aku kena semprot Andi.
Tidak sedikit orang Sulawesi yang cenderung mendiskreditkan budayanya sendiri.
Dalam hal ini, sahabatku Andi inilah orangnya. Walau demikian, aku tetap
mengagumi keberanian temanku yang satu ini. Andi bahkan datang sendiri ke pulau
Jawa, saat aku sudah setahun lebih berada di sini.
“Sama saja
Andi, bukankah di Jawa juga seperti itu. Kau lihat saja di Surabaya, bukankah
di sana juga orang-orangnya kasar dan suka tawuran.”
“Itu
suporter Persebaya Pak, bukan mahasiswa.” Kali ini aku yang bersuara.
“Tetap saja
sama, tidak sedikit Bonek Surabaya itu dari kalangan mahasiswa.” Jawab Pak Tua.
“Apakah Pak
Tua tidak pernah terlibat tawuran selama menjadi mahasiswa Unhas?” Andi mencoba
bertanya, mencari tahu seperti apa kehidupan Pak Tua ketika masih menjadi
mahasiswa, orang asli Semarang yang pernah lama tinggal di Sulawesi.
Seolah
mencoba membuka kembali kenangannya di masa lalu sebagai mahasiswa, di hadapan
Andi, Pak Tua kali ini tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa, “Aku dulu
anggota geng, sering terlibat tawuran dengan mahasiswa lain dari kampus
seberang, bahkan ikut bergabung dengan suporter PSM, tidak sedikit dari kami
yang berbuat anarkis, apalagi saat klub kesayangan kami itu kalah.”
Kali ini
aku ikut tertawa. Ternyata Pak Tua mewariskan benar apa yang menjadi budaya
sebagian besar pemuda Makassar. Walau demikian ada satu ungkapannya yang
ternyata menjadi alasan kuat mengapa dia sangat menyukai budaya orang Sulawesi,
dalam hal ini Makassar. Sehingga, mindset-nya
mengenai orang Sulawesi itu selalu postif.
“Dalam hal
tertentu, sikap tegas dan budaya keras sangat kita perlukan. Lemah-lembut atau
yang orang jawa kenal dengan istilah ewuh-pakewuh
itulah yang justru melemahkan. Mengapa bangsa Indonesia bisa dijajah
puluhan tahun lamanya oleh Belanda. Itu karena orangnya terlalu lemah dalam
mengambil sikap. Sikap itu lahir dari budaya, atau sebaliknya budaya itulah
yang membuat kita bersikap sebagaimana kita sekarang. Kau tahu, kenapa Sultan
Hasanuddin itu sangat disegani oleh orang-orang Portugis, itu karena beliau
tidak pernah mau berkompromi dengan pihak penjajah, tidak ada tawar-menawar
dalam penjajahan, semua kolonial dimana pun mereka berada; sama. Tujuan mereka
hanya ingin menjajah. Begitu juga Surapati, sampai saat ini, kalau kalian
bertanya kepada orang-orang tua dulu, khususnya orang Surabaya, maka tidak ada
di antara mereka yang tidak mengenal nama tersebut, bagaimana idealismenya
dianggap sebagai ancaman oleh penjajah Belanda. Belum lagi kalau kita mau
membahas sosok Bung Tomo.”
“Untuk
Surabaya, sangat bertolak belakang bukan dengan budaya Jawa pada umumnya?
Berapa banyak pegawai pemerintahan pada masa pendudukan Hindia Belanda yang
menjadi kurir Belanda? Banyak di antara mereka yang diangkat oleh pemerintah
Hindia Belanda menjadi pejabat atau lurah, bekerja untuk keperluan Hindia
dengan cara memeras penduduknya yang notabene merupakan saudaranya sendiri;
sesama pribumi. Mereka, para lurah-lurah itu terlalu lemah di hadapan penjajah.
Dan ironisnya, pribumi juga ternyata takut pada lurah-lurah. Jadilah ketakutan
di atas ketakutan.”
Aku hanya
bengong, masih belum mengerti kemana arah pembicaraan Pak Tua.
“Cobalah kau baca ini?” Pak Tua menyerahkan buku kusam yang
dipegangnya sejak tadi kepada Andi.
“Ini kan
sejarah penjajahan Pak Tua, tidak ada hubungannya dengan pembahasan kita
mengenai tingkah-laku dan budaya mahasiswa kita sekarang.” Andi mencoba
menyangga pendapat Pak Tua.
“Sama saja
Andi, janganlah kau bantah aku,” Pak Tua mengambil jeda sejenak, “sikap kita
terhadap kehidupan sangat mempengaruhi sikap kehidupan terhadap kita. Dan sikap
itu, tidak mungkin hadir kalau tidak dipengaruhi oleh lingkungannya. Mungkin
hanya aku yang berani bilang kalau para Bonek itu mewarisi darah Bung Tomo. Orang
jawa itu lemah lembut terwarisi oleh budaya keraton yang mewajibkan seperti itu.
Bahkan anak lewat depan orang tua yang lagi ngobrol dengan tamu sudah dianggap
aib besar, tidak punya etika. Apalagi kau kuliah di Jogja, tentu banyak kau
jumpai warganya yang lemah lembut bukan? Ah, atau jangan-jangan kau juga sudah tertarik
dengan kelemah-lembutan gadis Jawa?”
Andi hanya tertawa.
“Aku punya cucu, orangnya manis dan asli jawa, cantik, baik,
lemah-lembut orangnya. Masih jomblo pula. Mau kau?”
Saat bersamaan pula, tiba-tiba muncul dari belakang kami dua
orang gadis, yang satu berkerudung merah dengan kemeja bermotif merah lengan
panjang, yang satunya lagi tidak berkerudung tapi hitam-manis, rambutnya
tergerai berombak. Walau demikian sepertinya mereka kakak-beradik, wajah mereka
hampir mirip. Mereka baru saja keluar dari Lawang Sewu. Dengan ramah menyapa
aku dan Andi, tersenyum manis, kemudian ikut nimbrung di samping Pak Tua.
Alamak. Itulah cucu Pak Tua yang dia maksud tadi. Kali ini Andi tidak berkutik,
seperti lele kehabisan air di hadapan Pak Tua.
Bengong.
“Iya kan?”
Tanya Pak Tua lagi sambil tersenyum.
“Eh,” muka
Andi langsung merah seperti udang rebus. Aku hanya tersenyum, ikut merasakan
kalimat terakhir Pak Tua mengenai gadis jawa..
Suasana
debat diganti menjadi suasana hening beberapa saat. Beginilah nasib mahasiswa
tuna asrama, eh, asmara. Giliran dibahas masalah cinta, langsung terdiam dia
seperti anak TK.
“Mau
tidak??”
Dan Andi
salah tingkah. Aku hanya bisa tertawa.
Tampak
langit memerah, matahari sebentar lagi akan kembali ke peraduannya. Kehidupan
hari ini berlalu dengan kesibukan kota yang masih akan terus berlanjut hingga
malam tiba. Debu dan asap kendaraan ikut mewarnai langit Semarang.
***
Percakapan hari itu berakhir begitu saja. Hari itu juga aku
belajar, dan hikmah yang besar; tidak ada budaya yang penuh warna di belahan
bumi mana pun selain Indonesia. Tidak ada. Bahkan ini hanya secuil budaya yang
berhasil ter-ekspose menjadi sebuah
kisah yang aku tulis bersama Andi dan Pak Tua__seorang mantan mahasiswa dari
pulau seberang. Dimana antara mereka sebenarnya telah terjadi pertukaran
budaya. Ada sekitar tujuhratus suku budaya-bangsa Indonesia, bahkan kita
mengenal belum setengahnya.
Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung.
TAMAT
Surakarta
Hadiningrat, 01 Desember 2013