Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

DARI PENJARA KE PENJARA

Gambaran kondisi ekonomi-politik Tiongkok seabad yg lalu (1920an) dalam otobiografi Tan Malaka ini, adalah kebalikannya, jika kita bandingkan dengan kondisi negeri tersebut sekarang. Justru merekalah kini salah satu yang menjadi pelaku sekaligus pengendali utama. 


Demikian Tan Ibrahim Malaka mencatat: 

"Kita sering benar melihat nama perusahaan atau toko seperti Anglo-Chinesee ini atau itu ialah kongsi Inggris-Tionghoa, Sino American ini atau itu (kongsi Tionghoa-Amerika) dan lain-lain. Pada perusahaan tersebut modal Inggris atau Amerika 'kerja sama' dengan modal Tionghoa. 

Biasanya modal asing lebih besar daripada modal Tionghoa, berbanding umpamanya 60:40. Dengan begitu sendirinya bangsa asinglah yang menjadi manajer ialah kepala perusahaan. Sedangkan Tionghoa menjadi wakilnya. 

Kapitalis Tionghoa yang 'kerja sama' semacam itu dengan orang asing dinamai Compradore. Dialah terutama yang menyelenggarakan perkara tenaga buruh, pasar dan langganan. Pengetahuan tentang hal ini tentulah tiada dimiliki oleh kapitalis asing. Sebaliknya pula perkara teknik dan administrasi secara modern tiadalah dimiliki oleh kapitalis Tionghoa. 

Dengan 'kerja sama' Tionghoa dan asing itu timbullah dan tumbuhlah modal yang boleh kita namakan kapital-compradore. 

Sudahlah tentu dalam 'kerja sama' semacam itu, dimana orang asing mempunyai modal lebih besar; pengetahuan tentang teknik dan administrasi lebih tinggi; kekuasaan politik dalam pemerintahan kota boleh dikatakan sama sekali di tangan asing; dan perlindungan atas kepastian hukum (rechts-zekerheid) dan kepastian perusahaan (bedrijfszekerheid) berada di pihak bangsa asing, maka tentulah sifat kapital-compradore itu buat Tionghoa ialah perbudakan modal semata-mata. 

Si Compradore adalah budaknya kapitalis bangsa asing buat mencarikan buruh (tenaga), pasar, dan langganan. Perbudakan itu terjamin pula oleh modal Tionghoa yang ditaruhkannya dalam peti modal asing."

*Tan Malaka, "Dari Penjara ke Penjara" hlm. 244-245 | Penrbit Narasi

**Aslinya tulisan itu hanya terdiri dari satu paragraf, demi memudahkan pembaca status, sy bagi menjadi enam.

Resensi buku Pengantar Ilmu Sejarah

Saya harus selalu menyediakan bolpoin, penggaris, dan stabilo, setiap kali membaca buku pak Kunto. Itu artinya saya harus baca buku fisik (bukan buku digital), dan tentu saja buku saya sendiri, bukan buku pinjaman. Ada kepuasan yang tidak bisa dijelaskan. Selain itu, juga ini untuk arsip pribadi jika suatu saat nanti saya mau buka-buka lagi bukunya. 

Sampai sekarang saya baru bisa mengumpulkan 23 bukunya (masih ada beberapa judul yang belum saya dapatkan). Dan buku “Pengantar Ilmu Sejarah” ini adalah salah satu sudah dan baru saja saya khatamkan.

Dalam buku ini pak Kunto benar-benar seperti seorang filsuf sejarah yang memaparkan ilmu sejarah dari hal yang paling mendasar: apakah sejarah itu, gunanya, sejarah penulisan, sejarah sebagai ilmu dan seni, pendidikan sejarawan, penelitian sejarah, sejarah dan ilmu-ilmu sosial, kekuatan sejarah, generalisasi sejarah, kesalahan-kesalahan sejarawan, sejarah dan pembangunan, sampai dengan ramalan sejarah. 

Sekalipun tidak mengenyam pendidikan akademik formal sebagai sejarawan, orang yang membaca buku ini akan dibuat terpesona oleh profesi tersebut. Setidaknya, itulah yang yang saya rasakan setelah membacanya. Apalagi penulisan sejarah itu memang tidak mesti hanya dilakukan oleh sejarawan profesional, melainkan siapa pun boleh, sebagaimana dalam buku ini pak Kunto membagi sejarawan menjadi tiga kelompok, (1) sejarawan profesional, (2) sejarawan dari disiplin lain, dan (3) sejarawan dari masyarakat. Contoh sejarawan dari disiplin lain adalah seorang dokter yang menulis sejarah epidemi di tempatnya atau sejarawan dari masyarakat yakni para kiai, lurah, atau santari yang menulis sejarah pondok pondoknya sendiri (Hlm. 66).

Pak Kunto memulai buku ini dari Bab 1 dengan memantik pertanyaan apakah sejarah itu serta istilah yang memakai kata sejarah. Beliau menulis, "Apa yang sudah terjadi atau sejarah itu dua macam, yaitu yang terjadi di luar pengetahuan manusia (disebut juga sejarah objektif) dan yang terjadi sepengetahuan manusia (disebut juga sejarak subjektif) (Hlm. 2).

Pernyataan itu membuat saya teringat nasihat sejarawan Prof. Taufik Abdullah dalam salah satu acara seminar yang saya tonton di YouTube, beliau tidak setuju dengan penggunaan istilah "meluruskan sejarah", silakan membuat tulisan sendiri kalau punya versi yang berbeda. 

Prinsipnya ada di metodologi, pekerjaan sejarawan adalah pekerjaan merekonstruksi. Mengenai metodologi, pak Kunto juga sudah membahasnya lebih detail dalam buku tersendiri berjudul Metodologi Sejarah. Jadi buku ini sebenarnya merupakan trilogi dari buku Pengantar Ilmu Sejarah yang beliau tulis. Satu buku lagi berjudul Penjelasan Sejarah, semuanya diterbitkan oleh penerbit Tiara Wacana. Kedua buku tersebut sedang proses saya khatamkan secara paralel. 

Jadi, sejarah memang punya sisi subjektif dalam penulisan, apa yang dianggap pemerintah Belanda sebagai pendudukan adalah agresi oleh pemerintah Indonesia. Perang Jawa 1925-1930 akan dicatat sebagai pemberontakan oleh pemerintah Hindia Belanda, sebaliknya pengikut Pangeran Diponegoro akan mencatat hal tersebut sebagai: perlawanan terhadap penjajahan Belanda. 

Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta. Sejak saat itu, penulisan sejarah lebih menekankan Indonesia-sentris dari yang sebelumnya Belanda-sentris. 

Masih di Bab yang sama. Mungkin banyak di antara kita menganggap ilmu sejarah itu sama seperti ilmu sosial lainnya. Sekurang-kurangnya, kita tidak bisa membedakan apa batasan (epistemologi) antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya. 

Dalam buku ini pak Kunto menejelaskan definisi itu secara gambalang bahwa sejarah ialah ilmu tentang manusia, hal itu ditegaskannya saat menulis, "Peristiwa masa lalu itu sangat luas. Terjadinya alam semesta memang sudah berlalu, tetapi itu menjadi objek penelitian astronomi, bukan sejarah. Demikian pula pergeseran-pergeseran bumi di masa lalu merupakan pekerjaan geologi dan bukan sejarah. Jadi sejarah hanya bercerita tentang manusia. Akan tetapi juga bukan cerita tentang masa lalu manusia secara keseluruhan. Manusia yang berupa fosil menjadi objek penelitian antropologi ragawi dan bukan sejarah. Demikian juga benda-benda, yang meskipun itu perbuatan manusia juga, tetapi lebih menjadi pekerjaan arkeologi. Sejarah hanya mengurusi manusia masa kini. Ada persetujuan tidak tertulis antara arkeologi dan sejarah di Indonesia yang sampai sekarang pada umumnya masih berlaku. Sejarah akan meneliti peristiwa-peristiwa sesudah 1500." (Hlm. 10).

Namun demikian dalam prosesnya, objek manusia itu juga menjadi kajian beberapa ilmu sosial lain seperti sosiologi, politik dan antropologi. Tentu latar belakang tulisan bisa lebih jauh menelisik waktu yang lebih jauh ke belakang. Sehingga seorang sejarawan yang baik dituntut untuk menguasai cabang ilmu-ilmu sosial lain. Mungkin itu pula sebabnya di awal Prakata buku ini pak Kunto menulis, "Bela diri tangan kosong itu boleh. Tapi menulis sejarah dengan otak kosong tidak demikian."

Selain itu, perbedaan lainnya adalah sejarah ilmu tentang waktu (diakronis) sementara ilmu-ilmu sosial lain melebar dalam ruang (sinkronis). Makanya dalam penulisan sejarah terdapat batasan waktu kronologis yang jelas, misal ketika bercerita tentang sejarah Pemberontakan Petani Banten 1888, atau Revolusi Indonesia (1945-1949). Batasan waktu inilah yang membedakannya dengan cabang ilmu lain. 

Demikianlah secuil ringkasan buku ini. Sebenarnyalah kalau kita baca sendiri, semua isinya terasa seperti ringkasan. Bab 11 mengenai Sejarah dan Pembangunan adalah Bab yang paling saya sukai, dari pemaparan itu terasa sekali relevansi ilmu sejarah dalam kehidupan sehari-hari. Baca buku ini membuat kita tidak hanya melek sejarah, tapi juga melek ilmu sejarah. "Bangsa yang belum mengenal tulisan mengandalkan mitos, dan yang sudah mengenal tulisan umumnya mengandalkan sejarah." (Hlm. 17)

MASJID SEBAGAI PUSAT PERADABAN

Oleh: Iwan Mariono

Saya baca buku ini sampai khatam disela-sela aktivitas: shift jaga saat tidak ada pasien, menemani istri dan anak jalan-jalan, menunggu antrian, sambil makan, nongkrong di warkop atau angkringan bersama beberapa teman, dan aktivitas lainnya di mana pun saya berada yang tidak pernah lepas dari membawa buku.

Filosofi masjid sebagai PUSAT PERADABAN bagi umat Islam adalah sebuah cakrawala yang baru buat saya setelah membaca buku ini. Semacam suatu kesadaran baru, meskipun dalam prakteknya saya melihat beberapa masjid telah menjalankan fungsi tersebut. Peran seorang arsitek masjid menjadi sangat penting di sini. Mereka yang tidak memahami filosofi ini akan mendesain bangunan masjid yang hanya menjadikannya sebagai tempat ibadah wajib semata, dan tidak mendirikan sarana pendukung terhadap fungsi lain yang tidak kalah pentingnya.

Bentuk masjid sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, haruslah mencakup tiga ruang utama, yakni (1) haram; (2) riwaq; dan (3) sahn. Haram artinya ruang masjid yang harus senantiasa dalam kondisi suci. Sedangkan riwaq (serambi) dan sahn (pelataran) adalah bagian lain yang tidak disakralkan, namun memiliki fungsi yang tidak kalah penting di mana pada zamannya, Nabi menjadikan kedua tempat ini sebagai pusat madrasah bagi para pengikutnya. 

Kenyataan yang kita jumpai saat ini justru lebih banyak, sebagaimana Dr. Revianto Budi Santoso dalam pengantar buku ini menulis, "Madrasah-madrasah ini memiliki masjid bukan sebagai jantung kehidupan akademiknya, namun sebagai fasilitas untuk ibadah shalat saja. Bukan lagi masjid yang dilengkapi dengan madrasah, tapi lebih berupa madrasah yang dilengkapi dengan masjid". Sehingga wajar jika masjid tersebut tidak bisa menjalankan fungsi sosialnya. Masjid, sebagai tempat suci yang sakral, jika kita telusuri dari sejarah lahirnya di Madinah, ternyata menyisihkan bagian-bagian yang profan. Bagian inilah yang tidak banyak disadari oleh mayoritas Muslim, termasuk saya sebelum membaca buku ini. 

Andika Saputra (saya memanggilnya pak Andika), mengulasnya dengan detail dalam buku ini: peran masjid yang banyak dilupakan atau belum disadari oleh umat Islam. Melalui buku ini, kita akan berkenalan dengan Sidi Gazalba, yang pada enam dekade sebelumnya (1962) telah menjelaskan fungsi masjid yang terbagi menjadi dua: Mahdhah dan Ghairu-mahdhah. Yang pertama merujuk pada pengertian sebagai tempat ibadah sujud lahir (shalat fardhu lima waktu), dan kedua sebagai sujud batin. Yang terakhir ini yang menjadi fokus dalam pembahasan di bagian 2 buku ini (setelah terlebih dahulu di bagian 1 membahas narasi Sains Islam).

Kita bisa menjabarkan lebih luas fungsi ghairu-mahdhah itu dengan meminjam penjelasan dari Rifa'i dan Fakhruroji (2005) mengenai peran masjid yang terbagi menjadi tiga: (1) peran risalah, yakni menyampaikan ajaran Islam kepada seluruh masyarakat di sekitar lingkungan masjid, baik kepada kalangan umat Islam agar semakin memahami agamanya maupun kepada kalangan non-Muslim agar mengenal Islam dengan tepat; (2) peran intimaiyyah yakni mempersatukan umat Islam di lingkungan sekitar masjid sehingga terbentuk komunitas umat Islam yang berpusat di masjid; (3) peran khidmat, yakni memberikan pelayanan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduniaan masyarakat yang bermukim di lingkungan sekitar masjid. 

Namun demikian, masjid yang ideal sekalipun, jika tidak diisi oleh jamaah yang menjadi modal SDM masjid, maka masjid tersebut akan kehilangan fungsinya. Terutama di tengah kemelut pandemi, banyak Muslim yang gagap dan tidak siap dalam menghadapi penyeberan covid-19. Kegagapan itu mempunyai sifatnya sendiri, baik dalam bentuk penolakan, atau ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan. Di sinilah penulis buku ini menekankan pentingnya umat Islam melek sains. Terinspirasi dari Kuntowijoyo, penulis mencoba mengelaborasi tingkatan beragama seorang Muslim, dari yang paling rendah, Islam sebagai mistis, beranjak menjadi Islam sebagai ideologi, hingga Islam sebagai (sumber) ilmu yang merupakan puncak tertinggi keberagamaan seorang Muslim. 

Sayangnya, buku ini baru terbit setelah pandemi covid-19, terutama terkait pembatasan aktivitas, telah berlalu. Jika pandemi covid kembali bergejolak dan memaksa manusia untuk membatasi mobilitasnya, jelaslah bahwa pesan dalam buku ini menjadi solusi yang sangat kongkrit. Tentu kita tidak berharap akan ada pandemi lagi setelah ini. Namun jika takdir Allah berkata lain, dan secara prediksi sains memang dikatakan bahwa manusia akan melewati beberapa pandemi setelah sekian dekade, maka kelak kita mungkin perlu untuk membuka kembali buku ini.

Lagi.... Bung Hatta

Sebagai salah satu pengagum Bung Hatta, saya mengusahakan untuk melengkapi koleksi karya lengkapnya yang diterbitkan oleh Penerbit LP3ES sebanyak 10 jilid itu. Tidak masalah sekalipun nanti isinya ada dobel dengan buku-bukunya terbitan lawas, yang beberapa sudah saya miliki, mulai dari kumpulan karangan, kumpulan pidato, sampai surat-menyurat. 

Pintu perkenalan pertama saya terhadap sosok Bung Hatta adalah melalui otobiografinya Memoir yang diterbitkan ulang oleh Penerbit Kompas dengan judul: Untuk Negeriku. Selanjutnya, apa saja yang lahir darinya, baik karya tulis maupun transkrip pidato, tidak ingin saya lewatkan. Dan setelah tahu bahwa ternyata buah pikirannya sangat banyak bertebaran (bahkan boleh jadi lebih dari yang bisa dihimpun dalam 10 jilid ini), saya putuskan untuk mencicilnya. Ya, hanya dengan mencicil saya bisa mengoleksi karya lengkapnya. 

Kekaguman ini beralasan, selain dia adalah figur yang romantis (ini romantis versi saya, haha..), sederhana, kutu buku, demokratis, tidak silap terhadap jabatan, adalah yg paling penting: dia konsisten mempertahankan prinsip itu sampai tutup usia. Sosok jenius dan istimewa ini, menurut Proffesor Taufik Abdullah adalah satu-satunya politisi sekaligus ilmuan murni saat itu, makanya tidak ada beban baginya ketika harus meletakkan jabatan di tengah perjalanan, sebab perbedaan paham dengan pucuk pimpinan tidak bisa lagi dipertahankan. Dia tetap bisa hidup melalui tulisan. Dia bisa lebih leluasa mengoreksi kebijakan-kebijakan rezim saat itu yang dianggapnya telah menyimpang. Bahkan prediksinya terbukti menjadi kenyataan. 

***

Semoga ikhtiar mengoleksi karya lengkap ini tercapai, sekalipun daya beli akhir-akhir menurun. Ditambah lagi, BBM naik, tentu daya beli buku pun akan semakin menurun. :) 

Saya sudah membayangkan, ketika tua nanti, anak sudah dewasa dan mandiri, saya akan mengabiskan banyak waktu untuk mengaji dan membaca ratusan judul buku, salah satunya koleksi karya lengkap ini. Apalagi ditemani pisang goreng dan kopi setengah manis buatan istri, tentu akan semakin indah sekali. Hehe.. insyaAllah, aamiin ya Robbal alamin.

NASIONALISME DAN REVOLUSI INDONESIA

Di momen HUT kemerdekaan, menurut sy ini buku yg paling rekomended dibaca. 

Saya baca buku ini halaman demi halaman sampai khatam dengan perasaan seolah-olah saya sendirilah George McTurnan Kahin, jurnalis yg punya privilege akses untuk melakukan dialog terhadap masing-masing kubu yg saling berseteru, meliput langsung di pusat terjadinya revolusi dan menjadi saksi hidup saat perang senjata tengah berkecamuk. Hasilnya jelas beda dengan peneliti setelahnya yg hanya mengkaji berdasarkan literasi. Jadi boleh dibilang, Kahin adalah orang lapangan. 

Kahin tidak bisa dibilang netral, simpatinya terhadap bangsa Indonesia yg dikhianati berulang kali oleh Belanda selama periode revolusi (1945-1949) membuat tulisan ini jelas menunjukan keberpihakannya, namun dia tetap ---sebagaimana dikatakan pula oleh Sartono Kartodirjo--- mampu mempertahankan objektivitasnya dengan teguh. 

Nasionalisme tidak ujug-ujug muncul, dia merupakan proses panjang gerakan kesadaran setelah melalui berbagai macam penindasan yg dialami rakyat, baik oleh pemerintahan Jepang maupun akibat agresi militer Belanda paska kemerdekaan. 

Di luar faktor penindasan, nasionalisme juga lahir melalui proses politik budaya. Bahasa Indonesia misal, kesadaran akan pentingnya bahasa persatuan itu justru semakin kuat akibat pemerintah Jepang yg menolak menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa administrasi, sementara mereka tidak bisa memaksa (dalam waktu cepat) penggunaan bahasa Jepang. Maka tidak ada pilihan kecuali menggunakan bahasa Indonesia. Sebelumnya, setiap warga lebih banyak menggunakan bahasa sesuai daerah masing-masing untuk komunikasi sehari-hari. 

Masih banyak lagi faktor lain yg dibahas. Dan semua itu diceritakan oleh Kahin secara detail.

BUKU, MEMBACA, MERDEKA

Memang, idealnya adalah jika punya kedua-keduanya. Tapi tetap, episentrumnya adalah BUKU, bila hanya diberi satu pilihan. Manusia bisa berkelana kemana saja, bahkan menembus batas ruang dan waktu, hanya dengan membaca. Dan hanya dengan MEMBACA, kita MERDEKA. 

Zaman dulu, orang buta pengetahuan karena aksesnya yang tidak ada. Tapi di zaman digital ini, semua orang bisa mengakses bahkan mendapatkannya secara gratis. 

Maka orang yang tidak memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melihat dunia dan merasakan kemerdekaan hidup, sesungguhnya dia, seperti peribahasa "tikus mati di lumbung padi".

otw Ponorogo

Cukup sering saya melakukan perjalanan jauh tengah malam, terutama di jalan Solo-Ponorogo via Wonogiri (hanya sesekali via lereng Lawu). 

Dan tadi malam otw Ponorogo jam 11 sampai di perbatasan Slogohimo-Purwantoro, ada yg lempar batu keras banget, dashboard motor sampai pecah, pantulan batu mengenai kaki saya yg dibungkus sepatu, tidak ada luka, tapi terasa nyeri saat itu. 

Spontan saya teriak kaget, tak ada satu pun orang saya liat, hanya ada perapian kecil di kanan jalan. Emang daerah sepi sih di situ, tidak ada lampu jalan dan tak ada rumah warga, tapi banyak truk besar lalu-lalang. Daerah ini menurut saya wajib dipasang lampu jalan. 

Awalnya saya mengira itu hanya kerikil locat kena ban. Saya baru tersadar kalau itu batu yg sengaja dilempar orang setelah saya maju sedikit, tiba-tiba ada dua orang bapak2 mencoba menahan saya, minta berhenti. 

Tidak perlu berpikir apakah harus berhenti atau lanjut, langsung motor saya kebut. Siapa pula yg mau mati konyol, sekalipun dia minta berhentinya baik-baik 😅

Beberapa kali saya harus melihat kaca spion, kalau-kalau mereka mengejar, setelah sampai di kota kecamatan Purwantoro barulah saya merasa aman. Tidak ada motor yang mengekor di belakang.

Saya tidak tahu bagaimana nasib saya seandainya tadi malam, karena lemparan batu yg kuat itu, motor saya tergelincir. 

Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas keselamatan dan pengalaman berharga ini 🙂🤲

Hari Lahir Pancasila

"Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama.

Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. 

Kita berkata, 90 persen daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf beribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. 

Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara sekalian ---baik yang bukan Islam, maupun terutama uang yang Islam--- setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.... Di dalam perwakilan rakyat Saudara-saudara Islam dan Saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. 

Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter [huruf] di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya, sebagian utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, fair play! Tidak ada negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya."

Potongan pidato Sukarno dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 saat menguraikan pasal nomor 3 tentang dasar perwakilan dan permusyawaratan. 

Naskah pidato ini dibahas detail oleh George Mc.Turnan Kahin dalam bukunya "Nasionalisme & Revolusi Indoensia", hal. 175-180

MENGENANG LANGIT KRESNA HARIADI

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. 

Kabar duka hari ini datang dari salah satu penulis idola saya, Langit Kresna Hariadi. 

Saya mengenal Pak Langit melalui novel pentalogi Gajah Mada. Hanya beberapa bulan setelah mengkhatamkan 5 jilid bukunya yg tebal-tebal itu (2013), saya mencoba mencari tahu tentang penulis, melalui YouTube saat diundang di acara Kick Andy, sampai akhirnya ketemu akun facebooknya. 

Langsung saya chat messenger, memujinya, mengenalkan diri, kemudian sudah. Dua bulan berlalu, saya tidak menyangka chat saya dibalas. Padahal saya chat beliau murni hanya ingin memuji, tidak berharap mendapat jawaban. 

Tidak hanya membalas chat, Pak Langit bahkan mengajak saya ketemuan di Paragon. Tentu saya tidak menolak tawaran itu. Ini adalah momen di mana saya bertemu dengan penulis besar. Saya kira tawaran undangan itu di sela-sela acara besar, ternyata beliau datang ke Paragon memang hanya untuk bertemu dengan saya. Jadilah kami ngobrol santai banyak hal saat itu. 

Itu adalah peristiwa sembilan tahun yang lalu. 

Sejak saat itu, kami selalu menjalin komunikasi, via Messenger, SMS, sampai WA. Bahkan, dalam beberapa agenda kegiatan beliau, saya turut berpartisipasi, seperti menjadi panitia pembangunan masjid dan patungan kurban. 

Termasuk saya mengundang beliau jadi salah satu pemateri dalam acara seminar dan workshop kepenulisan. Saya sangat terkesan, beliau tidak mau dibayar. Bahkan siap menyediakan waktunya jika peserta workshop mau mengadakan kelas menulis lebih lanjut.

Beliau juga menjenguk saya di kos waktu saya mengalami kecelakaan tunggal (2014) jatuh dari motor yang merontokkan dua gigi. 

Komunikasi terakhir dengan Pak Langit adalah tahun 2018/2019 saat beliau menanyakan obat untuk penyakitnya dan saat beliau mengundang saya di pernikahan putrinya, yg sayang sekali saya tidak bisa hadir karena bersamaan waktu itu jadi relawan tsunami di Palu. 

Setelah itu tidak ada komunikasi lagi, sempat saya chat WA juga hanya centang 1. 

Belakangan dapat info dari kawan saya Jati Pradhabasu (yang juga salah satu penggemar beliau sampai-sampai namanya di akun sosmed mencantumkan salah satu tokoh terkenal di novel Gajah Mada), ternyata sudah hampir setahun beliau terbaring lumpuh kena stroke. Kami putuskan untuk menjenguknya (2020). 

Saya sedih melihat kondisinya. Lumpuh. Tidak bisa bicara. Terpasang selang NGT untuk memasukan makanan sehari-hari. Dan yang paling sedih, beliau lupa saya. Istri beliau sudah mencoba mengingatkan siapa tamu yg datang beliau hanya menggeleng.

Stroke perdarahan berulang membuat beliau mengalami demensia dan paraplegi. 

Demi membangkitkan memori, saya coba menceritakan ulang curhatan Pak Langit beberapa tahun silam ke saya. Saya ceritakan ke istri beliau mengenai ketakutannya setiap menjelang senja, bahkan mengaku tiba-tiba matanya serasa buta, saking takutnya sampai-sampai kamar mandi pun dipasang lampu seratus watt. 

Setelah konsultasi ke dokter spesialis, baru ketahuan kalau penyebabnya adalah karena ditinggal oleh putri pertamanya, yang menikah dengan orang Irlandia. Pak Langit belum bisa melepas kepergian sang putri yg sangat dicintainya.

Belum selesai saya menceritakan ulang kisah itu tiba-tiba beliau batuk tersedak, lalu menangis. Sungguh saya tidak menyangka. Saya kira beliau lupa cerita itu. Saya langsung minta maaf dan merasa bersalah karena mengungkit cerita yg membangkitkan beliau pada kenangan tersebut. 

Selamat jalan, Pak Langit. Semoga Allah terima segala amal ibadah bapak, mengampuni segala dosa, dan menempatkan bapak di sisiNya bersama orang-orang saleh. Aamiin. 

Allahumaghfirlahu warhamhu wa aafihi wa fuanhu.

Peristiwa Hari ini

Jam 4 shubuh tadi saya ikut menemani dr. Yudi Eka Prasetya, SpB, melakukan vena section alias bedah pembuluh darah vena pada pasien anak dengan syok demam berdarah, yang pembuluh darahnya tidak ketemu setelah dicoba pasang infus berulang kali. Ini merupakan salah satu kegawatan medis yang perlu tindakan segera. 

Dr. Yudi ini salah satu konsulen panutan saya dalam hal semangat belajar. Beberapa kali saya ketemu pasien gawat yang perlu tindakan bedah cito (segera). Itu terjadi bahkan sejak saya masih koass (6 tahun silam) sampai sekarang menjadi dokter. 

Ya, beliau adalah pembimbing saya waktu masih proses pendidikan dokter. Kini, setelah lulus dan menjadi dokter jaga di RS yg sama membuat saya bisa bersua kembali.

Di sela-sela vena section kami membahas lagi tentang Anatomi Klinis dan Fisiologi sebagai basis belajar ilmu kedokteran yang dulu pernah dibahas waktu saya koass. 

Beliau bercerita tentang guru-guru beliau yang hebat, seperti keuletan Prof. Dr. dr. Zainal Mutaqien, SpBS, spesialis bedah saraf yg berhasil mengoperasi pasien epilepsi dengan tingkat kerumitan yg tinggi selama 18 jam di kamar operasi, atau Prof. Dr. dr. Ignatius Riwanto, SpB-KBD, konsultan bedah digestive yang bisa menjelaskan banyak hal sampai berjam-jam hanya bermodal satu slide anatomi saluran cerna.

Cerita tentang guru-guru itu, membuat saya, yg awalnya waktu masih S1 sebelum kaoss mengikuti proses belajar hanya dengan cara mengalir saja, menjadi termotivasi untuk membaca dua buku Anatomi Klinis dan Fisiologi Manusia, bukan karena tuntutan tugas, tapi karena kesadaran dan rasa ingin tahu yg murni.

Hasilnya, masyaAllah, sungguh kedokteran ini ilmu yang asyik karena bisa dinalar semua. Belajar susunan dan fungsi tubuh manusia sejak dari sel sebagai penyusun organ tubuh, yang di dalam sel itu sendiri masih ada banyak sekali organela (organnya sel) justru mendatangkan banyak ketakjuban. 

Sampai hari ini, setiap kali bertemu beberapa koass saat jaga (termasuk kepada istri sendiri), saya selalu memotivasi mereka agar membaca dua buku ini. Buku yang membuka cakrawala berpikir. 

Harus diakui tidak semua orang punya kecocokan dengan gaya mengajar tiap konsulen. Dan sampai sekarang sy selalu bersyukur dulu waktu koas stase awal saya adalah Bedah, yang membuat saya ketemu dr. Yudi lebih awal.

*NB: buku yang tersisa di saya tinggal Fisiologi Manusia ini, buku Anatomi Klinis karya Keith L. Moore sudah saya jual ke Bayu Hendro Wibowo sejak masih koas dengan harga obral (500k) karena terpaksa, waktu itu sedang paceklik. 😅

KANGEN BAND DAN ANDIKA MAHESA

2005 adalah tahun di mana Kangen Band sedang naik daun. Lagu-lagunya banyak digemari anak muda. Puncaknya dapat penghargaan platinum karena penjualan albumnya sukses sampai lebih dari 50rb keping. Dan CD bajakannya beredar di mana-mana. Saya dan teman-teman SMP waktu itu salah satu penikmatnya. 


Seingat saya, baru dua tahun kemudian (2007) bersamaan dengan penghargaan platinum tersebut band ini mulai mendapat bully-an, terutama saat orang-orang mulai melihat potongan rambut sang vokalis yang dianggap norak. Penampilan vokalis yang tidak seperti Ariel Peterpan yang keren atau Pasha Ungu yang unyu juga jelas menjadi salah satu faktor pembully-an itu. 

Pembully-an yang paling jorok dan menyakitkan datang dari grup musik asal Manado, yang membuat lagu yang liriknya sangat porno dan menyebut nama Kangen Band. Untung waktu itu belum ada media sosial seperti sekarang, bisa habis mereka dihujat warganet. Juga belum ada pasal UU ITE. 

Tapi Kangen Band dengan Andika Mahesa sebagai magnetnya terus berkarya, 2008 mereka mengeluarkan album baru lagi. Sekalipun menjadi band bullyable, tapi diam-diam banyak yang tetap mengagumi dan mendengarkan lagu-lagunya. 

Puncak pembully-an itu saat personel mereka banyak yang ditangkap karena terjerat kasus narkoba. Belum lagi kebiasaan sang vokalis yang ganti-ganti pasangan menjadi topik utama acara gosip. Niat nge-prank malah ditangkap satpol PP. Maka, meme wajah Babang Tamvan tersebar di mana-mana. Termasuk julukan itu pun tersemat hanya padanya. 

Belakangan baru ketahuan kalau gonta-ganti pasangan itu hanya akting. Nama baik Andika perlahan mulai pulih saat dia bebas dari penjara, potongan rambutnya pun sudah berubah. Pengakuannya di podcast Deddy Corbuzier semakin memperbaiki namanya.

Ketika kemudian ada penyanyi baru kemarin sore ingin mencoba menghidupkan lagi bully-an yang sudah ditinggalkan warganet dua atau tiga tahun tahun terakhir, mereka telat. Justru hujatan balik yang mereka terima. 

Andika Mahesa bukan seperti Andika yang dulu lagi.

Iwan Mariono

Foto:
kapanlagi(dot)com

BLOOD DIAMOND

Ini film barat favorit saya sejak 15 tahun lalu. Bahkan tugas membuat review dalam bahasa Inggris di sekolah waktu itu yang saya ceritakan adalah kisah dalam film ini. Hehe. 

Setelah menonton ulang di Netflix, ternyata ada banyak hal baru saya ketahui yang dulu tidak pernah terpikirkan sama sekali kecuali hanya adegan baku tembak dan konflik perebutan berlian sebesar telur ayam antara Danny Archer yang diperankan oleh Leonardo DiCaprio dan bosnya. 

Mulai dari kisah perang saudara, penderitaan rakyat kulit hitam Afrika, penyelundupan hasil tambang ilegal, bisnis pasar gelap berlian berdarah hingga sampai ke Eropa dan Amerika, intrik politik antar penguasa, dan lain-lain tersaji dalam film ini. 

Dengan kemudahan akses internet kita bisa mencari tahu info jauh lebih banyak dari yang disajikan di film. Hal yang tidak bisa dilakukan 15 tahun yg lalu. 

Film diangkat dari kisah nyata, sesuai judulnya, bercerita tentang berlian yang menjadi sumber pertumpahan darah, perang saudara selama sebelas tahun (1991-2002) yang merenggut nyawa sekitar 200.000 jiwa di Sierra Leone. 

Perang tersebut antara pemerintah yang sah melawan gerombolan bersenjata bernama RUF (Revolutionary United Front), yang kemudian berubah menjadi partai politik berhaluan nasionalis. 

Kekejaman RUF yang banyak menembak mati warga sipil, mengeksploitasi anak dibawah umur untuk dilibatkan dalam perang, menjadi drama utama dalam film ini.

Danny Archer (Leonardo DiCaprio) sebagai mafia penyelundup berlian dan Solomon Vandy (Djimon G. Hounsou) mewakili warga sipil yang kehilangan anak dan istrinya menjadi aktor utama dalam film ini. Ditambah satu lagi seorang jurnalis perang bernama Maddy Bowen (Jennifer Connelly), yang di akhir menjadi penulis lengkap kisah mereka berdua di atas. Pertemuan dan pertemanan aneh mereka bertiga menjadi inti petualangan film. 

Hmm, buat yang belum pernah menonton, daripada spoiler, mending langsung buka Netflix. Hehe.

BENCANA SEKULARISME

. 
Memahami bahaya pendidikan sekuler yang dipaksakan oleh penjajah, Natsir banyak menulis dan berpidato tentang bahaya sekulerisme. Salah satunya, pidato Natsir di Majelis Konstituante, 2 November 1957, yang sangat terkenal. Ketika itu, Natsir antara lain mengingatkan:

"Sekulerisme, ladiniyah, tanpa agama, Saudara Ketua, tidak bisa memberi keputusan jika ada pertentangan pikiran berkenaan dengan konsepsi masyarakat, hidup sempurna dan sebagainya. Pertentangan tentang konsep manusia itu tidak mungkin diselesaikan dengan paham sekulerisme yang pada hakekatnya merelatifkan semua pandangan-pandangan hidup.

Paham agama adalah sebaliknya. Ia memberikan dasar yang terlepas dari relativisme. Inilah sebabnya mengapa konsepsi “humanity” yang berdasarkan agama, lebih logis, lebih meliputi, dan lebih memuaskan. Paham agama memberikan dasar yang tetap, yang tidak berubah. Segala yang bergerak dan berubah harus mempunyai dasar yang tetap, harus mempunyai apa yang dimaksud dengan point of reference, titik tempat memulangkan segala sesuatu. Jika tidak ada dasar yang tetap, maka niscaya krisis dan bencana akan timbul. 

Agama memberi kepada pemeluknya lebih banyak kemungkinan untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran. Segala filsafat yang sekuler mengakui sebagaimana juga dasar berpikir, yaitu empirisme (mahalul tajribah), rasionalisme (mahalul-aqly), dan intuitionisme (mahalul-ilhami). (tapi) Dasar wahyu ---revelation atau pun open baring--- tidak diakuinya. Agama lebih daripada itu. Ia mengakui semuanya itu dan memberikan ketentuan yang tegas dimana daerah berlakunya masing-masing. Karena itu agama lebih luas dan lebih dalam daripada paham sekuler.”

Inilah penutup pidato Mohammad Natsir: 

“Dalam menghadapi pekerjaan kita yang menentukan perkembangan bangsa kita selanjutnya turun-temurun, kita sesungguhnya tak dapat melepaskan diri dari pokok persoalan yang dihadapi oleh manusia dalam abad ke-20  ini. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi yang luar biasa telah memberikan taraf kehidupan materi paling tinggi dalam sejarah manusia. Dalam kegiatan menaklukkan materi yang ada di sekelilingnya, manusia lupa kepada dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan. 

Maka disamping segala hasil kemajuan materi yang berlimpah-limpah itu, disertai oleh berpalingnya manusia dari tuntunan Ilahi, ternyatalah segala sesuatunya mengakibatkan pula kehilangan pegangan dan keseimbangan hidup. Kehilangan keseimbangan hidup yang amat berbahaya itu justru semakin kelihatan gejala-gejalanya dalam kalangan mereka yang paling maju dalam sekulerisme yang hanya pandai merusakkan nilai-nilai hidup beragama tetapi sama sekali tidak mampu memberi pegangan hidup yang teguh sebagai penggantinya. 

Dengan kemampuannya untuk menguasai dan mempergunakan kekuatan alam sekitarnya, dengan maksud untuk mencapai taraf hidup yang lebih terkurung di dalam lingkaran kekhawatiran dan ketakutan, mengingatkan bencana yang akan menimpa (dan) menghancurleburkan umat manusia, disebabkan oleh hasil ilmu dan buatan tangannya sendiri. “Telah merajalela kerusakan di darat dan di laut, yang diperbuat oleh tangan manusia, supaya dirasakan oleh mereka sebagian dari apa yang diperbuat oleh mereka, agar mereka sadar Kembali.” (Ar-Rum: 41).

Mereka yang mulai sadar akan bencana yang mengancam itu, mulailah mencari-cari jalan Kembali, untuk memperoleh pegangan hidup dan keseimbangan hidup. Pada akhirnya pokok persoalan kembali kepada pilihan orang di persimpangan jalan, apakah akan meneruskan sekulerisme dengan segala akibatnya, ataukah akan kembali kepada tuntutan Ilahi, sehingga akan terbuktilah  firman Ilahi: “Akan Kami perlihatkan kepada mereka bukti-bukti kebenaran Kami di seluruh jagad dan dalam hati mereka sendiri, sehingga menjadi teranglah bagi mereka apa yang dari Kami itu. Itulah yang haq dan benar.” (al-Fushilat: 53).

Maka, Saudara Ketua, dengan penuh tanggung jawab kami ingin mengajak bangsa kita, bangsa Indonesia yang kita cintai itu, untuk siap siaga menyelamatkan diri dan keluarganya dari arus sekulerisme itu, dan mengajak dengan sungguh-sungguh supaya dengan hati yang teguh, merintis jalannya memberikan dasar hidup yang kukuh kuat sesuai dengan fitrah manusia, agar akal kita dan kalbunya, seimbang dengan akhlak dan budi pekertinya, yang hanya didapat dengan kembali kepada tuntunan Ilahi.” (*Pidato lengkap M. Natsir ini juga dimuat dalam buku, “Agama dan Negara dalam Perspektif Islam”, Jakarta: DDII, 2001, hal. 195-230). 

***

[Tulisan saya kutip dari buku Dr. Adian Husaini, “Perguruan Tinggi Ideal di Era Disrupsi", hal. 41-44]

RESENSI BUKU ISLAMISASI NUSANTARA

Baru sampai halaman 485 membaca bukunya Ricklefs "Mengislamkan Jawa", saya putuskan untuk jeda sejenak dan iseng membuka buku ini, kebetulan dekat jangkauan tangan. 

Baru di lembar pertama, saya langsung dibuat terkejut dan penasaran saat Pak Yai Ahmad Baso menyindir Ricklefs, dan menyamakan pemikirannya sebagai Snouck Hurgronje masa kini. Maka saya putuskan untuk membaca terus buku ini sampai habis. 

***

Saya mencoba meringkas buku yg sebenarnya adalah ringkasan dari buku beliau "Jaringan Ulama-Wali Songo: Islam Nusantara jilid 3" yg akan segera terbit. 

1. Buku ini diawali dengan kritik terhadap para penulis orientalis dan para pengikutnya yg menegasikan peran dan keberadaan Wali Songo, dibuktikan dengan penolakan mereka terhadap sumber-sumber di luar yg ditulis oleh kalangan mereka sendiri. Sumber-sumber di luar bahasa Inggris dan Arab ditolak dan dianggap hanya sebagai dongeng, misal babad, hikayat dan syair. Bukan hanya orang luar, bahkan sejarawan asli Indonesia pun berpikiran seperti itu, yg paling terkenal adalah Sartono Kartodirjo, diikuti oleh murid-muridnya seperti (yg masih hidup) Prof. Taufik Abdullah. 

2. Apa pentingnya orang dalam (muslim) meneliti sumber sejarah Islamisasi Nusantara berdasarkan rujukan yg juga ditulis oleh ulama kita sendiri, yakni para habaib dan kiai-kiai di masa lalu? Ada perbedaan mendasar dalam sikap batin seorang penulis. Pak Yai Baso menulis: para orientalis itu tidak akan sanggup masuk ke dalam ruang batin kita, dan tidak bisa pula masuk ke "ke-kita-an" kita itu.   Karena mereka menghadapi masalah kolonialisme, penaklukan, dan penjajahan atau mereka menjadi bagian utama masalah itu. 

3. Islamisasi Nusantara bukanlah datang dari India seperti yg diamini oleh Snouck Hurgronje; China seperti yg diakui HJ. de Graaf; dan Persia seperti yg didukung oleh Robert N Bellah. Islamisasi itu adalah proyek besar yg butuh energi dan biaya yg besar, langsung dari Arab (Hadramaut, kini Yaman) oleh kaum Alawiyyin (sebutan bagi kaum atau sekelompok orang yg memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad SAW). Mereka hanya singgah di India (Malabar, Gujarat, Benggala) kemudian ke China dan Campa (Vietnam sekarang), tapi perjalanan itu tidak terhenti di sana, karena tujuan akhirnya adalah Nusantara (Samutera Pasai, Jawa dan Sulawesi Selatan).

4. Berbeda dengan di tempat lain yg konfliknya bisa dirasakan bahkan sampai sekarang. Proses Islamisasi Nusantara tidak melalui jalur kekuasaan politik, tapi kultural (sufi). Tidak memakai pedang tapi melalui monopoli perdagangan. Maka penerimaan terhadap Islam pun terjadi secara besar-besaran. Ini sangat nyambung (jika kita baca bukunya Drs. Agus Sunyoto, "Atlas Wali Songo") dengan teorinya bahwa sebenarnya agama Hindu Budha itu adalah agama yg hanya diyakini oleh segelintir orang terutama para elit kerajaan, dan bukan oleh masyarakat pada umumnya yg mereka adalah penganut kapitayan atau animisme jika menggunakan diksi orientalis. Kapitayan inilah yg secara teologi lebih dekat dengan konsep tawhid dalam Islam.

5. Kenapa proses Islamisasi Nusantara oleh Wali Songo itu berhasil, karena terlebih dahulu secara tidak langsung mereka berhasil melakukan Islamisasi terhadap bahasa. Ini penting, karena bahasa adalah simbol, jika ingin memasuki ruang batin suatu kaum, maka tidak bisa tidak kita harus melakukan pribumisasi terhadap bahasa setempat. Dalam buku ini, kita menyebut pribumisasi itu sebagai angajawi (proses penjawaan atau proses pe-Nusantara-an), maka mulailah ulama-ulama kita itu menulis dalam bahasa setempat.

6. Proses-proses Islamisasi di atas itu hampir tidak kita temukan di buku-buku para orientalis atau penulis-penulis barat, termasuk Ricklefs yg sudah kita sebut namanya di atas, yg ada (dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2008) malah hanya membahas pengaruh Arab jauh setelah Islam sudah tertanam di hati masyarakat Nusantara, yakni gerakan purifikasi yg terinspirasi dari tokoh Muhammad bin Abdul Wahhab atau yg dikenal sebagai Wahhabi. 

7. Pak Yai Baso tidak hanya menolak purifikasi ala Wahhabi, tapi juga liberalisme yg digaungkan oleh Islam reformis ala Fazlur Rahman yg murid-muridnya banyak menjadi intelektual besar di Indonesia. Akhirnya dalam panggung sejarah yg menjadi pemenangnya adalah, sebagaimana beliau menulis: sarjana penuh heroisme semangat "ilmiah" barang impor dari Barat plus purifikasi agama. 

8. Sebenarnya masih informasi detail yg tidak bisa dilewatkan begitu saja dalam buku ini, istilah-istilah yg justru menjadi kata kunci petunjuk sekaligus sanggahan, tapi tidak mungkin saya tulis semua di sini, karena jadinya bukan ringkasan nanti. 🙂