Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

MASJID SEBAGAI PUSAT PERADABAN

Oleh: Iwan Mariono

Saya baca buku ini sampai khatam disela-sela aktivitas: shift jaga saat tidak ada pasien, menemani istri dan anak jalan-jalan, menunggu antrian, sambil makan, nongkrong di warkop atau angkringan bersama beberapa teman, dan aktivitas lainnya di mana pun saya berada yang tidak pernah lepas dari membawa buku.

Filosofi masjid sebagai PUSAT PERADABAN bagi umat Islam adalah sebuah cakrawala yang baru buat saya setelah membaca buku ini. Semacam suatu kesadaran baru, meskipun dalam prakteknya saya melihat beberapa masjid telah menjalankan fungsi tersebut. Peran seorang arsitek masjid menjadi sangat penting di sini. Mereka yang tidak memahami filosofi ini akan mendesain bangunan masjid yang hanya menjadikannya sebagai tempat ibadah wajib semata, dan tidak mendirikan sarana pendukung terhadap fungsi lain yang tidak kalah pentingnya.

Bentuk masjid sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, haruslah mencakup tiga ruang utama, yakni (1) haram; (2) riwaq; dan (3) sahn. Haram artinya ruang masjid yang harus senantiasa dalam kondisi suci. Sedangkan riwaq (serambi) dan sahn (pelataran) adalah bagian lain yang tidak disakralkan, namun memiliki fungsi yang tidak kalah penting di mana pada zamannya, Nabi menjadikan kedua tempat ini sebagai pusat madrasah bagi para pengikutnya. 

Kenyataan yang kita jumpai saat ini justru lebih banyak, sebagaimana Dr. Revianto Budi Santoso dalam pengantar buku ini menulis, "Madrasah-madrasah ini memiliki masjid bukan sebagai jantung kehidupan akademiknya, namun sebagai fasilitas untuk ibadah shalat saja. Bukan lagi masjid yang dilengkapi dengan madrasah, tapi lebih berupa madrasah yang dilengkapi dengan masjid". Sehingga wajar jika masjid tersebut tidak bisa menjalankan fungsi sosialnya. Masjid, sebagai tempat suci yang sakral, jika kita telusuri dari sejarah lahirnya di Madinah, ternyata menyisihkan bagian-bagian yang profan. Bagian inilah yang tidak banyak disadari oleh mayoritas Muslim, termasuk saya sebelum membaca buku ini. 

Andika Saputra (saya memanggilnya pak Andika), mengulasnya dengan detail dalam buku ini: peran masjid yang banyak dilupakan atau belum disadari oleh umat Islam. Melalui buku ini, kita akan berkenalan dengan Sidi Gazalba, yang pada enam dekade sebelumnya (1962) telah menjelaskan fungsi masjid yang terbagi menjadi dua: Mahdhah dan Ghairu-mahdhah. Yang pertama merujuk pada pengertian sebagai tempat ibadah sujud lahir (shalat fardhu lima waktu), dan kedua sebagai sujud batin. Yang terakhir ini yang menjadi fokus dalam pembahasan di bagian 2 buku ini (setelah terlebih dahulu di bagian 1 membahas narasi Sains Islam).

Kita bisa menjabarkan lebih luas fungsi ghairu-mahdhah itu dengan meminjam penjelasan dari Rifa'i dan Fakhruroji (2005) mengenai peran masjid yang terbagi menjadi tiga: (1) peran risalah, yakni menyampaikan ajaran Islam kepada seluruh masyarakat di sekitar lingkungan masjid, baik kepada kalangan umat Islam agar semakin memahami agamanya maupun kepada kalangan non-Muslim agar mengenal Islam dengan tepat; (2) peran intimaiyyah yakni mempersatukan umat Islam di lingkungan sekitar masjid sehingga terbentuk komunitas umat Islam yang berpusat di masjid; (3) peran khidmat, yakni memberikan pelayanan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduniaan masyarakat yang bermukim di lingkungan sekitar masjid. 

Namun demikian, masjid yang ideal sekalipun, jika tidak diisi oleh jamaah yang menjadi modal SDM masjid, maka masjid tersebut akan kehilangan fungsinya. Terutama di tengah kemelut pandemi, banyak Muslim yang gagap dan tidak siap dalam menghadapi penyeberan covid-19. Kegagapan itu mempunyai sifatnya sendiri, baik dalam bentuk penolakan, atau ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan. Di sinilah penulis buku ini menekankan pentingnya umat Islam melek sains. Terinspirasi dari Kuntowijoyo, penulis mencoba mengelaborasi tingkatan beragama seorang Muslim, dari yang paling rendah, Islam sebagai mistis, beranjak menjadi Islam sebagai ideologi, hingga Islam sebagai (sumber) ilmu yang merupakan puncak tertinggi keberagamaan seorang Muslim. 

Sayangnya, buku ini baru terbit setelah pandemi covid-19, terutama terkait pembatasan aktivitas, telah berlalu. Jika pandemi covid kembali bergejolak dan memaksa manusia untuk membatasi mobilitasnya, jelaslah bahwa pesan dalam buku ini menjadi solusi yang sangat kongkrit. Tentu kita tidak berharap akan ada pandemi lagi setelah ini. Namun jika takdir Allah berkata lain, dan secara prediksi sains memang dikatakan bahwa manusia akan melewati beberapa pandemi setelah sekian dekade, maka kelak kita mungkin perlu untuk membuka kembali buku ini.

No Response to "MASJID SEBAGAI PUSAT PERADABAN"

Posting Komentar