Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

MENGENANG NOKIA DAN PRODUKTIFITAS MEMBACA BUKU

Saya masih simpan HP Nokia, yang saya pakai dari sejak lulus SMA. Bahkan sampai 2019, saya masih memakainya --sebab Ibu saya waktu itu belum pakai android. Jadi kalau ada SMS masuk atau telepon berbunyi, 99% adalah dari Ibu saya. 

Sebenarnya di antara teman-teman kuliah, sayalah yang paling telat update kemajuan teknologi. Pertama kali pakai gadget baru tahun 2015, itu pun hanya bertahan sebulan, hilang saat mendaki Gunung Lawu. Tahun 2016 baru beli lagi, itu juga karena kebutuhan untuk koas waktu itu. 

Sampai saat itu, teman-teman lain sudah punya lebih dari satu platform media sosial, sementara saya hanya punya Facebook (yang saya buat sejak 2009). Untuk bisa update status, kemana-mana saya bawa laptop dan modem. Saya baru membuka FB ketika ada yang ingin saya tulis atau mengunggah foto dari kamera digital. Dengan demikian, saya jadi terhindar dari banyak skrol-skrol yang unfaedah. 

Sebenarnya, kalau bukan karena pekerjaan, saya masih ada keinginan untuk menggunakannya kembali. Sebab, saya rasakan, produktifitas dalam membaca buku jauh lebih besar ketika saya tidak pegang gadget. Dua jilid Di Bawah Bendera Revolusi, dan buku-buku tebal lainnya, banyak yang saya khatamkan justru ketika saya masih akrab dengan Nokia ini.

MENGENANG HATTA MELALUI OBITUARINYA HAMKA

Begitu buku "Orang-orang yang Saya Kenang" ini sampai di tangan, saya langsung buka bab kenang-kenangan Buya Hamka kepada Bung Hatta. (Hlm. 215-231).

Buku berisi kumpulan tulisan Hamka yang sudah langka ini --terutama yang tersebar di majalah Panji Masyarakat-- berhasil dihimpun oleh Abdul Hadi Hamka (cucu Buya Hamka). Mari kita simak kenangan Hamka terhadap Hatta melalui obituarinya, yang terbit di majalah Panji Masyarakat, dua pekan setelah wafatnya Bung Hatta. 

Penghormatan Hamka yang tinggi untuk Mohammad Hatta nampak jelas dalam obituari itu. Mengomentari mundurnya Hatta dari jabatan wakil presiden pada 1956 karena ketidaksejalanannya dengan Sukarno, Hamka menulis: "Kebesaran bukanlah karena suatu pangkat dan jabatan. Kebesaran terletak pada karakter pribadi. Meskipun telah berhenti menjadi wakil presiden, tetapi kebesaran dan keagungan beliau setelah 24 tahun berhenti menjadi wakil presiden, sama saja dengan saat jabatan itu beliau sandang. Selama 24 tahun menjadi rakyat biasa, beliau tetap dalam kebesaran dan keagungannya. Bukanlah beliau besar karena pangkatnya, melainkan pangkat itulah yang besar karena dia yang memikulnya." 

Tak cukup sampai di situ. Hamka bahkan membela Mohammad Hatta dari tuduhan sebagai nasionalis sekuler. 

Hamka menulis: "Gerakan Sukarno ialah semata-mata gerak kebangsaan. Jadi agama tidak usah diikutcampurkan dalam gerakan kebangsaan itu. Mereka memakai semboyan bahwa agama adalah hubungan masing-masing diri dengan Tuhan, sedang tanah air adalah kewajiban bersama.

"Hatta tidak mencampuri soal itu. Dia membela tanah airnya, dia mencita-citakan kemerdekaan bangsanya dari penjajahan, dia tetap dalam pendiriannya untuk tidak bekerjasama dengan Pemerintah Belanda dan bergantung pada kekuatan sendiri. 

"Mulanya tidaklah ada polemik antara gerakan Islam ini dengan Hatta, tetapi seorang teman dari Medan, Saudara T.M. Usman el-Muhammady, pernah menulis satu tulisan yang mengkritik kaum kebangsaan yang tidak memedulikan agama, bergerak membela tanah air dan menegakkan cita kemerdekaan Indonesia dengan memisahkan agama dari perjuangan. Dalam tulisan itu T.M. Usman (alm.) telah menyamakan Hatta dengan pemimpin-pemimpin gerakan kebangsaan yang lain."

Balasan Hatta untuk tuduhan T.M. Usman itu terbit di majalah Adil. Dalam tulisan itu Hatta menggunakan "ia" (kata ganti orang ketiga) untuk menyebut dirinya sendiri. Demikian potongan kalimatnya: "... Ia membandingkan terlebih dahulu keuntungan yang bisa didapatkan dengan pengetahuan dan ilmunya sebagai pangkat tinggi, kesenangan hidup dan pensiun besar, dengn kesukaran yang bakal dideritanya kalau masuk pergerakan, sebagai hidup melarat, bui, dan pembuangan.

"Kalau ia masih memilih yang kemudian ini, sudah tentu langkahnya itu dipengaruhi oleh keyakinan yang suci tentang kewajibannya terhadap masyarakat tempat ia dilahirkan. Bukan 'katanya', melainkan memang dirasanya sebagai suruhan suatu suara Yang Maha Kuasa dalam dadanya atau sebagai iradat Ilahi Rabbi atas dirinya, yang tiada dapat ditimbangnya dengan ukuran akal tentang berbahagia atau tidak."

Setelah membaca keterangan Hatta di atas, komentar Hamka demikian: "Saya mengakui terus terang bahwa saya pun terlibat dalam pertengkaran soal Islam dan kebangsaan itu, terutama sebelum membaca tulisan Hatta ini. Namun setelah membaca dan merenungkan tulisannya, saya pun tertegun dan termenung, lalu mengukurnya dengan diri sendiri. Ucapan ini tidak dimasukan ke dalam arena perdebatan lagi. Bung Hatta berjuang untuk kemerdekaan. Mencintai bangsa dan tanah air bukanlah semata-mata urusan pidato dan agitasi, tetapi soal iman yang mendalam di sanubari. Apa pun yang akan dideritanya karena perjuangan ini, dia berserah dan tawakkal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Ilahi Rabbi!" 

Demikianlah komentar Buya Hamka, dan benarlah bahwa Bung Hatta memang konsisten dengan keyakinannya ketika ia ditahan oleh pemerintah Hindia Belanda di penjara Glodok (tidak lama setelah tulisannya di majalah Adil itu terbit), untuk kemudian menjalani masa yang panjang sebagai interniran di Digoel; di Banda Naira; di Sukabumi; termasuk di pulau Bangka pada zaman Revolusi Kemerdekaan. 

***

Kalau Anda sudah membaca buku ke-9 Karya Lengkap Bung Hatta yang diterbitkan oleh LP3ES, akan semakin jelas bahwa Hatta memang sosok yang tidak suka menonjolkan identitas agamanya di depan publik. Dalam tulisannya, ia membagi cara berislam seseorang menjadi dua tipe: Islam garam dan Islam gincu. 

Yang pertama adalah orang yang memilih untuk tidak menampakkan identitas keagamaannya di depan publik, melainkan melalui rasanya, alias perilakunya. Sementara yang kedua adalah mereka yang memilih untuk menampakkan identitasnya. Dalam hal ini, Hatta memilih yang pertama. 

Tak ada yang salah antara keduanya, ini bukan perkara mana yang lebih baik, bahkan Hatta menyontohkan tipe kedua diwakili oleh Mohammad Natsir --sosok yang juga sederhana dan sangat bersahaja sampai akhir hayatnya.

Iwan Mariono 

APA PENTINGNYA MEMAHAMI PROSELITISASI?

Saya baru saja mengkhatamkan buku "Berebut Iman di Tanah Sunan, Islamisasi dan Kristenisasi di Surakarta Masa Kolonial hingga Awal Reformasi". (Saya tidak menyangka ulasannya akan menjadi panjang, makanya saya buat menjadi dua bagian, agar pembaca tidak mabuk tulisan). 

Dalam buku ini, Adif Fahrizal Arifyadiputra melukiskan secara kronologis berlangsungnya kontestasi antara Islam dengan Islamisasinya (dakwah) vis a vis Kristen dengan Kristenisasinya (misi, evangelization, atau penginjilan) di Surakarta. Istilah untuk kompetisi kedua agama, yang penulis gunakan dalam bukunya ini: proselitisasi --sebuah lema yang belum masuk dalam KBBI kita.

***

Mari kita ulas secara kronologis. Sampai akhir abad ke-19, hampir tidak ada penduduk pribumi Surakarta yang memeluk agama Kristen, atau selain Islam. Sebab Surakarta termasuk daerah Vorstenlanden, yang wilayahnya berada di bawah penguasaan raja. 

Mengutip dari bukunya Kuntowijoyo, Adif menulis: "Baik sunan Surakarta maupun adipati Mangkunegaran, keduanya dipandang bukan hanya sebagai pemimpin politik tapi juga kepala agama Islam. Dalam pandangan pemerintah kolonial, memperbolehkan penyebaran Kristen di daerah kekuasaan pribumi yang penguasanya adalah pemimpin politik sekaligus kepala agama Islam hanya akan menimbulkan masalah belaka. Walaupun demikian, sunan secara pribadi sesungguhnya tidak berkeberatan dengan aktivitas zending dan tidak memusuhi agama Kristen. Hanya saja, sebagai panatagama, sunan berkeberatan jika rakyatnya memeluk agama di luar Islam." (Hlm. 29)

Jadi, memang ada larangan dari pemerintah kolonial untuk perkabaran injil di Surakarta. Bahkan permohonan izin untuk pendirian rumah sakit zending pada 1891 juga ditolak oleh pemerintah. Namun demikian, lewat kebaktian keluarga, seorang dokter zending, dr. J.G. Scheurer, berhasil menarik minat beberapa orang Jawa yang diundangnya untuk menjadi Kristen. Akibat tindakannya ini, sang dokter terpaksa harus meninggalkan Surakarta. (Hlm. 28-29).

Adanya larangan tidak menghalangi usaha perkabaran Injil di Surakarta. Larangan tersebut baru dicabut pada 1910, setahun setelah A.W.F Idenburg dilantik menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, menggantikan JB. Van Heutsz. Sejak saat itu, aktivitas zending dimulai dengan penyediaan layanan pendidikan berupa sekolah.

Beberapa tahun kemudian, persaingan semakin kompetitif. Katolik mulai masuk ke Surakarta pada 1918 ditandai dengan berdirinya Gereja Santo Antonius di Purbayan. Tiga tahun kemudian, HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Katolik berdiri. Pada tahun yang sama HIS Kanisius didirikan di Sosronegaran. Nama sekolah yang terkahir ini di tahun berikutnya semakin intensif membuka cabang baru di berbagai penjuru Surakarta. Inilah sekolah yang mendapat subsidi dan kemudahan dari pemerintah kolonial yang mana pada mulanya netral agama. Banyak di antara kaum priyayi yang menyekolahkan anaknya ke sekolah Katolik, tak terkecuali putri Sunan Paku Buwono X. (Hlm. 31-33) 

Hanya dalam waktu delapan tahun sejak larangan dicabut, total pemeluk Kristen di Solo maju pesat. Pada 1918 warga jemaat Gereformeerd di Solo sudah berjumlah 228 orang yang meliputi etnis Jawa dan Tionghoa. (Hlm.31)

Sampai di sini sebenarnya bisa dimengerti --yang dalam buku ini juga ada bab khusus yang membahasnya-- latar belakang berdirinya Muhammadiyah (1912) yang  tujuan utamanya adalah untuk membendung arus (meminjam isitilah dari judul buku Alwi Shihab) Kristenisasi secara elegan, yakni dengan mendirikan layanan yang sama berbasis Islam. 

***

Zaman kolonialisme Jepang, meskipun hanya berlangsung singkat, adalah masa yang paling sulit buat umat Kristen di Indonesia, karena pada masa ini banyak pekerja zending yang berkebangsaan Belanda ditahan oleh Jepang. Mereka yang dianggap kaki tangan Belanda meliputi orang-orang Indo, Cina, dan Kristen pribumi. (Hlm. 35-36).

Sementara itu, hambatan Islamisasi tidak sesulit yang dialami oleh pihak Kristen. Bahkan beberapa tokoh Islam --Seperti Buya Hamka dan Wahid Hasyim-- dapat memanfaatkan kesempatan dari Jepang untuk mengorganisir umat Islam. Sayangnya kronik tersebut tidak dielaborasi dalam buku ini. 

***

Di masa Revolusi, sekolah-sekolah Kanisius, meskipun dalam kondisi sulit, tetap mampu berkembang dengan baik. Sekolah-sekolah ini dapat menunjukkan efektivitasnya sebagai sarana perkabaran Injil. Bahkan terjadi peningkatan jumlah murid dari 9.726 orang (163 dibaptis) pada 1945 menjadi 12.349 (675 dibaptis) orang pada 1950. Pada masa kemerdekaan ini pula ada seorang tentara yang menjadi Katolik dan belakangan ditahbiskan sebagai pahlawan Solo, yaitu Letkol Ignatius Slamet Riyadi. (Hlm. 37).

Slamet Riyadi diabadikan menjadi nama jalan utama di kota Solo. Di ujung jalan protokol tersebut terdapat patung besarnya sambil memegang senjata yang diarahkan ke langit. Ia dikenang karena berhasil mengusir NICA dan tentara Belanda serta berhasil menduduki kota Solo selama empat hari dari tanggal 7-10 Agustus 1949. 

***

Perang kemerdekaan berakhir. Babak baru dekolonisasi Indonesia dimulai. Banyak petugas misi dari Belanda yang memutuskan menjadi warga negara Indonesia. Kesempatan itu dibuka pada tahun 1949-1951. 

Namun demikian, situasi politik paska kolonial yang masih diwarnai sentimen anti-Belanda mencegah banyak sekali tenaga misi Katolik (90% adalah orang Belanda) untuk berkarya di Indonesia. Pada 1952, Kementrian Agama menolak menolak memberikan rekomendasi bagi 500 orang misionaris Katolik berkebangsaan Belanda. Malah pada 1 Agustus 1959, pemerintah melarang pengajar dari luar negeri mengajar di sekolah-sekolah Indonesia. (Hlm. 38)

*** 

Ada kejutan besar pada masa Demokrasi Terpimpin (1960-1965). Surakarta, yang menjadi lahan subur tempat proselitisasi itu, ternyata sekaligus menjadi kota dengan basis massa PKI terbesar tiada tandingnya. 

Berikut laporan hasil Pemilu 1955 di Surakarta yang dikumpulkan oleh Mulyadi dan Soedarmono:  NU hanya memperoleh 1.998 suara (1,61%) dari total jumlah suara sah; Masyumi 13.733 suara (11, 1%); PNI 37.144 suara (30%); dan PKI 70.808 suara (57, 26%). (Hlm. 26) 

Dengan dibubarkannya Masyumi, praktis tinggal NU partai Islam saat itu yang menjadi hambatan buat PKI. Data di atas menjadi penting untuk kita ingat. Sebab paska G30S, mereka yang menjadi massa PKI dan penganut agama secara nominal (baca: abangan), menjadi sasaran empuk untuk diganyang oleh rezim yang akan berkuasa selanjutnya. 

Siapa yang menyangka, konflik antara komunitas muslim (baca: santri) versus abangan --eks PKI, atau yang sekadar dituduh PKI-- inilah yang menjadi sebab perubahan besar arus proselitisasi di masa awal Orde Baru. 

*** 

Imbas dari peristiwa Gestapu (istilah terinspirasi dari nama Gestapo yang ada di Jerman) tidak sekadar mengubah konstelasi politik, melainkan juga berdampak pada tatanan sosial-budaya (konflik horisontal antara massa pendukung PKI versus anti-PKI yang diwakili oleh kaum santri), yang kemudian mengubah arus proselitisasi. Kita fokus membahas yang terakhir. 

Rezim Orde Baru berdiri, setelah sebelumnya militer AD bekerjasama dengan komunitas santri, berhasil menumpas PKI (sampai ke akar-akarnya). Banyak kader-kader PKI yang ditangkap, tak terkecuali simpatisan, termasuk pula orang-orang tak tahu menahu perkara politik (korban tertuduh PKI). Mereka semua menjadi tahanan politik (tapol). 

Mengutip dari bukunya Pdt. Jan S Aritonang dan Karel A Steenbrink, A History of Christianity in Indonesia (2008), Adif menulis: "Di luar situasi yang genting tersebut, baik GKD (Gereja Kristen Djawa) maupun Gereja Katolik mendapat lahan terbuka luas bagi perkabaran Injil seiring dengan diperkenankannya indoktrinasi bagi para tahanan militer yang disangkakan terlibat PKI. Kesempatan bagi perkabaran Injil di Solo semakin dipermudah mengingat Pejabat Wali Kota Solo yang menggantikan Oetomo Ramelan (Wali Kota Solo yang berasal dari PKI) adalah Letkol Th. J. Soemantha yang seorang Katolik." (Hlm. 41)

Wawancara Adif (2015) dengan Pdt.  (Emeritus) Edi Trimodoroempoko menyatakan: "Di Solo aparat mendatangkan para pemuka agama --termasuk Kristen-- untuk memberikan penerangan tentang agama pada para tahanan yang dikumpulkan di Pagelaran Keraton Kasunanan." (Hlm. 41-41) 

Para tapol dari PKI atau yang di-PKI-kan ini diasumsikan sebagai orang-orang yang tidak beragama. Mereka harus kembali ke "jalan yang lurus", yaitu meninggalkan PKI, dengan cara memilih agama formal yang sudah ditetapkan dan diakui negara (Ada lima: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha).

Bisa Anda bayangkan bagaimana ketakutan psikologis massa yang dikumpulkan tersebut? Jelas ada trauma untuk memilih Islam yang diwakili oleh komunitas santri yang tidak bisa memberikan jaminan keamanan buat mereka. Maka di sinilah Kristenisasi menemukan jalan landainya.

***

Tahun 70an, setelah kondisi benar-benar stabil, barulah bermunculan data statistik. Oleh karena tidak ada catatan (termasuk dalam buku yang sedang kita bedah ini) mengenai jumlah dan persentase pemeluk Kristen tahun 60an di Surakarta, maka komparasinya adalah dengan data dua dekade sebelumnya. 

Menurut catatan Kantor Urusan Agama Kota Besar Surakarta tahun 1951, jumlah penganut Kristen (Protestan dan Katolik) di kota tersebut hanya mencakup 4% dari keseluruhan jumlah penduduk Surakarta. Dua dekade kemudian (1970) angkanya naik hampir sembilan kali lipat, yakni 17,59%, alias jumlahnya mencapai 78.991 orang. (Hlm. 128).

Namun demikian, sejauh mana gelombang konversi massal paska-1965 terjadi sebagai hasil perkabaran Injil sulit untuk dipastikan. Konversi yang terjadi tidak bisa dilihat sebagai prakarsa gereja semata, sebab ada pula peran negara demi meneguhkan kepentingan politiknya. 

***

Kita memasuki era 80-90an. Terjadinya konversi juga tentu ikut mempengaruhi dinamika perimbangan jumlah penduduk Islam dan Kristen di Surakarta. Pada 1980 jumlah penduduk Kristen (Katolik & Protestan) naik menjadi 112.257 orang. Sebaliknya pada tahun yang sama jumlah Muslim naik menjadi 336.084 orang, yang pada dekade sebelumnya  (1970) sebanyak 286.928 jiwa. (Hlm.144). 

Data di atas berkorelasi dengan meningkatnya jumlah rumah ibadah. Jika pada 1969 jumlah masjid hanya 71 (sempat menurun jadi 69 pada 1970), pada 1982 meningkat menjadi 152. Sementara gereja di tahun yang sama semula hanya 29 naik menjadi 84 --peningkatan yang sangat signifikan. (Hlm.147). 

Tahun 80-90an adalah dekade puncak kekuasaan Orde Baru. Pembangunan --sebagai tanda modernitas-- semakin intensif. Dan salah satu penanda modernitas adalah sekolah. 

Pembangunan sekolah untuk memberantas buta huruf menjadi hal yang sangat penting. Di samping pemerintah, lembaga-lembaga swasta yang bercorak agama juga turut berperan dalam menyediakan layanan pendidikan. Di lapangan ini, tak ketinggalan baik Islam maupun Kristen berlomba untuk membuka institusi pendidikan formal. 

Yang menarik di era ini adalah saat terjadi arus balik proselitisasi, yakni mereka yang kembali memeluk Islam setelah sempat ikut konversi menjadi Kristen. Catatan dari Kuntowijoyo, mereka meninggalkan Islam disebabkan oleh dendam politik, bukan karena kerelaan spiritual. Tetapi, karena tema ini tidak dielaborasi dalam buku ini, makanya tidak perlu kita bahas. Saya merekomendasikan buku berjudul "Misi Kristen versus Dakwah Islam di Indonesia" karya Arif Wibowo --sebagai pelengkap buku yang sedang kita ulas ini. 

***

Orde Baru tumbang, berganti Reformasi. Lagi-lagi kita menghadapi krisis multidimensi. Konflik horisontal terjadi di banyak tempat, seperti di Poso, Sampit, dan Ambon. Apa yang terjadi di Ambon tak dipungkiri turut berdampak pula terhadap kerukunan beragama yang terjadi berbagai daerah, tak terkecuali di Solo. Di buku ini dibahas lengkap ekses-ekses akibat konflik tersebut. Saya tidak akan mengulas semuanya, silakan baca sendiri bukunya. 

Catatan menarik dari Adif: "Berakhirnya era Orde Baru membuka ruang bagi menguatnya sentimen-sentimen agama yang sebelumnya hanya dipendam di bawah permukaan, dan kemunculan kelompok-kelompok agama yang membawakan identitas keberagamaannya dengan lebih tegas. Kelompok-kelompok tersebut memang bukan kelompok yang dominan tapi kelahiran mereka sedikit-banyak adalah hasil dari proses pengagamaan pada masa Orde Baru. Di sinilah letak paradoksnya, yakni di satu sisi pemerintah Orde Baru menabukan penonjolan identitas primordial, namun di sisi lain proses pengagamaan yang mereka dukung sesungguhnya ikut menaburkan benih bagi munculnya kelompok-kelompok tersebut. Kemunculan mereka pada akhirnya hanya soal momentum belaka, dan momentum itu datang ketika." (Hlm.194-195). 

*** 

Demikianlah ulasan untuk tesis yang kemudian dibukukan ini, ada tiga kutipan dari Adif yang perlu saya tulis ulang di sini:

"Perlu pula diingat bahwa pesatnya pertumbuhan rumah ibadah secara kuantitatif belum tentu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas keberagaman --suatu hal yang sulit diukur. Namun, yang jelas, data-data kuantitatif di atas bisa menjadi indikasi bahwa proses pengagamaan berlangsung dengan sangat intensif di Surakarta." (Hlm. 150).

"Ditinjau dari dampaknya, sudah tentu Islamisasi maupun Kristenisasi mendorong tumbuhnya identitas keberagamaan dalam masyarakat Indonesia. Adalah sebuah hal yang menarik bahwa pada masa Orde Baru pemerintah RI satu sisi menabukan penonjolan identitas keberagaman, namun di sisi lain pemerintah secara tidak langsung ikut berperan dalam menumbuhkan identitas keberagamaan." (Hlm.5).

"Dalam kasus Surakarta, di balik hubungan yang harmonis di permukaan, ternyata di bawah berlangsung pula persaingan dan kecurigaan. Memang persaingan itu tidak meletup menjadi konflik terbuka. Ketegangan diam-diam antara komunitas Muslim dan Kristen juga tetap diimbangi upaya membangun toleransi dan kerja sama. Akan tetapi, runtuhnya rezim Orde Baru membuka ruang bagi munculnya kelompok dan tindakan yang sedikit-banyak menggoyahkan harmoni hubungan antar komunitas." (Hlm. 139).

*** 

Terakhir, saya ingin menutup uraian ini dengan kembali ke pertanyaan yang menjadi judul ulasan saya. Apa pentingnya kita memahami proselitisasi? Tidak lain tidak bukan adalah untuk membangun sikap moderat dan menumbuhkan kebijaksanaan. 

Segala bentuk konflik antar komunitas agama tidak bisa dipandang sekadar dari kacamata: mayoritas menindas minoritas. Tak bisa kita merasa diri paling toleran kalau akar permasalahnya kita tidak paham. 

Proselitisasi juga punya tata kramanya sendiri.[]

Iwan Mariono 

CITA-CITA MENJADI YOUTUBER WARGANET INDONESIA (sebuah renungan)

Fenomena #FBpro akhir-akhir ini meningkat. Saya amati itu dari banyaknya akun dalam daftar pertemanan yang dahulu "silent reader", kini setiap hari menjadi intens membuat unggahan. Fenomena sejenis ini tentu ada pula di platform lain seperti X, Instagram, dan Tiktok (yang terakhir saya tidak mengikuti). 


Saya jadi teringat infografik penelitian terkait cita-cita mayoritas generasi muda di negara-negara di Asia Tenggara, yang beredar beberapa bulan ini di linimasa (bagi yang belum tahu silakan telusuri sendiri di Google). 

Guru adalah profesi yang paling diminati di Malaysia dan Brunei Darussalam. Menjadi penulis untuk Singapore, dan menjadi dokter untuk Timor Leste. Ada pun impian pertama generasi muda Indonesia adalah menjadi youtuber. Tidak secara harfiah, tentu maksudnya adalah menjadi konten kreator (tanpa harus melalui platform YouTube). 

Target utama jelas berharap konten mereka ditonton oleh sebanyak mungkin warganet, selain berharap jumlah pengikut yang meningkat. Bagi selebritis yang sudah terkenal sejak sebelum era media sosial, mudah saja menambah followers. Sementara yang bukan figur publik, mereka harus berjuang. Konon sampai ada grup khusus sesama pejuang konten ini. Ada bentuk solidaritas yang ditunjukkan, adalah dengan saling berbagi bintang. 

Sampai kapan fenomena ini akan bertahan? Belum ada jawaban yang pasti. Yang sudah pasti, semakin hari kita akan semakin kebanjiran konten (entah yang murni hasil kreasi, atau sebaliknya, plagiasi). Oleh sebab target utama adalah kuantitas, kita tidak bisa berharap banyak akan lahir konten yang benar-benar berkualitas. 

Tantangan kita sebagai pengguna media sosial ke depan adalah, bagaimana memilih unggahan yang positif dan edukatif. Sebab kecenderungan konten yang kita buat atau sebaliknya kita tonton akan membentuk algoritma. Pada gilirannya, algoritma inilah yang sedikit banyak mempengaruhi atau membentuk cara kita berpikir dan memandang realitas.

Iwan Mariono

MENGENAL KESUFIAN IBNU TAIMIYYAH

Mendarasnya pelan-pelan dan paralel dengan judul lain, akhirnya saya khatamkan juga buku ini. 

Mungkin masih banyak yang mengira kalau Ibn Taimiyyah adalah sosok yang anti-tasawuf, buku ini membuktikan sebaliknya, melalui pembacaan penulisnya terhadap sumber primer, maupun sekunder --melalui karya peneliti-peneliti terdahulu. 

Di bagian epilog, dengan tegas DR. Hamdan Maghribi menulis: "Dalam membahas tema-tema pokok tasawuf, Ibn Taimiyyah tidak berhenti pada al-hadm (dekonstruksi), tapi sebagaimana pembahasannya dalam tema-tema keislaman lainnya, ia juga menghadirkan al-bina (rekonstruksi). Ibn Taimiyyah membongkar pemikiran tasawuf yang menurutnya bersebrangan dengan agama, namun juga meletakkan pondasi kokoh dalam bertasawuf yang berkelindan dengan Al-Qur'an, sunnah, dan salaf al-salih."

Ibn Taimiyyah tidak menulis sebuah kritik terhadap para Sufi terdahulu, sebelum ia membaca karya-karya mereka. Ibn Taimiyyah juga tidak taklid buta, misal hanya bermodal mengutip pendapat Ibnul Jauzi (sebagai pendahulunya) yang terkenal keras dalam melancarkan serangannya terhadap kelompok-kelompok tasawuf.

Berkat pembacaan secara saksama, lahirlah kebijaksanaan dalam menulis syarahan-nya. Tidak sekadar memberi kritik terhadap hal-hal yang dianggapnya menyimpang, Ibn Taimiyyah tak enggan untuk turut memberi apresiasi terhadap sosok yang sedang dikritisi. Sebuah sikap objektif yang tidak mudah. 

Hal yang tidak banyak orang tahu. Kita ambil satu contoh. Ihwal Imam al-Ghazali dan pandangan tasawufnya, Ibn Taimiyyah justru mempunyai banyak kesamaan dengannya. Mereka berdua sama-sama berusaha membersihkan pemikiran Islam dari praktik bid'ah yang dimunculkan para filsuf yang menyimpang, kejumudan sebagian fuqaha, dan ta'wil golongan Batiniyyah. Meskipun keduanya mendukung tasawuf, namun mereka tak luput memberi kritik terhadap praktif sufi yang menyalahi Al-Qur'an dan sunnah. 

Dalam mengkritik kelompok hululiyyah yang mengaku bisa menyatu dengan Allah melalui bahasa yang sulit dipahami misal, Imam Al-Ghazali memberikan komentarnya: "Ucapan mereka sama sekali tidak mendatangkan faedah, hanya membuat hati, akal, dan pikiran kebingungan." Ibn Taimiyyah mendukung pandangan ini. (Hlm. 100). 
 
Perbedaan di antaranya keduanya sesungguhnya masih bisa didamaikan. Misal ketika Al-Ghazali mengatakan bahwa kenikmatan dan kebahagiaan akan tercapai bila kita telah mengenal Allah (ma'rifatullah). Sementara Ibn Taimiyyah menganggap bahwa puncak kebahagiaan dicapai dengan beribadah hanya untuk dan kepada Allah (tanpa level ma'rifah). 

Ada pun yang ditentang oleh Ibn Taimiyyah dari teori Al-Ghazali adalah perkara wilayah. Al-Ghazali menganggap bahwa wahyu yang diturunkan kepada para nabi derajatnya sama dengan ilham yang dianugerahkan kepada wali, demikian pula ilmu para nabi dan para wali. Sementara bagi Ibn Taimiyyah, setinggi apa pun maqam dan ilmu para wali tak bisa mengungguli para nabi, sebagaimana karamah tidak akan pernah melebihi mukjizat.

Pertentangan ini pun, bila kita memahami bahwa sesungguhnya nabi itu juga adalah sekaligus seorang wali (di luar statusnya sebagai nabi), maka kedua perbedaan ini bisa saling rekonsiliasi.

Namun demikian, perbedaan di atas pada akhirnya menjadi dasar perbedaan rancang bangun atas tasawuf salafi yang diwakili oleh Ibn Taimiyyah dengan tasawuf sunni yang diwakili oleh Al-Ghazali. 

Yang perlu ditegaskan di sini yang menjadi sebab perbedaan paling mendasar antara tasawuf salafi dan tasawuf sunni adalah pada takwil. Salafi mengingkari takwil sedangkan sunni masih menggunakannya. Sebab pengingkaran ini menyebabkan tasawuf salafi mendapat label sebagai kelompok mujassimah. 

Secara epistemologi Ibn Taimiyyah selalu mendahulukan naql daripada aql. Hal yang selalu ditegaskan berulang kali dalam buku ini adalah bahwa ia selalu mendahulukan Al-Qur'an, sunnah dan pendapat para salafus salih. Tidak mengikuti figur ketokohan di luar itu. Menurutnya, sumber dasar syariat adalah Al-Qur'an dan tafsir Rasulullah atasnya (sunnah), sedangkan para sahabat (salafus salih) adalah orang yang mempelajari tafsir Al-Qur'an langsung dari nabi. 

Ibn Taimiyyah tidak mengingkari penggunaan akal, namun yang paling penting menurutnya: "orang yang mencari akidah hanya dengan menggunakan akal semata akan tersesat, karena akal semata tak akan mampu menemukan hakikat agama". (Hlm. 240) 

Sebenernya masih banyak tokoh lain yang dibahas dalam buku ini, terkait Ibn Taimiyyah dan pertentangan pemikirannya dengan tokoh-tokoh sufi (baik tasawuf sunni atau pun falsafi) seperti Abdul Qadir al-Jilani, Abu Yazid al-Bustami, Ibn Arabi, dan lain-lain. Namun saya tidak akan memaparkan semuanya di sini. Silakan Anda baca langsung bukunya. 

Sengaja saya pilih hanya untuk memaparkan Ibn Taimiyyah vis a vis dengan Imam Al-Ghazali, sekadar untuk membuka wawasan buat khalayak. Sebab di zaman kiwari, justru pengikut masing-masing dari kedua sosok ulama ini yang paling banyak berseteru dan sulit untuk didamaikan. 

Menarik untuk menyimak pendapat Yahya Michot, seorang Muslim Belgia yang merupakan profesor studi Islam (yang juga dikutip dalam buku ini): "Hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa informasi dan pemahaman Ibn Taimiyyah tentang Al-Ghazali jauh lebih baik daripada Ibn Rusyid, penulis "Tahafut al-Tahafut"* yang isinya mengoreksi Tahafut-nya Al-Ghazali, juga Ibn Tufail. Sayangnya, Ibn Taimiyyah jarang dipertimbangkan dalam kajian tentang Al-Ghazali (Ghazalian Studies) sehingga uraian ini diharapkan akan memberi kontribusi untuk meluruskan bias ini." (Tanda * saya cantumkan untuk mengoreksi yang tertulis di buku ini: Tahafut al-Falasifah). (Hlm.99). 

Terima kasih atas sharing ilmunya melalui buku ini, DR. Hamdan Maghribi. Saya sepakat dengan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi yang menyatakan dalam kata pengantarnya bahwa buku ini: tidak dimaksudkan untuk membela Ibn Taimiyyah sebagai penganut tasawuf, namun tidak juga mengelompokkannya sebagai anti-tasawuf. 

Saya juga membenarkan penyataan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi: "Hasil kajian buku ini mungkin akan ditentang pendukung Ibn Taimiyyah yang anti-tasawuf dan pengamal tarekat yang anti-Ibn Taimiyyah. Namun para cendekiawan tidak perlu mengikuti sentimen kedua kelompok ini, apalagi jika hanya mendasarkan pada fanatisme tanpa argumentasi ilmiah. Kritik maupun dukungan terhadap pandangan ulama harus berdasarkan dan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Seorang ulama tidak mungkin sempurna ilmunya, atau sebaliknya, seorang ulama juga tidak mungkin ditolak semua pemikirannya. Di sinilah tugas ilmuwan adalah untuk merekonstruksi pemikiran ulama pada masa lalu untuk bisa dipersembahkan kepada umat masa sekarang." (Hlm. 9) 

Selamat membaca.

Iwan Mariono

HERRI PRAS, FENOMENA KONTEN REAKSI, DAN PENTINGNYA PRINSIP KEBIJAKSANAAN DAKWAH ISLAM

Mungkin banyak warganet yang tidak sadar, bahwa keributan kita di media sosial terkait polemik salafi vis a vis non-salafi itu, banyak diproduksi dan sebagian difabrikasi oleh satu akun YouTube dengan jutaan subscriber bernama: Herri Pras. 

Akun ini menjadi semacam mahkamah penghakiman terhadap aktivitas dakwah yang berbeda afiliasi. Paling heboh tentu saja reaksinya terhadap terhadap Ustadz Adi Hidayat (bukan hanya sekali). Termasuk menyerang orang-orang yang membela beliau. Yang terbaru adalah reaksinya Ustadz Felix Siauw. Hampir semua kontennya berisi reaksi, bahkan kosakata Fir'aun yang pernah dilontarkan Cak Nun untuk Jokowi, juga tidak lepas dari reaksinya. 

Yang pula sempat viral (dalam makna positif) adalah reaksinya terhadap ceramah Kiyai Marzuqi.
https://youtu.be/VYR0ciSCfXY?si=46Cc5VWhkKOLuoEB
Judul videonya (sangat bombastis dan berpotensi memecah belah kerukunan antar jama'ah dan harakahnya): Ceramah Kyai Marzuki Mustamar Ini Akan Buat Seluruh Aswaja Kelonjotan.?! (judul yang justru tidak akan pernah kita temui dalam seluruh video di akun resmi ustadz salafi yang menjadi guru dari Herri Pras sendiri). 

Arkian, dalam video klarifikasinya, Kiyai Marzuqi justru menganggap reaksi video itu sebagai framing, dan beliau tetap sebagai seorang warga NU. 
https://youtu.be/LzS-eTW_uRs?si=lQLfAjY2CiWE3dwU

Kita tahu bahwa Herri Pras adalah seorang pesilat asal Jember yang hijrah menjadi seorang jamaah dakwah sunnah. Melihat akunnya yang hampir setiap hari rilis video baru, kita bisa menebak bahwa aktivitasnya memang seorang kreator digital (Dalam 5 tahun video di akunnya sudah mencapai lebih dari 1300). 

Tiga hari yang lalu rilis video di akun YouTube Ustadz Khalid Basalamah
https://youtu.be/yPxXTrhOqFU?si=CA3UV9i1tvY3lpk1
Dari wawancara beliau dengan Herri Pras kita jadi tahu bahwa ia termasuk generasi milenial (usianya 32 tahun), seorang kreator digital independen yang tidak menggunakan tim dalam kreasi videonya, dan baru dua tahun ini mengenal dakwah sunnah (2022). Dalam waktu sesingkat itu, ia sudah mendapat julukan sebagai pesilat anti-khurafat dari Ustadz Khalid. Julukan yang baik tentunya, semoga ia bisa istiqomah. Dalam riwayat hijrah semuda itu, kita tidak bisa berharap banyak bahwa ia akan menganut prinsip kebijaksanaan dakwah Islam (meminjam kalimat dari judul buku Buya Hamka). 

Di akhir wawancara, Ustadz Khalid Basalamah memberikan masukan untuk dia agar dalam menggunakan media sosial lebih hati-hati dan tidak melampui batas, seperti berbicara di luar kapasitas ilmunya. 

Kalau Anda menonton wawancara itu sampai selesai, terlihat satu ketidakjujuran dia dalam membangun argumen melalui konten reaksinya. Seperti ketika ia mengatakan bahwa sebelum memberikan komentar ia menonton video aslinya dulu secara full, baru ditarik benang merahnya. Padahal dalam kasus Ustadz Adi Hidayat, yang terjadi tidaklah demikian. Untuk hal ini, Fuadbakh sudah membuat konten kontra narasi:
https://youtu.be/5IrRi7LDHwU?si=a56kJyfsUvDuVPqP

Tentu bukan hanya Harri Pras yang punya fenotipe konten seperti ini, dari kelompok atau harakah manapun sosok-sosok seperti ia selalu ada. Hanya saja saya memang sengaja menjadikan ia sebagai role model untuk tulisan ini. 

Saya menulis panjang lebar semua ini bukan untuk mengajak Anda membenci seorang Herri Pras, yang baru saja hijrah. Melainkan ingin menegaskan apa yang sudah saya tulis beberapa jam yang lalu terkait penting prinsip kebijaksanaan dalam dakwah. 
https://www.facebook.com/share/p/5f9N5UqH9y2qeyA6/ 

Sebaliknya, kebijaksanaan itu juga penting buat kita sebagai objek dakwah agar tidak mudah terprovokasi oleh sebuah judul konten yang bombastis. Sebab, di zaman konten kreator menjadi subyek dari kapital, yang untung adalah mereka yang videonya viral. Sementara yang rugi adalah kita, yang tidak dapat apa-apa, kecuali justru semakin merenggangnya ukhuwah.

Iwan Mariono

REKOMENDASI BUKU TENTANG SEJARAH LAHIRNYA KORUPSI

Kalau mengikuti definisi Wertheim, maka gratifikasi itu sama dengan korupsi. Di halaman lain Mochtar Lubis menjelaskan bahwa kondisi: "di mana kesadaran rakyat banyak tentang hak mereka sebagai warga negara masih sangat tipis, nepotisme dan sistem kawan pasti akan berkembang ke tingkat yang tidak terkendalikan."


Dari mana semua sumber ini berasal? Masih dari penjelasan Mochtar Lubis yang mengutip pendapat sosiolog Max Weber, jawabannya adalah dari sistem negara yang menganut birokrasi-patrimonial (proses regenerasi yang diturunkan berdasarkan genealogis). Inilah gejala budaya yang melekat erat dengan birokrasi yang ada di Indonesia.

Ini buku lawas (1977), judulnya Etika Pegawai Negeri, tapi isinya tentang bunga rampai dari sejarah dan definisi korupsi, salah satu pelanggaran etik paling berat. Tidak hanya ditujukan untuk mereka yang berkecimpung sebagai pegawai negeri, melainkan mereka yang menjadi pejabat negara. 

Buku yang penting untuk dibaca oleh setiap pejabat dan aparatur sipil negara, sebab korupsi bisa melibatkan satu kelompok yang masing-masing pribadinya kadang tidak menyadari.