Dua jam pertama saya di kafe Gramedia Matraman tak terasa habis untuk membaca dan menganalisa buku ini. Menurut saya buku ini diterjemahkan dengan sangat baik, sesuai judul aslinya On Palestine (tanpa sub judul). Saya memang tidak niat membelinya, hanya sekadar ingin numpang. Tapi setelah menyelesaikan satu bab dari tulisan Ilan Pappe, saya putuskan bahwa saya harus membeli buku ini.
Saya terpesona dengan narasi yang coba dibangun oleh Ilan Pappe. Ia mencoba untuk membuat historiografi baru (dalam menulis konflik Israel-Palestina dan mendiskusikan di ruang publik), dengan menambahkan tiga entri baru: dekolonisasi, pergantian rezim, solusi satu negara.
Ilan Pappe terinspirasi dari gagasan Edward W Said, bahwa narasi-lah yang pada akhirnya akan menjadi hegemoni. Sasaran Pappe jelas, melalui pembangunan narasi baru, ia ingin menyadarkan masyarakat Barat (Amerika dan Uni-Eropa).
Mari kita bahas satu per satu.
DEKOLONISASI. Istilah ini lahir belakangan, setelah diksi kolonisasi mengalami pergeseran makna. Awalnya netral sebagai menghuni suatu wilayah, kini berkonotasi negatif menjadi melakukan penjajahan. Perubahan makna ini terjadi terutama setelah Perang Dunia II berakhir. Masyarakat dunia tidak ingin ada penjajahan satu bangsa atas bangsa lain.
Dari sinilah Ilan Pappe menjelaskan bahwa tujuan utama Zionisme dibentuk pada abad ke-19 adalah memang sebagai negara kolonialisme, yang dalam bahasa Ibrani disebut le-hitnahel. Zionis awal menggunakan istilah itu dengan bangga, sebab diksi tersebut waktu itu masih diterima secara positif oleh publik.
Kiwari, Zionisme modern (mewujud dalam bentuk Negara Israel) mencoba mengaburkan istilah tersebut. Tetapi memori kolektif tak bisa diubah bahwa tujuan Zionisme memang untuk menjajah (kolonialisme) Palestina. Memori inilah yang coba dihidupkan kembali oleh Ilan Pappe.
PERGANTIAN REZIM. Ilan Pappe menolak narasi lama terkait solusi dua negara (two state solution) sebagai bagian dari Ortodoksi Perdamaian. Menurutnya, tak akan pernah ada perdamaian, selama penduduk Palestina yang diusir dari rumahnya tak diizinkan untuk kembali ke rumah atau daerahnya masing-masing.
Pembagian dua negara sebagai realpolitik inilah yang dianut oleh banyak aktivis perdamaian. Bahkan di Indonesia, tak sedikit influencer media sosial yang memilih pendapat ini sebagai win win solusion.
Padahal menurut Pappe: "Pembagian dalam sejarah Palestina merupakan tindakan penghancuran yang dilakukan dalam kerangka "rencana perdamaian" PBB yang tidak menarik kecaman internasional sama sekali. Dengan demikian, istilah-istilah dalam kamus internasional dari periode formatif yang menandakan nilai-nilai damai positif seperti pembagian wilayah itu adalah newspeak--meninjam istilah terkenal George Orwell untuk realitas yang menipu. Pembagian wilayah menandakan keterlibatan internasional dalam kejahatan penghancuran, bukan tawaran perdamaian." (Hlm. 29).
Pappe tidak menuliskan hal ini. Tapi tiba-tiba saja saya teringat Belanda yang ingin mengajak berunding dan berdamai dengan Indonesia, justru setelah mereka melakukan agresi militernya yang kedua dan menangkap tokoh-tokoh pejuang utama seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Hadji Agus Salim. Lucu sekali. Mengajak damai pemilik rumah setelah rumahnya dirampok dan pemiliknya ditangkap adalah solusi yang tidak rasional.
SOLUSI SATU NEGARA. Inilah solusi yang ditawarkan oleh Ilan Pappe. Ia tidak menyebut apa nama dari negara yang dibentuk tersebut nantinya. Tapi yang pasti, solusi satu negara adalah solusi yang paling rasional.
Solusi ini hanya membutuhkan kesadaran kolektif publik bahwa demokrasi Barat, bahkan PBB, secara tegas menolak pembentukan negara apartheid (seperti yang pernah terjadi di Afrika Selatan). Sebab ia merupakan kejahatan kemanusiaan berdasarkan hukum internasional.
Israel jelas-jelas hendak membentuk negara apartheid yang hanya menerima Yahudi sebagai ras tunggal. Ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Apalagi pendirian itu ditegakkan dengan melalukan genosida.
Ilan Pappe menulis: "Siapa pun yang telah berada cukup lama di Israel, seperti saya, tahu bahwa korupsi terburuk orang-orang muda Israel adalah indoktrinasi yang mereka terima, yang sepenuhnya mendehumanisasi orang Palestina. Ketika melihat bayi Palestina, seorang tentara Israel tidak melihat bayi--dia melihat musuh." (Hlm. 24).
Mungkin banyak yang pesimis dan bahkan sinis dengan gagasan Pappe ini, tak terkecuali dari kelompok tertentu yang pro-Palestina. Akan tetapi, Pappe sudah menyiapkan jawabannya: "Rezim dapat berubah secara dramatis dan drastis, tetapi juga mungkin secara bertahap dsn tanpa pertumpahan darah. Meskipun gejolak di bekas Yugoslavia dan Suriah berfungsi sebagai peringatan tentang bagaimana perubahan rezim dapat berjalan buruk, sebagain besar contoh sejarah dalam waktu-waktu terkini adalah perubahan rezim non-kekerasan, atau hampir non-kekerasan. Karena itu, entri terakhir dalam kamus baru, Solusi Satu Negara, didasarkan pada harapan bahwa visi yang jelas tentang bagaimana hubungan masa depan antara korban dan pelaku kejahatan diatur akan menunjukkan juga sifat perubahan yang diperlukan dan cara untuk mencapainya." (Hlm. 27-28).
Saya optimis dengan narasi yang dibangun oleh Pappe ini. Terbukti sepuluh tahun dari sejak buku ini pertama kali terbit, simpati terhadap kemerdekaan Palestina semakin bertambah dari berbagai kalangan di berbagai belahan dunia.
Pappe menulis: "Untuk keluar dari paradoks yang disebutkan di atas, ide-ide kelompok perdamaian lama harus ditinggalkan. Komunitas internasional yang tertarik membantu Palestina perlu mendukung upaya untuk menjadikan Israel sebagai negara paria, selama Israel terus mendorong kebijakan apartheid, perampasan, dan pendudukan." (Hlm. 30).
Paria merujuk kepada negara yang dikucilkan secara internasional.
Demikian.
23.33
Rumahku Surgaku
Posted in
No Response to "ON PALESTINE"
Posting Komentar