Ini buku sangat bagus. Dengan referensi yang kaya, buku ini menjelaskan bagaimana sejak awal merdeka, Indonesia sudah menanggung utang milyaran gulden. Kita merdeka secara politik, tetapi secara ekonomi kita benar-benar dicekik. Dualisme bank sentral antara BNI dan DJB (De Javasche Bank) sepanjang periode revolusi (1945-1949) menunjukkan bahwa perang di lapang ekonomi tak kalah sengitnya.
Begitu sampai pada bab 4, saya benar-benar dibuat gregetan. Sebenarnya sejak sepuluh tahun yang lalu, ketika 2015 saya baca biografinya Soemitro Djojohadikusumo terbitan Sinar Harapan, 2019 saya baca biografinya Sjafruddin Prawiranegara yang ditulis oleh Ajip Rosidi, dan 2022 saya baca "Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia"-nya Kahin, perasaan saya tidak berubah: gregetan. Tiga buku tersebut termasuk yang dijadikan sebagai referensi untuk menyusun buku ini. Semua menjelaskan betapa berat beban negara yang baru merdeka ini. Indonesia dituntut menanggung utang sebesar 6.2 milyar gulden.
Setelah melalui perdebatan panjang dan alot tanpa titik temu, di akhir Perjanjian KMB itu ditetapkan angka sebesar 4.2 milyar gulden. Dengan rincian: 2.5 milyar utang dalam negeri, 1.7 milyar hutang luar negeri. Utang dalam negeri yang dimaksud tak lain adalah biaya yang dihabiskan oleh Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia melalui pendudukan kembali dan agresi militer (I dan II).
Itulah sebabnya pada periode revolusi itu Belanda menolak istilah agresi, dan memilih polisionil (pengamanan). Sebab agresi adalah sebuah bentuk serangan terhadap negara lain, sementara Belanda menganggap tindakannya adalah bentuk pengamanan dalam negeri (Hindia Belanda). Artinya, para pejuang kemerdekaan itu tak lain dianggap sebagai pemberontak.
Ibaratnya, ada maling yang menjarah rumahmu, tetapi justru engkau yang dituntut untuk mengganti semua kerugian.
18.06
Rumahku Surgaku

Posted in
No Response to "KONFERENSI MEJA BUNDAR (KMB) DAN LAHIRNYA SENTRAL"
Posting Komentar