Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

PENERBIT MIZAN

Lini masa diramaikan oleh warganet terkait penerbit yang berkantor pusat di Bandung itu dan afiliasinya terhadap Syiah. 

Ini bukanlah isu baru. Ia sudah ada sejak 2013 kala Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan buku mengenai penyimpangan Syiah di Indonesia. Saya masih ingat, saya mendapat buku itu waktu menghadiri pengajian akbar di Masjid Agung Surakarta dua belas tahun silam. Buku kecil itu dibagikan gratis ke jemaah yang hadir. Dalam buku itu memang ada dicantumkan bahwa Penerbit Mizan adalah salah satu penerbit yang terafiliasi Syiah. 

Sebenarnya pemicu utama ramainya (kembali) isu ini adalah tautan Mizan di platform Threads baru-baru ini atas salah satu buku terbitan barunya berjudul: Lelaki Sunni di Kota Syiah. Saya tidak bisa berkomentar terkait buku yang belum saya baca. Tulisan ini murni ingin menanggapi komentar beberapa orang yang menolak untuk membaca (terlebih mengoleksi) buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit ini tersebab label afiliasi tersebut.

Menurut saya penolakan seperti di atas adalah bentuk lain dari kemunduran literasi. Ini bukan persoalan pro atau anti Syiah. Ini murni kepada keterbukaan terhadap ilmu. 

Kemajuan peradaban Islam pada zaman Abbasiyah justru karena sifat terbukanya terhadap ilmu, termasuk yang datang dari negeri pagan seperti Yunani Kuno. Tentu pembacaan dengan kritis sangat diperlukan. 

Buku-buku terbitan Mizan (terlebih yang lama), sangat membuka wawasan. Anda tidak mungkin menjadi Syiah karena membaca bukunya Emha Ainun Nadjib, Kuntowijoyo, sampai Syed Naquib Al-Attas, misal. Ini hanya tiga nama yang kebetulan melintas di kepala saat disebut nama Penerbit Mizan. Masih banyak nama lain yang bisa saya buatkan daftarnya (termasuk buku-buku hasil terjemahan). Karya-karya mereka sungguh menjadi pencerahan buat saya. Buku-buku yang saya sebutkan ini, bahkan admin Mizan pembuat tautan itu sendiri belum tentu sudah membaca semua. 

Saya tidak tahu buku Mizan apa saja yang sudah Anda baca sampai menolak total penerbit satu ini. Bagi saya, sikap proporsional adalah yang paling utama. Jika Anda sudah membaca puluhan apalagi ratusan bukunya yang sudah diterbitkan, mungkin tidak akan ada penolakan ekstrem seperti itu. 

Kita wajib eksklusif dalam hal akidah, tapi tetap inklusif dalam ilmu dan pengetahun.

KOPERASI LAWAN TANDING KAPITALISME

Saya baru saja mengkhatamkan buku yang judulnya diambil dari pernyataan Bung Hatta ini. 

Koperasi yang sejati (bukan koperasi abal-abal) jelaslah menjadi lawan tanding paling efektif bagi kapitalisme saat ini, dan selamanya. Maksud dari sejati tentulah merujuk pada sifat utama dari koperasi: demokratis. Artinya, setiap orang punya status kepemilikan dan hak yang sama untuk menyampaikan pendapatnya, dari direktur yang paling tinggi, sampai office boy. Anda semua adalah bosnya. 

Kesejatian inilah yang perlu kita pelajari lebih dalam, agar tak salah dalam mengidentifikasi mana yang koperasi dan mana yang bukan koperasi. Sebab, lebih dari setengah lembaga bernama koperasi yang ada di Indonesia justru abal-abal. Bahkan, tidak sedikit rentenir yang berbaju koperasi. 

Sebagai bunga rampai yang dihimpun selama lima belas tahun (2009-2024), buku ini memberikan pencerahan kepada pembacanya agar bisa memahami koperasi dengan lebih baik. Demi memudahkan pembacanya, buku berisi 42 tulisan ini dibagi dalam empat bagian:

(1) Koperasi dalam dimensi makro-ideologi. Bagian ini mengajarkan kepada kita kerangka berpikir (paradigma) dan cara kerja koperasi, yang selama ini tak banyak dipahami masyarakat, malah sering disalahpahami. Seseorang tak mungkin bisa memercayai sesuatu sebelum ia mengenal sesuatu tersebut dengan lebih baik. 

(2) Koperasi dalam masalah regulasi dan kebijakan. Kita tentu miris bahwa negara yang mencantumkan koperasi dalam konstitusinya seperti Indonesia justru menjadi negara yang tidak menjalankan koperasi itu sendiri dengan sepenuhnya. Malah beberapa negara yang kita tunjuk sebagai buyutnya kapitalisme justru menjalankan sistem koperasi secara efektif. Dalam buku ini dijelaskan negara-negara mana saja itu. Termasuk satu-satunya negara di dunia yang menerapkan total koperasi sebagai kebijakan ekonomi negaranya. 

Yang menarik untuk saya cantumkan di sini adalah rasio gaji antara pejabat tertinggi sampai buruh terendah yang tidak lebih dari satu banding enam (1:6). Artinya jika buruh terendah memperoleh gaji tertinggi 2 juta, maka pimpinan tertinggi mendapat bagian tidak lebih dari 12 juta. Hal yang mustahil kita temukan dalam perusahaan milik kapitalis. Bahkan dalam BUMN yang konon milik rakyat itu, berapa rasio gaji antara komisaris dan office boy? Jangan tanya lagi, 1 banding ribuan! 

(3) Pengembangan koperasi di berbagai sektor. Anda yang selama ini mengira bahwa koperasi sekadar sebagai tempat simpan pinjam uang, usaha kecil-kecilan seperti toko kelontong yang tak beda dengan UMKM, akan terkejut mendapati bahwa koperasi jauh dari bayangan tersebut. Sebagai contoh, sebagian gedung-gedung tinggi bak pencakar langit yang ada di Kanada adalah milik koperasi. Bahkan salah satu klub sepakbola terbesar di dunia seperti Barcelona adalah milik koperasi. Itulah mengapa slogannya Mes Que un Club (lebih dari sekadar klub). Ulasan lengkapnya silakan baca di bagian ini. 

(4) Membangun masa depan koperasi dan ekonomi rakyat. Dalam bagian ini saya sangat miris mendapati negeri seperti Amerika Serikat yang kita anggap sebagai negerinya kapitalis itu ternyata adalah negara yang penduduknya menjalankan sistem koperasi paling besar, yakni sebesar 26 persen dari total 300 koperasi besar di seluruh dunia yang dirilis oleh ICA (International Cooperative Alliance). Sayangnya dari 300 daftar koperasi tersebut, tak ada satu pun yang dari Indonesia. 

Harus diakui bahwa membangun koperasi adalah seperti membangun peradaban, tidak ada yang instan. Satu contoh koperasi Mondragon di Basque adalah koperasi yang dibangun selama 70 tahun lamanya hingga menjadikannya koperasi terbesar di Spanyol. Anda yang merintis koperasi dari yang skala yang paling kecil boleh jadi bukan Anda yang menikmati pencapaian puncaknya. 

*** 

Penting untuk dipahami bahwa perbedaan mendasar antara sistem koperasi dan kapitalisme adalah: koperasi tidak menempatkan modal sebagai tujuan utama melainkan manusianya (people-based association), modal (kapital), melainkan hanyalah alat bantu; sedangkan kapitalisme menempatkan modal sebagai hal yang utama (capital-based association). Maka bukanlah profit (keuntungan) yang menjadi tujuan utama koperasi, melainkan benefit (kebermanfaatan). Dengan cara seperti itulah kita benar-benar menjalankan demokrasi dalam bidang ekonomi. 

Suroto, tidak saja menulis koperasi sebatas teori, ia juga aktif mengadvokasi pelaku koperasi dengan menjadi konsultan independen dalam berbagai kegiatan kebijakan sosial-ekonomi dan koperasi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Perjalanannya ke berbagai negara dalam mengamati jalannya koperasi menjadi jaminan terhadap bobot tulisannya.

Dua tahun sebelum buku ini terbit, saya sudah membaca buku berisi kumpulan karya dan pidato Bung Hatta mengenai koperasi yang diterbitkan oleh Kompas dengan judul "Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun", yang kemudian diterbitkan kembali oleh LP3ES dan menjadi jilid ke-6 dari Karya Lengkap Bung Hatta. Buku berisi gagasan revolusioner Hatta dalam bidang ekonomi, hingga menjadi landasan konstitusi kita dalam menjalankan sistem ekonomi yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945.

Ternyata, Suroto menjadikan pula buku ini sebagai salah satu inspirasi tulisannya. Jadi sebelum Anda membaca jilid ke-6 tersebut, sangat direkomendasikan untuk baca buku Suroto ini. Atau sebaliknya yang sudah baca jilid ke-6, maka buku Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme ini menjadi kontekstual untuk melihat pemikiran Hatta yang jauh melampaui zamannya.

Koperasi mengajarkan kepada bagaimana hidup di alam demokrasi yang sejati. Dalam bernegara, setiap orang harus menyadari, bahwa demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi sesungguhnya adalah negeri tanpa demokrasi. Maka dalam memahami Pancasila yang menjadi dasar filosofi NKRI itu saya berkesimpulan bahwa: kita perlu persatuan (sila ke-3) tetapi kita lebih perlu hak kita yang dihormati sekaligus kesejahteraan hidup kita yang dijamin (sila ke-3 dan ke-5).

Di akhir-akhir buku ini Suroto menjelaskan bahwa ada dua masalah utama kenapa koperasi di Indonesia tidak berkembang. (Hlm. 264-265). 

Pertama adalah persoalan paradigma, masyarakat masih banyak yang tidak paham yang dimaksud dengan koperasi dan arti pentingnya bagi pembangunan yang berdaulat dan mandiri. Kenapa bisa sampai tidak paham? Sebab koperasi sebagai ilmu pengetahuan dan temuan penting peradaban tidak pernah diajarkan di bangku sekolah. Bahkan disingkirkan sejauh mungkin sebelum masuk ke pikiran. 

Sebaliknya, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Sri-Edi Swasono dalam pengantar buku ini, bahkan: "Mahasiswa-mahasiswa pemula mengawali belajar ilmu ekonomi yang berhaluan persaingan dan mekanisme pasar, dengan supply dan demand yang bebas naik dan bebas turun. Artinya, mereka belajar ilmu ekonomi berdasar "kompetitivisme", bukan berdasar "kooperativisme"." (Hlm. xlii). 

Kedua adalah soal regulasi dan kebijakan. Koperasi tidak diberi kesempatan untuk menjadi opsi bagi pengembangan bisnis di sektor layanan publik. Misal (1) koperasi tidak dijadikan sebagai pilihan badan hukum dalam UU BUMN; dan (2) dalam layanan kesehatan, investasi asing yang menanam modal di sektor kesehatan wajib berbadan hukum perseroan (tidak heran kalau layanan kesehatan sangat rentan dikapitalisasi).

***

Sebentar lagi kita memperingati hari koperasi, entah kapan negeri ini menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomiannya. Sebab jangankan soko guru, bahkan soko pinggiran pun belum sampai.[]

Iwan Mariono
*Sukabumi, 23 Juni 2025

TERE LIYE

Dua hari terakhir pembicaraan di lini masa ramai membahas soal Tere Liye yang konon karyanya paling diminati se-Indonesia dan paling banyak dijadikan penelitian oleh mahasiswa sastra. Pembahasan mengenainya tidak dalam rangka apresiatif, sebaliknya lebih banyak bermakna peyoratif.

Sebagai orang yang sudah mengkhatamkan bukunya sebanyak 28 judul, dan pernah jadi ketua panitia yang mengundangnya pada 2013 menjadi pembicara dalam sebuah seminar di kampus, bisalah saya memberikan sedikit komentar. Karya-karya Tere Liye tidak se-picisan dugaan sebagian orang, meskipun jelas, tidak setinggi dan sedalam karya Pram.

Karyanya, Kau Aku dan Sepucuk Angpau Merah, adalah yang paling saya minati. 5x kali saya khatamkan buku itu. Hanya ada dua buku yang pernah saya khatamkan lebih dari 2x, satunya lagi: Bumi Manusia (3x). Di satu sisi saya terinspirasi menjadi seorang pemberani seperti Minke, namun sekaligus ingin menjadi seorang Borno, pemuda berhati lurus di sepanjang tepi Kapuas.

Daya tarik karya Tere Liye adalah kekuatannya dalam memegang prinsip. Prinsip yang sangat dia sesuaikan dengan target pembacanya. Dua contoh saja. Tere Liye tidak menulis karya yang di dalamnya ada adegan merokok, dan tidak kita temukan adegan pasangan yang berciuman, apalagi berhubungan seksual. Kekuatannya dalam membangun karakter anak muda layak diapresiasi.

Novel "Janji" dan "Teruslah Bodoh Jangan Pintar" adalah buku ke-29 dan ke-30 yang tidak berhasil saya khatamkan. Sejak itu saya mulai sadar, bacaan saya sudah beranjak naik. Saya sudah tidak mengonsumsi lagi buku-buku Tere Liye, walaupun saya tetap beli buku-buku terbarunya. Niatnya untuk menjadi salah satu bacaan alternatif buat anak-anak saya kelak.

Jujur, saya tidak tahu apakah karya-karya Tere Liye itu masuk kategori sastra, biarlah mereka yang di jurusan tersebut yang memberikan penilaian. Yang pasti ada alasan kuat jika ada orang bertanya kepada saya, kenapa buku-bukunya diminati banyak orang.


BANDA NAIRA

BANDA NAIRA. Atas izin-Nya, terpenuhi juga rencana yg sudah Papa tulis dua tahun lalu: memberimu nama Banda (bila dikaruniai anak lelaki). Jadilah kini kalian berdua: adik Banda dan kakak Naira. 

http://iwanmariono.blogspot.com/2023/04/naira.html

Banda Naira, dua kata multi makna. Namun jelasnya, gugusan kepulauan di selatan Maluku itulah yg menjadi sumber inspirasinya, tempat surganya rempah (khususnya pala). Tidaklah Christopher Columbus, Vasco da Gama, sampai Magelhaens, terdorong untuk menjelajahi dunia, kecuali hendak menemukannya. Sayangnya, sama seperti mereka bertiga, Papa juga (sampai catatan ini dibuat) belum kesampaian ke sana.

Namun yg terpenting bukanlah pernah atau tidaknya ke sana, melainkan belajarlah kelak sejarah mengenai gugusan pulau tersebut. Banda Naira punya banyak sekali mosaik, mulai dari (1) pemandangan yg indah; (2) kekayaan alam yg melimpah; (3) sejarah tragedi kemanusiaan; sampai (4) sejarah intelektual.

Selamat mengkajinya. Semua itu adalah ayat-ayat kauniyah-Nya.


Iwan Mariono
Sukabumi, 2 Juni 2025