Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

SURAT UNTUK IKHWAH SALAFY

Saya tidak ikutan merundung kawan-kawan salafy yang berpandangan seperti ini (lihat foto di bawah). Sederhana saja buat saya: semua tergantung pandangan hidup (worldview) masing-masing.


Dan ini pendapat saya. Suka atau tidak suka, realitas objektif yang ada di depan mata kita saat ini adalah, kita menganut sistem pemerintahan bernama demokrasi --yang usianya baru 2.5 abad (kalau Revolusi Perancis 1789 dijadikan patokannya). Perlu diketahui bahwa Revolusi Perancis itu sendiri sezaman dengan gencarnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menegakkan pembaharuan di tanah Hejaz hingga kemudian lahir dan populer istilah Manhaj Salaf. Saya tidak ingin menggunakan diksi Wahhabi yang punya makna peyoratif buat kawan-kawan Salafy. 

Kembali ke demokrasi. Demokrasi bukan sekadar pemilihan elektif. Inti dari demokrasi adalah percakapan. Kalau dalam Islam dikenal sebagai syura, walaupun ada banyak kalangan yang menolak menyamakan kedua istilah ini. 

Dalam demokrasi, Sodara sebagai warga sipil punya hak untuk bersuara mengutarakan pendapat, termasuk ketika Sodara harus turun ke jalan untuk demonstrasi. Demonstrasi legal dalam sistem demokrasi. Yang ilegal itu anarki. Kalau kemudian ada demonstrasi yang berakhir anarki, tidak lantas menggugurkan legalitasnya. 

Perlu diketahui, bahkan di zaman monarki, demonstrasi itu juga dilegalkan. Alun-alun Jogja menjadi saksi di zaman Kerajaan Mataram di mana tempat itu, selain dipakai untuk latihan perang, ia juga digunakan sebagai tempat berdemontrasi, yang dikenal dengan istilah: pepe (berjemur di bawah terik matahari). Untuk lebih jelasnya, silakan cari tahu sendiri, bagaimana mekanisme pepe itu dijalankan. Saya pribadi melihatnya serupa dengan demonstrasi di era modern. Hanya melalui demonstrasi masyarakat sipil secara kolektif bisa mengajukan protes ketika salah satu pilar demokrasi yang ada (dalam hal ini DPR), yang justru seharusnya memperjuangkan pendapat rakyat yang diwakilinya, tidak bekerja sesuai yang diharapkan. 

Ketika teknologi informasi mengalami perkembangan pesat, Sodara jadi punya wadah baru untuk mengutarakan pendapat, salah satunya adalah media sosial. Terkait tuntutan bahasa sopan santun yang harus digunakan, tentu itu tidak lepas dari tingkat pendidikan dan ekspresi kebudayaan seseorang. 

Kezaliman sudah jelas di depan mata. Apa yang salah dari mengingatkan pemerintah, dengan fasilitas yang ada? Kalau mau menggunakan terminologi Nabi, bukankah mengingkari kezaliman (sekadar) dengan hati, justru menunjukkan selemah-lemahnya iman? 

Tapi tenang saja, saya tidak bermaksud menggunakan dalil itu untuk menyerang kawan-kawan yang berbeda pendapat. Yang ingin saya tegaskan hanyalah, janganlah Sodara mereduksi perjuangan kawan Sodara sendiri yang mencoba mengingatkan kezaliman penguasa dengan lisan dan tangannya --kecuali Sodara tidak melihatnya sebagai sebuah kezaliman. 

Memilih mendo'akan pemimpin yang zalim (agar sadar) itu tentu saja baik. Dan saya menaruh harapan besar semoga ada di antara ikhwah Salafy yang sudah mengingatkan pemerintah yang zalim itu secara diam-diam --tanpa harus menyindir saudranya sendiri yang sedang berjuang dengan caranya. 

SYAIR “LAUTAN JILBAB” DAN PEMBERONTAKAN TERHADAP BUDAYA MAPAN

SYAIR “LAUTAN JILBAB” DAN PEMBERONTAKAN TERHADAP BUDAYA MAPAN

Iwan Mariono

Syair Lautan Jilbab yang digubah pada 1987 adalah semacam mimpi Cak Nun muda (baby boomers generation) untuk masa depan muslimah Indonesia. Syair itu ditulis ketika beliau masih berusia 33 menjelang 34 tahun. Generasi (X) muda yang lahir di era 60-70an pasti merasakan zaman di mana penggunaan jilbab di ruang publik mengalami represi. Dua tahun kemudian (1989) syair itu dibukukan, dan dua tahun kemudian (1991) peraturan pelarangan penggunaan jilbab di sekolah negeri dihapuskan. 

Setelah dihapuskan, tidak otomatis siswi sekolah berbondong-bondong mengenakan jilbab. Bahkan saya sebagai generasi milenial (Gen Y) yang lahir di era 80-90an, sampai lulus SD, tidak melihat satu pun siswi di sekolah saya yang memakai jilbab. Baru ketika saya masuk SMA mulai banyak yang mengenakan jilbab, itu pun masih lebih banyak yang tidak. Bahkan di kelas saya waktu itu, yang saya ingat, hanya ada dua siswi yang mengenakannya. 

Bandingkan dengan hari-hari ini (tiga dekade sejak larangan tersebut dicabut), betapa keadaan berbalik. Hanya segelintir muslimah yang tidak mengenakan jilbab. Begitu pula muslimah yang menjadi pegawai negeri, sangat berkebalikan dengan generasi yang hidup di era 80-90an. Namun demikian, tiga puluh tahun belumlah bisa dikatakan lama untuk membentuk budaya mapan bila dibandingkan ratusan tahun penduduk muslimah (di negeri ini) asing dengan selembar kain itu. 

Maka hari ini, bisa kita katakan dengan tegas bahwa penggunaan jilbab di ruang publik bagi seorang muslimah di Indonesia adalah bagian dari budaya mapan. Bila kondisi budaya yang tampak mapan itu tiba-tiba mengalami perubahan, kita menyebutnya sebagai gegar budaya (shock culture). 

Kembali ke syair Lautan Jilbab. Jika penggunaan jilbab bagi seorang muslimah saat ini sudah menjadi budaya mapan, saya tidak mengatakan itu sebagai jasa tunggal Cak Nun, tapi sudah jelas beliau ambil peran dalam gerakan pencerahan. Bila kemudian hari-hari ini, secara insinuasi, kita dapati ada tokoh (muslim!) yang tidak memperkenankan pemakaian jilbab, sekalipun hanya sebatas di ruang (publik) upacara bendera, sebenarnya ia termasuk kategori aktor yang ikut terlibat dalam apa yang kita sebut sebagai: pemberontokan-terhadap-budaya-mapan. 

Demikianlah yang terjadi, disadari atau tidak oleh yang bersangkutan. 

NB: Bagi yang ingin mendengarkan syair-nya langsung, bisa buka di kanal YouTube CakNun(dot)com dengan kata kunci Puisi Lautan Jilbab.

SEKOLAH PEMIKIRAN BUNG HATTA

SEKOLAH PEMIKIRAN BUNG HATTA (Angkatan #1) 


Iwan Mariono

Agar tidak hilang ditelan zaman, saya ingin membuat semacam kronik, terkait acara yang sudah digelar di Universitas Paramadina kemarin. 

Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Hatta bersama LP3ES. Materinya diambil dari (jilid I) Karya Lengkap Bung Hatta yang jumlahnya 10 jilid, dengan masing-masing ketebelan bervariasi 300-600an halaman, yang sudah dikelompokkan berdasarkan tema. 

Ini adalah proyek panjang (1995- sekarang) yang melibatkan banyak pakar. Bahkan jilid pertama, yang dijadikan bahan pertama kuliah kemarin, butuh waktu sekitar tiga tahun untuk menyelesaikannya. Hari ini, setelah 29 tahun berlalu, yang berhasil dicetak masih sampai jilid ke-9. Sementara jilid ke-10 baru rencana terbit tahun depan. 

Begitu lamanya rentang waktu, sampai tiga pakar yang terlibat dalam penyusunan tidak sempat melihat hasil lengkapnya, beliau-beliau yang sudah meninggal dunia: Prof. Sjofjan Asnawi, Prof. Deliar Noer, dan Prof. Dawam Rahardjo. Kita berdo'a semoga Allah berikan mereka tempat yang terbaik di sisi-NYA. 

*** 

Mungkin karena beberapa kali belanja buku langsung ke penerbitnya, admin LP3ES terlebih dahulu mengabari saya melalui pesan WA. Poster acaranya dibuat sejak akhir bulan Juni bersamaan dengan saya mendapat kabar tersebut. Jadilah saya sebagai pendaftar pertama. 

Di luar peserta daring, kelas pemikiran (angkatan pertama) ini awalnya hanya membuka 25 kursi untuk kelas luring. Karena peminat lebih dari 50 orang, akhirnya acara harus dipindah ke tempat yang lebih besar dan luas, yang sedianya hendak diselenggarakan di kantor LP3ES yang terletak di Depok.

Peserta dihadiri oleh berbagai kalangan dan profesi. Ada guru, jurnalis, pustakawan, peneliti, dosen, aktivis, mahasiswa, dan lain-lain. Dua nama di awal adalah yang duduk di sebalah kiri dan kanan saya. Nama yang terakhir cukup membanggakan, mereka termasuk generasi Gen Z, namun punya pertanyaan yang menurut saya berbobot saat sesi tanya jawab. 

Acara dimulai dengan sambutan-sambutan dari beberapa kalangan. Yang berhasil saya catat dan menurut saya layak untuk dibagikan ke publik (yang belum mengetahui) adalah apa yang disampaikan oleh Ibu Meutia sebagai putri sulung Bung Hatta. Dalam sambutan itu beliau menegaskan bahwa sang ayah pernah membuat surat wasiat, beliau menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP). Sebaliknya beliau ingin dimakankan di taman makam biasa. "Alasan beliau supaya lebih dekat dengan rakyat yang selalu ada di hatinya," kenang Ibu Meutia. 

Sambutan dari Ibu Gemala Hatta yang saya catat adalah terkait maklumat yang sering salah dikutip oleh beberapa kalangan. Selama menjabat wakil presiden, Bung Hatta hanya dua kali membuat maklumat. Pertama: Maklumat X, banyak yang salah, mengira itu adalah maklumat untuk pembentukan partai-partai. Padahal yang dimaksud maklumat tersebut adalah hak untuk menyusun GBHN, karena waktu itu belum ada DPR dan MPR. Adapun terkait pembentukan partai-partai, itu ada di maklumat kedua: Maklumat Wakil Presiden. 

***

Sambutan-sambutan selesai. Acara inti dibuka oleh Prof. Emil Salim sebagai keynote speaker. Beliau hanya berbicara sekitar 15 menit, namun pembukaan dari beliau ini yang paling meninggalkan bekas di hati. 

Mata saya ikut berkaca saat Prof. Emil menangis demi mengenang Bung Hatta yang setelah wafatnya meninggalkan dompet berisi lipatan kertas iklan (advertisement) sepatu Bally made in Swiss. Sepatu yang sangat diimpikannya tapi tidak sanggup membelinya sampai meninggal dunia. 

"Tidak mungkin ada pemimpin (sejati) yang ia semakin kaya sementara rakyatnya semakin miskin," tegas Prof. Emil. 

Materi I dibawakan oleh Pak Sukidi (Doktor alumnus Harvard), yang dalam banyak poin mirip dengan apa yang dibahas pula oleh Prof. Mahfud MD (yang menjadi pembicara di sesi terakhir). 

Yang saya catat dari materi yang disampaikan Pak Sukidi adalah, bahwa Bung Hatta menginginkan negara yang berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan. Sebab bila yang terakhir ini dijadikan landasan bernegara, yang terjadi adalah hukum dijadikan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan-lawannya (mengutip pendapat Steven Levitski, professor bidang politik di Universitas Harvard). "Inilah yang terjadi saat ini," tukas beliau. Sungguh miris. Saya pribadi sepakat dengan kesimpulan ini. Inilah yang menjadi realitas kehidupan politik kita hari ini.

Materi II dibawakan oleh Prof. Anhar Gonggong. Beliau salah satu tokoh sejarahwan idola saya. Agak tertegun saat moderator bertanya ke peserta, ternyata masih ada yang belum mengenal beliau. Tapi tidak jadi masalah, kita maklum sebab memang yang hadir tidak semua berlatar belakang sejarah.

Pembahasan Prof. Anhar lebih banyak mengenai aspek sejarah berdirinya PNI-Baru yang dipimpin oleh Bung Hatta. Dalam analisa beliau, berbeda dengan Partindo yang dibubarkan oleh Pemerintah Hindia, Belanda tidak berani membubarkan partai ini karena khawatir pihak komunis akan masuk bila terjadi kekosongan. Namun demikian, berbeda pula dengan partai lain yang berbasis massa, partai berbasis pendidikan dan pengkaderan yang didirikan oleh Hatta justru dianggap yang paling berbahaya oleh Belanda. 

Kenapa zaman itu menjadi zaman keemasan. Sebab, kata Prof. Anhar, "Banyak di antara pendiri bangsa kita yang terdidik dan tercerahkan." Terdidik-tercerahkan, itulah dua kata inti dari beliau. Dua kosa kata yang tidak atau jarang kita temukan pada para pemimpin kiwari. Tidak heran kalau dalam sesi tanya jawab, yang terjadi justru sebaliknya, beliau tampak pesimis dengan jargon Indonesia Emas 2045. Namun beliau lekas pula menolak bila dikatakan ia sebagai seorang pesimis. "Saya hanya menjawab apa adanya berdasarkan analisa saya." 

Memang, jika kita melakukan pendekatan berdasarkan perspektif sejarah, alasan beliau sangat bisa kita pahami. Sebab, diksi terdidik-dan-tercerahkan itu tidaklah lahir dari ruang hampa. Para calon pemimpin itu dibesarkan dalam kultur yang sangat melek terhadap ilmu pengetahuan disertai integritas yang tinggi, terutama di dua dekade awal abad ke-20. Sementara generasi yang hidup di dua dekade awal abad ke-21 ini, apakah sudah menyamai atau bahkan melampui mereka? Saya mulai ragu. Tapi ini memang pertanyaan yang untuk dijawab sendiri-sendiri, sebagai bahan instropeksi.

Materi III (terakhir) dibawakan oleh Prof. Mahfud MD. Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, materi yang beliau sampaikan sebenarnya sama dengan yang dibawakan oleh Pak Sukidi, namun dengan gaya retorika yang lebih menarik. Tentu ini terkait kemampuan monolog beliau sudah tidak kita ragukan. Dan memang pantas beliau ditempatkan di sesi terakhir. 

Namun ada satu pembahasan penting yang tidak kita dapatkan dari dua pemateri sebelumnya. Yakni, dua sisi gelap demokrasi menurut Bung Hatta, yang kemudian dielaborasi oleh Prof. Mahfud dan dikaitkan dengan konteks atau realitas hari ini. 

Dua sisi gelap itu pertama, demokrasi bisa membunuh demokrasi. Dengan cara apa? Kartelisasi dan oligarki. Partai-partai bisa saja berkomplot (bahasa halusnya berkoalisi) untuk menjatuhkan pemimpin atau calon pemimpin sekalipun ia punya integritas yang tinggi. Puncaknya adalah lahirnya kediktatoran yang didukung oleh partai-partai yang membentuk kartel tadi. Dan termasuk para oligark menopang calon-calon tertentu yang dianggap menguntungkan mereka.

Sisi gelap kedua, demokrasi menimbulkan anarki karena kebebasan yang berlebihan (kerusuhan, pemogokan, penjarahan). Saya kira poin kedua ini nyambung dengan penanya di sesi tanya-jawab yang membuat korelasi antara demokrasi dan tingkat pendidikan seseorang. 

Prof. Mahfud kemudian memuji Bung Hatta yang sudah memprediksi sisi gelap ini dalam salah satu tulisannya sejak 1931, yang satu dekade kemudian dibuktikan oleh lahirnya Partai Nazi dibawah pimpinan Hitler. 

Demikianlah tiga materi untuk Kelas Pemikiran Bung Hatta angkatan pertama.

*** 

Ada hal-hal di luar acara formal yang menurut saya menarik juga untuk saya ceritakan di sini. 

Begitu serangkaian acara selesai, banyak peserta yang mengajak para pembicara untuk foto bersama. Tentu saja Prof. Mahfud yang paling menjadi ikonik. Ini pula kali pertama saya melihat langsung dan berjabat tangan dengannya. Dari dekat, tampak beliau sebagai sosok yang low profile. 

Yang unik, ada satu tokoh penting yang menurut saya kurang jadi perhatian peserta. Entah karena tidak kenal kepakarannya, atau pangling dengan wajahnya. Seperti halnya Prof. Anhar Gonggong, yang jelas saya bisa maklum kalau ada dari peserta yang belum mengenal beliau, apalagi dalam acara ini memang beliau tidak menjadi pemateri. Buktinya, tidak banyak yang menyambut beliau saat berjalan keluar meninggalkan ruangan lewat pintu belakang. 

Siapa gerangan? Dialah Prof. Taufik Abdullah, sejarahwan yang banyak memberi kata pengantar terhadap buku-buku bertema sejarah, tidak terkecuali buku-buku karangan Bung Hatta. Beliau adalah satu anggota tim redaksi Karya Lengkap Bung Hatta. Bahkan, buku jilid I yang tebal itu diberi Kata Pengantar yang panjang oleh beliau. 

Jujur saja, yang membuat saya tertarik membaca Memoir-nya Bung Hatta sampai khatam, salah satunya adalah karena pemantik dari beliau yang benar-benar menghidupkan imajinasi pembaca melalui pertanyaan di akhir kata pengantar, apa jadinya bila Bung Hatta meneruskan memoarnya sampai periode paska Konferensi Meja Bundar (KMB)? 

Memang sangat disayangkan bahwa Memoir yang kemudian diterbitkan kembali oleh Kompas dengan judul berganti menjadi Untuk Negeriku itu hanya memuat peristiwa hidup beliau sampai tahun 1950. Imajinasi dan dugaan saya: memoar itu sengaja dibuat Bung Hatta untuk mengenang hal-hal yang baik-baik saja, terutama terkait romantisisme-nya ketika berjuang bersama Sukarno sebagai dwi-tunggal. 

Mungkin dalam buku itu Bung Hatta ingin menjadi sosok yang dalam Bahasa Jawa dikenal: mikul dhuwur mendem jero --hanya mengingat hal-hal yang baik dari seorang sahabat. 

Berawal dari memoar Bung Hatta itu, saya akhirnya mengoleksi semua karya lengkapnya, termasuk hal-hal terkait ia yang ditulis oleh orang lain. 

Kalau ada yang bertanya kepada saya buku apa yang sebaiknya dibaca terlebih dahulu untuk mengenal sosok Hatta, maka memoarnya inilah sebagai buku yang pertama-tama wajib dibaca menurut saya. 

Kembali ke Prof. Taufik Abdullah. Melihat dari jauh beliau hendak keluar lewat pintu belakang, saya mengejarnya untuk meminta tanda tangan di buku jilid ke-9 Karya Lengkap Bung Hatta yang saya bawa. Beliau agak lama memandangi buku itu, untuk kemudian berkata, "Wah, saya malah belum punya jilid yang ini."

Tampak ia tersenyum gembira waktu saya katakan bahwa saya beberapa kali membeli buku hanya karena di buku itu ada pengantar dari Prof. Taufik Abdullah. Dengan bangga beliau menanggapi, "Wah, kalau masalah memberi kata pengantar, saya memang rajanya. Kadang ada penulis yang tidak saya kenal minta diberi kata pengantar, saya bilang, tunggu dulu ya, saya baca dulu isinya."

Sebuah kehormatan buat saya bisa ketemu dan bercengkrama singkat dengan beliau.[]

Sukabumi, 16 Agustus 2024