BUKU PERINTIS CALON KRISTOLOG SEKALIGUS PAKAR ISLAMOLOGI
Iwan Mariono
Tidak banyak kita jumpai literasi yang mengambil tema seperti buku ini, karena dianggap sebagai obrolan sensitif ---apalagi judulnya memang mengesankan konfrontasi--- yang membahasnya hanya akan membuat bangsa ini jadi terpolarisasi.
Namun pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Kebencian terhadap Kristenisasi, atau sebaliknya Islamisasi ---yang berakhir pada tindakan kekerasan--- adalah disebabkan oleh gagalnya menilai problem tersebut dari berbagai sisi: teologi, sejarah, sosial, politik dan budaya.
Tidak semua orang bisa membahasnya secara objektif dan ilmiah. Umumnya pembahasan seperti ini lebih banyak dilandasi oleh sentimen (dan bukan argumen) kelompok tertentu atau pribadi. Maka kefatalan yang terjadi adalah: simplifikasi.
Nah, buku yang baru saya khatamkan ini merupakan pengecualian. Apa yang ditulis dalam buku ini merupakan fenomena yang dihadapi oleh kaum beragama ---khususnya Abrahamic Religions--- sehari-hari. Bedanya, kita diarahkan untuk melihatnya dari berbagai sudut pandang ilmu. Setelah selesai membacanya, ia akan memberi kita perspektif yang berbeda.
Arif Wibowo (kami biasa memanggilnya Ust. Arif) adalah orang yang banyak mengkaji literasi Kekristenan dari berbagai sumber, bukan hanya dari subyek Muslim, namun juga dari kalangan seberang. Kadang kita jadi melihatnya sebagai sosok outsider.
Sekurang-kurangnya ada lima (5) poin dari buku ini yang bisa kita bahas dan kembangkan:
1. Persamaan antara misi dan dakwah adalah seruannya kepada kebenaran, antara Islam dan Kristen, dengan keyakinan bahwa (penulis mengutip pernyataan Prof. Thomas W Arnold): "Jiwa kebenaran agama, bagi pemeluk agama ini, tidak cukup bersemayam di hati nurani seseorang. Kebenaran agama harus diaktualisasikan melalui pemikiran, perkataan, tulisan, perbuatan, dan pengajaran kepada orang lain. Agama yang dianutnya harus merasuk dalam jiwa setiap manusia hingga hal yang diyakini sebagai kebenaran agamanya, diterima pula sebagai kebenaran oleh seluruh manusia." Dengan adanya persamaan tersebut, praktis pertemuan antara Islam dan Kristen secara alamiah memunculkan kontestasi, benturan, bahkan tidak jarang pula: konflik.
2. Sejarah pertemuan dan benturan itu tidaklah baru muncul beberapa tahun belakangan ini. Ia sudah dimulai, bahkan sejak agama Islam baru lahir. Dua keyakinan ini, pernah sama-sama berusaha menaklukkan bangsa Arab yang terkenal sebagai bangsa yang sangat individualis. Sejarah mencatat, Islam berhasil mengambil hati dan mengubah peradaban bangsa Arab dari yang semula individualis menjadi bangsa yang punya semangat kolektif, hanya dalam dua dekade.
3. Perbedaan mendasar antara misi dan dakwah terletak pada caranya. Kristen sebagai misionary religion pertama kali dicetuskan oleh Paulus sebagai orang yang pertama kali menyebarkan Kristen ke kalangan non-Yahudi. Dalam buku ini ada kutipan dari penulis demikian: "Spirit misionarisme Paulus ini dilandasi oleh pesan Yesus: " Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertaimu kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Matius 28: 19-20)."
4. Berbeda dengan Islam yang tidak mengenal sistem hierarki seperti gereja. Kosakata "dakwah Islam" lebih dipahami sebagai upaya meningkatkan kualitas keislaman individu, masyarakat, dan institusi sosial. Sehingga ia tidak lahir dari atas ke bawah seperti halnya instruksi gereja kepada jemaahnya, melainkan sebaliknya, dari bawah ke atas (bottom up).
5. Namun demikian, misi tidaklah sesederhana seperti yang dipahami oleh kebanyak umat Islam, yakni upaya mengajak orang lain untuk mempercayai keyakinan Kristen (proselitisasi), atau yang lebih populer di kalangan aktivis dakwah: gerakan pemurtadan. Pendapat penulis dalam buku ini demikian: "Ketika mencoba berdiskusi langsung dengan tertuduh pemurtadan dan juga membaca buku-buku tenteng penginjilan, saya dapati kenyataan misi Kristen tidak sesederhana gerakan proselitisasi."
Saya tidak akan mengurai lebih dalam poin-poin di atas karena akan membuat tulisan ini jadi panjang sekali. Silakan baca langsung bukunya.
***
Karena dalam membaca buku ini saya lebih sebagai penikmat daripada seorang kritikus, maka sampai khatam banyak saya gunakan untuk mengoreksi kesalahan penulisan, mulai dari kosakata yang kurang atau sebaliknya berulang; puluhan typo; penulisan tempat dan nama yang kurang tepat; sampai paragraf yang berulang, semuanya saya beri centang dengan stabilo orange untuk saya serahkan langsung ke Ust. Arif demi kesempurnaan tulisan dan kenikmatan bacaan saat cetakan selanjutnya nanti, jika buku ini menjadi best-seller. InsyaAllah.
Akan tetapi, jika kelak ada edisi revisi, saya berharap dalam buku ini akan dicantumkan pula hasil wawancara Ust. Arif langsung ke narasumber yang tinggal di Lereng Merapi-Merbabu (hal yang tidak saya temukan sepanjang membaca). Jangan lupa buatkan pula daftar index, agar memudahkan peneliti selanjutnya yang menjadikan buku ini sebagai salah satu referensi.
Dai tentu harus membaca banyak buku jika ingin menjadi seorang kristolog atau sebaliknya menjadi pakar Islamologi. Dan kalau boleh saya berkata: buku ini sangat cocok sebagai pengantarnya. Ada banyak buku-buku yang dijadikan referensi oleh penulis buku ini, dan tugas dai atau kita selanjutnya adalah, membaca pula buku-buku yang digunakan sebagai sumber referensinya tersebut.