Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

BUKU PERINTIS CALON KRISTOLOG SEKALIGUS PAKAR ISLAMOLOGI

BUKU PERINTIS CALON KRISTOLOG SEKALIGUS PAKAR ISLAMOLOGI

Iwan Mariono

Tidak banyak kita jumpai literasi yang mengambil tema seperti buku ini, karena dianggap sebagai obrolan sensitif ---apalagi judulnya memang mengesankan konfrontasi--- yang membahasnya hanya akan membuat bangsa ini jadi terpolarisasi. 

Namun pendapat itu tidak sepenuhnya benar. Kebencian terhadap Kristenisasi, atau sebaliknya Islamisasi ---yang berakhir pada tindakan kekerasan--- adalah disebabkan oleh gagalnya menilai problem tersebut dari berbagai sisi: teologi, sejarah, sosial, politik dan budaya. 

Tidak semua orang bisa membahasnya secara objektif dan ilmiah. Umumnya pembahasan seperti ini lebih banyak dilandasi oleh sentimen (dan bukan argumen) kelompok tertentu atau pribadi. Maka kefatalan yang terjadi adalah: simplifikasi. 

Nah, buku yang baru saya khatamkan ini merupakan pengecualian. Apa yang ditulis dalam buku ini merupakan fenomena yang dihadapi oleh kaum beragama ---khususnya Abrahamic Religions--- sehari-hari. Bedanya, kita diarahkan untuk melihatnya dari berbagai sudut pandang ilmu. Setelah selesai membacanya, ia akan memberi kita perspektif yang berbeda. 

Arif Wibowo (kami biasa memanggilnya Ust. Arif) adalah orang yang banyak mengkaji literasi Kekristenan dari berbagai sumber, bukan hanya dari subyek Muslim, namun juga dari kalangan seberang. Kadang kita jadi melihatnya sebagai sosok outsider. 

Sekurang-kurangnya ada lima (5) poin dari buku ini yang bisa kita bahas dan kembangkan:

1. Persamaan antara misi dan dakwah adalah seruannya kepada kebenaran, antara Islam dan Kristen, dengan keyakinan bahwa (penulis mengutip pernyataan Prof. Thomas W Arnold): "Jiwa kebenaran agama, bagi pemeluk agama ini, tidak cukup bersemayam di hati nurani seseorang. Kebenaran agama harus diaktualisasikan melalui pemikiran, perkataan, tulisan, perbuatan, dan pengajaran kepada orang lain. Agama yang dianutnya harus merasuk dalam jiwa setiap manusia hingga hal yang diyakini sebagai kebenaran agamanya, diterima pula sebagai kebenaran oleh seluruh manusia." Dengan adanya persamaan tersebut, praktis pertemuan antara Islam dan Kristen secara alamiah memunculkan kontestasi, benturan, bahkan tidak jarang pula: konflik. 

2. Sejarah pertemuan dan benturan itu tidaklah baru muncul beberapa tahun belakangan ini. Ia sudah dimulai, bahkan sejak agama Islam baru lahir. Dua keyakinan ini, pernah sama-sama berusaha menaklukkan bangsa Arab yang terkenal sebagai bangsa yang sangat individualis. Sejarah mencatat, Islam berhasil mengambil hati dan mengubah peradaban bangsa Arab dari yang semula individualis menjadi bangsa yang punya semangat kolektif, hanya dalam dua dekade. 

3. Perbedaan mendasar antara misi dan dakwah terletak pada caranya. Kristen sebagai misionary religion pertama kali dicetuskan oleh Paulus sebagai orang yang pertama kali menyebarkan Kristen ke kalangan non-Yahudi. Dalam buku ini ada kutipan dari penulis demikian: "Spirit misionarisme Paulus ini dilandasi oleh pesan Yesus: " Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertaimu kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Matius 28: 19-20)." 

4. Berbeda dengan Islam yang tidak mengenal sistem hierarki seperti gereja. Kosakata "dakwah Islam" lebih dipahami sebagai upaya meningkatkan kualitas keislaman individu, masyarakat, dan institusi sosial. Sehingga ia tidak lahir dari atas ke bawah seperti halnya instruksi gereja kepada jemaahnya, melainkan sebaliknya, dari bawah ke atas (bottom up). 

5. Namun demikian, misi tidaklah sesederhana seperti yang dipahami oleh kebanyak umat Islam, yakni upaya mengajak orang lain untuk mempercayai keyakinan Kristen (proselitisasi), atau yang lebih populer di kalangan aktivis dakwah: gerakan pemurtadan. Pendapat penulis dalam buku ini demikian: "Ketika mencoba berdiskusi langsung dengan tertuduh pemurtadan dan juga membaca buku-buku tenteng penginjilan, saya dapati kenyataan misi Kristen tidak sesederhana gerakan proselitisasi."

Saya tidak akan mengurai lebih dalam poin-poin di atas karena akan membuat tulisan ini jadi panjang sekali. Silakan baca langsung bukunya. 

***

Karena dalam membaca buku ini saya lebih sebagai penikmat daripada seorang kritikus, maka sampai khatam banyak saya gunakan untuk mengoreksi kesalahan penulisan, mulai dari kosakata yang kurang atau sebaliknya berulang; puluhan typo; penulisan tempat dan nama yang kurang tepat; sampai paragraf yang berulang, semuanya saya beri centang dengan stabilo orange untuk saya serahkan langsung ke Ust. Arif demi kesempurnaan tulisan dan kenikmatan bacaan saat cetakan selanjutnya nanti, jika buku ini menjadi best-seller. InsyaAllah. 

Akan tetapi, jika kelak ada edisi revisi, saya berharap dalam buku ini akan dicantumkan pula hasil wawancara Ust. Arif langsung ke narasumber yang tinggal di Lereng Merapi-Merbabu (hal yang tidak saya temukan sepanjang membaca). Jangan lupa buatkan pula daftar index, agar memudahkan peneliti selanjutnya yang menjadikan buku ini sebagai salah satu referensi.

Dai tentu harus membaca banyak buku jika ingin menjadi seorang kristolog atau sebaliknya menjadi pakar Islamologi. Dan kalau boleh saya berkata: buku ini sangat cocok sebagai pengantarnya. Ada banyak buku-buku yang dijadikan referensi oleh penulis buku ini, dan tugas dai atau kita selanjutnya adalah, membaca pula buku-buku yang digunakan sebagai sumber referensinya tersebut.

BUNG HATTA DAN GILA BACA

BUNG HATTA DAN GILA BACA

Setelah menyelesaikan studinya, sewaktu pulang dari Rotterdam ke Indonesia, Bung Hatta membawa pula koleksi bukunya sebanyak dua meter kubik yang dibagi ke dalam enam belas kotak peti berukuran setengah meter kubik. Buku sebanyak itu adalah koleksinya selama sebelas tahun menempuh pendidikan di Belanda sejak umur 19 tahun (1921-1932 M).

Ketika tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, butuh satu mobil truk khusus untuk mengangkut buku-buku tersebut.

Sebenarnya koleksi bukunya lebih dari itu, tapi Bung memang sudah merencanakan harus membatasi barang bawaannya sehingga lebihnya ditinggalkan untuk dua orang temannya. “Apa yg lebih dari itu,” demikian tutur Hatta, “akan aku tinggalkan. Kubagi antara dua orang yang dekat di waktu itu dengan aku.” Dua orang itu adalah Sumadi (teman se-kos) dan Rasjid Manggis, teman semasa kecilnya di Bukittinggi. 

Bung Hatta adalah penggila baca! 

Di era milenial ini, anak muda yang ingin menghidupkan literasi bisa mengambil semangat baca dari beliau. Apalagi jika dia masih bujang, tidak bekerja, dan mendapat uang bulanan dari orang tua, tidak ada alasan untuk tidak membaca. Manfaatnya mungkin bukan untuk saat dia masih muda, boleh jadi setelah lanjut usia. 

Selama di Den Haag, dalam sehari Bung Hatta bisa menghabiskan waktunya untuk membaca selama sepuluh sampai dua belas jam. Demikian rincian waktunya: Pukul 08.00 beliau sarapan dilanjutkan membaca selama satu jam. Pukul 09.00 sampai 10.00 beliau gunakan untuk jalan berjalan-jalan mengelilingi kota selama satu jam. Pukul 10.00 sampai 12.00 beliau lanjut lagi membaca. Setelah break lunch, beliau membaca lagi dari pukul 13.30 sampai 17.30. Malam hari dari jam 19.30 jika tidak ada teman yg datang mengajak diskusi beliau bisa membaca lagi sampai pukul 24.00, bahkan kadang 02.00 dini hari (bayangkan hampir tujuh jam non-stop!). Waktu malam lebih banyak digunakan untuk membaca buku-buku berat sesuai bidangnya.

Membaca adalah soal budaya. 

“Memang, membaca dan mempelajari ada lain,” demikian kata H. Agus Salim suatu hari sebagaimana tertulis dalam buku memoir Bung Hatta. “Tetapi, tidak ada bacaan yg hilang dari kepala sama sekali. Banyak juga yg tersangkut dalam otak yg kemudian dapat menjadi dasar pembacaan dan pelajaran terus dalam masalah hidup. Banyak membaca, itulah jalan yg baik untuk menambah pengetahuan dan mengasah kecerdasaan. Di luar sekolah tidak sedikit pelajaran yg dapat diperoleh jadi pembantu penyambung yg dipelajari di sekolah.”

Buku-buku yang dibaca oleh Hatta sangat bervariasi, tidak melulu sesuai bidang yang digelutinya. Berikut daftar bacaan Bung di luar bidangnya (ekonomi): Ilmu tatanegara dan ilmu hukum internasional, sejarah umum, filosofi (filsafat), buku-buku tentang politik kolonial dan penjajahan, dan buku-buku tentang pergerakan nasional di Turki, Arab, Mesir, India, China. Mungkin masih banyak lagi, hanya secara umum tema-tema seperti itu. 

Jadi kita tidak perlu heran jika kemudian Bung Hatta bisa menghasilkan banyak karya pemikiran lintas bidang, juga menjadi seorang diplomat yang ulung seperti ketika berjuang di KMB (Konferensi Meja Bundar) tahun 1949 –tiga dekade dari sejak menyandang gelar doktorandus. Saya sangat yakin, kemampuan itu dibentuk oleh bacaan-bacaannya sewaktu masih kuliah, berlanjut sampai masa menjalani hidup sebagai seorang interniran. 

***

Nah, teman-teman atau adik-adik mahasiswa yang baaanyak sekali waktu longgarnya, sudah berapa buku yang kalian baca? 

[Sumber rujukan utama: Mohammad Hatta, “UNTUK NEGERIKU, Sebuah Otobiografi” Jilid I: p.112-114, 242-243; Jilid II: p.15-18]

Hunayn ibn Ishaq dan Perhargaan Terhadap Ilmu Pengetahuan

Hunayn ibn Ishaq dan Perhargaan Terhadap Ilmu Pengetahuan (sebuah refleksi untuk Indonesia) 

Oleh: Iwan Mariono

Buku History of the Arabs karya Philip K Hitti ini saya baca baru sampai di Bab 16. Ada satu kisah di bab ini yang ingin saya bahas dan bagikan buat teman-teman, khususnya mengenai kebangkitan intelektual bangsa Arab (Hlm. 381-394).

Zaman dinasti Abbasiyah, khususnya masa Khalifah al-Ma'mun (786-833 M) putra dari khalifah ke-5 Harun Al-Rasyid, adalah zaman keemasan buat tumbuhnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Buku-buku dari bahasa Yunani banyak diterjemahkan ke bahasa Arab di zaman ini, terutama karya-karya ilmuan dan filsuf seperti Plato, Aristoteles, Dioscorides, Galenus, dan Hippocrates. Dua nama terakhir adalah seorang dokter. 

Buku-buku mereka semua diterjemahkan oleh seorang penerjemah bernama Hunayn ibn Ishaq (809-873 M), yang di Eropa ia dikenal dengan nama Joannitius. Nama yang asing di telinga bukan? Ya, karena selama ini kita memang tidak banyak melirik dan menghargai peran penerjemah. 

Hasil terjemahan Hunayn ini menjadi penting terutama karya-karya Claudius Galenus (129-199 M) mengenai anatomi sebanyak tujuh jilid, karena naskah dalam bahasa aslinya sudah tidak ditemukan lagi hari ini. Jika kita menemukan bukunya hari ini, itu adalah hasil terjemahannya dari bahasa Arab. Artinya naskah bahasa Arab-nya-lah yang kini menjadi sumber induknya.

Apa yang menjadi pendorong buat seorang Hunayn (dan para penerjemah lain tentunya) sampai semangat menerjemahkan karya sebanyak itu? Philip K Hitti tidak membahasnya, tapi dugaan saya karena penghargaan terhadap ilmu yang diberikan oleh Khalifah al-Ma'mun begitu sangat tinggi. 

Bayangkan, dari usahanya sebagai seorang penerjemah, Hunayn menerima gaji 500 dinar per bulan atau sekitar 25 juta rupiah jika mau dikonversi ke nilai mata uang kita hari ini. Dan hasil bukunya akan dihargai dengan emas seberat buku yang ia terjemahkan.

Tentu Hunayn dkk penerjemah lain tidak datang langsung ke Bizantium untuk mencari salinan naskah tersebut dalam bahasanya aslinya. Naskah-naskah itu sampai ke Baghdad (ibukota dinasti saat itu) melalui ekspedisi yang melibatkan militer. Dan itu tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan penguasa. 

Yang perlu dicatat, dinasti Abbasiyah itu umurnya sangat panjang, lebih dari lima ratus tahun dan mengalami pergantian sebanyak 38 khalifah. Tidak semua khalifah itu mempunyai karir cemerlang, yang banyak terjadi justru sebaliknya. Tinta emas sejarah mencatat dua nama khalifah yang paling cemerlang di zaman Abbasiyah, Harun al-Rasyid dan putranya al-Ma'mun. Apa yang membuat dua nama (bapak dan anak) ini harum? Menurut saya di urutan pertama adalah warisan peradabannya, yakni ilmu dan pengetahuan. 

Negara kita Indonesia tercinta, jika diberi umur panjang sampai 500 tahun, kita tidak pernah tahu di generasi siapa negeri ini akan menjadi negeri dengan generasi emas, apakah benar 2045 nanti? Masih belum pasti. Yang sudah nyata adalah, negara-negara akan lahir menjadi negara emas yang unggul jika negara itu menghargai dan menjunjung tinggi peradaban ilmu. 

Khusus Indonesia, contoh kongkrit apa yang bisa negara lakukan dalam waktu dekat ini? Mulailah dari menghargai para penulis-penulis kita. Buku kalau bisa bebas cukai atau pajaknya serendah mungkin sehingga harga buku-buku tetap terjangkau; pembajakan harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Bahkan kalau harga buku original terjangkau, usaha pembajakan itu akan mati dengan sendirinya. 

Untuk mengakhiri tulisan ini kita kembali ke sosok Hunayn. Apa yang istimewa darinya? Pertama, sebagai penerjemah tentu dialah orang pertama yang mendapat ilmu dari buku-buku yang dia terjemahkan. 

Kedua, ilmu itu pula yang menjadikan dia di kemudian hari diangkat menjadi dokter pribadi istana untuk khalifah selanjutnya, Al-Mutawakkil (822-861 M), keponakan Al-Ma'mun, cucu Harun al-Rasyid. 

Ketiga (ini yang paling penting), setelah menjadi dokter istana, Hunayn pernah dijebloskan ke penjara karena menolak meresepkan obat yang akan digunakan meracuni lawan politik tuannya. Ketika kemudian terbebas dan dibawa ke hadapan khalifah untuk diuji integritasnya, apa yang membuatnya menolak meresepkan racun tersebut? Sebagaimana dicatat oleh Ibnu al-'Ibri dan dikutip oleh Hitti, Hunayn menjawab: 

"Dua hal: agama dan profesi. Agama saya mengajarkan bahwa kita harus berbuat baik, bahkan kepada musuh kita sekalipun, apalagi kepada teman sendiri. Dan profesi saya dibangun untuk kemaslahatan manusia, hanya untuk kesembuhan mereka. Di samping itu, setiap dokter disumpah untuk tidak pernah memberikan obat mematikan bagi seseorang."

Saya menduga jawaban Hunayn yang sangat mulia itu terinspirasi dari bapak kedokteran modern: Hippocrates, yang buku-bukunya dia terjemahan ke dalam bahasa Arab. 

Itulah hasil dari peradaban ilmu, Hunayn yang beragama Kristen Nestor dari Hirah (Irak) itu benar-benar merasakan nikmatnya peradaban ilmu: peradaban yang lahir dari zaman keemasan Islam di masa Khalifah Al-Ma'mun.

KEMEJA KENANGAN

KEMEJA KENANGAN
9 Februari 2018

Kemeja yg aku kenakan saat ini memang penuh kenangan. Kemeja pemberian kepala sekolah saat itu Drs. Abd. Chair A. Mahmud (kami memanggilnya 'Abah) sebagai ganti pakaianku yg ludes dicuri maling.

Jadi ceritanya, dua tahun sebelum lulus SMA, aku resmi jd penghuni sekolah sampai lulus. Aba menawarkan aku untuk jadi penjaga masjid sekolah yg baru dibangun. Aku dibuatkan kamar di bekas musholla yg dijadikan gudang sekaligus tempatku tidur. 

Suatu saat aku menjemur pakaian termasuk seragam sekolah di malam hari (karena tidak mungkin mencuci dan menjemur pakaian di lingkungan sekolah siang hari) :p tiba2 saat bangun pagi seluruh pakaian hilang kecuali sempak dan seragam. Alamak, ternyata aku baru saja kemalingan. Jaket organisasi, kemeja, kaos dan celana hilang semua. Untunglah si maling masih berbaikhati meninggalkan seragam sekolah dan celananya, kalau tidak mungkin aku sudah pake sarung aja di sekolah. 😂

Beberapa hari kemudian datanglah pakaian bekas se-kardus, jumlahnya cukup banyak, diantarkan langsung oleh anak asuh kepala sekolah ke kamar kecil tempat tinggalku di pojokan sekolah. Betapa senangnya dapat kiriman pakaian ini (walaupun semua kebesaran 😂) mengingat hampir semua pakaianku hilang.

Hari ini, hampir sepuluh tahun berlalu, ternyata aku masih menyimpan salah satu kemeja pemberiannya. Kalau dulu kebesaran, sekarang justru mulai kekecilan. 

Demi mengenang manisnya sebuah kenangan, sepuluh tahun yg akan datang, insya Allah kemeja ini akan aku museumkan di perpus pribadiku. :)

#Memorable
#SmansaPalu

JURNALISME INVESTIGASI

Dulu waktu masih kecil, Mama pernah tanya ke saya cita-cita, saya nyeletuk aja jawab, "Pengen jadi wartawan." 


Jawaban itu spontan saja keluar, padahal saat itu, saya sendiri tidak tahu wartawan itu ngapain aja tugasnya. Haha.. Mama yang kelihatan tidak suka mendapat jawaban itu, langsung membalas, "Heh, cita-cita kok jadi wartawan."

Sejak saat itu, saya tidak pernah lagi menjawab profesi itu kalau ditanya orang. Mama secara tidak langsung turut mematikan harapan itu. 😃

Lupakan kejadian itu. 

Saya ingin membedah sedikit tentang buku ini, buku yang saya baca tiga tahun yang lalu. Isinya tidak mengajarkan teori-teori tentang jurnalisme, tapi langsung praktik di lapangan bagaimana menjalani profesi sebagai seorang jurnalis investigasi. 

Dari buku ini saya jadi tahu kalau Mas Dandhy Dwi Laksono lah yg bekerja keras di balik liputan investigasi kasus Munir, jauh sebelum era sosial media. Sayang sekali, selain jam tanyangnya dibatasi, juga ditaruh di waktu yang tidak strategis saat pemirsa mulai beranjak tidur, kalah rating sama sinetron. 

Bukan hanya kasus Munir, Mas Dandhy juga meliput kasus GAM di Aceh. Liputan langsung di lokasi konflik, sampai harus kencing di celana saat mendengar suara tembakan basoka TNI AD, hehe. 

Selain itu, juga melakukan investigasi terhadap perusahan-perusahan nakal yang melakukan pengrusakan hutan. Tentu semua itu butuh nyali yang besar. 

Inilah yang membedakan jurnalis investigasi dengan jurnalis biasa (regular). Jurnalis regular hanya memberi informasi suatu kejadian, tapi tidak menyelediki kasus lebih dalam, mencari tahu penyebabnya (what and who). 

Siapa pun yg mau menggeluti profesi sebagai jurnalis, khususnya jurnalis investigasi, buku ini semacam modul wajib yang harus dibaca. Melalui praktik langsung yang dijalankan oleh penulisnya, dalam buku ini kita mendapat pelajaran mencakup modal apa saja yang dibutuhkan dalam melakukan investigasi; langkah-langkah yang dilewati; tahap action; teknik peliputan; mengemas laporan; dan tidak lupa kode etik. 

Kita jadi tidak heran kenapa film-filmnya WatchDoc punya daya tarik tersendiri, buat saya terutama Ekspedisi Indonesia Biru. Ternyata riset yang dibutuhkan untuk membuat dokumentasi sebaik itu bukanlah hasil dari pengalaman kemarin sore.

Setelah membaca buku ini, saya pribadi menjadi ragu, apakah saya punya keberanian seperti seorang Dandhy Laksono. Ini bukan pekerjaan mudah, bahkan resikonya nyawa. 

Buku ini sudah lama tidak terbit, tentu mulai susah mendapatnya. Saya tidak sengaja nemu di beranda pelapak yg berseliweran di FB. Buat yang mendesak pengen segera baca buku ini, download saja di iPusnas. Saya sendiri awalnya baca di sana, gratis dan legal. 🙂

BANDUNG DAN MAWAR

Bandung dan Mawar 

Sabtu, 28 Januari 2023 aku berkunjung ke rumah seorang kliping terbesar di Colomadu, sebuah daerah enklave yang secara administrasi masuk wilayah Kabupaten Karanganyar. 

Namanya Bandung Mawardi, kadang aku memanggilnya Mas Bandung, kadang pula aku sapa sebagaimana dia mengenalkan nama panggilan lainnya, Pak Mawar. Panggilan kebudayaan itu aku sesuaikan dengan kondisi batin saat kami berbincang, dia sebagai Pak ketika aku membaca bukunya, menelusuri kedalaman pikirannya, dan berbicara secara personal. Sementara panggilan Mas untuk Bandung aku berlakukan saat kami duduk melingkar bersama teman-teman yang lain, ini demi mengakrabkan suasana percakapan yang memang selalu nampak egaliter.

Ini pertama kali aku berkunjung ke rumahnya, sekaligus mendengar namanya. Aku diajak dan dikenalkan ke Mas Bandung oleh kawanku Faizal Adi Surya. Sebagai orang yang sudah membaca ratusan buku, baru mengenal Bandung dan Bilik Literasi-nya (demikian dia menamakan tempat tinggalnya) aku anggap sebagai keterlaluan. Berarti aku belum benar-benar melek literasi. 

Kumis dan janggut yang lebat, dan rambutnya yang gondrong, mengesankan dia seperti seorang seniman yang memikul beban berat, sekaligus membuatnya nampak sepuluh tahun lebih tua dari usianya. 

Perkenalan pertama dengan Bandung Mawardi bersama tumpukan buku-bukunya itu membawa kesan tersendiri. Enam jam di sana ternyata belum cukup menuntaskan dahaga. Jadi, tiga hari berikutnya aku putuskan kembali lagi ke rumahnya bersama sahabatku Saepul Rochman (aku memanggilnya Kang Saepul) yang juga baru mengenalnya.

Di pertemuan kedua inilah suasana akrab antara aku dan Bandung Mawardi mulai terjalin, aku baru tahu kalau dia bahkan belum pernah ke Bandung. Sayang sekali aku lupa bertanya, kenapa namanya kok ada Bandung-nya?

Aku yang sudah membaca bab Kambing dan Kipas dari bukunya yang dia bagikan gratis, mencoba mengomentari cara dia menulis dan bertutur melalui tulisan. Aku sampaikan bahwa apa yang dia tulis itu mengingatkanku pada kenangan masa SD, ketika membaca kisah yang terselip dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia dengan seri berjilid sesuai kelas dan caturwulan (1a, 1b, 1c, 2a, 2b, 2c, dan seterusnya). Di buku pelajaran itu beberapa kali aku membaca kisah hidup sederhana, salah satunya kisah warga di Desa Sukamaju yang mengadakan pertemuan antar warga untuk program kerja bakti membersihkan selokan dan memperbaiki pagar rumah, hingga desa itu menjadi bersih dan tampak lebih indah. 

Cerita dalam buku itu juga sekaligus membuatku penasaran, apa memang benar ada desa yang bernama Sukamaju itu? Kalau ada di mana? 

Sungguh itu kisah yang apa adanya, tidak ada klimaks cerita yang mendaki-daki. Tapi benar-benar menghidupkan imajinasi masa kecil akan desa Sukamaju. Sampai-sampai aku membayangkan aku hidup di desa itu dengan kehidupan warganya yang ramah, damai dan sejahtera. Anak-anak bermain bergembira. 

Tak dinyana, dejavu itu bagai gayung bersambut. Pak Mawar mengeluarkan satu lagi buku kecilnya berjudul "Nostalgia Bahasa Indonesia Bacaan dan Pelajaran", aku langsung buka isinya. Tiap halaman dipenuhi scan gambar buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia terbitan tahun 80-90an. Tiba-tiba pikiran melesat ke kenangan masa kecil. 

Kemudian obrolan mengalir ke hal-hal yang lebih serius. Kita dibuat nostalgia dengan buku-buku pelajaran itu, tapi kita tidak pernah terpikir bahwa sesungguhnya di balik pengadaan buku itu, ada kepentingan indoktrinasi dari rezim Orde Baru. 

Selanjutnya, Pak Mawar menawarkan aku untuk menyusun pula cerita-cerita yang mengalir seperti itu. Tidak perlu kisah yang wah, cukup aktivitas yang kita kerjakan sehari-hari. Target sudah bisa terbit jadi satu buku kecil yang bisa dibagikan ke teman-teman sekitar. Aku mengiyakan. Tentu ini menjadi tantangan buat aku setelah pulang. 

Dan aku sudah mengawalinya, melalui tulisan ini.