Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

KISAH JUAL NASI KUNING


Ada satu pengalaman hidup yang tidak bisa aku lupakan saat kelas II SD: jualan nasi kuning di sekolah. Ibu yang memasak dan membungkusi di rumah, aku yang menjajakannya ke sekolah. Ruang kelas yang hanya 5 jumlahnya membuat anak kelas II baru masuk jam pelajaran pukul 10.00, setelah kelas I pulang. Kami bergantian ruangan. Waktu kosong inilah yang aku gunakan untuk menjual nasi kuning, saat teman-teman seangkatanku belum ada yang berangkat.

Nasi kuning di kantin-kantin waktu itu harganya Rp 200,-/bungkus, namun atas permintaan ibu aku jual seharga Rp 250,- dengan porsi yang sedikit lebih banyak, dan lauknya lebih enak, ada tambahan tahu sausnya. Aku menjamin rasa enak itu karena mencicipi dan membandingkannya dengan nasi kuning di kantin lain, juga diakui oleh teman-teman yang beli ke aku.

Sebenarnya bukan sekadar peristiwanya yang membuatku tidak bisa melupakan kisah ini, tapi juga perasaanku saat itu. Aku malu dilihat oleh anak-anak lain di sekolah, terlebih jika yang membeli adalah anak2 perempuan, malu.. sekali (haha,). Belum lagi, ketika hendak berangkat ke sekolah, di jalan banyak orang2 yg melihat, ada yg menegur dengan bertanya apa yg aku bawa. Setiap pagi bersama teman2 berangkat, tapi hanya aku sendiri yang menenteng plastik besar berisi nasi kuning dibungus daun pisang, sebanyak 20-30 bungkus –jumlahnya tidak tentu, kalau hari jum’at lebih sedikit lagi. Makanya aku senang sekali kalau sebelum pulang dagangan itu habis, tidak ada lagi yang melihat atau bertanya di jalan.

Setelah beberapa hari, rasa malu itu aku coba sampaikan ke ibu. Tapi bukannya mengerti perasaanku saat itu, Ibu malah menasihati aku panjang-lebar. “Kalau mau jadi orang sukses nggak boleh gengsi,” itu kalimat yang selalu diulang.

Rasa malu ini jadi semakin bertambah: malu ke anak-anak di sekolahan, orang yg melihat di jalanan, dan ke Ibu sendiri karena terlanjur mengungkapkan perasaan.

Akhirnya aku tetap berjualan sampai beberapa minggu. Aku membatin saat itu, Ibu sungguh tidak mau mengerti perasaanku, coba ia yg berada di posisiku, belum tentu ia tidak malu, apalagi aku anak laki-laki. Dan lagi, uang hasil jualan itu kuserahkan semuanya ke ibu, aku tidak memegang sama sekali.

Sampai kemudian, aku sudah tidak berjualan lagi sejak hari itu. Yakni ketika Bapak (almarhum) pulang dari mencari kayu lapis di tengah hutan beberapa minggu kemudian. Beliau, ayah tiri yg begitu menyayangiku itu (semoga Allah merahmatinya) melarang Ibu menyuruh aku jualan di sekolah, takut mengganggu pelajaran. “Nggak boleh sama Bapak,” begitu jawab Ibu dalam bahasa Jawa ketika pagi itu aku tanyakan mana nasi kuningnya.

Aku merasa hari itu aku bebas, berkat Bapak yang melarang bahkan mungkin memarahi Ibu karena membiarkan –malah menyuruh– anaknya berjualan. Sejak itu aku bisa bermain bola lagi di sekolah bersama teman-teman saat jam istirahat. Aku juga bisa berangkat lebih siang karena sudah tidak ada lagi tanggungan.

***

Apa yang kemudian paling membekas di hati ini justru saat aku pulang sekolah siang hari itu. Di teras rumah terparkir sepeda baru. Saat aku tanyakan ke Ibu itu sepeda milik siapa? Jawab Ibu, “Sepedamu, makanya jangan malu kalau disuruh-suruh. Itu uang hasil jualanmu.”

Saat itu aku merasa, justru Ibulah yg banyak mengajariku, arti sebuah usaha; tentang gengsi yg tak berarti, dan hasil keringat yg tidak sia-sia. Uang hasil jualanku tentu tidak mencukupi untuk membeli sepeda baru itu, Ibu yang menambahi dari usaha warung makan-nya di rumah.

[Makassar, 1 April 2019]

Terima kasih yg sudah membaca. Semoga bisa dipetik hikmah.

No Response to "KISAH JUAL NASI KUNING"

Posting Komentar