Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

Surakarta (2018)


Memuji Wanita

Pujilah wanita yg berhasil menurunkan bb sekalipun hanya sekilo, dia sudah berkorban banyak hal untuk mendapatkan hasil tersebut. Sebaliknya, jangan mengomentari kenaikan bb-nya walau hanya seperempat kilo atau -apalagi- lebih, atau pipinya yg bertambah tembem sekalipun hanya semili, jika tidak ingin merusak kebahagiaannya.

Ini nasihat serius. :) 🙏🙏🙏

PIKUN

Pikun bukanlah penyakit, tapi ia bisa menjadi gejala dari suatu penyakit. Menurut sebuah penelitian, 1 dari 14 orang di dunia yg berusia 65 tahun ke atas mengalami kepikunan, sedang yg di atas 85 tahun jumlahnya lebih banyak lagi, yakni 1 dari 8 orang. Ada orang yg menjadi pikun karena penyakit, misal stroke, atau bisa karena suatu kecelakaan yg menyebabkan benturan di kepala, itu bisa terjadi pada usia yg jauh lebih muda. Namun yg paling sering adalah pikun karena usia, faktor degeratif.

Jamaah shalat shubuh yg dimuliakan Allah,

Di dalam otak manusia yg Allah anugerahkan ke kita ini, ada serabut saraf yg dalam bahasa medis disebut "myelin", dia kita ibaratkan kabel listrik, semakin banyak dan bercabang, semakin banyak pula ia mengalirkan listrik. Namun seiring bertambahnya usia, ditambah misal ada penyakit fisik, maka fungsi dari “kabel listrik” yg ada dalam otak kita itu akan semakin berkurang, bahkan ia bisa mengalami kerusakan dan kamatian. Padahal, beberapa lokasi di dalam otak manusia itu ada fungsinya masing2. Ada yg berfungsi sebagai memori jangka pendek, ada memori jangka panjang, bahkan ada jg lokasi yg khusus menyimpan pembendaharaan kata.

Bapak ibu sekalian, saya bisa bicara sebagaimana sekarang, itu karena fungsi-fungsi tersebut berjalan dengan baik. Mari kita bayangkan, apa yg terjadi jika “kabel listrik” itu banyak yg mengalami kerusakan?

Jamaah yg dimuliakan Allah,

Sampai saat ini, tidak ada obat untuk mengobati pikun. Kalau bapak-ibu sekalian mencari dokter yg bisa meresepkan obat untuk menghilangkan kepikunan, maka obatnya belum ada. Namun sesungguhnyalah, kita bisa mencegahnya atau kita bisa melawan kepikunan itu, sekurang-kurangnya dengan tiga hal: menjalin silaturahim, mengikuti kajian rutin, dan membaca.

Pertama, menjalin silaturahim, selain ia untuk memanjangkan umur (hadis), ada banyak sekali proses yg terjadi hanya dengan bapak-ibu berkunjung untuk ke rumah kawan lama misal untuk silaturahmi. Dalam perjalanan, bapak-ibu akan melewati perkampungan, rumah-rumah, jalan-jalan dengan berbagai tikungan, yg secara tidak langsung terjadi proses mengingat-ingat kembali kenangan lama. Ini terlihat sepele, namun sesungguhnya terjadi proses memanggil atau “recall” terhadap memori jangka panjang kita.

Kedua, mengikuti kajian, ini-pun kajian, bapak-ibu mendengar sy berbicara, mendapat informasi baru, terjadi interaksi, bahkan termasuk sy yg sedang berbicara, sesungguhnya kita sedang melibatkan berbagai fungsi yg ada di dalam otak kita dalam satu waktu, bayangkan jika fungsi bahasa sy terganggu, maka bapak ibu tidaklah bisa mendegarkan kosakata yg mengalir begitu saja dari diri ini, bukan hanya kosakata tapi juga memori jangka panjang, karena apa yg sy ucapkan adalah hasil dari apa yg dulu-dulu sy baca, dengarkan, dan pelajari. Demikian sebaliknya, bapak-ibu yg mendengar, bayangkan jika fungsi2 luhur dalam otak kita terganggu, maka informasi yg sy sampaikan ini tidak akan bisa dicerna dengan baik.

Ketiga, membaca, apa saja yg bapak-ibu baca akan sangat bermanfaat, baca koran, baca TTS dan mengerjakannya, baca buku entah biografi atau motivasi, itu semua bermanfaat, karena bapak-ibu secara tidak langsung terlibat diskusi dengan penyusunnya. Kita ambil contoh biografi saja, Buya Hamka misalnya, ketika menuliskan suatu peristiwa ini-itu, di waktu sekian2, maka bapak-ibu jg terbawa untuk mengingat kembali dengan waktu yg sedang disinggung, “Oh, waktu itu sy masih kecil”, “Oh tahun itu sy melahirkan anak pertama”, dll, dst. Itu baru satu manfaat, belum manfaat lain missal istilah2 baru yg bapak-ibu dapatkan, dan masih banyak lagi.

Lebih-lebih, jika bapak-ibu sekalian, membaca kitabullah, maka bapak-ibu sesungguhnya sedang berdialog dengan Allah. Malah jika disertai dengan terjemah dan tafsirnya, akan lebih banyak lagi kosa-kata, peristiwa, asbab, dan hikmah bisa kita dapatkan. Apalagi di Muhammadiyah sendiri ada banyak kitab2, ada Tafsir At-tanwir, ada tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, dan lain-lain.

Jamaah shalat shubuh yg dimuliakan Allah,

Cukup sekian yg dapat sy sampaikan. Dari pembahasan kita kali ini sy hanya ingin menegaskan: tidak ada alasan untuk bersedih karena sudah pensiun kemudian menghadapi usia lanjut, bahkan harus menyambutnya dengan suka-cita, penuh kebahagiaan, karena akan banyak waktu untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Karena bapak-ibu sekalian, banyak orang yg lupa dari mengingat Allah justru karena dilalaikan oleh pekerjaannya, sy pun berpotensi untuk ke arah sana.

***

Demikian ringkasan materi kultum (kuliah tujuhbelas menit) mengenai “Pikun”. Dua pekan sekali selama dua bulan terakhir sy diberi jadwal oleh takmir Masjid Ridha Muhammadiyah, mengisi ceramah shubuh dengan tema khusus: Islam dan kesehatan. Adapun “Pikun” adalah tema khusus yg diminta mereka. Dengan bahasa yg sederhana saya coba jelaskan kepada jamaah, yg hampir seluruhnya lansia.

KISAH JUAL NASI KUNING


Ada satu pengalaman hidup yang tidak bisa aku lupakan saat kelas II SD: jualan nasi kuning di sekolah. Ibu yang memasak dan membungkusi di rumah, aku yang menjajakannya ke sekolah. Ruang kelas yang hanya 5 jumlahnya membuat anak kelas II baru masuk jam pelajaran pukul 10.00, setelah kelas I pulang. Kami bergantian ruangan. Waktu kosong inilah yang aku gunakan untuk menjual nasi kuning, saat teman-teman seangkatanku belum ada yang berangkat.

Nasi kuning di kantin-kantin waktu itu harganya Rp 200,-/bungkus, namun atas permintaan ibu aku jual seharga Rp 250,- dengan porsi yang sedikit lebih banyak, dan lauknya lebih enak, ada tambahan tahu sausnya. Aku menjamin rasa enak itu karena mencicipi dan membandingkannya dengan nasi kuning di kantin lain, juga diakui oleh teman-teman yang beli ke aku.

Sebenarnya bukan sekadar peristiwanya yang membuatku tidak bisa melupakan kisah ini, tapi juga perasaanku saat itu. Aku malu dilihat oleh anak-anak lain di sekolah, terlebih jika yang membeli adalah anak2 perempuan, malu.. sekali (haha,). Belum lagi, ketika hendak berangkat ke sekolah, di jalan banyak orang2 yg melihat, ada yg menegur dengan bertanya apa yg aku bawa. Setiap pagi bersama teman2 berangkat, tapi hanya aku sendiri yang menenteng plastik besar berisi nasi kuning dibungus daun pisang, sebanyak 20-30 bungkus –jumlahnya tidak tentu, kalau hari jum’at lebih sedikit lagi. Makanya aku senang sekali kalau sebelum pulang dagangan itu habis, tidak ada lagi yang melihat atau bertanya di jalan.

Setelah beberapa hari, rasa malu itu aku coba sampaikan ke ibu. Tapi bukannya mengerti perasaanku saat itu, Ibu malah menasihati aku panjang-lebar. “Kalau mau jadi orang sukses nggak boleh gengsi,” itu kalimat yang selalu diulang.

Rasa malu ini jadi semakin bertambah: malu ke anak-anak di sekolahan, orang yg melihat di jalanan, dan ke Ibu sendiri karena terlanjur mengungkapkan perasaan.

Akhirnya aku tetap berjualan sampai beberapa minggu. Aku membatin saat itu, Ibu sungguh tidak mau mengerti perasaanku, coba ia yg berada di posisiku, belum tentu ia tidak malu, apalagi aku anak laki-laki. Dan lagi, uang hasil jualan itu kuserahkan semuanya ke ibu, aku tidak memegang sama sekali.

Sampai kemudian, aku sudah tidak berjualan lagi sejak hari itu. Yakni ketika Bapak (almarhum) pulang dari mencari kayu lapis di tengah hutan beberapa minggu kemudian. Beliau, ayah tiri yg begitu menyayangiku itu (semoga Allah merahmatinya) melarang Ibu menyuruh aku jualan di sekolah, takut mengganggu pelajaran. “Nggak boleh sama Bapak,” begitu jawab Ibu dalam bahasa Jawa ketika pagi itu aku tanyakan mana nasi kuningnya.

Aku merasa hari itu aku bebas, berkat Bapak yang melarang bahkan mungkin memarahi Ibu karena membiarkan –malah menyuruh– anaknya berjualan. Sejak itu aku bisa bermain bola lagi di sekolah bersama teman-teman saat jam istirahat. Aku juga bisa berangkat lebih siang karena sudah tidak ada lagi tanggungan.

***

Apa yang kemudian paling membekas di hati ini justru saat aku pulang sekolah siang hari itu. Di teras rumah terparkir sepeda baru. Saat aku tanyakan ke Ibu itu sepeda milik siapa? Jawab Ibu, “Sepedamu, makanya jangan malu kalau disuruh-suruh. Itu uang hasil jualanmu.”

Saat itu aku merasa, justru Ibulah yg banyak mengajariku, arti sebuah usaha; tentang gengsi yg tak berarti, dan hasil keringat yg tidak sia-sia. Uang hasil jualanku tentu tidak mencukupi untuk membeli sepeda baru itu, Ibu yang menambahi dari usaha warung makan-nya di rumah.

[Makassar, 1 April 2019]

Terima kasih yg sudah membaca. Semoga bisa dipetik hikmah.