Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

KEBANGKITAN NASIONAL


Peran Dokter dan Evolusi Pendidikan Kedokteran di Indonesia*

*Sebuah catatan untuk para dokter
Oleh: dr. Iwan Mariono

Mungkin banyak yang belum mengetahui, pendidikan kedokteran di Indonesia telah berlangsung selama lebih dari seratus tujuh puluh tahun. Dibuka pertama kali pada 1850 di Batavia (sekarang Jakarta), dari sejak lulusannya bergelar Dokter Djawa sampai jadi seperti sekarang mengikuti gelar dokter Eropa dan Amerika dengan spesialisasi. 

Mari kita lihat dinamika dan proses evolusi perjalanannya yang panjang tersebut, dan kaitannya dengan munculnya kesadaran yang menjadi cikal bakal lahirnya pergerakan nasional. 

Awalnya, lulusan Dokter Djawa menempati kasta kelas dua. Sekalipun bergelar dokter, dalam prakteknya mereka tidak diakui sebagai dokter yang utuh. Sehingga dalam memberikan pelayanan, mereka tetap menjadi subordinasi dari dokter-dokter Eropa. Mereka harus menempuh pendidikan lanjutan di Netherland untuk menjadi setara. Namun meskipun sudah menempuh pendidikan lanjutan, tetap saja kesetaraan itu tidak benar-benar mereka dapatkan. Mereka tetap diposisikan berbeda.

Banyak dokter pribumi yang mengalami diskriminasi, oleh dokter Eropa dan pemerintah kolonial. Mulai gaji yang dibedakan dengan dokter Eropa, sampai penolakan dan rasisme yang mereka terima karena bukan bagian dari kaum Eropa. Ini menjadi suatu ironi buat dokter pribumi atau dokter Hindia. Di satu sisi mereka mendapat pencerahan ilmu yang membuat mereka berbeda (bahkan mengalami keterasingan) dari pribumi bangsanya. Di sisi lain mereka tidak diakui oleh bangsa Eropa sebagai orang yang sudah tercerahkan. Jadilah mereka berada di posisi yang ambivalen.

Pengalaman ini dirasakan sejak bernama Dokter Djawa sampai berubah nama menjadi Dokter Pribumi pada 1890, dengan nama institusi: STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Perlakuan diskirminasi tetap berlanjut, sekalipun status agak naik dan berganti (lagi) menjadi Dokter Hindia pada 1913, dengan akronim yang sama masih sama: STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Hanya satu kata yang berubah, Inlandsche (Inlander) menjadi Indische (Hindia). 

Padahal pendidikan kedokteran yang mereka tempuh tidaklah sebentar. Butuh waktu sembilan tahun dan wajib menguasai bahasa Belanda. Setelah lulus, masih harus wajib dinas selama sepuluh tahun di instansi milik pemerintah kolonial. 

Pendidikan kedokteran bukanlah jurusan yang bergengsi apalagi diminati saat itu. Rata-rata yang kuliah adalah anak bangsawan rendahan. Para calon dokter itu tidak membayar mahal biaya kuliah alias gratis. Sebaliknya, mereka mendapatkan gaji rendah, menerima subsidi seragam dan asrama dari pemerintah kolonial. Gaji yang mereka terima setelah menjadi dokter juga tak seberapa, masih kalah jauh dari assisten wedana yang bahkan tidak pernah sekolah. Belum lagi perilaku diskriminasi dari dokter Eropa. Tentu ada motivasi yang kuat kenapa masih mau kuliah di kedokteran. 

Mendapat perlakuan tidak adil dan diskriminasi seperti itu, tidak mengherankan jika mereka yang lulus sebagai dokter Hindia mengalami pemberontakan dalam jiwanya. Jiwa memberontak inilah yang kemudian mempunyai arti penting dalam perjalanan sejarah lahirnya Indonesia sebagai negara modern.

Mari kita bahas lebih lanjut. Mengenai “pemberontakan jiwa” para dokter Hindia dan kaitannya dengan kebangkitan nasional, peneliti sejarah kedokteran era kolonial, Prof. Hans Pols dalam bukunya “MERAWAT BANGSA Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia” menulis catatan panjang yang sangat menarik: “Ilmu kedokteran justru mengilhami para dokter Indonesia untuk mengkritik pemerintah kolonial karena tingginya prevalensi penyakit di antara penduduk asli dan standar perawatan kesehatan kolonial yang tidak memadai. Bidang kedokteran menawarkan metode, cara berpikir, dan metafor-metafor biologis dan fisiologis baru untuk mengevaluasi masyarakat kolonial dan penyakitnya. Para dokter Indonesia mempunyai posisi ideal untuk mendiagnosis “tubuh sosial” masa kolonial, kemudian meresepkan terapeutik apa yang tepat untuknya, dan menegaskan bagaimana realitas-realitas era kolonial menghambat proses alamiah evolusi sosial. Komitmen mereka terhadap ilmu kedokteran adalah hal yang mengilhami sejumlah pemuda untuk membayangkan sebuah negara baru yang merdeka dan sehat. Secara perseorangan serta melalui perkumpulan profesi, para dokter Hindia Belanda giat mengartikulasikan identitas profesional mereka, yang memuat pandangan tentang potensi dan peran nyata ilmu kedokteran di masyarakat kolonial. Hal ini memotivasi mereka untuk pertama-tama mengkritik penyelenggara kesehatan di era kolonial dan kemudian merumuskan kebijakan medis yang akan melayani seluruh penduduk Indonesia.” (Hlm. 7).   

*** 

Lulusan Dokter Djawa yang namanya paling dikenal sejarah adalah dr. Wahidin Soedirohoesodo (1852-1917 M), seorang dokter  keraton yang mengabdikan diri menjadi dokter di kesultanan. Memasuki abad ke-20, dokter ini gencar berpidato kemana-mana, memberikan kuliah tentang pentingnya berserikat dan berorganisasi. 

Dialah penggagas utama, ketika memontum –yang kemudian dikenang sepanjang zaman– tanggal 20 Mei 1908 di aula kuliah utama Perguruan Tinggi Kedokteran, dengan Soetomo (1888-1938 M) sebagai ketua memprakarsai berdirinya organisasi yang kemudian diberi nama: Boedi Oetomo. Anggotanya saat itu adalah para dokter dan calon dokter. Di antara nama-nama yang populer adalah Tjipto Mangoenkoesoemo (1886-1943 M), Goenawan Magoenkoesoemo (adik Tjipto), dan Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara (1889-1959 M). Nama terakhir tidak menyelesaikan pendidikan dokternya. 

Dokter yang bergabung di dekade berikutnya adalah Mas Radjiman Wedyodiningrat (1879-1952 M) dan Sardjito (1889-1970 M), dua orang yang mempunyai peran besar di kemudian hari menjelang kemerdekaan dan masa revolusi. Yang pertama sebagai panitia perumus kemerdekaan, yang kedua dalam bidang pendidikan. 

Dari sinilah perjuangan menuntut persamaan hak-hak pribumi –khususnya bangsa Jawa– mereka mulai. Dari masalah pelayanan kesehatan sampai akses terhadap pendidikan modern untuk semua orang Jawa. 

Ya, sekalipun diakui secara luas sebagai organisasi kaum nasionalis pertama di Indonesia, sesungguhnya Boedi Oetomo bersifat elitis, eksklusif ningrat dan kedaerahan. Hal itulah membuat dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang Jawa yang sangat anti-feodal dan melepas gelar kebangsawanannya, tidak bertahan lama. Selepas kongres pertama, dokter Tjipto memutuskan keluar dari organisasi tersebut, kemudian memilih berjuang sebagai perseorangan, seperti dokter-dokter Hindia (dan non-Jawa) lainnya: Abdul Rasjid (Sumatera Utara), Abdul Rivai (Sumatera Barat), dan Tehupeiory (Maluku). Dua nama terakhir bersama Tjipto di kemudian hari menjadi dokter Hindia yang sama-sama berjuang di Volksraad (parlemen yang didirikan pemerintah kolonial). 

Setelah pindah ke Bandung, dokter Tjipto bersama Dowes Dekker juga mendirikan perkumpulan pelajar, yang salah satu murid kadernya kelak menjadi orang nomor satu di Indonesia: Sukarno. 

Terkait masalah kesehatan, ada perbedaan pelayanan kesehatan antara yang pribumi dan non-pribumi menjadi perhatian beberapa Dokter Hindia saat itu. Catatan Prof. Hans Pols mengenai hal ini: “Pada awal abad ke-19, pemerintah kolonial mendirikan layanan medis untuk tantara, petugas, dan pejabat pemerintah. Meski memelihara kesehatan para pejabat itu diperlukan untuk mempertahankan pemerintahan kolonial, tetapi pelayanan medis kekurangan dana yang kronis dan mendapatkan reputasi buruk. Penduduk asli mendapat perhatian saat muncul wabah yang bisa mengancam kaum Eropa, sehingga menjadi dasar kampanye vaksin besar-besaran.” (Hlm. 9). Buku ini saya rekomendasikan agar dibaca oleh segenap dokter (Judul: MERAWAT BANGSA Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia [penerbit Kompas]).

*** 

Setelah melalui perjuangan yang panjang, kesetaraan baru diperoleh pada 1927, STOVIA dihapuskan dan diganti menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Batavia (Gebeeskundige Hoogeschool [GH]). Dokter Oen Boen Ing (1903-1982 M) adalah salah satu alumninya. Dokter Oen (demikian sapaan akrabnya), adalah seorang dokter yang terkenal karena kedermawanannya. Kini namanya diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit swasta di Kota Solo. Rumah sakit itu sendiri awalnya adalah sebuah poliklinik yang didirikan oleh dokter Oen tahun 1952, dengan nama Ji Shengyan, yang bermakna “Lembaga Penolong Kehidupan”. Ji Shengyan ini dikisahkan banyak melayani orang-orang miskin dan tidak mampu. Untuk kisah lengkapnya silakan baca biografi yang ditulis oleh Ravando dengan judul: Dr. Oen, Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil (terbitan Kompas).

Kembali ke Perguruan Tinggi Kedokteran Batavia (GH). Sejak saat itu, lulusan dokter di Hindia diakui statusnya sebagai dokter penuh –tanpa harus pergi ke Netherland untuk menempuh pendidikan lanjutan. Baru pada era inilah pendidikan kedokteran mulai sedikit bergengsi, calon pelajar justru lebih didominasi oleh non-pribumi, terutama orang-orang Eropa. Kurikulum ini berlanjut sampai Jepang menduduki Hindia, menggantikan Belanda. Nama kampus baru berganti menjadi Universitas Indonesia setelah merdeka dan melewati masa revolusi. 

Yang menarik pada zaman kolonial Jepang (1942-1945), banyak dokter yang mulai pasif. Jika masa sebelumnya ada banyak yang berjuang di medan politik, kondisi masa ini justru sebaliknya menjadi apolitik. Mereka menduduki posisi-posisi penting yang dulu hanya bisa dinikmati dokter Eropa, yang membuat status sosial dokter Indonesia mulai naik. Sikap militan justru ditunjukan oleh mahasiswanya, setelah kampus mereka ditutup oleh pemerintah kolonial Jepang dan sempat vakum selama dua minggu. Kita sebut satu nama Soedjatmoko, seorang dokter sekaligus jurnalis yang militan. Di bawah asuhan Sutan Sjahrir, dia bersama rekan-rekannya melakukan perlawanan politik bawah tanah sampai Indonesia meraih kemerdekaannya. Sosok Soedjatmoko bisa kita kenali melaui tulisan-tulisannya.  

Pada zaman Jepang ini pula Bahasa Indonesia mulai digunakan dalam proses pembelajaran –salah satu simbol budaya yang menurut George McTurnan Kahin memperkuat rasa nasionalisme. 

Kita masuk ke zaman revolusi. Banyak dokter terlibat aktif selama masa ini. Mereka yang gugur dalam perjuangan dan paling dikenang sejarah adalah dr. Moewardi –hilang diculik, tak ditemukan jasadnya sampai hari ini– dan dr. Abdurahman Saleh. Nama terakhir selain berprofesi dokter juga perwira TNI AU. Dia ini gugur dalam perjalanan menerbangkan pesawat membawa logistik obat-obatan. 29 Juli 1947, masih dalam susasana Agresi Militer Belanda I, pesawatnya jatuh ditembak oleh militer Belanda di sekitar Maguwoharjo, Yogyakarta. 

Tahun 1948, demi menghormati jasa para dokter tersebut, Sukarno dan Mohammad Hatta menjadikan tanggal 20 Mei sebagai hari Kebangkitan Nasional. Inisiatif ini mungkin terasa seperti menomorduakan peran Islam yang diwakili oleh Syarikat Islam (SI). Namun saya meyakini kedua Bung –sekalipun masih tetap dengan pandangan naisonalnya yang sekuler– tidak bermaksud melemahkan kelompok ini. Apalagi, dalam perjalanan menuju kematangan berpikirnya, kedua proklamator tidak lepas dari pengaruh dan asuhan langsung para petinggi SI, terutama Cokro Aminoto dan Hadji Agus Salim.

Setelah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, perlahan peran dokter pun juga turut surut dalam pentas nasional. Hanya segelintir yang masih bertahan menjadi polititsi. IDI dibentuk pada September 1950. 

Dokter-dokter di zaman ini lebih banyak disibukkan dengan masalah kesehatan nasional seperti malnutrisi, penyakit cacar, dan malaria yang masih menjadi endemik. Selain kesehatan juga masalah pendidikan, beberapa kampus kedokteran baru mulai dibuka untuk memenuhi kebutuhan dokter. Tidak terasa, pendidikan kedokteran di Indonesia sudah berusia seratus tahun.

*** 

Hari ini (20 Mei 2023) adalah Hari Kebangkitan Nasional. 

Kita memperingati hari di mana profesi dokter mengambil peran yang sangat besar di dalamnya. Kalau mau merefleksikan diri sesuai profesi, harusnya hari ini kita peringati pula sebagai hari kebangkitan para dokter. 

Pendidikan kedokteran di Indonesia telah berusia 173 tahun. Sebagai dokter Indonesia, harusnya ada banyak hal yang bisa kita jadikan bahan refleksi. Apakah kita sudah meneladani para sesepuh kita dahulu? Mereka dulu berjuang tanpa pamrih. Niat awal mereka menjadi dokter justru untuk mengabdikan diri buat menyehatkan rakyat bangsanya. Tidak hanya penyakit fisik mereka yang berusaha disembuhkan kemudian disehatkan, bahkan sampai penyakit sosialnya.

Adapun refleksi buat kita saat ini, tidak perlulah terlalu jauh sampai menyehatkan bangsa. Sekadar ikhtiar menyebuhkan pasien yang sedang sakit, apakah sudah benar-benar jadi pedoman utama hidup kita? Jangan-jangan tujuan utama selama ini berbeda. Orientasi terhadap materi dan imbalan jasa justru yang lebih mendominasi tujuan kita menjadi seorang dokter. 

Mari kita meng-upgrade diri dan memperbarui niat dengan bertanya kembali, kenapa saya memilih profesi ini? Apa tujuan yang ingin saya capai? Pertanyaan ini harus terjawab tuntas. Jangan sampai tujuannya benar-benar mulia saat profesi ini masih menjadi impian dan cita-cita, dan justru dilupakan setelah profesi tersebut melekat dalam diri kita.[]

Morowali, 20 Mei 2023

MENCINTAI BUKU-BUKU

Oleh: Iwan Mariono

Mari mengenang sejenak perjalanan membaca dan berkenalan dengan buku. 

Ini kisah agak panjang tentang seorang anak yang kehidupannya sangat tak ideal untuk hidup dengan literasi: tidak ada taman baca apalagi toko buku. Paling dekat ke Makassar yang jaraknya delapan ratus kilometer. 

***

(I) Sekolah Dasar

Sekolah kami dulu tidak punya perpus. Jadi memang tidak ada yang bisa dibaca selama enam tahun di sekolah, kecuali buku pelajaran terbitan Tiga Serangkai, PPKN terbitan Depdikbud, dan Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka. 

Mungkin minat sudah ada. Hanya saja, akses terhadap bacaan yang kurang. Padahal saya selalu tertarik dengan cerita-cerita yang diselipkan dalam buku pelajaran PPKN dan terutama pelajaran Bahasa Indonesia. Satu di antara yang masih saya ingat lamat-lamat cerita dari buku itu adalah, semangat gotong royong warga Desa Sukamaju: membersihkan selokan, membangun jalan, membuat pagar rumah, dan masuknya listrik ke desa (disertai ilustrasi gambar seadanya). 

Saya benar-benar membayangkan ada desa bernama Sukamaju negeri antah-berantah sana. Dan membayangkan desa saya pun juga seperti itu. Karena di rumah kami pada akhir tahun 90an dan awal abad ke-21 masih pake lampu petromax, imajinasi saya akan Desa Sukamaju itu benar-benar hidup. Betapa indah dan bahagianya hidup dan tinggal di desa itu. 

Andai waktu bisa diundur, dahaga seorang anak akan dongeng dan cerita itu harusnya terpenuhi. Di usia-usia itu, menjejali mereka dengan buku-buku fiksi ringan dengan hikmah cerita dan nilai-nilai moral, tentu akan sangat baik dalam menemani proses pembentukan karakternya. Saya membayangkan jika guru di sekolah atau orang tua saya di rumah memberikan bacaan semisal Lima Sekawan, Winnetou, Hobits, The Lord of the Rings --dan novel-novel sejenisnya-- tentu itu akan sangat baik sekali. 

Waktu sudah lewat. Apa boleh buat, orang tua atau malah guru-guru saya sendiri boleh jadi tidak pernah baca buku fiksi, jadi mana tahu mereka manfaat dari membaca buku-buku itu. Akhirnya, saya melahap buku-buku justru setelah duduk di bangku kuliah. Genre yang harusnya sudah saya tinggal dua puluh tahun silam. 

Jadi --sebagai hikmah buat bapak ibu yg sudah punya anak-- tidak terlambat jika anak-anak Bapak-Ibu sekarang akan dijejali dengan komik dan novel-novel seperti: Tere Liye, Ahmad Fuadi, Tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, serial Pengen Jadi Baik karya Ardian Candra, bahkan novel-novel pendengar Buya HAMKA, dan sebagainya --di usia sekolah dasar sampai awal masuk sekolah menengah mereka, termasuk buku-buku fiksi saya sebutkan sebelumnya di atas, buku yang terbit zaman saya SD tapi tidak sempat saya baca (Silakan kalau teman-teman punya rekomendasi juga sampaikan di komentar, semoga orang tua yang punya anak membacanya). 

Saya tidak dapat apa-apa dari meng-endors penulis-penulis di atas. Buku-buku Tere Liye misalnya, karena sudah lebih dari dua puluh judul yang saya baca selama kuliah, saya bisa memberi nilai bahwa buku-bukunya cocok dibaca anak sekolah dasar: terutama serial Bumi dan serial Anak-anak Mamak.

Demikianlah. Jangan biarkan anak Anda, melewati masa kanak-kanaknya yang singkat dengan tanpa satu pun bacaan. Betapa sia-sia hidup mereka. 

***

(II) Sekolah menengah

Ini juga sama, hampir tidak ada buku yang saya baca. Sekalipun ada perpus seluas ruangan kelas, tapi tidak banyak koleksinya, kebanyakan buku-buku lawas dan kusam yang tidak menarik untuk dibaca. Selama SMP, seingat saya hanya satu novel yang saya khatamkan, judulnya: Misteri Danau Siluman. Siapa penulisnya saya sudah lupa. Saya baca buku itu oleh karena memang bingung mau baca apa. Tidak ada yang mengarahkan harus baca buku apa. Guru penjaga perpus sangat pasif. Boleh jadi penjaganya sendiri belum baca satu pun buku yang ada di perpus itu, jadi bingung juga kalau harus memberi rekomendasi. 

Di usia ini --terutama tiga tahun pertama sekolah menengah-- dahaga saya akan bacaan sedikit terobati justru lewat tabloid Bola dan Soccer. 

Saya bersyukur sekali di penginapan orang tua saya ada dua orang bapak-bapak pedagang, membawa mobil box dari Kota Palu, yang rutin menginap sebulan sekali. Saya suka bola, mereka juga suka bola. Kami bisa diskusi bola sampai larut malam. Di momen tertentu kami nonton bareng pake TV kecil 14 inci. Waktu itu RCTI menayangkan LaLiga Spanyol. Kami tidak bisa nonton liga Inggris karena untuk bisa mengakses TV7, harus pasang LNB dua. Sementara parabola di rumah hanya ada satu LNB. Hampir semua kamar penginapan di rumah saya pasangi poster bola. Ada puluhan lembar waktu itu. Hasil berburu di pasar desa setiap minggu. Waktu itu harganya Rp 2000,- per lembar. 

Singkat cerita. Bulan selanjutnya dan bulan-bulan berikutnya, setiap kali mereka datang selalu membawakan saya satu tabloid. Gonta-ganti. Kadang Bola, kadang Soccer. 

Saya koleksi tabloid itu sampai penuh satu box lemari selama tiga tahun saya SMP. Ada puluhan jumlahnya. Jika tiga tahun ada 96 bulan, berarti sebanyak itu tabloid Bola/ Soccer yang saya koleksi. Sayangnya tidak sebanyak itu, kadang beberapa kali mereka datang tidak membawa tabloid. Dalam hati saya kecewa. Jadilah, saya baca ulang, tabloid bulan sebelumnya. Kadang saya ulang sampai tiga kali.  

Memasuki masa SMA, saya pindah ke Kota Palu. Ini mendingan, ada beberapa buku yang saya baca. Andrea Hirata waktu itu menjadi idola anak-anak. Jadi, selain nonton film Laskar Pelangi, saya juga sempat membaca novelnya. Buku Kang Abik Ketika Cinta Bertasbih juga tidak saya lewatkan. Buku Tere Liye waktu itu hanya satu, Hafalan Shalat Delisa. 

Btw, kecuali buku Laskar Pelangi yang dipinjami teman, semua judul buku di atas saya baca ebooknya. Tentu saja ilegal. Tapi masa itu saya belum paham legal dan ilegal. Jadi yang penting bisa membaca, itu sudah satu kesenangan. Di Palu ada toko buku, tapi toko buku lokal. Tidak ada Gramedia, apalagi Togamas dan SAB. Buku-bukunya juga tidak update. Untuk membaca buku fisik Laskar Pelangi saja, harus antri. Buku itu milik seorang teman yang ayahnya bekerja di Pulau Jawa. Dia dapat oleh-oleh buku saat bapaknya pulang dari Jakarta. 

Sebenarnya bukan ada atau tidak adanya toko buku yang terpenting. Jelas yang paling utama, apakah orang tua kita merupakan orang tua yang mensubsidi anaknya dengan bacaan. Orang tua saya jelas tidak termasuk kategori itu. Di rumah mereka, hanya tabloid Bola dan Soccer lah bahan yang bisa dibaca (selain Al-Qur'an). Ada sih, buku yang lain, waktu itu mama punya buku primbon dan aneka resep masakan. Selain itu tidak ada lagi. Saya tidak mungkin membacanya. 

Sekadar tambahan info: saya SMA di Kota Palu yang jaraknya 500 kilometer dari kampung halaman, pulang hanya setahun sekali menjelang lebaran. Artinya selama sekolah saya hanya tiga kali pulang. Yang saya sesali saat saya lulus SMA dan pulang ke kampung halaman, koleksi tabloid itu raib entah kemana. Mungkin dijadikan alas pakaian. Atau terbuang bersamaan dengan rumah kami yang baru direnovasi. 

Demikianlah. Di usia sekolah menengah, melewati masa dahaga akan bacaan yang tidak terobati. Kalau mengenang semua itu, kadang sedih sendiri. 

Bersyukurlah anak yang dihidupkan oleh orang tua yang mencintai buku-buku dan melek literasi. Jika dengan semua fasilitas itu anak tersebut masih malas membaca, itu ibarat tikus yang mati di lumbung padi. 

***

(III) Setelah lulus sekolah dan nganggur. 

Selepas SMA saya ingin lanjut kuliah di Pulau Jawa. Di mana saja kotanya asal di Pulau Jawa. Keinginan pertama waktu itu di Jogja. Mama mendukung, almarhum Bapak sebenarnya agak keberatan, beliau ingin saya maksimal sampai Makassar. Tapi saya sudah bulat harus di Jawa. Saya manfaatkan dukungan Mama. 

Jadilah saya berangkat ke Jogja, ditemani oleh seorang ustadz yang membawa rombongan santri-santrinya. Mereka semua akhirnya menjadi kawan saya di Jogja. 

Di Jogja inilah saya merasakan geliat literasi. Saya seperti seekor tikus yang jatuh di lumbung padi. Buku-buku harganya murah. Diskon 20-30 persen, yang kalau di Sulawesi justru sebaliknya, 20-30 persen lebih mahal dari harga asli. 

Waktu itu saya tinggal di Perum Polri Gowok. Fakta bahwa sekira dua ratus meter dari kontrakan ada toko buku diskon seumur hidup: Social Agency Baru (SAB), membuat saya sangat senang sekali. Hampir tiap hari saya ke sana. Saya masih ingat, buku yang saya beli saat pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Jawa: Rembulan Tenggelam di Wajahmu, karya Tere Liye. 

Kemewahan yang saya rasakan bukan hanya bisa membeli buku-buku dari penulis yang saya idolakan. Lebih dari itu, saya bahkan bisa bertemu langsung dengan penulisnya. Belum lama saya di Jogja, ada iklan workshop kepenulisan yang tidak saya lewatkan. Diadakan oleh FIB UNY, dengan dua pemateri: Tere Liye dan Yusuf Maulana. Belakangan baru saya mengenal Pak Yusuf Maulana melalui karya-karyanya, paling saya sukai adalah bukunya "Nuun, Kalam Pencandu Buku" yang sy anggap sebagai maknum opus. 

Selama masa menunggu kuliah itu, ada kejadian besar dalam hidup saya. Saya bertemu dengan bapak kandung saya untuk pertama kali (saya sudah pernah menulis kisah ini panjang lebar, saya tidak akan menuliskannya lagi di sini). Fakta yang baru saya ketahui, bapak kandung saya ternyata orang kuat membaca. 

Singkat cerita, setalah pertemuan selama tiga hari di Jogja itu, saya dapat uang saku dari beliau sebesar lima juta rupiah. Kemana uang sebanyak itu terbelanjakan? Ya, bisa ditebak, uang itu banyak saya belikan buku. Belum genap setahun di Jogja koleksi buku saya sudah di atas seratus. 

Nasib saya harus nganggur setahun karena tidak keterima di beberapa kampus. Tapi hikmahnya saya bisa melahap seratusan buku yang sudah saya beli. 

Genre bukunya variatif: fiksi, agama, biografi, motivasi dan sedikit buku ekonomi bisnis. Fiksi jelas di urutan pertama. Karena dahaga yang paling yang belum terobati justru buku-buku ini. Btw, kalau ada yang nanya buku fiksi apa yang saya baca berulang kali? Jawabnya: dua buku: "Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah" karya Tere Liye sebanyak lima kali; dan "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer sebanyak tiga kali. 

Selama setahun di Jogja, paling banyak saya lahap dari buku fiksi ini adalah karya Tere Liye dan Pram. Nama terakhir ini membuat saya terpesona, karena tulisannya benar-benar seperti ilmu sihir yang mampu menghipnotis pembacanya. Setidaknya itu yang saya rasakan waktu membaca Bumi Manusia. Tidak tanggung-tanggung, buku setebal 535 halaman ini saya khatamkan hanya dalam sehari, dari jam 07 pagi sampai jam 12 malam. Hanya jeda saat shalat dan makan. Dari buku-buku Pram ini pula saya jadi berkawan akrab sama sahabat saya seorang Pramisme, Dharma Setyawan. 

Ada satu cerita unik, buku Jejak Langkah saya taruh samping kaki saya saat shalat di madjid. Mungkin jamaah di belakang saya terganggu dengan buku itu, jadilah dia kejar saya sekeluarnya dari masjid. Dia tanya, "Kamu baca Pram ya?", saya menoleh ke suara di belakang saya. Dialah Mas Dharma, orang yang tersenyum bangga melihat saya membaca buku itu. 

Andrea Hirata sempat vakum di masa ini, karya terbarunya yang saya ikuti hanya satu buku waktu itu: Sebelas Patriot. Buku-buku Kang Abik terbaru juga saya koleksi. Ahmad Fuady baru awal-awal dikenal waktu itu. Untuk fiksi luar yang saya baca awal-awal adalah Sherlock Holmes, saya baru tahu juga waktu itu kalau penulisnya ternyata adalah seorang dokter: Sir Arthur Conan Doyle. 

Saya membayangkan, jika akses terhadap bacaan fiksi itu sudah terpenuhi sejak masa sekolah, mungkin saya sudah meninggalkan genre itu sejak lama. Beranjak ke bacaan yang lebih serius tentunya, hal yang baru saya lakukan sepuluh tahun terakhir. Termasuk telat menurut ukuran saya. 

Saya sempat termotivasi menjadi seorang bisnisman, saat membaca karya-karya Ippho Sentosa dan Jaya Setiabudi. 

Buku-buku agama waktu itu yang paling banyak saya ikuti adalah karya Agus Mustofa, serial Diskusi Tasawuf Modern. Saya tidak tahu sekarang sudah sampai serial ke berapa. Saya hanya mengikuti sekitar tiga puluh judul. Beliau penulis yang sangat produktif, sekaligus kontroversial. Saya termasuk membaca buku yang mengkritik pemikirannya. Tapi apa pun itu saya berterima kasih kepada penulisnya yang telah membuka cakrawala berpikir saya. 

Buku yang paling menyentuh saya juga waktu itu adalah karya Erbe Sentanu, Quantum Ikhlas. Waktu itu, buku ini membuat saya benar-benar ikhlas menjalani hidup sebagai pengangguran. Hehe. 

*** 

(IV) masa kuliah

Saya akhirnya keterima kuliah di Solo. Pindahlah saya dari Jogja ke Solo dengan membawa buku-buku yang sudah terkumpul selama setahun lebih tiga bulan. 

Ada banyak perubahan yang terjadi selama kuliah. Bacaan juga menjadi lebih bervariasi. Saya tidak mungkin merinci satu per satu di sini. Saya sudah mulai mengimbangi fiksi dengan non-fiksi. Fiksi yang tidak saya lewatkan selama kuliah adalah buku-bukunya Ahmad Tohari. 

Tidak boleh dilupakan di sini, sekalipun pelan-pelan sudah mulai beranjak dari buku fiksi, ada juga buku fiksi yang menjadi jembatan buat saya untuk mempelajari tema serupa tapi non-fiksi. Adalah Langit Kresna Hariadi yang membuat saya mencintai sejarah kerajaan di Indonesia. Novel Gajah Mada itu benar-benar menghidupkan imajinasi saya akan kehidupan abad XIII. Saya sudah menulis catatan yang panjang di FB ini mengenai perkenalan saya dengan pak Langit. Pak Langit pula yang membawa saya di kemudian hari mengenal Pak Nassirun Purwokartun. 

Sedangkan yang non-fiksi, buku-buku kiri menjadi pilihan biar tampak keren. Tapi tidak hanya keren, memang saya akui, baca buku kiri itu bikin percaya diri. Hanya saja, sekadar percaya diri sebenarnya bukanlah tujuan utama dari seseorang membaca buku. Membaca, apa pun itu, bagi saya, adalah penting untuk membentuk sudut pandang. Sehingga saat bertemu dengan lawan bicara, kita bisa mengukur sejauh mana kita melangkah, dan menjadi pandai menakar kapasitas diri sendiri. . 

Sebelum jadi pengagum Mohammad Hatta, terlebih dahulu saya mengagumi Sukarno. Jilid I Di Bawah Bendera Revolusi itu saya khatamkan selama kuliah. Jilid II saya khatamkan saat baru lulus dan wajib dinas setahun di Makassar. Bagi saya Sukarno itu tipe manusia yang sangat awet dalam berjiwa muda, penuh semangat dan agitasi. Masalahnya, dalam hidup ini, ada saat di mana kita perlu beranjak dari semangat yang terlalu gegap gempita. Bukan dipaksa oleh keadaan, tapi atas kesadaran diri sendiri. 

Sadar diri itulah yang saya temukan dalam sosok Mohammad Hatta. Tulisan-tulisan Hatta sangat mewakili hidupnya yang --dalam bahasa Cak Nun-- "hidup itu harus pintar ngegas dan ngerem". 

Siapa pun yang pernah membaca tulisan-tulisan Hatta, akan merasakan jiwa lembut dan sensitif yang sedang berbicara. Hatta menjadi sangat anti-komunis justru karena dia mendalami komunis itu sendiri. Dalam ranah praktis, Bagi Hatta, ada perbedaan mendasar antara komunisme yang diinginkan Marx dan yang terjadi dalam prakteknya dilaksanakan oleh Lenin. Yang pertama menghendaki evolusi, sedang yang kedua mempraktikkan dengan jalan revolusi. 

Duh, pembahasannya kok jadi berat gini. Hehe. Baiklah, kita beranjak dulu. Yang jelas, cakrawala pemikiran saya banyak dibuka oleh dua bapak proklamator ini.

Buku kiri yang sebenarnya tidak benar-benar kiri itu menurut saya --justru setelah membacanya-- adalah buku-buku Tan Malaka. Tan Malaka adalah tipe manusia radikal tapi tidak gegabah dan sangat penuh perhitungan. 

Pada masa kuliah ini juga saya mulai masuk ke tema-tema budaya. Berawal dari Cak Nun saat kuliah, berlanjut ke Kuntowijoyo setelah selesai kuliah. 

Namun sebelum itu, aktif di lembaga dakwah saat kuliah, pemikiran saya banyak dibentuk oleh buku-buku tarbiyah. Buku-buku Salim A Fillah berada di urutan pertama, terutama buku "Dalam Dekapan Ukhuwah". Saya rasakan betul bagaimana buku itu banyak mengarahkan saya bagaimana bergaul dengan para al-akh, yang sampai hari ini tidak banyak berubah. 

Selama masa kuliah ini pula, saya mulai berkenalan degan buku-buku Buya HAMKA. Mungkin karena di era ini buku-buku yang sebelumnya telah hilang tiba-tiba muncul kembali di rak-rak utama toko buku. Untuk ini, saya berterima kasih kepada dua penerbit: Gema Insani dan Republika. 

Demikianlah, saya sekarang adalah apa yang saya baca dari sejak belasan tahun silam. Dan saya di masa yang akan datang adalah apa yang saya baca sejak hari ini. Bukan hanya badan, pikiran manusia juga terus berevolusi. 

*** 

(V) selepas kuliah

Sebelum melanjutkan tulisan estafet ini, saya ingin mengingat kembali mengenai buku-buku yang banyak merubah hidup saya, tapi kok hampir lupa saya tuliskan. Padahal pengaruh yang ditimbulkan sangat dalam menghujam. Saya juga mengoleksi dan membaca buku-buku Sirah Nabawi, kebanyakan terjemahan. Yang bukan terjemahan (baru) satu: The Great Story, Muhammad shalallahu alaihi wassalam, karya Ahmad Hatta, dkk., terbitan Maghfirah Pustaka. Bukunya bagus full color dan full gambar. Buat pembaca Sirah Nabawi pemula, buku itu sangat rekomendasi. 

Di antara buku Sirah Nabawi terjemahan yang saya baca, yang paling menyentuh adalah karya Martin Lings. Saya pernah dibuat menangis oleh buku itu saat penulisnya mengisahkan bagaimana akhirnya Allah membebaskan fitnah berbulan-bulan yang dialami oleh bunda Aisyah ra. Buku itu tiga kali saya baca, di tiga bulan Ramadhan yang berbeda (2014, 2015, 2016). Tiga kali pula dibuat menangis. Memang beda resonansinya, buku yang ditulis oleh sejarawan murni dan oleh sejarawan sekaligus sastrawan. Martin Lings adalah perpaduan keduanya. 

Dari buku the Mistism of Hamzah Fansuri yang ditulis oleh Syed Naquib Al-Attas, saya baru tahu kalau Martin Lings adalah guru beliau. Padahal Syed Naquib sendiri adalah guru dari Ustadz yang sangat saya kagumi dan hormati: Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. Saya mengenal beliau melalui tulisan-tulisannya yang menolak paham liberalisme. Bukunya berjudul "Misykat, Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam", benar-benar membuat saya angkat topi. Tulisan-tulisannya ringkas, tapi referensi dan muatan bobotnya sangat berat. Dua kali saya khatamkan buku itu dan makin terpesona. 

Saat membaca buku Nurcholish Madjid, "Islam, Doktrin dan Peradaban", dengan segala keawaman saya, saya coba untuk menyayangkan. Andai diksi liberalisasi yang digagas oleh Cak Nur tetap seperti diksi awalnya: desakralisasi --mungkin polemiknya tidak akan berkepanjangan sampai seperti sekarang ini. 

***

Saya menjalani hidup sebagai dokter belumlah lama, baru lima tahun. 

Selama lima tahun ini saya banyak beralih bacaan. Terbentuk dari hal-hal sepele yang sebenarnya tak sepele. Genre banyak berubah saat saya sowan ke rumahnya Ust. Arif Wibowo dan melihat koleksi perpustakaannya. Saya iri mendengarnya sejak SMA sudah membaca Tafsir Al-Azhar sampai khatam. Sementara kedatangan saya ke rumah beliau pertama kali justru karena memesan kitab itu dan baru bacanya. 

Melihat perpus Ust. Arif, yang terlintas di pikiran: "saya juga harus punya bukunya, penulis yang buku-bukunya beliau koleksi." Jadilah saya berkenalan dengan penulis-penulis seperti: MC. Ricklefs, Clifford Gertz, sampai Thomas W Arnold. Setelah membaca sebagian dari karya-karya mereka, pengembaraan saya justru semakin jauh menyelami tulisan orientalis lain seperti John Williams Draper, John L. Esposito, sampai Philip K Hitti.

Yang lebih gila lagi saat saya berkunjung ke rumah Mas Bandung Mawardi a.k.a Pak Kabut. Melihat koleksi buku-bukunya bikin saya jadi malas untuk beranjak kemana-mana. Saya harus berterima kasih kepada sahabat saya Faizal Surya yang telah mengenalkan saya dengan beliau. Saya jadi semakin keranjingan baca buku kayak orang kesambet. Tidak hanya menyarankan bacaan, tapi beliau juga menyarankan saya untuk menulis. Jadilah tulisan ini sebagian besar lahir atas motivasinya. 

*

Terima kasih sudah membaca tulisan bersambung ini sampai akhir. Semoga ada hikmah yang bisa dipetik. 

Selamat memperingati Hari Buku Nasional.

Selamat Mencintai Buku-Buku.

SELESAI.