Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

Resensi buku Pengantar Ilmu Sejarah

Saya harus selalu menyediakan bolpoin, penggaris, dan stabilo, setiap kali membaca buku pak Kunto. Itu artinya saya harus baca buku fisik (bukan buku digital), dan tentu saja buku saya sendiri, bukan buku pinjaman. Ada kepuasan yang tidak bisa dijelaskan. Selain itu, juga ini untuk arsip pribadi jika suatu saat nanti saya mau buka-buka lagi bukunya. 

Sampai sekarang saya baru bisa mengumpulkan 23 bukunya (masih ada beberapa judul yang belum saya dapatkan). Dan buku “Pengantar Ilmu Sejarah” ini adalah salah satu sudah dan baru saja saya khatamkan.

Dalam buku ini pak Kunto benar-benar seperti seorang filsuf sejarah yang memaparkan ilmu sejarah dari hal yang paling mendasar: apakah sejarah itu, gunanya, sejarah penulisan, sejarah sebagai ilmu dan seni, pendidikan sejarawan, penelitian sejarah, sejarah dan ilmu-ilmu sosial, kekuatan sejarah, generalisasi sejarah, kesalahan-kesalahan sejarawan, sejarah dan pembangunan, sampai dengan ramalan sejarah. 

Sekalipun tidak mengenyam pendidikan akademik formal sebagai sejarawan, orang yang membaca buku ini akan dibuat terpesona oleh profesi tersebut. Setidaknya, itulah yang yang saya rasakan setelah membacanya. Apalagi penulisan sejarah itu memang tidak mesti hanya dilakukan oleh sejarawan profesional, melainkan siapa pun boleh, sebagaimana dalam buku ini pak Kunto membagi sejarawan menjadi tiga kelompok, (1) sejarawan profesional, (2) sejarawan dari disiplin lain, dan (3) sejarawan dari masyarakat. Contoh sejarawan dari disiplin lain adalah seorang dokter yang menulis sejarah epidemi di tempatnya atau sejarawan dari masyarakat yakni para kiai, lurah, atau santari yang menulis sejarah pondok pondoknya sendiri (Hlm. 66).

Pak Kunto memulai buku ini dari Bab 1 dengan memantik pertanyaan apakah sejarah itu serta istilah yang memakai kata sejarah. Beliau menulis, "Apa yang sudah terjadi atau sejarah itu dua macam, yaitu yang terjadi di luar pengetahuan manusia (disebut juga sejarah objektif) dan yang terjadi sepengetahuan manusia (disebut juga sejarak subjektif) (Hlm. 2).

Pernyataan itu membuat saya teringat nasihat sejarawan Prof. Taufik Abdullah dalam salah satu acara seminar yang saya tonton di YouTube, beliau tidak setuju dengan penggunaan istilah "meluruskan sejarah", silakan membuat tulisan sendiri kalau punya versi yang berbeda. 

Prinsipnya ada di metodologi, pekerjaan sejarawan adalah pekerjaan merekonstruksi. Mengenai metodologi, pak Kunto juga sudah membahasnya lebih detail dalam buku tersendiri berjudul Metodologi Sejarah. Jadi buku ini sebenarnya merupakan trilogi dari buku Pengantar Ilmu Sejarah yang beliau tulis. Satu buku lagi berjudul Penjelasan Sejarah, semuanya diterbitkan oleh penerbit Tiara Wacana. Kedua buku tersebut sedang proses saya khatamkan secara paralel. 

Jadi, sejarah memang punya sisi subjektif dalam penulisan, apa yang dianggap pemerintah Belanda sebagai pendudukan adalah agresi oleh pemerintah Indonesia. Perang Jawa 1925-1930 akan dicatat sebagai pemberontakan oleh pemerintah Hindia Belanda, sebaliknya pengikut Pangeran Diponegoro akan mencatat hal tersebut sebagai: perlawanan terhadap penjajahan Belanda. 

Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta. Sejak saat itu, penulisan sejarah lebih menekankan Indonesia-sentris dari yang sebelumnya Belanda-sentris. 

Masih di Bab yang sama. Mungkin banyak di antara kita menganggap ilmu sejarah itu sama seperti ilmu sosial lainnya. Sekurang-kurangnya, kita tidak bisa membedakan apa batasan (epistemologi) antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya. 

Dalam buku ini pak Kunto menejelaskan definisi itu secara gambalang bahwa sejarah ialah ilmu tentang manusia, hal itu ditegaskannya saat menulis, "Peristiwa masa lalu itu sangat luas. Terjadinya alam semesta memang sudah berlalu, tetapi itu menjadi objek penelitian astronomi, bukan sejarah. Demikian pula pergeseran-pergeseran bumi di masa lalu merupakan pekerjaan geologi dan bukan sejarah. Jadi sejarah hanya bercerita tentang manusia. Akan tetapi juga bukan cerita tentang masa lalu manusia secara keseluruhan. Manusia yang berupa fosil menjadi objek penelitian antropologi ragawi dan bukan sejarah. Demikian juga benda-benda, yang meskipun itu perbuatan manusia juga, tetapi lebih menjadi pekerjaan arkeologi. Sejarah hanya mengurusi manusia masa kini. Ada persetujuan tidak tertulis antara arkeologi dan sejarah di Indonesia yang sampai sekarang pada umumnya masih berlaku. Sejarah akan meneliti peristiwa-peristiwa sesudah 1500." (Hlm. 10).

Namun demikian dalam prosesnya, objek manusia itu juga menjadi kajian beberapa ilmu sosial lain seperti sosiologi, politik dan antropologi. Tentu latar belakang tulisan bisa lebih jauh menelisik waktu yang lebih jauh ke belakang. Sehingga seorang sejarawan yang baik dituntut untuk menguasai cabang ilmu-ilmu sosial lain. Mungkin itu pula sebabnya di awal Prakata buku ini pak Kunto menulis, "Bela diri tangan kosong itu boleh. Tapi menulis sejarah dengan otak kosong tidak demikian."

Selain itu, perbedaan lainnya adalah sejarah ilmu tentang waktu (diakronis) sementara ilmu-ilmu sosial lain melebar dalam ruang (sinkronis). Makanya dalam penulisan sejarah terdapat batasan waktu kronologis yang jelas, misal ketika bercerita tentang sejarah Pemberontakan Petani Banten 1888, atau Revolusi Indonesia (1945-1949). Batasan waktu inilah yang membedakannya dengan cabang ilmu lain. 

Demikianlah secuil ringkasan buku ini. Sebenarnyalah kalau kita baca sendiri, semua isinya terasa seperti ringkasan. Bab 11 mengenai Sejarah dan Pembangunan adalah Bab yang paling saya sukai, dari pemaparan itu terasa sekali relevansi ilmu sejarah dalam kehidupan sehari-hari. Baca buku ini membuat kita tidak hanya melek sejarah, tapi juga melek ilmu sejarah. "Bangsa yang belum mengenal tulisan mengandalkan mitos, dan yang sudah mengenal tulisan umumnya mengandalkan sejarah." (Hlm. 17)

MASJID SEBAGAI PUSAT PERADABAN

Oleh: Iwan Mariono

Saya baca buku ini sampai khatam disela-sela aktivitas: shift jaga saat tidak ada pasien, menemani istri dan anak jalan-jalan, menunggu antrian, sambil makan, nongkrong di warkop atau angkringan bersama beberapa teman, dan aktivitas lainnya di mana pun saya berada yang tidak pernah lepas dari membawa buku.

Filosofi masjid sebagai PUSAT PERADABAN bagi umat Islam adalah sebuah cakrawala yang baru buat saya setelah membaca buku ini. Semacam suatu kesadaran baru, meskipun dalam prakteknya saya melihat beberapa masjid telah menjalankan fungsi tersebut. Peran seorang arsitek masjid menjadi sangat penting di sini. Mereka yang tidak memahami filosofi ini akan mendesain bangunan masjid yang hanya menjadikannya sebagai tempat ibadah wajib semata, dan tidak mendirikan sarana pendukung terhadap fungsi lain yang tidak kalah pentingnya.

Bentuk masjid sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, haruslah mencakup tiga ruang utama, yakni (1) haram; (2) riwaq; dan (3) sahn. Haram artinya ruang masjid yang harus senantiasa dalam kondisi suci. Sedangkan riwaq (serambi) dan sahn (pelataran) adalah bagian lain yang tidak disakralkan, namun memiliki fungsi yang tidak kalah penting di mana pada zamannya, Nabi menjadikan kedua tempat ini sebagai pusat madrasah bagi para pengikutnya. 

Kenyataan yang kita jumpai saat ini justru lebih banyak, sebagaimana Dr. Revianto Budi Santoso dalam pengantar buku ini menulis, "Madrasah-madrasah ini memiliki masjid bukan sebagai jantung kehidupan akademiknya, namun sebagai fasilitas untuk ibadah shalat saja. Bukan lagi masjid yang dilengkapi dengan madrasah, tapi lebih berupa madrasah yang dilengkapi dengan masjid". Sehingga wajar jika masjid tersebut tidak bisa menjalankan fungsi sosialnya. Masjid, sebagai tempat suci yang sakral, jika kita telusuri dari sejarah lahirnya di Madinah, ternyata menyisihkan bagian-bagian yang profan. Bagian inilah yang tidak banyak disadari oleh mayoritas Muslim, termasuk saya sebelum membaca buku ini. 

Andika Saputra (saya memanggilnya pak Andika), mengulasnya dengan detail dalam buku ini: peran masjid yang banyak dilupakan atau belum disadari oleh umat Islam. Melalui buku ini, kita akan berkenalan dengan Sidi Gazalba, yang pada enam dekade sebelumnya (1962) telah menjelaskan fungsi masjid yang terbagi menjadi dua: Mahdhah dan Ghairu-mahdhah. Yang pertama merujuk pada pengertian sebagai tempat ibadah sujud lahir (shalat fardhu lima waktu), dan kedua sebagai sujud batin. Yang terakhir ini yang menjadi fokus dalam pembahasan di bagian 2 buku ini (setelah terlebih dahulu di bagian 1 membahas narasi Sains Islam).

Kita bisa menjabarkan lebih luas fungsi ghairu-mahdhah itu dengan meminjam penjelasan dari Rifa'i dan Fakhruroji (2005) mengenai peran masjid yang terbagi menjadi tiga: (1) peran risalah, yakni menyampaikan ajaran Islam kepada seluruh masyarakat di sekitar lingkungan masjid, baik kepada kalangan umat Islam agar semakin memahami agamanya maupun kepada kalangan non-Muslim agar mengenal Islam dengan tepat; (2) peran intimaiyyah yakni mempersatukan umat Islam di lingkungan sekitar masjid sehingga terbentuk komunitas umat Islam yang berpusat di masjid; (3) peran khidmat, yakni memberikan pelayanan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduniaan masyarakat yang bermukim di lingkungan sekitar masjid. 

Namun demikian, masjid yang ideal sekalipun, jika tidak diisi oleh jamaah yang menjadi modal SDM masjid, maka masjid tersebut akan kehilangan fungsinya. Terutama di tengah kemelut pandemi, banyak Muslim yang gagap dan tidak siap dalam menghadapi penyeberan covid-19. Kegagapan itu mempunyai sifatnya sendiri, baik dalam bentuk penolakan, atau ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan. Di sinilah penulis buku ini menekankan pentingnya umat Islam melek sains. Terinspirasi dari Kuntowijoyo, penulis mencoba mengelaborasi tingkatan beragama seorang Muslim, dari yang paling rendah, Islam sebagai mistis, beranjak menjadi Islam sebagai ideologi, hingga Islam sebagai (sumber) ilmu yang merupakan puncak tertinggi keberagamaan seorang Muslim. 

Sayangnya, buku ini baru terbit setelah pandemi covid-19, terutama terkait pembatasan aktivitas, telah berlalu. Jika pandemi covid kembali bergejolak dan memaksa manusia untuk membatasi mobilitasnya, jelaslah bahwa pesan dalam buku ini menjadi solusi yang sangat kongkrit. Tentu kita tidak berharap akan ada pandemi lagi setelah ini. Namun jika takdir Allah berkata lain, dan secara prediksi sains memang dikatakan bahwa manusia akan melewati beberapa pandemi setelah sekian dekade, maka kelak kita mungkin perlu untuk membuka kembali buku ini.