Rinai hujan sore tadi, aku berteduh di bawah payung milik penjual ketoprak (belain hujan2an demi pengen makan ketoprak, hehe). Sembari menunggu si bapak penjual yg sedang shalat, nampak olehku gerobak sendal di seberang jalan yg jg sedang berteduh karena kehujanan.
Pemilik sepeda dengan gerobak sendalnya itu tidaklah asing bagiku, seorang bapak paruh baya, yg setiap hari menjajakan dagangan sendalnya di sekitar kampus UMS, bahkan di lain waktu aku pernah menjumpainya di sekitar Manahan.
Ada sedikit cerita yg pengen aku bagi. Aku sudah lupa kapan terakhir beli sendal ke bapak itu, yg aku ingat adalah sudah 3x aku beli sendal ke bapaknya. Entah kenapa, beli sendal di sini jauh lebih berkesan bagiku dari pada beli di toko apalagi di mal. Berkesan karena harga sendal di toko maupun mal jarang ada diskonan. Hahaha..
Di waktu yg sama, masih kuingat dulu, seorang ibu ditemani suaminya turun dari mobil, tanya harga, kemudian menawar sampe hampir setengahnya, yg menurutku di luar batas sewajarnya.. ujung2nya pun tidak jadi beli.
Memang sih hak pembeli mau beli apa tidak, tapi ya mbok kasian dikitlah sama bapaknya, kalo memang tidak niat, tidak perlu nawar harga sampe segitunya dan berharap --aji mumpung-- si bapak pasrah melepas dengan harga yg murah.
Padahal bicara harga, sandal yg dijual oleh bapak ini juga relatif lebih murah dibanding tempat lainnya. Itu yg membuatku segan untuk menawarnya. Bahkan saat beli sendal sengaja tidak aku tawar, eh, malah bapaknya sendiri yg menurunkan harga. Betapa senangnya aku saat itu, kukatakan: "Pak, sy nggak menawar lo ya, bapak sendiri yg menurunkan harga."
Si bapak dengan ikhlas tersenyum.
Dari sini aku menarik kesimpulan, oh, ternyata dalam berdagang, bapak ini mengambil keuntungan sewajarnya. Beliau sengaja menaikkan harga di awal mungkin sebagai kompensasi dari kebiasaan pembeli yg menawar secara tidak wajar.
Demikian sedikit cerita.. semoga kita bisa memetik hikmah dalam hal bermuamalah.
25012017
Bapak Penjual Sendal
05.29
Rumahku Surgaku
Posted in
Budaya “makan minumnya teh” di Pulau Jawa
05.16
Rumahku Surgaku
Jawa, pulau dengan penduduk terpadat di dunia. Konon kehidupan di
sini sudah ada sebelum zaman Sulaiman AS. Kalau menakar sesuai kaidah
antropologi, peradabannya dimulai sejak 10.000 tahun SM (Sebelum Masehi). Usia kronologis
yang tentulah sudah sangat tua. Bangsa-bangsa Eropa boleh saja berbangga dengan
kemajuan teknologi dan informasinya, tapi secara kronologis maupun biologis peradabannya
masihlah terbilang belia apabila disandingkan dengan peradaban Bangsa Asia, yakni
Indonesia, walbi khusus Pulau Jawa.
Sekira 7 tahun tinggal di pulau ini, terutama Jogja
dan Solo untuk waktu yang paling lama, cukuplah buat saya untuk memahami
sebagian besar kebiasaan penduduknya, tanpa terkecuali yang bukan orang jawa. Dan
di antara keunikan yang tidak saya temukan di tempat lain kecuali di Pulau Jawa
(dari Jawa Timur sampai Jawa Barat), adalah budaya minumnya. Beda tempat beda juga budaya makan dan minumnya. Khusus
minum, hanya di Pulau Jawa kita dapatkan pertanyaan: “Minumnya apa?” dan
lazimnya kalau tidak es jeruk ya es teh, atau dengan pertanyaan yang lebih
spesifik, “Teh anget nopo es (Teh hangat apa es teh), Mas?” yang
membuat kita seperti disisakan oleh hanya dua pilihan saja. Ini juga berlaku di
Jawa Barat, bedanya, kalau di Jawa Tengah dan Timur tehnya pakai gula sementara
di sana tehnya teh tawar. Ini saya amati ketika beberapa tahun lalu jalan-jalan
ke Bandung dan Karawang. Sehingga untuk memesan teh versi penyediaan orang
jawa, kau harus pesan khusus sedari awal ke penjualnya: “Mang, tehnya pakai
gula ya…”, sementara kalau di Jawa Timur dan Jawa Tengah atau Jogja sebaliknya,
“Teh tawar, Mas.” Sama-sama teh, hanya beda di manis atau tidaknya. :)
Bisa anda bayangkan, kebiasaan
minum di sini sudah diarahkan sejak kita pertama kali masuk rumah makan atau
ketika nongkrong di angkringan, bahkan saat bertamu di rumah orang. Adapun di
Sulawesi dan beberapa tempat di luar Jawa lainnya yang pernah saya kunjungi,
tidak pernah saya dapatkan pertanyaan seperti itu. Apalagi Sulawesi yang
merupakan kampung halaman penulis, umumnya tidak menanyakan mau minum apa
karena air minum di ceret serta gelasnya sudah berjejer rapi di atas meja,
sedang yang di kota besar disediakan air kemasan mineral di mejanya. Karena
sesuai kebiasaan orang sana: yang namanya minum ya air minum (putih/bening),
tinggal mau yang dingin apa yang tidak dingin. Kecuali anda memesan khusus agar
dibuatkan minuman jenis ini atau itu. tapi tidak akan ditawari pertanyaan: “Mau
minum apa, Daeng?” atau “Minum teh hangat apa es jeruk, Pace’?”. Tidak, tidak
ada pertanyaan yang seperti itu.
Maka tidak heran, beberapa waktu
lalu sahabat saya yang orang jawa jalan-jalan untuk pertama kali ke Tanah
Toraja bercerita, saat makan kok tidak disuguhi minum bahkan ditawari mau minum
apa –pun tidak, setelah cukup lama canggung akhirnya dialah yang meminta
sendiri kepada pemilik warung agar minumnya dibuatkan teh hangat. Dari cerita
teman saya ini, pelayan rumah-makannya terlihat sedikit berkerut aneh mendengar
permintaan itu, mungkin ini pelanggan yang pertama-tama yang minta, walau
akhirnya dibuatkan juga teh hangatnya. Teman saya ini baru sadar kalau air
mineral yang disediakan di atas meja itulah sebenarnya air minumnya.
Justru ini terbalik kondisinya
saat saya minta minumnya air putih biasa atau banyu petak kalau kata
orang jawa. Cobalah perhatikan pemilik warung (mungkin tidak semua, tapi
beberapa kali sering saya alami); ketika saya makan dan ditawari “mau minum apa,
Mas?” lantas saya jawab “petak” kok ada ekspresi yang sedikit berbeda
dari pemilik warungnya, tidak se-semangat kalau saya pesan es teh, es jeruk
atau setegah berteriak: jus melon. Saya hanya bisa tertawa dalam hati, tenang Wan,
ini hanya masalah bisnis jual-beli makanan. Dua tahun yang lalu bahkan saya
pernah mendapat ucapan seperti ini dari penjual angkringan yang pernah saya
singgahi: “Oalah, Mas, wis 2015 kok ngombene jik banyu putih (walah,
Mas, sudah tahun 2015 kok minumnya air putih).” Kali ini justru saya yang tidak
tahan untuk tidak mengerutkan dahi. Kejadian ini juga yang membuat saya selanjutnya
menjadi sungkan kalau pesan makan dan minumnya ‘hanya’ air putih. Hehehe..
***
Waktu begitu cepat berlalu sehingga
banyak hal yang mulai berubah dalam kehidupan saya. Dulu, sebelum menginjakkan
kaki untuk pertamakali di Pulau Jawa, makan nasi minumnya teh adalah suatu hal
yang tidak lazim saya temukan di kampung halaman. Setelah sekian lama
beradaptasi kondisinya kini terbalik, saat pulang ke kampung halaman ada yang
kurang jika es teh dihilangkan atau makan minumnya hanya dengan petak doang.
Dari sini juga saya belajar banyak
hikmah, terkait transformasi budaya dan interaksi sosial, bahwa kultur dan
kebiasaan kita itu dibentuk oleh tempat di mana kita tinggal. Awalnya kita
mencoba beradaptasi seperti kata peribahasa, “di mana bumi dipijak di situ
langit dijunjung”, tapi kemudian kita akan menjadi bagian dari apa yang sering
dipaparkan. Kita merasa kehilangan jika kebiasaan-kebiasaan yang sudah
terlanjur melekat itu dicoba kembali untuk dihilangkan.
Sekiranya demikian. Dan ini berlaku
dalam segala hal dan bidang. “Makan minumnya teh” ini hanya contoh kecil yang
luput dari perhatian orang.
*Iwan Mariono
**Sukoharjo, 06 Oktober 2017
Posted in
Langganan:
Postingan (Atom)