Di antara Makassar
– Manado (Wentira)
Cerpen
by Iwan Mariono
Hujan masih membasahi Makassar saat Dita
dan Nindi hendak berangkat ke Surabaya. Sepagi ini Joni harus mengantarkan
mereka melewati jalanan yang penuh sesak oleh kendaraan seolah tidak peduli dengan
cuaca. Mobil terus berjalan menembus kemacetan kota. Wiper-wiper pada
kaca mobil bekerja lebih cepat membersihkan guyuran hujan yang mengurangi jarak
pandang. Makassar sepagi ini diguyur hujan deras.
Makassar adalah satu-satunya kota
metropolitan yang ada di Sulawesi maupun Indonesia Timur saat ini. Kota yang
dari tahun 1971 sampai 1999 sempat berganti nama Ujung Pandang ini adalah kota
terbesar di Indonesia Timur yang memang sudah menjadi ibukota provinsi sejak awal
Indonesia merdeka. Saat itu hanya ada 8 provinsi di Indonesia, salah satunya adalah
Provinsi Sulawesi dengan Dr. DJJ. Sam Ratulangi sebagai gubernur pertama. Namanya
kembali menjadi Makassar setelah kota ini menjadi kotaraya. Sampai tahun 2009,
Makassar resmi menjadi kota metropolitan. Tak ayal lagi dimana pun di Indonesia
yang menjadi pemandangan tersering kota metropolitan: kemacetan.
Kira-kira hampir satu jam perjalanan mereka
akhirnya sampai di Bandara Sultan Hasanuddin. Mobil Jeep yang mereka
kendarai parkir di pelataran bandara. Koper dan barang bawaan di turunkan depan
lobi. Dita dan Nindi turun lebih dulu. Jadwal pesawat yang tertera di tiket dua
gadis itu pukul 09.00 WITA, masih sejam lagi baru check in. Hujan mulai
reda, hanya menyisakan rintik-rintik kecil.
Suasana lengang.
Entahlah kenapa bandara tampak sepi, tidak
ada siapa-siapa di sana. Tidak terlihat mobil atau motor di tempat parkir. Taxi
yang biasa parkir memanjang sepanjang lobi juga tidak tampak. Juga tidak ada seorang
pun di lobi kedatangan. Sangat ganjil dengan suasana yang biasanya sebelum
terbit fajar sudah dipenuhi oleh calon penumpang. Apalagi bandaranya adalah
Bandara Internasional.
Suasana seperti ini jika dalam film kadang
mengundang bulu kudug untuk merinding. Namun memang bukan hanya di film-film
saja hal seperti itu terjadi. Suasana saat ini juga memang seperti suasana
angker yang membuat merinding Dita dan Nindi. Joni mencoba menelusuri basement
mencari barangkali ada orang di sana. Tidak ada siapa-siapa, kecuali
seorang kakek yang sedang duduk di sudut tempat ibadah seperti seseorang yang
sedang tafakur.
“Permisi…” Joni menyapa dengan sedikit
waspada, “Nek, kemana semua orang kok sepi sekali?”
Kakek tua itu menoleh ke sumber suara.
Tidak ada jawaban apa-apa dari mulutnya.
“Mau kemana kita Nek?”
Kita adalah kata ganti kamu bagi sebagian besar
orang Makassar. Juga, sekalipun orang tua tersebut laki-laki, kadang dipanggil Nek
oleh mereka. Sedikit rancu memang. Tidak ada istilah mbah kakung
atau mbah putri.
“Mau ke Palu, kenapa kah?” akhirnya
bersuara juga kakek yang kira-kira usianya hampir 70 tahun itu dengan nada yang
terkesan kasar padahal sebenarnya halus. Memang seperti itulah logat Sulawesi.
“Tidak apa-apa ji, cuma heran saja
kenapa sepi sekali bandara ini.” Joni yang terheran-heran melihat tidak ada
satu pun petugas bandara yang datang, juga penumpang apalagi pengantar.
“Memang dari dulu sudah seperti ini.”
“Ha..” desah Joni dalam yang merasa
keheranan.
Lengang.
Joni kembali ke lobi. Tidak ada siapa-siapa
di sana. Dita dan Nindi sudah duduk di ruang tunggu. Karena tidak ada petugas
yang jaga, mereka langsung masuk saja ke dalam. Tidak ada petugas check in
juga tidak ada petugas yang jaga di ruang boarding. Bahkan, pesawat yang
akan berangkat pagi ini juga tidak nampak. Hanya ada satu pesawat yang parkir
di ujung lapangan yang itu pun sudah lumutan. Seperti sudah berbulan-bulan
parkir di sana. Sepertinya pesawat itu memang milik sebuah maskapai yang sudah
tidak beroperasi lagi beberapa tahun ini. Mungkin karena maskapainya bangkrut.
Boleh jadi karena tidak layak terbang. Atau, entahlah. So what gitu.
Apa yang dibilang kakek tadi membuat Joni
tidak habis pikir –bagaimana tidak, baru seminggu yang lalu dia yang juga
bersama Dita dan Nindi mengantarkan kedua orang tua mereka yang hendak
berangkat ke pulang ke Manado. Suasana saat itu ramai sekali, ditambah ada
presiden dan menteri yang datang dari Jakarta membuat bandara semakin ramai
dipadati oleh wartawan. Sangat kontradiksi dengan suasana pagi ini.
Tiba-tiba handphone Nindi berdering.
“Halo Ma?”
“Sudah di bandara?” tanya mama di seberang sana, “jam
berapa berangkat?”
“Sudah, tapi kok sepi sekali ya, padahal
waktu Nindi sama Kak Dita dan Kak Joni antar mama sama papa berangkat ke
Manado minggu lalu tidak seperti ini. Pesawat yang mau berangkat juga belum
datang. Aneh.”
Mama di seberang sana tiba-tiba terlonjak
dari tempat duduknya. Ternyata hal tersebut kini dialami oleh ketiga anaknya. Saat
itu, setiba di bandara suasana begitu sepi, tidak ada siapa-siapa di sana.
Tante Nanik dan Om Syarif yang seharusnya menjemput mama dan papa juga tidak
ada saat itu. Mama yang merasa ada yang ganjil mencoba bertanya pada penumpang
lain di sebelahnya. Tapi penumpang itu yang justru melihat mama dengan tatapan
heran, dengan kesan berkata: memang sudah dari dulu kan seperti ini.
Selang beberapa saat mama baru sadar kalau pesawat tidak mendarat di Bandara
Sam Ratulangi. Pesawat yang mama dan papa tumpangi justru mendarat di Bandara
Mutiara, Palu.
Hanya papa yang merasa fine-fine aja
dengan kondisi yang terjadi saat itu. Mama yang akhirnya sadar dengan kondisi
yang terjadi akhirnya mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan baru itu.
“Kalian masuk di sini juga ternyata.” Lirih mama berkata.
“Maksudnya Ma?”
Mungkin memang sudah waktunya mereka tahu.
Akhirnya mama menjelaskan detail apa yang sebenarnya terjadi, apa yang mereka
alami saat ini.
“Kenapa mama baru cerita sekarang?”
“Maafkan mama baru cerita sekarang.
Sebenarnyalah sejak awal mama menikah, mama merasa ada yang aneh dengan
lingkungan keluarga papamu. Setelah setahun lebih menikah, baru mama mengerti
keadaan sebenarnya. Andai saja ayah Khidir, kakek kalian, itu masih hidup, dia
pasti bisa menjelaskan semuanya. Kakekmu meninggal ketika kalian belum lahir.
Dialah yang sebenarnya tahu pintu keluar tempat ini.”
Percakapan terputus.
“Ada apa?” tanya Dita kepada adik
bungsunya.
“Entahlah Kak, sepertinya, sejak masuk
pintu bandara tadi, kita sudah bukan lagi di Makassar.”
“Maksudnya?”
Nindi menjelaskan kembali apa yang
disampaikan ibu mereka tadi. Yang intinya, mereka saat ini bukan di Makassar
lagi.
“Apaaa?” Jawab kedua kakaknya secara
bersamaan. Melotot matanya sebagai tanda tidak percaya. Benar-benar sulit
dipahami apa yang baru saja disampaikan adiknya. Sulit dipercaya. Mustahil.
Wajah Dita tiba-tiba tampak pucat.
“Apakah kalian hendak ke Palu?” Suara yang
tiba-tiba muncul di belakang mereka membuat Dita dan Nindi terlonjak kaget dan
reflek menoleh ke sumber suara. Kecuali Joni yang dari jauh sudah melihat Kakek
Tua itu berjalan ke arah mereka.
“Mereka mau ke Surabaya Nek, saya
hanya mengantar mereka sampai bandara.”
Jawab Joni yang sekaligus mencoba menggali informasi dari satu-satunya
orang selain mereka bertiga yang ada di bandara itu. “Sebenarnya di mana saat
ini kami berada Nek?”
Dita mengambil program magister di sebuah
kampus swasta di Surabaya, sementara Nindi baru saja diterima kuliah di jurusan
kedokteran, juga di Surabaya. Mereka adalah kakak dan adik Joni, dia sendiri
mengambil jurusan Hukum di Universitas Hasanuddin.
“Pesawat di bandara ini hanya ada satu
tujuan, yakni ke Palu. Jadi sebaiknya kalian berangkat ke Palu saja. Tunggulah.
Setengah jam lagi pesawat itu akan datang. Dan kau,” pandangan kakek itu
mengarah ke Joni, “sebaiknya kau ikut juga ke Palu, tidak ada guna kau kembali
ke rumah, kau justru akan semakin tersesat. Ini bukan Makassar, ini hutan
belantara. Pintu masuk kota bukan di sini.”
Setelah kakek itu menjelaskan
panjang-lebar, Dita, Joni dan Nindi akhirnya sepakat berangkat ke Palu. Walau di otak mereka masih
dipenuhi oleh banyak sekali pertanyaan.
Pesawat yang mereka tumpangi tidak ada
bedanya dengan pesawat domestic pada umumnya. Ada petugas kabin dengan
pakaiannya yang seksi memberikan instruksi cara menggunakan standar keamanan
pesawat terbang sebelum keberangkatan. Hanya saja ekspresi mereka semua dingin.
Tidak ada senyum. Begitu juga dengan penumpang lain hanya beberapa orang.
Sepertinya pesawat ini singgah di Makassar tadi hanya untuk menghampiri mereka
bertiga, karena tidak ada lagi penumpang lain . Semua penumpang sudah ada di
dalam sebelumnya.
Pesawat yang mereka tumpangi juga tidak
menyisakan kursi kosong. Semua seperti sudah di desain untuk jumlah penumpang
yang ada saat ini, menyisakan ruang kosong yang cukup luas di tengah. Otomatis,
setiap orang bisa melihat semua penumpang yang ada di situ. Ini bukan dunia
lain. Secara fisik mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang pada umumnya. Penampilan
mereka adalah manusia normal. Ada gadis yang duduk di pojok pesawat sendirian,
walau ekspresinya yang dingin, itu sama sekali tidak mengurangi kecantikannya.
Juga seorang pria yang duduk di samping pintu darurat, bodinya yang kekar dan
wajahnya yang tampan membuat Nindi sempat berbisik ke samping kakaknya, “Kak pria
itu keren juga.” Lantas tersenyum tanpa suara.
“Ssstt…!!!” Hanya itu yang keluar dari
mulut Dita. Kembali wajahnya beku.
Perbedaan secara fisik itu akhirnya nampak.
Nindi yang mencoba menyapu wajah-wajah seluruh penumpang itu satu per satu
akhirnya mendapatkan perbedaan yang mencolok dari fisik mereka. Perbedaan fisik
yang tidak banyak.
Mereka tidak mempunyai cekungan di bawah
hidung.
Setelah hampir dua jam di atas pesawat
akhirnya tiba juga mereka di Palu.
Kota Palu yang secara geografis terletak di
garis khatulistiwa membuat kota ini terasa panas. Pada jam 12 siang matahari
tepat di atas ubun-ubun tanpa membentuk bayangan. Cuaca pada siang hari
benar-benar terasa panas, malam hari bahkan air sumurnya juga terasa hangat.
Walau demikian kota ini masih tampak asri oleh karena volume kendaraan yang
masih kurang dibanding dengan kota-kota yang ada di Jawa atau Makassar,
membuatnya sedikit bebas dari polusi.
Ini adalah pertamakali mereka menginjakkan
kaki di Kota Palu. Ketiga bersaudara itu lahir dan besar di Manado oleh karena
ibunya sendiri memang asli Manado. Rumah mereka tidak jauh dari Pasar Tomohon.
Pasar yang jika kalian hendak wisata kuliner di sana, kalian akan mendapatkan
makanan ekstrim seperti daging tikus, kelelawar, biawak, kucing, kobra, dan
lain sebagainya. Sampai-sampai sebagian orang mengatakan: Semua yang berkaki
empat di situ dimakan, kecuali kaki meja dan kursi.
Kembali ke tiga bersaudara tadi.
Suasana di sini sedikit lebih rame
dibanding di Makassar tadi pagi. Entahlah, apakah ini memang pusat kotanya,
yang jelas bandara rutinitas di sini seperti rutinitas di bandara-bandara pada
umumnya. Yang tidak umum adalah orang-orangnya. Ekspresi wajahnya dingin.
Entahlah sebenarnya mereka saat ini berada
di dunia mana. Sedikit perbedaan fisik tadi seolah membuat semua karakter di
tempat mereka berada saat ini jadi berbeda. Walau demikian, secara geografis
tidak ada yang berbeda dengan kondisi alam sebenarnya, atau kondisi aslinya.
Saat ini Bandara Mutiara sedang melakukan renovasi besar-besaran. Itu juga
pemandangan yang mereka liat di dunia lain, –lebih tepatnya terasa lain, tempat
mereka berada sakarang. Cuaca panas, sama halnya dengan yang mereka rasakan
saat ini. Sepanjang mata memandang, kota ini seperti dikelilingi oleh bukit dan
pegunungan. Andai saja Nindi tadi mengambil gambar Kota Palu dari atas ketika
pesawat hendak mendarat tadi, maka akan terlihat bahwa kota ini berbentuk
seperti mankok dibelah dua. Membentuk setengah lingkaran. Sisanya adalah lautan
yang menjorok.
Palu, kota teluk.
“Nin, coba hubungi mama dong..” seru Joni
yang sepanjang perjalanan tadi hanya asyik tidur. Sebenarnyalah suasana aneh
yang terjadi sejak pagi tadi membuatnya gelisah. Namun tidur sepertinya menjadi
obat yang ampuh untuk mengusir rasa gelisahnya.
“Nomernya tidak aktif.”
“Ya sudah kita langsung naik taxi saja.”
“Mau kemana?” tanya Dita dan Nindi
bersamaan.
“Terserah, kita bisa tanya alamat ke sopir taxi
sambil berkeliling kota.”
Setelah seperempat jam berdiskusi akhirnya
mereka memutuskan untuk naik taxi. Mencari alamat mama walau belum tahu
pasti di mana tempatnya.
Mobil taxi yang mereka tumpangi
melaju cepat membelah kota terus ke arah utara. Melewati pesisir pantai yang
indah. Kalau saja situasinya tidak sedang berada di tempat yang terasa lain,
mungkin mereka sudah menyempatkan diri sebentar untuk singgah di Kampung
Nelayan, mandi-mandi atau sekedar menikmati pemandangan yang masih alami.
Konon, kadar garam di pantai itu sangat tinggi, sehingga sangat bagus untuk
terapi penyakit kulit. Ah, bodoh amat, lagian siapa yang lagi korengan, tidak
ada. Sekitar 30 menit akhirnya mobil itu benar-benar keluar kota. Di pertigaan
tempat bernama Tawaeli, mobil belok kanan.
“Semakin ke hutan saja rasanya.” Pikir Joni
dalam hati. Namun membiarkan saja pak sopir membawa kemana, karena ternyata GPS
pada smartphone yang dia pegang juga menunjukan arah yang sama.
Joni menyempatkan melirik sopir taxi
yang dari guratan dahinya kira-kira sudah berkepala empat. Sama, bapak ini juga
tidak mempunyai lekukan di bagian tengah antara hidung dan bibir. Terlihat rata
bibir atasnya. Walau demikian jika tidak jeli maka kita tidak akan tahu
tanda-tanda perbedaan fisik itu. Dita dan Nindi yang duduk di belakang tidak
berbicara sepatah kata pun. Karena ternyata komunikasi mereka justru melalui
berbagai macam aplikasi sosmed yang ada di tangan mereka masing-masing.
Entahlah, kenapa hari itu tidak ada satu nomer pun yang bisa dihubungi. Di sosmed
juga tidak ada satu pun teman mereka yang update status. Sangat
berbeda dengan hari-hari biasanya dimana sosmed menjadi tempat
melampiaskan berbagai eksistensi: eksis dan narsis.
Nindi misalnya, teringat teman-teman sosmed-nya:
FB, Twitter, Line, BBM, WA, Path, yang kadang suka galau, eksis, narsis, sibuk
sendiri, dan ketidakjelasan lainnya. Dia teringat teman SMA-nya bernama Ucil
yang suka update status tidak jelas, bahkan sakit perut pun kadang jadi status.
Dia juga teringat Putri yang selalu pamer foto di mana pun dia berada,
seolah-olah foto yang dia upload sedang
mengabarkan pada khalayak bahwa saat ini dia berada di Paris, nyatanya
Parangtritis. Tidak ketinggalan juga temannya yan suka sekali membuat
status-status berbau politis, suka mencaci kebijakan pemerintah, tidak ada yang
peduli, presiden pun tidak mungkin baca. Ada juga status-status yang
kontroversi, suka sekali menjatuhkan kelompok lain. Ada juga yang suka sekali
membuat status yang panjang-panjang, seolah orang lain akan membacanya, padahal
baru membaca paragraf pertama saja sudah bikin ngantuk, namun temannya ini
benar-benar tidak peduli, bahkan sampai membuat cerpen. Dia juga teringat pada
temannya yang lain suka sekali galau. Mencoba menulis puisi cinta dan patah
hati, padahal isinya kacau balau. Dan masih banyak perangai lainnya di sosmed.
Gadis itu hanya bisa tertawa tanpa bersuara
membayangkan satu per satu karakter teman-temannya di sosmed. Tapi masa
bodoh, tidak ada yang peduli. Bukankah memang seperti itulah fungsi sosial
media, tempat mencurahkan segala isi otak pemiliknya. Bahkan Nindi sendiri juga
punya kebiasaan suka kepoin sosmednya orang. Akhirnya geli sendiri
membayangkan. Nindi cekikikan. Ah, mengingat kelakuan zaman yang penuh ke-alay-an
ini setidaknya membuatnya lebih rileks dari ketegangan.
Adalah sekitar satu jam perjalanan melewati
hutan dan lembah yang penuh dengan kabut, mereka akhirnya sampai di sebuah
tempat sepi yang hanya ada kios kecil tanpa penghuni. Kosong. Joni yang baru
bangun dan mengumpulkan kembali kesadarannya buru-buru membuka aplikasi di smartphone-nya.
Bapak ini tidak salah, dia membawa mereka ke tempat yang sesuai dengan yang
ditunjukkan oleh GPS-nya. Dita juga yang sejak perjalanan mencoba membuang rasa
gelisahnya dengan tidur memastikan kepada Joni bahwa mereka sudah sampai di
tempat tujuan yang benar.
Tapi kok di tengah hutan?
“Kalian dari Makassar ya?” Pak sopir yang
sejak perjalanan tadi ekspresinya dingin itu akhirnya bertanya untuk yang
pertamakali. “Aku tadi mendapat telpon dari Makassar kalau ada tiga anak muda,
penumpang dari sana yang akan turun ke Palu. Dua perempuan, yang satu
laki-laki. Aku yakin sekali itu kalian.”
“Bapak kenal Ibu Maria dan Pak Junus?” Joni
menanyakan apakah bapak sopir ini juga mengenal ibu mereka.
“Iya, Maria adalah kakak iparku.” Jawab
sopir itu yang kali ini lebih rileks. Tidak menyimpan lagi wajah ekspresi
dinginnya. Sebenarnya wajahnya tidak mirip sopir, tampangnya lebih mirip
pejabat, pokoknya muka-muka orang kaya gitulah.
“Paman..!!!” seketika mereka terpekik.
“Dimana sebenarnya kami berada? Kenapa
tempat ini sepi sekali? Kenapa kehidupan social di sini begitu aneh, semua
orang hidup tanpa ekspresi, hanya suasana alamnya saja yang tidak berubah. Dan,
maaf paman. Kenapa semua orang yang kami temui tidak mempunyai cekungan di
bawah hidung? Cekungan yang menandakan bahwa manusia itu benar-benar manusia.”
Sebelum menjawab pertanyaan Joni yang
memberondong, bapak itu mempersilahkan mereka bertiga masuk di sebuah kios
kecil yang tanpa penghuni. Di situlah mereka istirahat sejenak. Di situ jugalah
nanti mereka mendapat semua keterangan selengkapnya.
Saat hendak masuk ke kios itulah kunci
jawabannya mulai terbuka. Ternyata, setelah memasuki kios kecil tanpa penghuni
itu, mereka melihat sebuah kota maya. Kios kecil itu seperti sebuah pintu dan
jendela masuk ke kota maya. Entahlah seperti apa lukisan fisiknya, susah untuk
menggambarkannya. Yang jelas, jika kalian berada di sini, kalian akan merasakan
magis yang luar biasa. Kota ini seperti misteri Kota Atlantis yang hilang.
Gedung-gedung tua tampak berjejeran. Pemandangan langitnya jingga. Terdapat
mesjid besar di tengah kota. Ada sedikit kemiripan dengan masjid Aya-Sofia yang
berada di Istanbul. Jalanan lengang yang besar, seperti jarang dilalui oleh
kendaraan. Bangunan di kota ini besar dan tinggi dengan gambaran yang khas;
bangunan klasik. Sentuhan antara dunia modern dan tempo dulu membuat kota ini
mempunyai keunikan sendiri. Terlebih langitnya yang selalu jingga.
Tidak seperti di Palu atau di Makassar, di
sini tidak ada sampah yang berserakan. Di sini juga lalu lintasnya tidak ada
yang macet. Jalanan bertingkat membuat transportasi di kota ini benar-benar lancar
tanpa hambatan. Pengemis, pengamen apalagi pencopet, jangan tanya, tidak ada.
Bahkan orang di sini tidak mengenal kosa kata itu. Dita, Joni dan Nindi masih
mengatupkan mulut mereka melihat pemandangan yang terhampar di depan mereka.
Seperti menatap lukisan.
Kota yang mereka liat ini, jelas jauh lebih
maju dan modern dari pada Kota Palu yang aslinya. Bahkan dibandingkan dengan
kota-kota besar mancanegara, kota ini tetap lebih unggul, baik dari segi tata
kota, maupun kesejahteraan masyarakatnya. Inikah ibukota dari kota-kota yang
serasa belantara yang telah mereka lewati sepanjang hari ini?
***
Selamat datang di Wentira.
Perkenalkan Namaku Lukas, panggil saja aku
Paman Lukas. Aku lahir dan besar di sini. Umurku saat ini 46 tahun. Aku hanya
mempunyai seorang kakak, Junus, satu-satunya saudara laki-laki. Kalau aku tidak
salah umur Junus sekarang 52 tahun. Ayahku, bernama Khidir, umurnya genap 80
tahun. Ibuku, aku tidak tahu, sejak kami mengenal dunia ini, kami tidak tahu
siapa ibu kami. Bapak Khidir itulah yang mengasuh kami sejak kecil. Setiap aku
tanya, siapa dan di mana ibu kami sebenarnya, dia hanya bilang: ibumu ada di
surga.
Selamat datang di Wentira.
Inilah kota yang hilang beberapa abad yang
lalu. Kota ini sengaja dihilangkan oleh seorang yang saat itu mempunyai ilmu
ghaib yang bisa menghilangkan sebuah tempat atau memindahkannya. Ada yang
bilang kalau kota ini sengaja dihilangkan untuk menghindari serbuan penjajah
saat itu. Orang-orang di dunia kalian banyak yang menyimpulkan, inilah Kota
Atlantis yang hilang. Aku tidak tahu pasti, yang jelas aku lahir dan besar di
sini. Aku merasakan indahnya hidup di sini. Semua fasilitas lengkap. Segala
kebutuhan tercukupi. Kami hidup sejahtera. Segala yang kami butuhkan ada di
kota ini.
Sampai suatu ketika ayah pernah berpesan
agar jangan hanya hidup dengan kenikmatan. Kenikmatan menjadi tidak ada jika
engkau tidak pernah diuji dengan penderitaan. Ayahku pernah bilang, suatu saat
jika aku sudah besar, aku harus berbaur dengan orang-orang di luar kota ini,
mencari kehidupan baru di luar kota ini –dalam artian dunia lain. Maksudnya, di
luar kehidupan ini katanya masih ada kehidupan. Kehidupan lain, alam lain. Dia
pernah mengatakan: nikmat hidup hanya akan kau temui jika kau mau keluar dari
zona nyaman.
Aku tidak memperdulikan. Aku memilih hidup
sendiri, tidak berkeluarga. Itulah sebabnya aku tidak punya anak. Sehari-hari
aku hanya menjadi sopir taxi, bukan untuk mencari uang. Tapi melalui
pekerjaanku inilah aku bisa berkeliling menikmati kota, sekaligus mengenalkan
para pendatang baru –seperti kalian, agar mereka tahu seperti apa kehidupan di
sini. Kecuali Junus, ayah kalian. Dia memilih saran ayahku. Dia berkelana ke
dunia lain setelah menemukan pintu keluar untuk masuk ke dunia itu.
Bertahun-tahun setelah Junus pergi, kami
kehilangan kontak. Tidak ada kabar darinya. Mungkin dia sudah merasa nyaman di
dunia barunya. Padahal yang aku tahu, dunia baru itu adalah dunia yang penuh
dengan kekerasan. Pembunuhan, seolah menjadi tradisi yang diawali oleh
ketamakan, rasa ingin berkuasa yang sangat berlebihan, ego yang terlalu tinggi.
Perampokan terjadi dimana-mana, itu semua didalangi oleh kemiskinan yang seperti
mata rantai, tiada putus-putusnya. Aku juga mendengar kalau di dunia kalian
penuh dengan kemaksiatan, semuanya diawali oleh pergaulan bebas tanpa batas.
Aku tidak habis pikir kenapa ayahmu rela memilih jalan itu. Sampai akhirnya
kami menganggap Junus sudah tidak ada.
Namun tidak semua demikian. Dunia kalian
juga ternyata dipenuhi oleh rasa cinta. Ada beberapa orang yang rela banting
tulang, bekerja dengan ikhlas mencari nafkah untuk keluarganya. Juga, katanya para
wanita dengan senang hati menjadi ibu rumah tangga, mengasuh dan membesarkan
keturunannya dengan penuh cinta. Dan itulah yang terjadi pada kakakku, Junus.
Dia menemukan cinta sejatinya di dunia lain. Dia bertemu dengan seorang gadis
cantik bernama Maria.
Maukah kalian mendengarkannya? Ah, tanpa
menunggu jawaban aku yakin kalian pasti ingin mendengarnya. Baiklah.
Hari itu, bertahun-tahun setelah Junus
pergi ke dunia lain, tidak ada kabarnya kecuali setelah dia pulang ke sini dan
membawa seorang gadis cantik dan mengenalkannya kepadaku dan ayah, lalu
menjelaskan semua. Dia bekerja dan kuliah di sebuah perguruan tinggi yang aku
tidak tahu namanya. Yang pasti, melalui kampus itulah mereka bertemu dan
menjalin persahabatan.
Awalnya biasa saja, namun jarak dan tempat
ketika libur panjang itulah yang membuatnya merasakan beda. Junus datang jauh
dari pedalaman kota. Ketika pulang untuk waktu yang lama. Ada kerinduan yang
menyusup dalam dada. Disebut apakah rasa itu? Apakah namanya? Dan dari mana
datangnya? Tidak ada yang bisa memberi jawaban kecuali Junus sendiri sebagai
pelaku utama.
Akhirnya, dengan segenap keberanian setelah
lulus kuliah dia datangi kedua orang tuanya. Kau tahu apa yang dia katakan? Dia
bertanya kepada ayah Maria: Dengan cara seperti apa aku bisa membawa Maria
pergi.
Aku hanya bisa tertawa. Sungguh konyol.
Namun itu sudah berlalu.
Setahun setelah menikah. Junus mengajak Maria
untuk pergi ke dunianya, duniaku saat ini. Maria tidak paham dunia yang
dimaksud oleh Junus. Dia kemudian baru benar-benar paham setelah dia memasuki
gerbang ini. Gerbang yang baru saja kalian lewati.
Awalnya berat bagi Maria menerima kenyataan
bahwa suaminya adalah makhluk dari dunia lain. Namun itulah kenyataan yang
harus dia terima. Sampai akhirnya dia sendiri terbiasa dengan kehidupan yang
baru itu.
Dari pertemuan itulah lahir kalian bertiga.
Oh, ya, aku hampir lupa… aku sendiri
sebenarnya merasa agak aneh. Saat pertamakali melihat kakak iparku, dia memang
cantik, tapi kok ada lekukan di bawah batang hidungnya ya... Lekukan itu terasa
lucu, karena seperti membelah bibir seseorang menjadi dua. Dan ternyata, kalian
bertiga juga memiliki rupa yang sama. Kalian mirip sekali dengan Maria. Juga
mirip sekali dengan jutaan orang yang hidup di dunia kalian. Semua orang di sana
memiliki lekukan atau cekungan di bawah hidung. Cekungan yang membagi bibir
menjadi dua, bibir kanan dan kiri.
Hahaha.. cekungan yang lucu dan aneh.
***
Tidak ada satu pun yang mengeluarkan suara
setelah mereka mendengar penjelasan panjang-lebar dari Paman Lukas. Dita, Joni,
Nindi, semua diam. Hanya mulutnya yang menganga.
Percakapan hari itu berakhir. Semua
keterangan sudah jelas. Walau demikian, seindah apa pun kehidupan di situ,
mereka masih merindukan kehidupan mereka yang sebenarnya. Kehidupan dimana
dilahirkan dan dibesarkan. Semodern apa pun tempat itu, mereka tetap merindukan
tempat mereka yang sesungguhnya, tidak peduli walau hidup miskin dan apa
adanya. Tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali berharap kepada Penguasa
Langit agar mengembalikan mereka ke tempat atau ke kehidupan yang mereka
pahami. Bukan di sini, tempat yang bagi mereka terasa asing. Berbulan-bulan
mereka menunggu sembari mengerjakan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Tidak
pernah henti berharap suatu saat mereka bisa kembali ke dunia mereka lagi. Kehidupan
berjalan seperti biasanya. Mereka hanya bisa menunggu, dan terus menunggu.
Dan yang menjadi saksi atas kehidupan,
adalah waktu yang terus berjalan.
TAMAT
Surakarta, 5 Januari 2015
[08.01 AM]
*Sampai saat ini, mitos dan legenda mengenai Wentira, kota yang hilang
itu masih ada. Tidak sedikit masyarakat Sulawesi Tengah yang masih
mempercayainya. Bahkan beberapa meyakini, ada di antara mereka yang hidup
berbaur dengan lingkungan social manusia pada umumnya. Kita. Hanya saja, konon
secara tanda-tanda fisik, mereka mereka tidak mempunyai cekungan dibawah hidung
yang lazim dimiliki oleh setiap manusia normal.
Jika kalian hendak jalan-jalan ke Kota Palu melalui jalur darat dari
Kab. Poso, kalian akan melewati pegunungan belantara bernama Kebun Kopi, di
pertengahan hutan gunung itu, kalian akan menemui jembatan dan tugu kecil berwarna
kuning bernama Wentira. Tidak sedikit sopir truk atau mobil yang melintasi
jalan itu membunyikan klakson sebagai bentuk penghormatan, sekedar syarat atau apalah
artinya, dan memang sudah menjadi budaya.