Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

Segenggam Hikmah dari Karimun Jawa




            Setelah 2 hari berada di Karimun Jawa bersama teman–Bayu, Rio, Ferdy–kami memutuskan pulang ba’da jum’at. Kisah dalam kepulangan ini menyimpan sedikit hikmah tentang ikhlas dan bagaimana mengikhlaskan sesuatu. Juga bagaimana menanamkan rasa empati.
Kapal Ferry yang hendak kami tumpangi baru saja melepas sauh sesaat setelah saya berada di pintu gerbang pelabuhan. Mengatur nafas yang ngos-ngosan karena sudah berlari-lari kecil sekitar 15 menit dengan ransel yang berat.
            “Sudah Mas, percuma lari-lari,” kata seorang bapak pemilik warung dekat pintu masuk pelabuhan itu yang seketika membuat kaki ini langsung lemas untuk digerakkan, “kapal sudah berangkat 5 menit yang lalu.”
Itu artinya kami harus menunggu 2 hari lagi di sana sampai kapal itu balik lagi ke pulau ini. Padahal, perjalanan kapal itu sendiri membutuhkan waktu sekitar 5 jam perjalanan. Pulang minggu membuat kami kemungkinan senin shubuh baru sampai di Solo. Tidak ada lagi kapal yang berangkat hari itu.
Teman-teman hanya bisa mengumpat dengan ekspresi wajah masing-masing yang menyusul di belakang. Rasa kesal itu juga ditujukan kepada pemilik home stay yang tidak menepati janjinya untuk mengantar kami ke pelabuhan yang jaraknya memang lumayan jauh kalau ditempuh dengan berjalan kaki –sekitar 2 km. Beliau yang sudah berjanji ingin mengantar kami itu ternyata sudah berangkat lebih dahulu meninggalkan kami. Sempat ada rasa tidak enak juga saat bapak-bapak dan petugas pelabuhan yang sedang berkumpul di warung pelabuhan itu ikut meramaikan umpatan kepada pemilik home stay tempat kami tinggal.
            Kalian tahu, rasa kecewa yang sudah berada di puncaknya kadang membuat seseorang lupa harus berekspresi seperti apa. Itulah yang saya rasakan saat itu. Saya langsung memesan es sirup dan ngemil jajanan yang ada di warung itu sembari melahap buku The Da Vinci Code untuk melampiaskan rasa kecewa itu. Batal semua rencana yang sudah saya susun sampai hari minggu. Saya belum KRS-an, juga sudah memesan tiket seminar di Jogja esok hari. Hangus tiket tersebut, kesempatan bertemu dengan Tere Liye.
            30 menit berlalu.
            Semua masih tetap nongkrong di warung itu. Mungkin masih belum bisa melepas kekecawaan masing-masing. Boleh jadi juga memang tidak tahu harus ngapain. Saya sendiri mencoba menikmati rasa kecewa ini. Ya, menikmati kekecewaan dalam hidup adalah seni mengendalikan emosi.
            Satu jam berlalu.
            Bapak-bapak petugas pelabuhan sudah kembali ke kantornya. Pemilik warung itu juga pergi entah kemana. Menyisakan kami berempat. Suasana menjadi semakin hening. Hanya terdengar semilir angin pantai dan kapal-kapal nelayan tampak dari kejauhan dermaga.
            “Mas, mau ke Jepara ya?” Tanya seorang bapak-bapak yang kebetulan lewat di pinggir jalan. Salah seorang teman mengangguk mengiyakan.
            “Bareng saya saja.” Aha, kalimat bapak ini sepertinya memberi secercah harapan.
            “Kapan Pak?”
            “Sekarang.”
            “Berapa Pak ongkos?” Pertanyaan seorang teman yang mewakili pertanyaan kami semua. Dari informasi yang kami ketahui, biaya carter kapal nelayan bisa sampai jutaan jika tidak ada lagi kapal yang masuk karena cuaca atau kendala lainnya.
            “Sudahlah, ayo.” Bapak tersebut memberi penawaran santai dan tanpa ekspresi.
            Rasa syukur tidak jadi terkatung-katung di pelabuhan itu benar-benar membuat kami benar-benar merasa bahagia. Kami bisa pulang dengan tiket yang bahkan lebih murah. Apalah jadinya jika kami masih berlama-lama di sana sementara uang kami juga semakin menipis. Bahagia memang sesuatu yang kadang bisa datang dengan tiba-tiba dikala kecewa. Bahkan, saking senangnya saya sampai lupa membayar minum dan camilan di warung tadi. Baru ingat setelah seorang teman mengeluarkan uangnya.
            Namun euforia hanya sebentar. Karena kami harus menyimpan rasa bahagia itu dalam hati ketika dalam kapal yang kami tumpangi ini terdengar keluarga yang sedang menangis. Ah.. ini rupanya yang membuat kami bisa menumpang kapal nelayan ke Jepara. Orang tuanya si bapak tadi meninggal dunia di sana. Dia bersama istrinya harus segera kesana siang itu juga.
            Suasan hening cipta menemani perjalanan kami ke Jepara. Kami tidak lagi menampilkan ekspresi bahagia. Bahkan untuk mengambil kamera di tas tatkala melihat lumba-lumba yang sedang ria bermain di sekitar kapal kami segan. Sekarang benar-benar bercampur aduk perasaan karena tidak tahu lagi harus berekspresi seperti apa. Apakah ini yang disebut bahagia bercampur sedih? Atau sedih yang mencipratkan kebahagiaan? Entahlah. Semua yang ada di kapal itu membawa warna hati masing-masing.
***
Kawan, dalam hal ini saya tidak tahu harus bersyukur atau istigfar. Dalam perjalanan, tiba-tiba saja saya teringat satu kisah seorang yang di zaman sesudah khalifa bernama Sirri Al-Siqthi. Entahlah, kisah ini nyambung atau tidak, yang jelas dalam perjalanan sempat terpikirkan. Saya membacanya dari buku Filsafat Moral Islam karya Murtadha Muthahhari. Yang kira-kira kisahnya seperti ini:
Dia (Sirri Al-Siqthi) pernah berkata. “Sudah 30 tahun aku beristigfar hanya karena sekali aku bersyukur kepada Allah!”
Orang-orang bertanya kepadanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Siqthi menjawab, “Saat itu aku mempunyai toko di Pasar Baghdad. Suatu saat orang-orang mengabariku bahwa Pasar Baghdad hangus dilalap api. Aku bergegas pergi untuk melihat apakah tokoku juga terbakar. Salah seorang mengabariku bahwa api tidak sampai membakar tokoku. Aku pun berkata Alhamdulillah.
Setelah itu jiwaku terusik, hatiku pun berkata, ‘Engkau tidak sendirian di dunia ini. Beberapa toko telah ternbakar! Memang tokomu tidak terbakar, tapi toko-toko lainnya terbakar. Ucapan Alhamdulillah berarti aku bersyukur api tidak membakar tokoku, meski membakar toko yang lainnya! Berarti aku rela toko orang lain terbakar asalkan tokoku tidak.’
Aku pun berkata dalam diriku, ‘Sirri! Tidakkah engkau memperhatikan urusan urusan saudaramu kaum muslimin?’ (Merujuk pada hadis Rasulullah Saw yang berbunyi, ‘Barang siapa yang melewatkan waktu paginya tanpa memperhatikan urusan kaum muslimin, maka tidaklah ia termasuk orang Islam). Saat ini sudah 30 tahun aku beristigfar atas ucapan Alhamdulillah-ku.”
***
            Maha besar Allah yang menciptakan manusia dengan nikmat; rasa. Ada milyaran orang yang hidup di dunia saat ini, Dia (Allah) Maha membolak-balikkan hati manusia –dalam waktu yang bersamaan.

Surakarta, 28 Februari 2015

Cerpen : Di antara Makassar – Manado (Wentira)



Di antara Makassar – Manado (Wentira)
          Cerpen by Iwan Mariono
Hujan masih membasahi Makassar saat Dita dan Nindi hendak berangkat ke Surabaya. Sepagi ini Joni harus mengantarkan mereka melewati jalanan yang penuh sesak oleh kendaraan seolah tidak peduli dengan cuaca. Mobil terus berjalan menembus kemacetan kota. Wiper-wiper pada kaca mobil bekerja lebih cepat membersihkan guyuran hujan yang mengurangi jarak pandang. Makassar sepagi ini diguyur hujan deras.
Makassar adalah satu-satunya kota metropolitan yang ada di Sulawesi maupun Indonesia Timur saat ini. Kota yang dari tahun 1971 sampai 1999 sempat berganti nama Ujung Pandang ini adalah kota terbesar di Indonesia Timur yang memang sudah menjadi ibukota provinsi sejak awal Indonesia merdeka. Saat itu hanya ada 8 provinsi di Indonesia, salah satunya adalah Provinsi Sulawesi dengan Dr. DJJ. Sam Ratulangi sebagai gubernur pertama. Namanya kembali menjadi Makassar setelah kota ini menjadi kotaraya. Sampai tahun 2009, Makassar resmi menjadi kota metropolitan. Tak ayal lagi dimana pun di Indonesia yang menjadi pemandangan tersering kota metropolitan: kemacetan.
Kira-kira hampir satu jam perjalanan mereka akhirnya sampai di Bandara Sultan Hasanuddin. Mobil Jeep yang mereka kendarai parkir di pelataran bandara. Koper dan barang bawaan di turunkan depan lobi. Dita dan Nindi turun lebih dulu. Jadwal pesawat yang tertera di tiket dua gadis itu pukul 09.00 WITA, masih sejam lagi baru check in. Hujan mulai reda, hanya menyisakan rintik-rintik kecil.
Suasana lengang.
Entahlah kenapa bandara tampak sepi, tidak ada siapa-siapa di sana. Tidak terlihat mobil atau motor di tempat parkir. Taxi yang biasa parkir memanjang sepanjang lobi juga tidak tampak. Juga tidak ada seorang pun di lobi kedatangan. Sangat ganjil dengan suasana yang biasanya sebelum terbit fajar sudah dipenuhi oleh calon penumpang. Apalagi bandaranya adalah Bandara Internasional.
Suasana seperti ini jika dalam film kadang mengundang bulu kudug untuk merinding. Namun memang bukan hanya di film-film saja hal seperti itu terjadi. Suasana saat ini juga memang seperti suasana angker yang membuat merinding Dita dan Nindi. Joni mencoba menelusuri basement mencari barangkali ada orang di sana. Tidak ada siapa-siapa, kecuali seorang kakek yang sedang duduk di sudut tempat ibadah seperti seseorang yang sedang tafakur.
“Permisi…” Joni menyapa dengan sedikit waspada, “Nek, kemana semua orang kok sepi sekali?”
Kakek tua itu menoleh ke sumber suara. Tidak ada jawaban apa-apa dari mulutnya.
“Mau kemana kita Nek?”
Kita adalah kata ganti kamu bagi sebagian besar orang Makassar. Juga, sekalipun orang tua tersebut laki-laki, kadang dipanggil Nek oleh mereka. Sedikit rancu memang. Tidak ada istilah mbah kakung atau mbah putri.
“Mau ke Palu, kenapa kah?” akhirnya bersuara juga kakek yang kira-kira usianya hampir 70 tahun itu dengan nada yang terkesan kasar padahal sebenarnya halus. Memang seperti itulah logat Sulawesi.
“Tidak apa-apa ji, cuma heran saja kenapa sepi sekali bandara ini.” Joni yang terheran-heran melihat tidak ada satu pun petugas bandara yang datang, juga penumpang apalagi pengantar.
“Memang dari dulu sudah seperti ini.”
“Ha..” desah Joni dalam yang merasa keheranan.

Lengang.
Joni kembali ke lobi. Tidak ada siapa-siapa di sana. Dita dan Nindi sudah duduk di ruang tunggu. Karena tidak ada petugas yang jaga, mereka langsung masuk saja ke dalam. Tidak ada petugas check in juga tidak ada petugas yang jaga di ruang boarding. Bahkan, pesawat yang akan berangkat pagi ini juga tidak nampak. Hanya ada satu pesawat yang parkir di ujung lapangan yang itu pun sudah lumutan. Seperti sudah berbulan-bulan parkir di sana. Sepertinya pesawat itu memang milik sebuah maskapai yang sudah tidak beroperasi lagi beberapa tahun ini. Mungkin karena maskapainya bangkrut. Boleh jadi karena tidak layak terbang. Atau, entahlah. So what gitu.
Apa yang dibilang kakek tadi membuat Joni tidak habis pikir –bagaimana tidak, baru seminggu yang lalu dia yang juga bersama Dita dan Nindi mengantarkan kedua orang tua mereka yang hendak berangkat ke pulang ke Manado. Suasana saat itu ramai sekali, ditambah ada presiden dan menteri yang datang dari Jakarta membuat bandara semakin ramai dipadati oleh wartawan. Sangat kontradiksi dengan suasana pagi ini.
Tiba-tiba handphone Nindi berdering.
“Halo Ma?”
“Sudah di bandara?” tanya mama di seberang sana, “jam berapa berangkat?”
“Sudah, tapi kok sepi sekali ya, padahal waktu Nindi sama Kak Dita dan Kak Joni antar mama sama papa berangkat ke Manado minggu lalu tidak seperti ini. Pesawat yang mau berangkat juga belum datang. Aneh.”
Mama di seberang sana tiba-tiba terlonjak dari tempat duduknya. Ternyata hal tersebut kini dialami oleh ketiga anaknya. Saat itu, setiba di bandara suasana begitu sepi, tidak ada siapa-siapa di sana. Tante Nanik dan Om Syarif yang seharusnya menjemput mama dan papa juga tidak ada saat itu. Mama yang merasa ada yang ganjil mencoba bertanya pada penumpang lain di sebelahnya. Tapi penumpang itu yang justru melihat mama dengan tatapan heran, dengan kesan berkata: memang sudah dari dulu kan seperti ini. Selang beberapa saat mama baru sadar kalau pesawat tidak mendarat di Bandara Sam Ratulangi. Pesawat yang mama dan papa tumpangi justru mendarat di Bandara Mutiara, Palu.
Hanya papa yang merasa fine-fine aja dengan kondisi yang terjadi saat itu. Mama yang akhirnya sadar dengan kondisi yang terjadi akhirnya mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan baru itu.
“Kalian masuk di sini juga ternyata.” Lirih mama berkata.
“Maksudnya Ma?”
Mungkin memang sudah waktunya mereka tahu. Akhirnya mama menjelaskan detail apa yang sebenarnya terjadi, apa yang mereka alami saat ini.
“Kenapa mama baru cerita sekarang?”
“Maafkan mama baru cerita sekarang. Sebenarnyalah sejak awal mama menikah, mama merasa ada yang aneh dengan lingkungan keluarga papamu. Setelah setahun lebih menikah, baru mama mengerti keadaan sebenarnya. Andai saja ayah Khidir, kakek kalian, itu masih hidup, dia pasti bisa menjelaskan semuanya. Kakekmu meninggal ketika kalian belum lahir. Dialah yang sebenarnya tahu pintu keluar tempat ini.”
Percakapan terputus.
“Ada apa?” tanya Dita kepada adik bungsunya.
“Entahlah Kak, sepertinya, sejak masuk pintu bandara tadi, kita sudah bukan lagi di Makassar.”
“Maksudnya?”
Nindi menjelaskan kembali apa yang disampaikan ibu mereka tadi. Yang intinya, mereka saat ini bukan di Makassar lagi.
“Apaaa?” Jawab kedua kakaknya secara bersamaan. Melotot matanya sebagai tanda tidak percaya. Benar-benar sulit dipahami apa yang baru saja disampaikan adiknya. Sulit dipercaya. Mustahil. Wajah Dita tiba-tiba tampak pucat.
“Apakah kalian hendak ke Palu?” Suara yang tiba-tiba muncul di belakang mereka membuat Dita dan Nindi terlonjak kaget dan reflek menoleh ke sumber suara. Kecuali Joni yang dari jauh sudah melihat Kakek Tua itu berjalan ke arah mereka.
“Mereka mau ke Surabaya Nek, saya hanya mengantar mereka sampai bandara.”  Jawab Joni yang sekaligus mencoba menggali informasi dari satu-satunya orang selain mereka bertiga yang ada di bandara itu. “Sebenarnya di mana saat ini kami berada Nek?”
Dita mengambil program magister di sebuah kampus swasta di Surabaya, sementara Nindi baru saja diterima kuliah di jurusan kedokteran, juga di Surabaya. Mereka adalah kakak dan adik Joni, dia sendiri mengambil jurusan Hukum di Universitas Hasanuddin.
“Pesawat di bandara ini hanya ada satu tujuan, yakni ke Palu. Jadi sebaiknya kalian berangkat ke Palu saja. Tunggulah. Setengah jam lagi pesawat itu akan datang. Dan kau,” pandangan kakek itu mengarah ke Joni, “sebaiknya kau ikut juga ke Palu, tidak ada guna kau kembali ke rumah, kau justru akan semakin tersesat. Ini bukan Makassar, ini hutan belantara. Pintu masuk kota bukan di sini.”
Setelah kakek itu menjelaskan panjang-lebar, Dita, Joni dan Nindi akhirnya sepakat  berangkat ke Palu. Walau di otak mereka masih dipenuhi oleh banyak sekali pertanyaan.
Pesawat yang mereka tumpangi tidak ada bedanya dengan pesawat domestic pada umumnya. Ada petugas kabin dengan pakaiannya yang seksi memberikan instruksi cara menggunakan standar keamanan pesawat terbang sebelum keberangkatan. Hanya saja ekspresi mereka semua dingin. Tidak ada senyum. Begitu juga dengan penumpang lain hanya beberapa orang. Sepertinya pesawat ini singgah di Makassar tadi hanya untuk menghampiri mereka bertiga, karena tidak ada lagi penumpang lain . Semua penumpang sudah ada di dalam sebelumnya.
Pesawat yang mereka tumpangi juga tidak menyisakan kursi kosong. Semua seperti sudah di desain untuk jumlah penumpang yang ada saat ini, menyisakan ruang kosong yang cukup luas di tengah. Otomatis, setiap orang bisa melihat semua penumpang yang ada di situ. Ini bukan dunia lain. Secara fisik mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang pada umumnya. Penampilan mereka adalah manusia normal. Ada gadis yang duduk di pojok pesawat sendirian, walau ekspresinya yang dingin, itu sama sekali tidak mengurangi kecantikannya. Juga seorang pria yang duduk di samping pintu darurat, bodinya yang kekar dan wajahnya yang tampan membuat Nindi sempat berbisik ke samping kakaknya, “Kak pria itu keren juga.” Lantas tersenyum tanpa suara.
“Ssstt…!!!” Hanya itu yang keluar dari mulut Dita. Kembali wajahnya beku.
Perbedaan secara fisik itu akhirnya nampak. Nindi yang mencoba menyapu wajah-wajah seluruh penumpang itu satu per satu akhirnya mendapatkan perbedaan yang mencolok dari fisik mereka. Perbedaan fisik yang tidak banyak.
Mereka tidak mempunyai cekungan di bawah hidung.

Setelah hampir dua jam di atas pesawat akhirnya tiba juga mereka di Palu.
Kota Palu yang secara geografis terletak di garis khatulistiwa membuat kota ini terasa panas. Pada jam 12 siang matahari tepat di atas ubun-ubun tanpa membentuk bayangan. Cuaca pada siang hari benar-benar terasa panas, malam hari bahkan air sumurnya juga terasa hangat. Walau demikian kota ini masih tampak asri oleh karena volume kendaraan yang masih kurang dibanding dengan kota-kota yang ada di Jawa atau Makassar, membuatnya sedikit bebas dari polusi.
Ini adalah pertamakali mereka menginjakkan kaki di Kota Palu. Ketiga bersaudara itu lahir dan besar di Manado oleh karena ibunya sendiri memang asli Manado. Rumah mereka tidak jauh dari Pasar Tomohon. Pasar yang jika kalian hendak wisata kuliner di sana, kalian akan mendapatkan makanan ekstrim seperti daging tikus, kelelawar, biawak, kucing, kobra, dan lain sebagainya. Sampai-sampai sebagian orang mengatakan: Semua yang berkaki empat di situ dimakan, kecuali kaki meja dan kursi.
Kembali ke tiga bersaudara tadi.
Suasana di sini sedikit lebih rame dibanding di Makassar tadi pagi. Entahlah, apakah ini memang pusat kotanya, yang jelas bandara rutinitas di sini seperti rutinitas di bandara-bandara pada umumnya. Yang tidak umum adalah orang-orangnya. Ekspresi wajahnya dingin.
Entahlah sebenarnya mereka saat ini berada di dunia mana. Sedikit perbedaan fisik tadi seolah membuat semua karakter di tempat mereka berada saat ini jadi berbeda. Walau demikian, secara geografis tidak ada yang berbeda dengan kondisi alam sebenarnya, atau kondisi aslinya. Saat ini Bandara Mutiara sedang melakukan renovasi besar-besaran. Itu juga pemandangan yang mereka liat di dunia lain, –lebih tepatnya terasa lain, tempat mereka berada sakarang. Cuaca panas, sama halnya dengan yang mereka rasakan saat ini. Sepanjang mata memandang, kota ini seperti dikelilingi oleh bukit dan pegunungan. Andai saja Nindi tadi mengambil gambar Kota Palu dari atas ketika pesawat hendak mendarat tadi, maka akan terlihat bahwa kota ini berbentuk seperti mankok dibelah dua. Membentuk setengah lingkaran. Sisanya adalah lautan yang menjorok.
Palu, kota teluk.
“Nin, coba hubungi mama dong..” seru Joni yang sepanjang perjalanan tadi hanya asyik tidur. Sebenarnyalah suasana aneh yang terjadi sejak pagi tadi membuatnya gelisah. Namun tidur sepertinya menjadi obat yang ampuh untuk mengusir rasa gelisahnya.
“Nomernya tidak aktif.”
“Ya sudah kita langsung naik taxi saja.”
“Mau kemana?” tanya Dita dan Nindi bersamaan.
“Terserah, kita bisa tanya alamat ke sopir taxi sambil berkeliling kota.”
Setelah seperempat jam berdiskusi akhirnya mereka memutuskan untuk naik taxi. Mencari alamat mama walau belum tahu pasti di mana tempatnya.
Mobil taxi yang mereka tumpangi melaju cepat membelah kota terus ke arah utara. Melewati pesisir pantai yang indah. Kalau saja situasinya tidak sedang berada di tempat yang terasa lain, mungkin mereka sudah menyempatkan diri sebentar untuk singgah di Kampung Nelayan, mandi-mandi atau sekedar menikmati pemandangan yang masih alami. Konon, kadar garam di pantai itu sangat tinggi, sehingga sangat bagus untuk terapi penyakit kulit. Ah, bodoh amat, lagian siapa yang lagi korengan, tidak ada. Sekitar 30 menit akhirnya mobil itu benar-benar keluar kota. Di pertigaan tempat bernama Tawaeli, mobil belok kanan.
“Semakin ke hutan saja rasanya.” Pikir Joni dalam hati. Namun membiarkan saja pak sopir membawa kemana, karena ternyata GPS pada smartphone yang dia pegang juga menunjukan arah yang sama.
Joni menyempatkan melirik sopir taxi yang dari guratan dahinya kira-kira sudah berkepala empat. Sama, bapak ini juga tidak mempunyai lekukan di bagian tengah antara hidung dan bibir. Terlihat rata bibir atasnya. Walau demikian jika tidak jeli maka kita tidak akan tahu tanda-tanda perbedaan fisik itu. Dita dan Nindi yang duduk di belakang tidak berbicara sepatah kata pun. Karena ternyata komunikasi mereka justru melalui berbagai macam aplikasi sosmed yang ada di tangan mereka masing-masing. Entahlah, kenapa hari itu tidak ada satu nomer pun yang bisa dihubungi. Di sosmed juga tidak ada satu pun teman mereka yang update status. Sangat berbeda dengan hari-hari biasanya dimana sosmed menjadi tempat melampiaskan berbagai eksistensi: eksis dan narsis.
Nindi misalnya, teringat teman-teman sosmed-nya: FB, Twitter, Line, BBM, WA, Path, yang kadang suka galau, eksis, narsis, sibuk sendiri, dan ketidakjelasan lainnya. Dia teringat teman SMA-nya bernama Ucil yang suka update status tidak jelas, bahkan sakit perut pun kadang jadi status. Dia juga teringat Putri yang selalu pamer foto di mana pun dia berada, seolah-olah foto yang dia upload  sedang mengabarkan pada khalayak bahwa saat ini dia berada di Paris, nyatanya Parangtritis. Tidak ketinggalan juga temannya yan suka sekali membuat status-status berbau politis, suka mencaci kebijakan pemerintah, tidak ada yang peduli, presiden pun tidak mungkin baca. Ada juga status-status yang kontroversi, suka sekali menjatuhkan kelompok lain. Ada juga yang suka sekali membuat status yang panjang-panjang, seolah orang lain akan membacanya, padahal baru membaca paragraf pertama saja sudah bikin ngantuk, namun temannya ini benar-benar tidak peduli, bahkan sampai membuat cerpen. Dia juga teringat pada temannya yang lain suka sekali galau. Mencoba menulis puisi cinta dan patah hati, padahal isinya kacau balau. Dan masih banyak perangai lainnya di sosmed.
Gadis itu hanya bisa tertawa tanpa bersuara membayangkan satu per satu karakter teman-temannya di sosmed. Tapi masa bodoh, tidak ada yang peduli. Bukankah memang seperti itulah fungsi sosial media, tempat mencurahkan segala isi otak pemiliknya. Bahkan Nindi sendiri juga punya kebiasaan suka kepoin sosmednya orang. Akhirnya geli sendiri membayangkan. Nindi cekikikan. Ah, mengingat kelakuan zaman yang penuh ke-alay-an ini setidaknya membuatnya lebih rileks dari ketegangan.

Adalah sekitar satu jam perjalanan melewati hutan dan lembah yang penuh dengan kabut, mereka akhirnya sampai di sebuah tempat sepi yang hanya ada kios kecil tanpa penghuni. Kosong. Joni yang baru bangun dan mengumpulkan kembali kesadarannya buru-buru membuka aplikasi di smartphone-nya. Bapak ini tidak salah, dia membawa mereka ke tempat yang sesuai dengan yang ditunjukkan oleh GPS-nya. Dita juga yang sejak perjalanan mencoba membuang rasa gelisahnya dengan tidur memastikan kepada Joni bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan yang benar.
Tapi kok di tengah hutan?
“Kalian dari Makassar ya?” Pak sopir yang sejak perjalanan tadi ekspresinya dingin itu akhirnya bertanya untuk yang pertamakali. “Aku tadi mendapat telpon dari Makassar kalau ada tiga anak muda, penumpang dari sana yang akan turun ke Palu. Dua perempuan, yang satu laki-laki. Aku yakin sekali itu kalian.”
“Bapak kenal Ibu Maria dan Pak Junus?” Joni menanyakan apakah bapak sopir ini juga mengenal ibu mereka.
“Iya, Maria adalah kakak iparku.” Jawab sopir itu yang kali ini lebih rileks. Tidak menyimpan lagi wajah ekspresi dinginnya. Sebenarnya wajahnya tidak mirip sopir, tampangnya lebih mirip pejabat, pokoknya muka-muka orang kaya gitulah.
“Paman..!!!” seketika mereka terpekik.
“Dimana sebenarnya kami berada? Kenapa tempat ini sepi sekali? Kenapa kehidupan social di sini begitu aneh, semua orang hidup tanpa ekspresi, hanya suasana alamnya saja yang tidak berubah. Dan, maaf paman. Kenapa semua orang yang kami temui tidak mempunyai cekungan di bawah hidung? Cekungan yang menandakan bahwa manusia itu benar-benar manusia.”
Sebelum menjawab pertanyaan Joni yang memberondong, bapak itu mempersilahkan mereka bertiga masuk di sebuah kios kecil yang tanpa penghuni. Di situlah mereka istirahat sejenak. Di situ jugalah nanti mereka mendapat semua keterangan selengkapnya.
Saat hendak masuk ke kios itulah kunci jawabannya mulai terbuka. Ternyata, setelah memasuki kios kecil tanpa penghuni itu, mereka melihat sebuah kota maya. Kios kecil itu seperti sebuah pintu dan jendela masuk ke kota maya. Entahlah seperti apa lukisan fisiknya, susah untuk menggambarkannya. Yang jelas, jika kalian berada di sini, kalian akan merasakan magis yang luar biasa. Kota ini seperti misteri Kota Atlantis yang hilang. Gedung-gedung tua tampak berjejeran. Pemandangan langitnya jingga. Terdapat mesjid besar di tengah kota. Ada sedikit kemiripan dengan masjid Aya-Sofia yang berada di Istanbul. Jalanan lengang yang besar, seperti jarang dilalui oleh kendaraan. Bangunan di kota ini besar dan tinggi dengan gambaran yang khas; bangunan klasik. Sentuhan antara dunia modern dan tempo dulu membuat kota ini mempunyai keunikan sendiri. Terlebih langitnya yang selalu jingga.
Tidak seperti di Palu atau di Makassar, di sini tidak ada sampah yang berserakan. Di sini juga lalu lintasnya tidak ada yang macet. Jalanan bertingkat membuat transportasi di kota ini benar-benar lancar tanpa hambatan. Pengemis, pengamen apalagi pencopet, jangan tanya, tidak ada. Bahkan orang di sini tidak mengenal kosa kata itu. Dita, Joni dan Nindi masih mengatupkan mulut mereka melihat pemandangan yang terhampar di depan mereka. Seperti menatap lukisan.
Kota yang mereka liat ini, jelas jauh lebih maju dan modern dari pada Kota Palu yang aslinya. Bahkan dibandingkan dengan kota-kota besar mancanegara, kota ini tetap lebih unggul, baik dari segi tata kota, maupun kesejahteraan masyarakatnya. Inikah ibukota dari kota-kota yang serasa belantara yang telah mereka lewati sepanjang hari ini?
***
Selamat datang di Wentira.
Perkenalkan Namaku Lukas, panggil saja aku Paman Lukas. Aku lahir dan besar di sini. Umurku saat ini 46 tahun. Aku hanya mempunyai seorang kakak, Junus, satu-satunya saudara laki-laki. Kalau aku tidak salah umur Junus sekarang 52 tahun. Ayahku, bernama Khidir, umurnya genap 80 tahun. Ibuku, aku tidak tahu, sejak kami mengenal dunia ini, kami tidak tahu siapa ibu kami. Bapak Khidir itulah yang mengasuh kami sejak kecil. Setiap aku tanya, siapa dan di mana ibu kami sebenarnya, dia hanya bilang: ibumu ada di surga.
Selamat datang di Wentira.
Inilah kota yang hilang beberapa abad yang lalu. Kota ini sengaja dihilangkan oleh seorang yang saat itu mempunyai ilmu ghaib yang bisa menghilangkan sebuah tempat atau memindahkannya. Ada yang bilang kalau kota ini sengaja dihilangkan untuk menghindari serbuan penjajah saat itu. Orang-orang di dunia kalian banyak yang menyimpulkan, inilah Kota Atlantis yang hilang. Aku tidak tahu pasti, yang jelas aku lahir dan besar di sini. Aku merasakan indahnya hidup di sini. Semua fasilitas lengkap. Segala kebutuhan tercukupi. Kami hidup sejahtera. Segala yang kami butuhkan ada di kota ini.
Sampai suatu ketika ayah pernah berpesan agar jangan hanya hidup dengan kenikmatan. Kenikmatan menjadi tidak ada jika engkau tidak pernah diuji dengan penderitaan. Ayahku pernah bilang, suatu saat jika aku sudah besar, aku harus berbaur dengan orang-orang di luar kota ini, mencari kehidupan baru di luar kota ini –dalam artian dunia lain. Maksudnya, di luar kehidupan ini katanya masih ada kehidupan. Kehidupan lain, alam lain. Dia pernah mengatakan: nikmat hidup hanya akan kau temui jika kau mau keluar dari zona nyaman.
Aku tidak memperdulikan. Aku memilih hidup sendiri, tidak berkeluarga. Itulah sebabnya aku tidak punya anak. Sehari-hari aku hanya menjadi sopir taxi, bukan untuk mencari uang. Tapi melalui pekerjaanku inilah aku bisa berkeliling menikmati kota, sekaligus mengenalkan para pendatang baru –seperti kalian, agar mereka tahu seperti apa kehidupan di sini. Kecuali Junus, ayah kalian. Dia memilih saran ayahku. Dia berkelana ke dunia lain setelah menemukan pintu keluar untuk masuk ke dunia itu.
Bertahun-tahun setelah Junus pergi, kami kehilangan kontak. Tidak ada kabar darinya. Mungkin dia sudah merasa nyaman di dunia barunya. Padahal yang aku tahu, dunia baru itu adalah dunia yang penuh dengan kekerasan. Pembunuhan, seolah menjadi tradisi yang diawali oleh ketamakan, rasa ingin berkuasa yang sangat berlebihan, ego yang terlalu tinggi. Perampokan terjadi dimana-mana, itu semua didalangi oleh kemiskinan yang seperti mata rantai, tiada putus-putusnya. Aku juga mendengar kalau di dunia kalian penuh dengan kemaksiatan, semuanya diawali oleh pergaulan bebas tanpa batas. Aku tidak habis pikir kenapa ayahmu rela memilih jalan itu. Sampai akhirnya kami menganggap Junus sudah tidak ada.
Namun tidak semua demikian. Dunia kalian juga ternyata dipenuhi oleh rasa cinta. Ada beberapa orang yang rela banting tulang, bekerja dengan ikhlas mencari nafkah untuk keluarganya. Juga, katanya para wanita dengan senang hati menjadi ibu rumah tangga, mengasuh dan membesarkan keturunannya dengan penuh cinta. Dan itulah yang terjadi pada kakakku, Junus. Dia menemukan cinta sejatinya di dunia lain. Dia bertemu dengan seorang gadis cantik bernama Maria.
Maukah kalian mendengarkannya? Ah, tanpa menunggu jawaban aku yakin kalian pasti ingin mendengarnya. Baiklah.
Hari itu, bertahun-tahun setelah Junus pergi ke dunia lain, tidak ada kabarnya kecuali setelah dia pulang ke sini dan membawa seorang gadis cantik dan mengenalkannya kepadaku dan ayah, lalu menjelaskan semua. Dia bekerja dan kuliah di sebuah perguruan tinggi yang aku tidak tahu namanya. Yang pasti, melalui kampus itulah mereka bertemu dan menjalin persahabatan.
Awalnya biasa saja, namun jarak dan tempat ketika libur panjang itulah yang membuatnya merasakan beda. Junus datang jauh dari pedalaman kota. Ketika pulang untuk waktu yang lama. Ada kerinduan yang menyusup dalam dada. Disebut apakah rasa itu? Apakah namanya? Dan dari mana datangnya? Tidak ada yang bisa memberi jawaban kecuali Junus sendiri sebagai pelaku utama.
Akhirnya, dengan segenap keberanian setelah lulus kuliah dia datangi kedua orang tuanya. Kau tahu apa yang dia katakan? Dia bertanya kepada ayah Maria: Dengan cara seperti apa aku bisa membawa Maria pergi.
Aku hanya bisa tertawa. Sungguh konyol. Namun itu sudah berlalu.
Setahun setelah menikah. Junus mengajak Maria untuk pergi ke dunianya, duniaku saat ini. Maria tidak paham dunia yang dimaksud oleh Junus. Dia kemudian baru benar-benar paham setelah dia memasuki gerbang ini. Gerbang yang baru saja kalian lewati.
Awalnya berat bagi Maria menerima kenyataan bahwa suaminya adalah makhluk dari dunia lain. Namun itulah kenyataan yang harus dia terima. Sampai akhirnya dia sendiri terbiasa dengan kehidupan yang baru itu.
Dari pertemuan itulah lahir kalian bertiga.
Oh, ya, aku hampir lupa… aku sendiri sebenarnya merasa agak aneh. Saat pertamakali melihat kakak iparku, dia memang cantik, tapi kok ada lekukan di bawah batang hidungnya ya... Lekukan itu terasa lucu, karena seperti membelah bibir seseorang menjadi dua. Dan ternyata, kalian bertiga juga memiliki rupa yang sama. Kalian mirip sekali dengan Maria. Juga mirip sekali dengan jutaan orang yang hidup di dunia kalian. Semua orang di sana memiliki lekukan atau cekungan di bawah hidung. Cekungan yang membagi bibir menjadi dua, bibir kanan dan kiri.
Hahaha.. cekungan yang lucu dan aneh.
***
Tidak ada satu pun yang mengeluarkan suara setelah mereka mendengar penjelasan panjang-lebar dari Paman Lukas. Dita, Joni, Nindi, semua diam. Hanya mulutnya yang menganga.
Percakapan hari itu berakhir. Semua keterangan sudah jelas. Walau demikian, seindah apa pun kehidupan di situ, mereka masih merindukan kehidupan mereka yang sebenarnya. Kehidupan dimana dilahirkan dan dibesarkan. Semodern apa pun tempat itu, mereka tetap merindukan tempat mereka yang sesungguhnya, tidak peduli walau hidup miskin dan apa adanya. Tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali berharap kepada Penguasa Langit agar mengembalikan mereka ke tempat atau ke kehidupan yang mereka pahami. Bukan di sini, tempat yang bagi mereka terasa asing. Berbulan-bulan mereka menunggu sembari mengerjakan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Tidak pernah henti berharap suatu saat mereka bisa kembali ke dunia mereka lagi. Kehidupan berjalan seperti biasanya. Mereka hanya bisa menunggu, dan terus menunggu.
Dan yang menjadi saksi atas kehidupan, adalah waktu yang terus berjalan.
TAMAT
Surakarta, 5 Januari 2015
[08.01 AM]
*Sampai saat ini, mitos dan legenda mengenai Wentira, kota yang hilang itu masih ada. Tidak sedikit masyarakat Sulawesi Tengah yang masih mempercayainya. Bahkan beberapa meyakini, ada di antara mereka yang hidup berbaur dengan lingkungan social manusia pada umumnya. Kita. Hanya saja, konon secara tanda-tanda fisik, mereka mereka tidak mempunyai cekungan dibawah hidung yang lazim dimiliki oleh setiap manusia normal.
Jika kalian hendak jalan-jalan ke Kota Palu melalui jalur darat dari Kab. Poso, kalian akan melewati pegunungan belantara bernama Kebun Kopi, di pertengahan hutan gunung itu, kalian akan menemui jembatan dan tugu kecil berwarna kuning bernama Wentira. Tidak sedikit sopir truk atau mobil yang melintasi jalan itu membunyikan klakson sebagai bentuk penghormatan, sekedar syarat atau apalah artinya, dan memang sudah menjadi budaya.