Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

MBG vs RMT

Unggahan terkait MBG kemarin ditanggapi oleh seorang kawan Malaysia saya dengan mengirimkan flyer ini. Katanya, di Malaysia sejak tahun 1979 sudah diperkenalkan Rancangan Makanan Tambahan (RMT). Ini khusus untuk anak yatim dan anak orang miskin. Jadi anak-anak ini harus sarapan pagi di sekolah yang sudah disediakan oleh kerajaan. Semuanya gratis. 

Saat saya tanya siapa yang menentukan anak tersebut masuk kategori miskin, jawabannya adalah pihak sekolah dan ketua kampung. Ada borang yang perlu diisi untuk data yang diperlukan. Juga dibedakan antara keluarga yang punya banyak anak dengan yang hanya satu atau dua anak. Misal, seorang ayah yang punya penghasilan dua ribu ringgit punya dua anak, sedang ayah yang lain dengan penghasilan sama tapi punya enam orang anak, maka anak-anak dari keluarga yang terakhir ini berhak menerima RMT. 

Saya kira ini lebih tepat sasaran. Mengumpulkan anak yatim jelas lebih mudah daripada menentukan siapa masuk kategori anak miskin. Tapi itulah tugas utama pemerintah. Jadi, tak semua anak Indonesia harus diberi MBG. Bahkan lebih dari 6 persen anak masuk kategori kelebihan gizi. 

Jika tujuan pemerintah melalaui MBG adalah memberantas stunting, jelas ini sudah tidak tepat sasaran. Apalagi yang butuh nutrisi itu lebih kepada ibunya ketika masih mengandung, dan bukan anaknya yang sudah masuk usia sekolah. 

Sekarang anggaplah semua anak memang butuh MBG, kecuali angka 6 persen kelebihan gizi itu. Artinya masih ada anak lebih dari 90 persen anak. Yang menjadi persoalan adalah kenapa harus di dapur yang terpadu, artinya dapurnya harus ada terlebih dahulu. Kenapa tidak sekolahnya langsung yang dijadikan dapur umum. 

Sebenarnya akan lebih afdol lagi jika orang tua siswa dilibatkan. Saya bayangkan ibu-ibu yang terlibat ini justru akan memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Bisa jadi anggaran 15 ribu per porsi itu hanya akan terpotong seribu atau dua ribu untuk akomodasi, tidak sampai 5 ribu. Orang tua siswa jelas lebih rela tombok demi menyediakan makanan yang terbaik untuk anaknya. 

Jadi, peran pemerintah dalam hal ini adalah sebagai pengawas bagi orang tua siswa, agar standar kualifikasi makanan yang hendak diberikan benar-benar terpenuhi. 

Bisa yang seperti ini terjadi bila MBG diserahkan ke kontraktor?

  

MEMAHAMI SEJARAH DARI AL-QUR'AN

Sebagai pencinta sejarah (history), mempelajari ilmu sejarah (historiography) ternyata sangat penting. Sebab, kita tak hanya dicekoki oleh seberapa banyak informasi, melainkan juga dituntut untuk memahami apa tujuan belajar sejarah dan bagaimana sejarah direkonstruksi. 

Pemahaman ini saya dapatkan setelah mengkhatamkan dua buku dari trilogi Pengantar Ilmu Sejarah karya Kuntowijoyo (Pengantar Ilmu Sejarah; Metodologi Sejarah; dan Penjelasan Sejarah). Judul terakhir baru saya baca setengahnya. Tiga buku ini membawa saya memandang sejarah sebagai ilmu penting yang kehadirannya selalu mengiringi langkah kaki kita di mana pun berada, disadari atau tidak. 

Jika dikatakan bahwa orang bijak adalah orang yang belajar dari sejarah, maka orang cerdas sekaligus bijaksana adalah mereka yang belajar dari sejarah sekaligus kritis dalam membaca sejarah. Historiografi membawa kita menjadi pembaca sejarah yang kritis. 

Nah, buku yang sedang saya pegang ini adalah historiografi yang akan menuntun Anda bagaimana membaca sejarah dengan cara yang baru dan (menurut saya) lebih baik, khususnya membaca kepingan sejarah yang ada dalam Al-Qur'an. 

Tak banyak buku bertema seperti ini. Apalagi ia ditulis dengan pendekatan ilmiah melalui sumber-sumber otoritatif, di antaranya adalah buku trilogi Prof. Kuntowijoyo yang saya sebutkan di atas. Jadilah buku ini menjadi pengobat kerinduan saya pada karya Pak Kunto tersebut. 

Saya baru sampai bab 3 (halaman 50an). Jika melihat daftar isinya, saya menarik kesimpulan bahwa karya ini masuk kategori buku yang layak dibaca sampai khatam. Hanya saja pada awalan bab 2 (kalbu dan sejarah), ada pernyataan penulis yang beda dengan pendapat dengan yang saya yakini. Yakni terkait proses berpikir: apakah terjadi di otak atau jantung. Penulis buku ini cenderung memilih yang kedua. (Hlm. 29). 

Sementara saya, melalui nalar anatomi dan fisiologi standar, meyakini bahwa proses berpikir itu terjadi di otak, khususnya bagian depan yang dikenal sebagai lobus frontalis. Inilah bagian dari otak luhur manusia, yang membedakannya dengan binatang yang menjalani hidup hanya berdasarkan insting. 

Jika penulis merujuk pada "qolbu yang ada di dalam dada" dalam Surat Al-Hajj ayat 46 sebagai acuan, saya justru meyakini qolbu itu perpaduan antara keduanya: otak dan jantung. Yakni proses berpikir (tafakur)' yang terjadi di lobus frontal dan 'berperasaan atau penghayatan (tadzakkur)' yang dalam manifestasi klinisnya melibatkan aktivitas jantung. Jantung bisa berdegup kencang saat manusia takjub atau takut. Sebaliknya ia bisa melemah saat sedang bersedih dan larut dalam penyesalan. 

Meskipun demikian, terlepas dari perbedaan ini, saya memberi apresiasi yang tinggi untuk terbitnya buku ini. Tema yang jarang sekali diangkat. Satu poin penting yang dijelaskan dalam buku ini menurut saya harus menjadi pedoman seorang Muslim dalam mengaji sejarah adalah: "Sejarah sebagai disiplin ilmu bukan alat untuk memuaskan hasrat intelektual dan karir akademik semata. Dalam Islam, seluruh pengetahuan perlu dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah." (Hlm. 46).

Maka, membaca buku-buku sejarah (dengan nalar kritis) pada hakikatnya adalah juga merupakan aktivitas ibadah. 

"Ketika peristiwa sejarah ditimbang dengan nilai-nilai Islam, bahkan sejarah yang tampaknya tidak berkaitan langsung dengan dunia Islam pun tetap mengandung banyak pelajaran dan hikmah." (Hlm. 48).

 

 

ON PALESTINE

Dua jam pertama saya di kafe Gramedia Matraman tak terasa habis untuk membaca dan menganalisa buku ini. Menurut saya buku ini diterjemahkan dengan sangat baik, sesuai judul aslinya On Palestine (tanpa sub judul). Saya memang tidak niat membelinya, hanya sekadar ingin numpang. Tapi setelah menyelesaikan satu bab dari tulisan Ilan Pappe, saya putuskan bahwa saya harus membeli buku ini. 

Saya terpesona dengan narasi yang coba dibangun oleh Ilan Pappe. Ia mencoba untuk membuat historiografi baru (dalam menulis konflik Israel-Palestina dan mendiskusikan di ruang publik), dengan menambahkan tiga entri baru: dekolonisasi, pergantian rezim, solusi satu negara. 

Ilan Pappe terinspirasi dari gagasan Edward W Said, bahwa narasi-lah yang pada akhirnya akan menjadi hegemoni. Sasaran Pappe jelas, melalui pembangunan narasi baru, ia ingin menyadarkan masyarakat Barat (Amerika dan Uni-Eropa). 

Mari kita bahas satu per satu. 

DEKOLONISASI. Istilah ini lahir belakangan, setelah diksi kolonisasi mengalami pergeseran makna. Awalnya netral sebagai menghuni suatu wilayah, kini berkonotasi negatif menjadi melakukan penjajahan. Perubahan makna ini terjadi terutama setelah Perang Dunia II berakhir.  Masyarakat dunia tidak ingin ada penjajahan satu bangsa atas bangsa lain. 

Dari sinilah Ilan Pappe menjelaskan bahwa tujuan utama Zionisme dibentuk pada abad ke-19 adalah memang sebagai negara kolonialisme, yang dalam bahasa Ibrani disebut le-hitnahel. Zionis awal menggunakan istilah itu dengan bangga, sebab diksi tersebut waktu itu masih diterima secara positif oleh publik.

Kiwari, Zionisme modern (mewujud dalam bentuk Negara Israel) mencoba mengaburkan istilah tersebut. Tetapi memori kolektif tak bisa diubah bahwa tujuan Zionisme memang untuk menjajah (kolonialisme) Palestina. Memori inilah yang coba dihidupkan kembali oleh Ilan Pappe.

PERGANTIAN REZIM. Ilan Pappe menolak narasi lama terkait solusi dua negara (two state solution) sebagai bagian dari Ortodoksi Perdamaian. Menurutnya, tak akan pernah ada perdamaian, selama penduduk Palestina yang diusir dari rumahnya tak diizinkan untuk kembali ke rumah atau daerahnya masing-masing. 

Pembagian dua negara sebagai realpolitik inilah yang dianut oleh banyak aktivis perdamaian. Bahkan di Indonesia, tak sedikit influencer media sosial yang memilih pendapat ini sebagai win win solusion. 

Padahal menurut Pappe: "Pembagian dalam sejarah Palestina merupakan tindakan penghancuran yang dilakukan dalam kerangka "rencana perdamaian" PBB yang tidak menarik kecaman internasional sama sekali. Dengan demikian, istilah-istilah dalam kamus internasional dari periode formatif yang menandakan nilai-nilai damai positif seperti pembagian wilayah itu adalah newspeak--meninjam istilah terkenal George Orwell untuk realitas yang menipu. Pembagian wilayah menandakan keterlibatan internasional dalam kejahatan penghancuran, bukan tawaran perdamaian." (Hlm. 29).

Pappe tidak menuliskan hal ini. Tapi tiba-tiba saja saya teringat Belanda yang ingin mengajak berunding dan berdamai dengan Indonesia, justru setelah mereka melakukan agresi militernya yang kedua dan menangkap tokoh-tokoh pejuang utama seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Hadji Agus Salim. Lucu sekali. Mengajak damai pemilik rumah setelah rumahnya dirampok dan pemiliknya ditangkap adalah solusi yang tidak rasional. 

SOLUSI SATU NEGARA. Inilah solusi yang ditawarkan oleh Ilan Pappe. Ia tidak menyebut apa nama dari negara yang dibentuk tersebut nantinya. Tapi yang pasti, solusi satu negara adalah solusi yang paling rasional. 

Solusi ini hanya membutuhkan kesadaran kolektif publik bahwa demokrasi Barat, bahkan PBB, secara tegas menolak pembentukan negara apartheid (seperti yang pernah terjadi di Afrika Selatan). Sebab ia merupakan kejahatan kemanusiaan berdasarkan hukum internasional. 

Israel jelas-jelas hendak membentuk negara apartheid yang hanya menerima Yahudi sebagai ras tunggal. Ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Apalagi pendirian itu ditegakkan dengan melalukan genosida. 

Ilan Pappe menulis: "Siapa pun yang telah berada cukup lama di Israel, seperti saya, tahu bahwa korupsi terburuk orang-orang muda Israel adalah indoktrinasi yang mereka terima, yang sepenuhnya mendehumanisasi orang Palestina. Ketika melihat bayi Palestina, seorang tentara Israel tidak melihat bayi--dia melihat musuh." (Hlm. 24). 

Mungkin banyak yang pesimis dan bahkan sinis dengan gagasan Pappe ini, tak terkecuali dari kelompok tertentu yang pro-Palestina. Akan tetapi, Pappe sudah menyiapkan jawabannya: "Rezim dapat berubah secara dramatis dan drastis, tetapi juga mungkin secara bertahap dsn tanpa pertumpahan darah. Meskipun gejolak di bekas Yugoslavia dan Suriah berfungsi sebagai peringatan tentang bagaimana perubahan rezim dapat berjalan buruk, sebagain besar contoh sejarah dalam waktu-waktu terkini adalah perubahan rezim non-kekerasan, atau hampir non-kekerasan. Karena itu, entri terakhir dalam kamus baru, Solusi Satu Negara, didasarkan pada harapan bahwa visi yang jelas tentang bagaimana hubungan masa depan antara korban dan pelaku kejahatan diatur akan menunjukkan juga sifat perubahan yang diperlukan dan cara untuk mencapainya." (Hlm. 27-28).

Saya optimis dengan narasi yang dibangun oleh Pappe ini. Terbukti sepuluh tahun dari sejak buku ini pertama kali terbit, simpati terhadap kemerdekaan Palestina semakin bertambah dari berbagai kalangan di berbagai belahan dunia. 

Pappe menulis: "Untuk keluar dari paradoks yang disebutkan di atas, ide-ide kelompok perdamaian lama harus ditinggalkan. Komunitas internasional yang tertarik membantu Palestina perlu mendukung upaya untuk menjadikan Israel sebagai negara paria, selama Israel terus mendorong kebijakan apartheid, perampasan, dan pendudukan." (Hlm. 30). 

Paria merujuk kepada negara yang dikucilkan secara internasional. 

Demikian.