Akhir-akhir ini, saya mulai merasakan pentingnya pendidikan politik di sekolah-sekolah, khususnya sekolah menengah. Ini tidak untuk membuat anak-anak itu kelak menjadi politikus, bahkan yang kuliah di jurusan politik tidak otomatis menjadi politisi. Tetapi untuk membuat mereka sadar dan bisa membedakan, mana politikus yang sejati dan yang abal-abal.
Disadari atau tidak, kehidupan kita semua tak pernah lepas dari pengaruh kebijakan politik. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyat itu satu hal. Sedangkan membuat rakyat melek politik adalah hal lain. Akan tetapi keduanya saling berhubungan erat. Jika anak-anak tak pernah belajar tentang pentingnya kesadaran politik, jangan heran bila mereka jadi apatis bahkan alergi terhadapnya.
Maka jangan heran pula, jika panggung politik kita didominasi oleh orang-orang yang tak punya kapasitas. Bahkan diisi oleh para bandit.
Dimulai dari mana? Mulailah dari pelajaran sejarah. Misalnya begini. Jika sejak SD sampai SMP kita hanya mengenal Sukarno dan Hatta sebagai pahlawan nasional. Maka ketika SMA kita perlu beranjak untuk tahu lebih jauh, apa yang menjadi pikiran Sukarno dan apa yang menjadi pikiran Hatta. Lantas di mana perbedaan pandangan politik antara keduanya yang notabene sama-sama nasionalis. Selanjutnya penting untuk diketahui bagaimana mereka memandang suatu negara merdeka, dan di atas dasar apa kita membentuk negara tersebut.
Ini yang tidak pernah kita dapatkan di bangku sekolah bukan? Saya justru mendapatkannya secara otodidak dengan membaca langsung karya-karya mereka. Jika sesama nasionalis saja bisa terdapat perbedaan pandangan yang tajam, jangan heran dengan antar ideologi lain. Otomatis anak-anak ini juga perlu mengetahui ideologi apa saja yang berkembang di abad ke-20 itu.
Sekadar refleksi bahwa kesadaran politik saya benar-benar terbuka setelah saya membaca (secara terpisah) perdebatan antara Sukarno dan Mohammad Natsir di tahun 1930-an terkait dasar negara bila Indonesia kelak merdeka. Arsip perdebatan itu bisa kita didapatkan dalam himpunan masing-masing karya mereka: Sukarno dalam buku "Di Bawah Bendera Revolusi" (jilid I), dan Mohammad Natsir dalam "Capita Selecta". Dan kesadaran itu semakin terbuka setelah saya baca dua buku Tan Malaka, "Madilog" dan "Dari Penjara ke Penjara".
Saya tidak akan menjabarkannya secara rinci di sini, kecuali bila kelak tulisan ini akan dikembangkan menjadi sebuah buku.
Yang jelas, buat saya, anak sekolah menengah perlu untuk mempelajari dan mengetahui tiga ideologi besar ini secara mendasar. Agar kelak ketika sudah dewasa, mereka tidak gagap dan gampang dipermainkan sentimennya oleh elit politik yang sedang berkuasa. Sebab itulah yang terjadi saat ini, buta politik membawa manusia Indonesia kepada buta sejarah. Sehingga dalam menilai figur, mereka tak bisa membedakan antara emas dan tembaga, antara tembaga dan besi tua.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan menggunakan pandangan subyektif saya untuk menilai mana yang lebih di antara keempat tokoh yang kita jadikan sebagai contoh di atas. Melalui tulisan ini saya hanya ingin menegaskan bahwa: mereka berempat (Sukarno, Hatta, Tan Malaka, dan Natsir) adalah figur emas dalam kehidupan politik Indonesia. Mereka punya kesadaran penuh dalam bernegara dan tahu alat perjuangan apa yang mereka gunakan untuk menegakkan negara Indonesia merdeka.
Sekarang coba bandingkan dengan kondisi kita saat ini. Apakah ketua-ketua (apalagi anggota-anggotanya) partai paham ideologi partainya sendiri? Tidak bisa hanya paham alat perjuangan politiknya sendiri, bahkan ia juga mesti paham alat perjuangan politik dari partai-partai yang lain.
Sampai di sini saya ragu. Coba tanya kepada ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) misal, apakah ia paham ideologi partainya sendiri? Juga kepada ketua dan anggota partai lain? Jika tidak, jangan heran jika partai politik kita kiwari tidak berjuang untuk kepentingan rakyat, melainkan sekadar untuk kepentingan kelompok partainya semata. Mereka berjuang hanya untuk pragmatisme jabatan, bukan untuk kepentingan umat manusia.
Sampai di sini semoga Anda paham, bahwa apa pun ideologi yang kita pilih dalam bernegara, tidak boleh melenceng dari tujuan utamanya yakni: mencerdaskan kehidupan bangsa. Hanya dengan jalan itu kita bisa mencapai kesejahteraan hidup di dunia. Syukur-syukur di akhirat.
Mungkin di sinilah letak pentingnya pendidikan politik buat anak sekolah. Bahwa idealisme seperti ini perlu ditanamkan kepada mereka sejak dini. Agar kelak lahir generasi yang terdidik dan tercerahkan:
(1) Bila mereka ditakdirkan menjadi politisi akan menjadi politisi yang baik, dan bekerja untuk kepentingan rakyat; (2) jika pun mereka tak jadi politisi, setidaknya mereka tidak dijadikan sebagai alat pembodohan oleh segelintir elit.[]
Iwan Mariono
Sukabumi, 31 Agustus 2025
PENDIDIKAN POLITIK DI SEKOLAH MENENGAH
00.57
Rumahku Surgaku
Posted in
REFORMASI JILID II DAN KECERDASAN KOLEKTIF
11.59
Rumahku Surgaku
Saya ingin mengutip tiga pertanyaan yang sudah saya pilih, dan sekaligus jawaban Romo Mangun yang menurut saya patut disimak:
Apa pengertian Tatanan Indonesia Baru?
"Sudah dari awal, reformasi ini keliru. Titik kelirunya itu: pemerintah tidak punya legitimasi. Soeharto turun begitu saja, moso lari dari tanggung jawab, ya nggak bisa. Ya, ini serba salah, serba salah terus. Kesalahan menelorkan kesalah, kesalahan, kesalahan."
"Dan (masa jabatan) Soeharto yang terakhir ini bagi saya nggak sah. Karena pemilunya, pemilu paksaan. Semua pemilu paksaan kan nggak sah. Hasil pemilu 1997 itu kan nggak sah. Hanya de dacto dia kuasa. Ya, semua bandit kuasa juga, apa legitimate, kan tidak. Legal tapi tidak legitimete, awal mula kan di situ."
Melihat posisi masyarakat yang menguat dan negara yang melemah, bagaimana kemungkinan ideal tatanan kemasyarakatan?
"Sekarang ini, masyarakat tanpa negara. Sedangkan Orde Baru itu negara tanpa masyarakat. Tapi ini anarki, masak kita menghendaki tanpa negara? Itu memang terjadi juga tahun 1945 bulan Agustus sampai Januari 1946, itu masyarakat tanpa negara. Tapi itu sementara, lalu RI membuat negara. Dulu kok bisa, sekarang nggak bisa. Apakah sekarang lebih bodoh? Mungkin jawabannya begitu. Kita lebih bodoh dari generasi Soekaeno-Hatta."
Sepertinya kita sekarang krisis pemimpin?
"Krisis kecerdasan! Bodoh. Orang bodoh itu emosi, mudah dibakar, ditiup-tiup, mudah diprovokasi, karena bodoh. Yang berubah itu kaum elite, kalau rakyat biasa saja. Kaum elite yang membakar, lalu orang orang kecil yang sederhana ikut terbakar. Terbakar itu gak salah toh? Kayu di dapur dibakar apa salah? Ya nggak. Kalau rumah terbakar apa rumahnya yang salah? Ya tidak toh. Kalau orang cerdas berpikir begitu. Yang salah itu yang membakar."
Pertanyaan masih banyak tapi substansinya sama: bahwa prasyarat yang diperlukan untuk mengisi reformasi adalah kecerdasan generasi (kolektif). Sayangnya, ini menurut saya, kecerdasan kolektif ini tidak dibentuk hanya dalam sehari atau dua hari. Melainkan bertahun-tahun bahkan sampai lintas generasi.
Jadi, dalam konteks hari ini, kalau pun kerusuhan yang terjadi di negeri kita saat ini mampu melahirkan reformasi (anggaplah Reformasi Jilid II), ia tidak akan membawa pada perubahan yang substantif kalau belum terbentuk kecerdasan kolektif.
Posted in
KUNTOWIJOYO DAN DE-IDEOLOGISASI
00.34
Rumahku Surgaku
Setelah sekian lama tak berjumpa dengan Pak Kunto lewat karya-karyanya. Hari ini saya kedatangan buku yang di dalamnya ada tulisan beliau.
Kuntowijoyo tak pernah lelah mengingatkan pembacanya, bahwa Pancasila tidak harus selalu dilihat dari sudut pandang politik. Ketika deideologisasi terjadi pada 1985 dengan diberlakukannya Asas Tunggal Pancasila, umat Islam justru mengalami kemajuan dalam kebudayaan.
Kata Pak Kunto: "Tidak ada yang mengkhawatirkan dengan deideologisasi. Sebaliknya, dalam satu dasawarsa saja telah terjadi perkembangan luar biasa di lingkungan umat. Perkembangan itu ialah: (1) munculnya Islam sebagai ilmu, dan (2) munculnya Islam inklusif."
Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan bila Islam dalam hubungannya dengan Pancasila harus mengalami deideologisasi. Sebab deideologisasi tidak sama dengan de-Islamisasi.
Lebih tegas lagi Pak Kunto menyatakan:
"Deideologisasi bukanlah de-Islamisasi. Umat harus dapat mengambil hikmahnya dengan ngelmu begja, serba beruntung, "kanan kiri OK". Umat beruntung karena dengan melepas ideologi Islam, ia dapat mengembangkan sayapnya ke segala arah, ke mana pun boleh tanpa cacat-agama (PPP, Golkar, PDI). Umat beruntung karena Islam tidak menjadi tutuhan dengan terjadinya banyak aib nasional (kesenjangan, kolusi, korupsi, monopoli, nepotisme, otoritarianisme). Umat beruntung karena tanpa beban nasional ia dapat melalukan amar makruf nahi munkar. Umat beruntung karena apa pun yang terjadi di percaturan internasional (seperti OKI), Indonesia tetap diperhitungkan sebagai negeri Islam."
Saya sepakat dengan pernyataan Pak Kunto ini, bukan berarti kita ingin menafikan perjuangan politik, melainkan umat juga harus tahu bahwa kebangkitan Islam tidak semata dilihat hanya dari satu aspek saja. Sebab tak dimungkiri diskursus kita hari ini (terutama di media sosial) lebih didominasi oleh Islam dari sudut pandang politik (kekuasaan).
"Islam dapat secara implisit menjadi substansi kekuatan politik, tanpa kekuatan itu harus secara eksplisit mencantumkan Islam dalam AD/ART-nya," tegas Pak Kunto.
Posted in
123 BUNG HATTA
08.40
Rumahku Surgaku
Posted in