Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

PENDIDIKAN POLITIK DI SEKOLAH MENENGAH

Akhir-akhir ini, saya mulai merasakan pentingnya pendidikan politik di sekolah-sekolah, khususnya sekolah menengah. Ini tidak untuk membuat anak-anak itu kelak menjadi politikus, bahkan yang kuliah di jurusan politik tidak otomatis menjadi politisi. Tetapi untuk membuat mereka sadar dan bisa membedakan, mana politikus yang sejati dan yang abal-abal.

Disadari atau tidak, kehidupan kita semua tak pernah lepas dari pengaruh kebijakan politik. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyat itu satu hal. Sedangkan membuat rakyat melek politik adalah hal lain. Akan tetapi keduanya saling berhubungan erat. Jika anak-anak tak pernah belajar tentang pentingnya kesadaran politik, jangan heran bila mereka jadi apatis bahkan alergi terhadapnya.

Maka jangan heran pula, jika panggung politik kita didominasi oleh orang-orang yang tak punya kapasitas. Bahkan diisi oleh para bandit.

Dimulai dari mana? Mulailah dari pelajaran sejarah. Misalnya begini. Jika sejak SD sampai SMP kita hanya mengenal Sukarno dan Hatta sebagai pahlawan nasional. Maka ketika SMA kita perlu beranjak untuk tahu lebih jauh, apa yang menjadi pikiran Sukarno dan apa yang menjadi pikiran Hatta. Lantas di mana perbedaan pandangan politik antara keduanya yang notabene sama-sama nasionalis. Selanjutnya penting untuk diketahui bagaimana mereka memandang suatu negara merdeka, dan di atas dasar apa kita membentuk negara tersebut.

Ini yang tidak pernah kita dapatkan di bangku sekolah bukan? Saya justru mendapatkannya secara otodidak dengan membaca langsung karya-karya mereka. Jika sesama nasionalis saja bisa terdapat perbedaan pandangan yang tajam, jangan heran dengan antar ideologi lain. Otomatis anak-anak ini juga perlu mengetahui ideologi apa saja yang berkembang di abad ke-20 itu.

Sekadar refleksi bahwa kesadaran politik saya benar-benar terbuka setelah saya membaca (secara terpisah) perdebatan antara Sukarno dan Mohammad Natsir di tahun 1930-an terkait dasar negara bila Indonesia kelak merdeka. Arsip perdebatan itu bisa kita didapatkan dalam himpunan masing-masing karya mereka: Sukarno dalam buku "Di Bawah Bendera Revolusi" (jilid I), dan Mohammad Natsir dalam "Capita Selecta". Dan kesadaran itu semakin terbuka setelah saya baca dua buku Tan Malaka, "Madilog" dan "Dari Penjara ke Penjara".

Saya tidak akan menjabarkannya secara rinci di sini, kecuali bila kelak tulisan ini akan dikembangkan menjadi sebuah buku.

Yang jelas, buat saya, anak sekolah menengah perlu untuk mempelajari dan mengetahui tiga ideologi besar ini secara mendasar. Agar kelak ketika sudah dewasa, mereka tidak gagap dan gampang dipermainkan sentimennya oleh elit politik yang sedang berkuasa. Sebab itulah yang terjadi saat ini, buta politik membawa manusia Indonesia kepada buta sejarah. Sehingga dalam menilai figur, mereka tak bisa membedakan antara emas dan tembaga, antara tembaga dan besi tua.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan menggunakan pandangan subyektif saya untuk menilai mana yang lebih di antara keempat tokoh yang kita jadikan sebagai contoh di atas. Melalui tulisan ini saya hanya ingin menegaskan bahwa: mereka berempat (Sukarno, Hatta, Tan Malaka, dan Natsir) adalah figur emas dalam kehidupan politik Indonesia. Mereka punya kesadaran penuh dalam bernegara dan tahu alat perjuangan apa yang mereka gunakan untuk menegakkan negara Indonesia merdeka.

Sekarang coba bandingkan dengan kondisi kita saat ini. Apakah ketua-ketua (apalagi anggota-anggotanya) partai paham ideologi partainya sendiri? Tidak bisa hanya paham alat perjuangan politiknya sendiri, bahkan ia juga mesti paham alat perjuangan politik dari partai-partai yang lain.

Sampai di sini saya ragu. Coba tanya kepada ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) misal, apakah ia paham ideologi partainya sendiri? Juga kepada ketua dan anggota partai lain? Jika tidak, jangan heran jika partai politik kita kiwari tidak berjuang untuk kepentingan rakyat, melainkan sekadar untuk kepentingan kelompok partainya semata. Mereka berjuang hanya untuk pragmatisme jabatan, bukan untuk kepentingan umat manusia.

Sampai di sini semoga Anda paham, bahwa apa pun ideologi yang kita pilih dalam bernegara, tidak boleh melenceng dari tujuan utamanya yakni: mencerdaskan kehidupan bangsa. Hanya dengan jalan itu kita bisa mencapai kesejahteraan hidup di dunia. Syukur-syukur di akhirat.

Mungkin di sinilah letak pentingnya pendidikan politik buat anak sekolah. Bahwa idealisme seperti ini perlu ditanamkan kepada mereka sejak dini. Agar kelak lahir generasi yang terdidik dan tercerahkan:

(1) Bila mereka ditakdirkan menjadi politisi akan menjadi politisi yang baik, dan bekerja untuk kepentingan rakyat; (2) jika pun mereka tak jadi politisi, setidaknya mereka tidak dijadikan sebagai alat pembodohan oleh segelintir elit.[]

Iwan Mariono
Sukabumi, 31 Agustus 2025


REFORMASI JILID II DAN KECERDASAN KOLEKTIF

Ini buku (berisi wawancara) diterbitkan paska Reformasi 98. Judul buku ini dikutip dari jawaban salah satu narasumbernya: Romo Mangunwijaya.

Saya ingin mengutip tiga pertanyaan yang sudah saya pilih, dan sekaligus jawaban Romo Mangun yang menurut saya patut disimak:

Apa pengertian Tatanan Indonesia Baru?

"Sudah dari awal, reformasi ini keliru. Titik kelirunya itu: pemerintah tidak punya legitimasi. Soeharto turun begitu saja, moso lari dari tanggung jawab, ya nggak bisa. Ya, ini serba salah, serba salah terus. Kesalahan menelorkan kesalah, kesalahan, kesalahan."

"Dan (masa jabatan) Soeharto yang terakhir ini bagi saya nggak sah. Karena pemilunya, pemilu paksaan. Semua pemilu paksaan kan nggak sah. Hasil pemilu 1997 itu kan nggak sah. Hanya de dacto dia kuasa. Ya, semua bandit kuasa juga, apa legitimate, kan tidak. Legal tapi tidak legitimete, awal mula kan di situ."

Melihat posisi masyarakat yang menguat dan negara yang melemah, bagaimana kemungkinan ideal tatanan kemasyarakatan?

"Sekarang ini, masyarakat tanpa negara. Sedangkan Orde Baru itu negara tanpa masyarakat. Tapi ini anarki, masak kita menghendaki tanpa negara? Itu memang terjadi juga tahun 1945 bulan Agustus sampai Januari 1946, itu masyarakat tanpa negara. Tapi itu sementara, lalu RI membuat negara. Dulu kok bisa, sekarang nggak bisa. Apakah sekarang lebih bodoh? Mungkin jawabannya begitu. Kita lebih bodoh dari generasi Soekaeno-Hatta."

Sepertinya kita sekarang krisis pemimpin?

"Krisis kecerdasan! Bodoh. Orang bodoh itu emosi, mudah dibakar, ditiup-tiup, mudah diprovokasi, karena bodoh. Yang berubah itu kaum elite, kalau rakyat biasa saja. Kaum elite yang membakar, lalu orang orang kecil yang sederhana ikut terbakar. Terbakar itu gak salah toh? Kayu di dapur dibakar apa salah? Ya nggak. Kalau rumah terbakar apa rumahnya yang salah? Ya tidak toh. Kalau orang cerdas berpikir begitu. Yang salah itu yang membakar."

Pertanyaan masih banyak tapi substansinya sama: bahwa prasyarat yang diperlukan untuk mengisi reformasi adalah kecerdasan generasi (kolektif). Sayangnya, ini menurut saya, kecerdasan kolektif ini tidak dibentuk hanya dalam sehari atau dua hari. Melainkan bertahun-tahun bahkan sampai lintas generasi.

Jadi, dalam konteks hari ini, kalau pun kerusuhan yang terjadi di negeri kita saat ini mampu melahirkan reformasi (anggaplah Reformasi Jilid II), ia tidak akan membawa pada perubahan yang substantif kalau belum terbentuk kecerdasan kolektif.

KUNTOWIJOYO DAN DE-IDEOLOGISASI

Setelah sekian lama tak berjumpa dengan Pak Kunto lewat karya-karyanya. Hari ini saya kedatangan buku yang di dalamnya ada tulisan beliau. 

Kuntowijoyo tak pernah lelah mengingatkan pembacanya, bahwa Pancasila tidak harus selalu dilihat dari sudut pandang politik. Ketika deideologisasi terjadi pada 1985 dengan diberlakukannya Asas Tunggal Pancasila, umat Islam justru mengalami kemajuan dalam kebudayaan. 

Kata Pak Kunto: "Tidak ada yang mengkhawatirkan dengan deideologisasi. Sebaliknya, dalam satu dasawarsa saja telah terjadi perkembangan luar biasa di lingkungan umat. Perkembangan itu ialah: (1) munculnya Islam sebagai ilmu, dan (2) munculnya Islam inklusif." 

Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan bila Islam dalam hubungannya dengan Pancasila harus mengalami deideologisasi. Sebab deideologisasi tidak sama dengan de-Islamisasi. 

Lebih tegas lagi Pak Kunto menyatakan: 

"Deideologisasi bukanlah de-Islamisasi. Umat harus dapat mengambil hikmahnya dengan ngelmu begja, serba beruntung, "kanan kiri OK". Umat beruntung karena dengan melepas ideologi Islam, ia dapat mengembangkan sayapnya ke segala arah, ke mana pun boleh tanpa cacat-agama (PPP, Golkar, PDI). Umat beruntung karena Islam tidak menjadi tutuhan dengan terjadinya banyak aib nasional (kesenjangan, kolusi, korupsi, monopoli, nepotisme, otoritarianisme). Umat beruntung karena tanpa beban nasional ia dapat melalukan amar makruf nahi munkar. Umat beruntung karena apa pun yang terjadi di percaturan internasional (seperti OKI), Indonesia tetap diperhitungkan sebagai negeri Islam." 

Saya sepakat dengan pernyataan Pak Kunto ini, bukan berarti kita ingin menafikan perjuangan politik, melainkan umat juga harus tahu bahwa kebangkitan Islam tidak semata dilihat hanya dari satu aspek saja. Sebab tak dimungkiri diskursus kita hari ini (terutama di media sosial) lebih didominasi oleh Islam dari sudut pandang politik (kekuasaan). 

"Islam dapat secara implisit menjadi substansi kekuatan politik, tanpa kekuatan itu harus secara eksplisit mencantumkan Islam dalam AD/ART-nya," tegas Pak Kunto.

123 BUNG HATTA

Pembacaan terhadap Hatta membawa saya pada kesimpulan bahwa sosok yang sederhana tidaklah ditentukan oleh pakaian apa yang ia kenakan, seperti kemeja polos dan harganya yang murah, atau makanan dan tempat makan seperti apa yang ia pilih. Tidak demikian. Melainkan yang otentik: pikiran. Pandangan hidup seseoranglah –dan bagaimana ia memegang teguh prinsipnya sampai akhir hayat– yang menentukan kesederhanaannya. 


Memperingati 123 tahun Bung Hatta (12 Agustus 1902 – 12 Agustus 2025), ada tiga buku yang saya rekomendasikan kepada peminat kajian mengenai sosoknya, yang harus dibaca sampai tuntas. Akan kita ulas sesuai urutan: 1-2-3. Ketiga buku ini adalah pilihan subyektif, berdasarkan pertimbangan saya yang ingin melihat Hatta dalam tiga dimensi, yakni sebagai: (1) pribadi, (2) ekonom, dan (3) muslim. 

Tulisan ini sekaligus menjadi draf buat saya jika di kemudian hari saya harus menulis buku biografi pemikiran Bung Hatta. Selama ini biografi pemikiran Hatta lebih banyak membahas aspek politik. Tercatat sudah ada tiga buku yang ditulis oleh masing-masing: (1) Prof. Deliar Noer, (2) Mavis Rose, dan (3) DR. Zulfikri Sulaeman. Namun sangat sedikit yang membahas dari aspek ekonomi, saya mencatat hanya ada satu buku, yakni yang ditulis oleh DR. Anwar Abbas. Apalagi dari aspek sebagai seorang muslim cendekiawan, setahu saya belum ada. 

Mari kita teruskan pembacaan kita terhadap sejarah singkat lahirnya pemikiran Bung Hatta. 


(1)

Pemimpin yang berjiwa sederhana, ia tak akan berambisi terhadap kekuasaan. Sebaliknya, ia memandang jabatan sebagai amanah berat yang harus dipikul oleh seseorang. Maka ketika sudah tak sanggup lagi menjalankan amanah tersebut, ia harus dengan sportif berani menyatakan pengunduran diri, meletakkan jabatannya. Beri kesempatan kepada orang lain yang merasa bisa, meskipun belum tentu orang tersebut benar-benar sanggup.

Hal itulah yang dibuktikan oleh Bung Hatta ketika ia meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden pada akhir 1956. Ia lakukan itu untuk memberi kesempatan (mungkin sekaligus tantangan) kepada Bung Karno yang berambisi melanjutkan rencana-rencana besarnya, agar dirinya tak dianggap sebagai penghalang. Meskipun demikian, ia tak tinggal diam ketika memelihat sesuatu yang dianggapnya menyimpang. 

Ketulusan Bung Hatta dalam mengingatkan kawannya ini bisa dibaca melalui buku yang disunting oleh Mochtar Lubis berjudul: Hati Nurani Melawan Kezaliman. Buku tersebut berisi surat-surat Bung Hatta kepada Presiden Sukarno (1957-1965). Surat-surat yang sifatnya pribadi ini barulah bisa diterbitkan atas desakan dari sekretarisnya yang berusaha meyakinkan Hatta isi dari surat tersebut dapat dijadikan sebagai pelajaran untuk generasi selanjutnya. 

Di antara sekian banyak buku mengenai Hatta, yang paling mengharukan adalah buku ini. Berisi delapan surat pribadi Bung Hatta kepada Bung Karno, terhitung sejak ia berhenti menjadi wakil presiden. Hatta tak hanya mengkritik Sukarno lewat media massa, tetapi juga mengirim surat pribadi. Dalam setiap suratnya Hatta menyapa Sukarno dengan panggilan yang berbeda-beda. Kalau Anda baca langsung suratnya, terlihat betapa Hatta tulus menasihati Sukarno sebagai seorang presiden sekaligus seorang sahabat. 

Kita berterima kasih kepada Mochtar Lubis yang sudah menyunting surat-surat ini dengan baik, dengan memberi konteks latar belakang sejarah ketika surat itu ditulis. Juga kepada sekretaris pribadi Bung Hatta yang berhasil membujuk Bung Hatta agar berkenan surat-surat itu dibukukan. Tidak mudah membujuk Hatta, bahkan buku ini baru diterbitkan setelah ia meninggal dunia.

Entah kenapa saya cenderung memilih surat-suratnya kepada kawannya untuk menilai pribadinya dibanding buku Memoir-nya. Dalam benak saya, surat-surat yang memang sifatnya pribadi yang ditujukan kepada seorang kawan, jelaslah mencerminkan kepribadian pengirimnya. Mungkin surat-suratnya kepada kawannya yang lain seperti Ide Anak Agung Gde Agung juga bisa dijadikan sebagai penilaian. Namun bagi saya surat-suratnya kepada Bung Karno-lah yang paling meninggalkan kesan. 

*

(2)

Revolusi Perancis (1789) yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individu itu mulanya memang memiliki tujuan yang baik. Dikatakan baik sebab ia berhasil membebaskan masyarakat Eropa dari kungkungan dan dominasi Gereja, ketika itu. Bukan tempatnya untuk membahas secara lengkap di sini, silakan baca sendiri sejarah Abad Renaisans. Kita tarik sejarah dari abad ke-18 itu untuk mengetahui latar belakang kebijakan ekonomi Bung Hatta di abad ke-20. Dalam karangannya berjudul “Kearah Indonesia Merdeka”, Bung Hatta memang sedikit menyinggung hal ini. 

Hasil dari Revolusi Perancis itu: individualisme dijunjung tinggi, sebaliknya kolektivisme tidak dibenarkan. Belajar dari trauma dominasi itu, berserikat dan berkumpul bahkan dilarang. Terkenal revolusi itu dengan dengan semboyannya: liberte (kebebasan), egalite (kesetaraan), dan fraternite (persaudaraan). Singkat cerita, di atas dasar individualisme inilah berdiri Demokrasi Barat. Semangat individualisme membawa manusia pada kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir mempercepat kemajuan ilmu, terutama dalam bidang teknologi. Dari revolusi individu, tak lama kemudian lahir revolusi industri. Dari Perancis pindah ke tetangganya di seberang laut: Inggris. Kedua-duanya penggerak bagi kapitalisme modern. 

Sampai di sini, kita jadi paham kenapa kapitalisme bisa tumbuh subur di Eropa, khususnya Eropa Barat. Sayangnya tumbuh suburnya kapitalisme ini justru menjadi bencana buat para buruh. Revolusi Perancis hanya menghasilkan Kebebasan (liberte), tetapi gagal mewujudkan Persamaan (egalite) dan Persaudaraan (fraternite). Itulah alasan kenapa Bung Hatta menolak demokrasi ala Barat, sebab demokrasi yang dibangun hanya dalam bidang politik, tetapi tidak dalam bidang ekonomi. Kelompok buruh yang lemah justru semakin termarjinalkan. 

Dalam suasana seperti itu, lahirlah komunisme di abad ke-19 yang menjadi simbol perlawanan dari kapitalisme. Bung Hatta sangat memahami pemikiran Karl Marx, namun ia menolak Marxisme, apalagi Marxisme yang dijalankan oleh Lenin dan dilanjutkan oleh Stalin. Bagi Hatta kedua nama terakhir ini justru menyimpang dari ajaran Marx terkait manifesto komunis. Marx, menurut Hatta, tidak menghendaki perubahan sosial tersebut dijalankan secara revolusioner, melainkan evolusi. Mengenai hal ini bisa dibaca dalam buku berjudul “Bung Hatta Menjawab”, berisi wawancaranya yang disusun oleh DR. Zainul Yasni. 

Tapi bukan buku ini yang hendak saya rekomendasikan kepada sidang pembaca, melainkan buku berjudul "Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun" (terbitan Kompas), untuk terbitan LP3ES ia menjadi jilid ke-6 dari Karya Lengkap Bung Hatta. Buku ini berisi karangan dan pidato Hatta mengenai koperasi, yang dibahasnya secara detail sampai ke hal yang sifatnya teknis di lapangan. Inilah buku yang menjadi magnum opus dari Hatta, bahwa hanya Koperasi-lah yang menjadi lawan tanding Kapitalisme.

Meskipun demikian, koperasi bukanlah gagasan murni Bung Hatta, bahkan koperasi di Indonesia sudah ada sejak akhir abad ke-19, tepatnya 1896, enam tahun sebelum Hatta lahir. Tetapi Hatta mempunyai sintesa tersendiri terhadap koperasi yang ingin ia bangun. Koperasi tersebut tidaklah sama dengan koperasi yang ada di Skandinavia, meskipun ia mengambil banyak inspirasi dari sana. 

Menurut Hatta -dalam buku tersebut- koperasi yang hendak dibangun adalah koperasi yang sesuai dengan semangat gotong royong yang sudah ada sejak dahulu dan menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Hatta menyebutnya sebagai: demokrasi desa. Setiap orang berserikat dan berkumpul untuk menentukan kesejahteraan hidup mereka. 

Satu contoh yang menjadi pembeda antara koperasi yang ada di Skandinavia dan koperasi ala Indonesia: orientasinya terhadap laba. Yang disebut pertama murni mengejar keuntungan, sedangkan koperasi ala Indonesia tidak bisa sepenuhnya berorientasi terhadap profit, aspek lain harus ada: amal. Bung Hatta mencontohkan semisal ada keluarga dari anggota koperasi tersebut yang meninggal dunia, koperasi menyediakan dana untuk membantu meringankan beban keluarga yang ditinggalkan. 

Aspek amal ini jelas tidak dikenal di Eropa. Dalam buku tersebut, Bung Hatta mengupas sampai ke hal-hal teknis demikian. 

*** 

(3)

Dalam acara di TPU Tanah Kusir kemarin (12/08) saya membawakan monolog berjudul: "Mengenang Hatta melalui Obituari Hamka, menepis tuduhan sebagai nasionalis sekuler." 

Oleh karena waktu yang terbatas, saya tidak bisa membahas materinya secara lengkap. Maka pada tulisan inilah saya akan mengulasnya sampai tuntas. 

Tahun lalu saya membeli buku berjudul "Orang-orang yang Saya Kenang", buku tersebut berisi kumpulan tulisan Hamka yang sudah langka ini --terutama yang tersebar di majalah Panji Masyarakat-- berhasil dihimpun oleh Abdul Hadi Hamka (cucu Buya Hamka). Mari kita simak kenangan Hamka terhadap Hatta melalui obituarinya, yang terbit di majalah Panji Masyarakat, dua pekan setelah wafatnya Bung Hatta. 

Kita bersyukur Hamka menulis obituari itu. Sebab dari situlah kita tahu dari mana sumber awal yang menuduh Hatta sebagai seorang nasionalis sekuler.  

Hamka menulis: "Gerakan Sukarno ialah semata-mata gerak kebangsaan. Jadi agama tidak usah diikutcampurkan dalam gerakan kebangsaan itu. Mereka memakai semboyan bahwa agama adalah hubungan masing-masing diri dengan Tuhan, sedang tanah air adalah kewajiban bersama.

"Hatta tidak mencampuri soal itu. Dia membela tanah airnya, dia mencita-citakan kemerdekaan bangsanya dari penjajahan, dia tetap dalam pendiriannya untuk tidak bekerjasama dengan Pemerintah Belanda dan bergantung pada kekuatan sendiri. 

"Mulanya tidaklah ada polemik antara gerakan Islam ini dengan Hatta, tetapi seorang teman dari Medan, Saudara T.M. Usman el-Muhammady, pernah menulis satu tulisan yang mengkritik kaum kebangsaan yang tidak memedulikan agama, bergerak membela tanah air dan menegakkan cita kemerdekaan Indonesia dengan memisahkan agama dari perjuangan. Dalam tulisan itu T.M. Usman (alm.) telah menyamakan Hatta dengan pemimpin-pemimpin gerakan kebangsaan yang lain."

Balasan Hatta untuk tuduhan T.M. Usman itu terbit di majalah Adil. Dalam tulisan itu Hatta menggunakan "ia" (kata ganti orang ketiga) untuk menyebut dirinya sendiri. Demikian potongan kalimatnya: "... Ia membandingkan terlebih dahulu keuntungan yang bisa didapatkan dengan pengetahuan dan ilmunya sebagai pangkat tinggi, kesenangan hidup dan pensiun besar, dengn kesukaran yang bakal dideritanya kalau masuk pergerakan, sebagai hidup melarat, bui, dan pembuangan.

"Kalau ia masih memilih yang kemudian ini, sudah tentu langkahnya itu dipengaruhi oleh keyakinan yang suci tentang kewajibannya terhadap masyarakat tempat ia dilahirkan. Bukan 'katanya', melainkan memang dirasanya sebagai suruhan suatu suara Yang Maha Kuasa dalam dadanya atau sebagai iradat Ilahi Rabbi atas dirinya, yang tiada dapat ditimbangnya dengan ukuran akal tentang berbahagia atau tidak."

Setelah membaca keterangan Hatta di atas, komentar Hamka demikian: "Saya mengakui terus terang bahwa saya pun terlibat dalam pertengkaran soal Islam dan kebangsaan itu, terutama sebelum membaca tulisan Hatta ini. Namun setelah membaca dan merenungkan tulisannya, saya pun tertegun dan termenung, lalu mengukurnya dengan diri sendiri. Ucapan ini tidak dimasukan ke dalam arena perdebatan lagi. Bung Hatta berjuang untuk kemerdekaan. Mencintai bangsa dan tanah air bukanlah semata-mata urusan pidato dan agitasi, tetapi soal iman yang mendalam di sanubari. Apa pun yang akan dideritanya karena perjuangan ini, dia berserah dan tawakkal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Ilahi Rabbi!" 

Demikianlah komentar Buya Hamka, dan benarlah bahwa Bung Hatta memang konsisten dengan keyakinannya ketika ia ditahan oleh pemerintah Hindia Belanda di penjara Glodok (tidak lama setelah tulisannya di majalah Adil itu terbit), untuk kemudian menjalani masa yang panjang sebagai interniran di Digoel; di Banda Naira; di Sukabumi; termasuk di pulau Bangka pada zaman Revolusi Kemerdekaan. 

Kalau Anda sudah membaca buku ke-9 Karya Lengkap Bung Hatta yang diterbitkan oleh LP3ES, akan semakin jelas bahwa Hatta memang sosok yang tidak suka menonjolkan identitas agamanya di depan publik. Dalam tulisannya, ia membagi cara berislam seseorang menjadi dua tipe: Islam garam dan Islam gincu. 

Yang pertama adalah orang yang memilih untuk tidak menampakkan identitas keagamaannya di depan publik, melainkan melalui rasanya, alias perilakunya. Sementara yang kedua adalah mereka yang memilih untuk menampakkan identitasnya. Dalam hal ini, Hatta memilih yang pertama. 

Tak ada yang salah antara keduanya, ini bukan perkara mana yang lebih baik, bahkan Hatta menyontohkan tipe kedua diwakili oleh Mohammad Natsir --sosok yang juga sederhana dan sangat bersahaja sampai akhir hayatnya.

Inilah buku ketiga yang penting untuk dibaca bila ingin memahami pemikiran keagamaan seorang Hatta, yakni jilid ke-9 Karya Lengkap Bung Hatta berjudul: Agama, Dasar Negara, dan Karakter Bangsa.

*** 

Demikianlah. Saya akhiri catatan panjang ini dengan kutipan dari Buya Hamka untuk Bung Hatta, yang memujinya dengan penghormatan yang menurut saya amat tinggi: "Kebesaran bukanlah karena suatu pangkat dan jabatan. Kebesaran terletak pada karakter pribadi. Meskipun telah berhenti menjadi wakil presiden, tetapi kebesaran dan keagungan beliau setelah 24 tahun berhenti menjadi wakil presiden, sama saja dengan saat jabatan itu beliau sandang. Selama 24 tahun menjadi rakyat biasa, beliau tetap dalam kebesaran dan keagungannya. Bukanlah beliau besar karena pangkatnya, melainkan pangkat itulah yang besar karena dia yang memikulnya." 

***

Iwan Mariono
Sukabumi, 13 Agustus 2025