Saya akan melanjutkan kronik SPBH, untuk acara yang sudah digelar lewat dari seminggu yang lalu di kampus FH UI (26 April 2025). Acara ini diselenggarakan oleh Penerbit LP3ES bekerjasama dengan Yayasan Bung Hatta. Jika pada SPBH pertama yang diselenggarakan di Kampus Paramadina (15 Agustus 2024) saya menjadi peserta, pada SPBH kedua ini saya menjadi moderator dari salah satu pembicara: Prof. Meuthia Ganie (Dosen UI, Sosiologi Organisasi Pembangunan).
Banyak sesi sebelumnya yang tidak sempat saya ikuti, oleh karena dalam perjalanan, terkendala motor yang rusak sehingga tertunda waktu tibanya sampai dua jam. Maka ulasan saya dalam kronik ini hanya akan fokus membahas sub-tema terkait, yang diambil dari dua bab (IV dan VII) dalam jilid 2 Karya Lengkap Bung Hatta, yaitu: (1) Tanggung Jawab Revolusi, dan (2) Demokrasi dan Tanggung Jawab. Ini adalah materi untuk sesi ketiga di mana saya menjadi moderatornya. Ada tulisan Bung Hatta yang harus saya daras dan khatamkan ulang ketika diminta oleh panitia untuk menjadi moderator, seperti Demokrasi Kita, yang masuk dalam sub-bab VII. Meskipun demikian, tak ada ruginya membaca tulisan itu berulang, sebab saya rasakan ada pemahaman baru dari sejak membacanya pertama kali enam tahun yang lalu.
Sesungguhnya amatlah singkat membahas dua bab ini hanya dalam waktu seratus menit (40 menit materi + 60 menit tanya jawab). Padahal setiap sub-bab-nya saja terdiri dari banyak tulisan terpisah Bung Hatta yang membahas banyak persoalan. Seperti sub-bab Demokrasi Kita yang saya sebut di atas, tulisan itu sempat menggemparkan publik karena berisi kritik Hatta terhadap jalannya Demokrasi Terpimpin ala Sukarno. Bahkan waktu sehari rasanya tidak cukup untuk membahas satu tulisan ini saja.
Tetapi memang saya melihat bahwa kegiatan ini lebih sebagai stimulus untuk para peserta, agar kemudian mereka tertarik untuk membaca langsung tulisan Bung Hatta yang diterbitkan oleh Penerbit LP3ES dan sudah dikemas secara tematik. Kita patut berterima kasih kepada para pakar (tiga profesor di antaranya sudah meninggal dunia) dalam tim redaksi buku Karya Lengkap Bung Hatta yang diketuai oleh Prof. Emil Salim ini. Ini adalah proyek akademis panjang yang sudah berlangsung selama 30 tahun (1995-sekarang). Adalah suatu kebanggaan bila sanggup mengkhatamkan Karya Lengkap Bung Hatta yang jumlahnya 10 jilid tersebut (bahkan rencananya lebih dari itu). Akan tetapi tidak berhenti sampai di situ, sebab yang terpenting adalah kita dituntut untuk melihat relevansi tulisan tersebut dengan konteks sosial-ekonomi-politik kiwari.
Peserta SPBH angkatan kedua ini –kalau saya bandingkan dengan angkatan pertama– jauh lebih antusias. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya peserta yang angkat tangan ingin bertanya, luring maupun daring. Perlu dicatat bahwa jumlah peserta tahun ini hanya 97 peserta (66 luring), tidak sebanyak angkatan sebelumnya yang mencapai 166 peserta (56 luring). Bedanya tahun ini lebih banyak peserta luringnya. Ada beberapa peserta alumni SPBH pertama yang ikut kembali SPBH kedua.
Saya mencatat ada dua pertanyaan yang menarik untuk diulas di sini. Yang membanggakan di antara para penanya dalam sesi saya, ada seorang siswa kelas dua SMA (mungkin ia peserta paling muda), namanya Yusuf usia 17 tahun. Ia bertanya bagaimana membentuk generasi muda seperti generasinya Hatta (Era 1920an) dengan range usia delapan belas sampai dua puluhan tahun, tetapi mereka sudah aktif menjadi tokoh pergerakan dan melek politik. Ia menyebut beberapa nama yang dijadikan sebagai model: Sukarno, Semaun, dan Tan Malaka.
Tentu itu pertanyaan yang tidak mudah dijawab, apalagi pertanyaan tersebut datang dari remaja yang lahir sebagai Generasi Z akhir (menjelang Gen Alpha). Ibu Meuthia Ganie sendiri mengakui hal itu. Inti jawaban yang beliau berikan adalah bagaimana mereka bisa membentuk dan mengenal komunitas online-nya. Penekan pada kata online itu berulang kali ditegaskan oleh Bu Meuthia, saya tidak sempat bertanya alasannya, dugaan sederhana saya: sebab mereka adalah generasi yang tidak bisa lepas dari internet, khususnya media sosial (sosmed).
Selain Yusuf, ada juga pertanyaan menarik dari seorang bapak terkait pemikiran koperasi Bung Hatta dan apakah Koperasi Merah Putih milik pemerintah saat ini sama dengan koperasi yang dimaksud oleh Bung Hatta?
Ibu Meuthia tidak menjawab secara eksplisit, justru menyarankan peserta untuk membaca tulisan-tulisan kawannya yang pakar koperasi: Suroto. Saya yang kebetulan mengenal nama itu langsung menambahkan kepada hadirin agar mengikuti akun FB-nya: Suroto Ph. Intinya beliau meragukan keberhasilan Koperasi Merah Putih, sebabnya yang saya tangkap menurut Bu Meuthia adalah, koperasi tersebut dibangun secara seragam tanpa memahami karateristik kelompok masyarakat yang tidak sama setiap daerah.
Sebagai moderator saya menyarankan peserta untuk membaca jilid ke-6 Karya Lengkap Bung Hatta (kebetulan saya sudah membacanya). Tentu ini akan menjadi tema tersendiri terkait Demokrasi Ekonomi yang termanifestasi dalam Koperasi. Jika ingin melihat bagaimana prinsip Bung Hatta yang ingin membangun koperasi yang sesuai dengan kedaulatan rakyat, buku tersebut adalah referensi induknya. Buku ini berisi pidato dan karangan Hatta tentang koperasi, lengkap sampai kepada hal-hal teknis. Termasuk Bung Hatta menjelaskan perbedaan mendasar antara koperasi versi Indonesia yang hendak dibangun dan koperasi yang ada di negeri Skandinavia. Salah satu yang saya ingat adalah: orientasi profit. Jika di Skandinavia yang menjadi insipirasi Hatta membangun koperasi tersebut orientasinya adalah semata keuntungan, koperasi versi Hatta memasukan juga orientasi amal sosial (tidak semata profit). Kita bisa memahami jalan pemikiran Hatta tersebut. Kedaulatan rakyat yang menganut prinsip gotong-royong tidak bisa disamakan dengan demokrasi liberal yang ada di Barat.
Buku ke-6 itu sebelumnya pernah diterbitkan oleh Kompas dengan judul: Koperasi Membangun Membangun Koperasi. Bagi mereka yang sudah mengkhatamkan buku ini tidaklah sulit untuk menjawab pertanyaan di atas. Koperasi yang hendak dibangun oleh Bung Hatta adalah koperasi berdasarkan prinsip pembinaan kader. Sifatnya dari bawah ke atas (bottom-up) dan bukan sebaliknya atas ke bawah (top-down). Ini yang tidak kita lihat pada koperasi yang hendak dibangun oleh pemerintah kiwari.
Jika panitia SPBH konsisten mengadakan agenda ini setiap tahunnya, maka tahun 2029 kita akan berjumpa dengan Angkatan #6 yang akan mengupas tema di atas secara lengkap. Insya Allah.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip perkataan Bung Hatta yang ada dalam buku ini (jilid ke-2 tentang Kemerdekaan dan Demokrasi). Dalam ceramahnya yang disampaikan pada 11 Juni 1957, pada Hari Alumni UI, Hatta berkata: “Revolusi nasional yang mengubah sama sekali wajah negara, dari jajahan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Ada Umwertung [perombokan], tetapi bukan Umwertung aller Werte [perombakan segala nilai]. Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya." (Hlm. 429).
Adalah tugas yang berat meraih kemerdekaan bangsa. Tetapi yang lebih berat ternyata justru bagaimana seharusnya mengisi kemerdekaan tersebut.
Iwan Mariono
Sukabumi, 6 Mei 2025
*NB. Link kronik saya untuk SPBH Angkatan #1: https://www.lp3es.or.id/category/lp3es/