Tidak semua orang diberi keterampilan dan kemampuan (energi) bisa menulis memoar panjang-bersambung yang baik dan mengalir seperti air di sungai yang deras.
Saya harus menyebut dua nama. Yang pertama Buya Hamka (Kenang-Kenang Hidup, 4 jilid); kedua Deliar Noer (3 jilid). Dua nama ini harus saya akui ketekunan dan kesabarannya dalam menulis memoar, sehingga hal-hal kecil yang kita anggap remeh sehari-hari tak lupa mereka cantumkan, namun tetap menarik.
Di luar dua nama ini, ternyata masih ada satu nama lagi yang jauh lebih tekun dan sabar dalam menulis memoar panjang-bersambung (sebanyak 10 jilid), dialah Abdul Haris Nasution atau yang akrab disapa Pak Nas, mantan KSAD dan Pangdam Siliwangi. Itu kesimpulan saya setelah –disela-sela membaca buku lain– berhasil mengkhatamkan ‘Memenuhi Panggilan Tugas’ jilid I (xii+276 halaman), hanya dalam waktu tiga hari. Saya baru punya lima jilid (1, 2, 3, 4, 7), hasil berburu di pelapak buku bekas.
Sebagai peminat kajian sejarah Indonesia modern, saya merasa perlu membaca memoar-memoar yang ditulis langsung oleh para pelaku sejarah. Ada pun memoar Pak Nas ini menjadi penting buat saya, sebab ia memberi perspektif berbeda, terkait perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan itu ditempuh melalui dua acara: diplomasi dan bersenjata. Keduanya saling melengkapi, namun tidak sedikit kontraproduktif, bahkan sampai menimbulkan ekses. Bacaan saya selama ini didominasi oleh yang pertama, sehingga tak heran jika kekaguman saya selama ini banyak tertuju ke tokoh-tokoh seperti Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Hadji Agus Salim, dan Bung Karno.
Dari buku Pak Nas ini, saya jadi tahu bahwa perjuangan bersenjata yang tidak tunggal itu ternyata banyak menimbulkan ekses (penculikan dan pembunuhan), yang justru merugikan perjuangan kita.
Maksud dari tidak tunggal adalah bahwa perjuangan bersenjata itu diwakili oleh banyak kelompok. Untuk memudahkan, saya akan membaginya menjadi dua kutub: tentara (TRI/TNI) dan non-tentara. Yang tentara resmi sebagai alat negara. Sementra non-tentara sebaliknya. Yang non-tentara ini ada banyak, misal Laskar Rakyat, Laskar Bambu Runcing, Hisbullah, Pemuda, dan lain-lain. Dari dua kutub di atas ada yang saling melengkapi, bahkan kemudian melebur ke dalam TNI, ada pula yang justru menjadi musuh satu sama lain. Saya tidak akan menguraikan semuanya di sini. Untuk mengetahui perjuangan bersenjata non-tentara –khususnya perjuangan pemuda sosialis-komunis– saya sarankan untuk mengkhatamkan ‘Revoloesi Pemoeda’ karya Ben Anderson, buku ini akan memberi perspektif yang lain pula. Saya sudah pernah membuat ulasannya.
Kita kembali ke Pak Nas. Sepuluh jilid memoarnya itu mulai ditulis setelah ia menjadi purnawirawan, yakni sejak 1972 sampai kemudian diterbitkan oleh penerbit Gunung Agung pada akhir 1981.
Di jilid pertama buku ini, cerita dimulai dari dari tempat ia lahir di Mandailing, Sumatera Utara pada 03 Desember 1918. Setelah remaja melanjutkan sekolah guru, di Bukitinggi. Profesi guru inilah yang membawanya pindah dari satu daerah ke daerah lain. Pernah mengajar di pedalaman Sumatera Selatan. Pernah juga di Bengkulu, yang membuatnya berjumpa untuk pertama kalinya dengan Bung Karno, tokoh namanya sudah tenar waktu itu. Menjelang Perang Dunia II, ia pindah ke Bandung, dan beralih profesi menjadi tentara –tentara KNIL. Profesi yang tidak pernah diimpikan sebelumnya. Bahkan orang tuanya di kampung menolak saat tahu ia jadi tentara.
Setelah Belanda kapitulasi terhadap Jepang, banyak eks-KNIL yang jadi tawanan. Pak Nas berhasil kabur dari Jember ke Bandung bersepeda onthel selama lebih seminggu. Belakangan baru ia tahu bahwa anggota KNIL yang pribumi dibebaskan dari penahanan. Justru mendapat tawaran dari Jepang untuk bergabung dalam barisan PETA.
Setelah Jepang menyerah, ada beberapa kawannya yang bergabung kembali bersama Belanda, sementara ia dan bersama kawan yang lain bergabung dengan pihak Republik membentuk TRI/TNI. Dari sinilah perjalanan gerilyanya dimulai, sebagai Panglima Divisi I Siliwangi.
Modal sebagai gerilyawan dengan mobilitas paling tinggi, ditambah bacaan buku yang kuat (Pak Nas selalu membawa dan menyempatkan baca buku bahkan dalam perjalan gerilyanya), tidak heran kalau ia bisa menghasilkan magnum opus 'Sekitar Perang Kemerdekaan' yang bercerita mengenai taktik perang dan gerilya (sebanyak 11 jilid). Buku yang dijadikan rujukan dan acuan militer tidak hanya di Indonesia, melainkan di beberapa negara dunia. Sampai hari ini.
Saya kagum dengan ingatan Pak Nas, bahkan setelah peristiwa itu lewat hampir tiga dekade, ia masih hafal dengan nama-nama orang dan tempat yang pernah ia jelajahi di sepanjang pegunungan yang membentang dari Pandeglang di barat sampai Ciamis di timur Jawa Barat.
Ada beberapa distrik, tempat-tempat gerilya yang Pak Nas sebutkan yang sampai hari ini masih didominasi hutan (kebetulan setahun di Sukabumi membuat saya berkesempatan untuk menjelajahi banyak daerah di Jawa Barat, termasuk yang Pak Nas sebutkan dalam bukunya), seperti: Labuhan (Pandeglang), Sagaranten (Sukabumi) Sindangbarang dan Cikalong (Cianjur), Limbangan dan Malangbong (Garut), sampai di Salawu dan Manonjaya (Tasikmalaya). Sungguh tak terbayang bagaimana susahnya medan tempuh waktu itu –delapan puluh tahun yang lalu.
Ingatan akan nama-nama tempat yang kuat dari Pak Nas itu tidak mengherankan buat saya, sebab salah satu ilmu yang ia gemari adalah geografi. Sebagai sesama penggemar geografi, saya sendiri merasakan hal tersebut. Saya paling susah melewati satu kecamatan sebelum saya hafal namanya. Minimal kalau ada orang menyebutkan satu tempat, saya tahu itu di mana.
Kembali ke memoar Pak Nas. Saya memang baru khatam jilid I, tapi melihat sub judul dari setiap jilidnya, kita jadi tahu bahwa Pak Nas akan banyak bercerita terkait posisinya selama menjabat sebagai tentara. Yakni sejak dari periode perjuangan kemerdekaan, periode pembangunan, periode Demokrasi Terpimpin, peristiwa Gestapu, sampai lahirnya Orde Baru yang mana ia adalah salah satu tokoh yang turut membidaninya.
Jika kita membaca memoar dari tokoh-tokoh yang lain, tentu akan kita temui banyak perbedaan pendapat dengan apa yang disampaikan Pak Nas dalam memoarnya. Salah satunya dengan Bung Hatta, yang tulisan-tulisannya telah banyak saya baca. Namun justru perbedaan itulah yang saya harapkan. Sebab tujuan utama dari membaca memoar ini adalah untuk membentuk banyak perspektif.
Hanyalah dengan melihat dari banyak perspektif, seseorang akan terlatih menjadi manusia yang bijaksana.[]
Iwan Mariono
Sukabumi, 1 Maret 2025 (1 Ramadhan 1446 H)
No Response to "MEMBACA MEMOAR PAK NAS "
Posting Komentar