Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

CITA-CITA MENJADI YOUTUBER WARGANET INDONESIA (sebuah renungan)

Fenomena #FBpro akhir-akhir ini meningkat. Saya amati itu dari banyaknya akun dalam daftar pertemanan yang dahulu "silent reader", kini setiap hari menjadi intens membuat unggahan. Fenomena sejenis ini tentu ada pula di platform lain seperti X, Instagram, dan Tiktok (yang terakhir saya tidak mengikuti). 


Saya jadi teringat infografik penelitian terkait cita-cita mayoritas generasi muda di negara-negara di Asia Tenggara, yang beredar beberapa bulan ini di linimasa (bagi yang belum tahu silakan telusuri sendiri di Google). 

Guru adalah profesi yang paling diminati di Malaysia dan Brunei Darussalam. Menjadi penulis untuk Singapore, dan menjadi dokter untuk Timor Leste. Ada pun impian pertama generasi muda Indonesia adalah menjadi youtuber. Tidak secara harfiah, tentu maksudnya adalah menjadi konten kreator (tanpa harus melalui platform YouTube). 

Target utama jelas berharap konten mereka ditonton oleh sebanyak mungkin warganet, selain berharap jumlah pengikut yang meningkat. Bagi selebritis yang sudah terkenal sejak sebelum era media sosial, mudah saja menambah followers. Sementara yang bukan figur publik, mereka harus berjuang. Konon sampai ada grup khusus sesama pejuang konten ini. Ada bentuk solidaritas yang ditunjukkan, adalah dengan saling berbagi bintang. 

Sampai kapan fenomena ini akan bertahan? Belum ada jawaban yang pasti. Yang sudah pasti, semakin hari kita akan semakin kebanjiran konten (entah yang murni hasil kreasi, atau sebaliknya, plagiasi). Oleh sebab target utama adalah kuantitas, kita tidak bisa berharap banyak akan lahir konten yang benar-benar berkualitas. 

Tantangan kita sebagai pengguna media sosial ke depan adalah, bagaimana memilih unggahan yang positif dan edukatif. Sebab kecenderungan konten yang kita buat atau sebaliknya kita tonton akan membentuk algoritma. Pada gilirannya, algoritma inilah yang sedikit banyak mempengaruhi atau membentuk cara kita berpikir dan memandang realitas.

Iwan Mariono

MENGENAL KESUFIAN IBNU TAIMIYYAH

Mendarasnya pelan-pelan dan paralel dengan judul lain, akhirnya saya khatamkan juga buku ini. 

Mungkin masih banyak yang mengira kalau Ibn Taimiyyah adalah sosok yang anti-tasawuf, buku ini membuktikan sebaliknya, melalui pembacaan penulisnya terhadap sumber primer, maupun sekunder --melalui karya peneliti-peneliti terdahulu. 

Di bagian epilog, dengan tegas DR. Hamdan Maghribi menulis: "Dalam membahas tema-tema pokok tasawuf, Ibn Taimiyyah tidak berhenti pada al-hadm (dekonstruksi), tapi sebagaimana pembahasannya dalam tema-tema keislaman lainnya, ia juga menghadirkan al-bina (rekonstruksi). Ibn Taimiyyah membongkar pemikiran tasawuf yang menurutnya bersebrangan dengan agama, namun juga meletakkan pondasi kokoh dalam bertasawuf yang berkelindan dengan Al-Qur'an, sunnah, dan salaf al-salih."

Ibn Taimiyyah tidak menulis sebuah kritik terhadap para Sufi terdahulu, sebelum ia membaca karya-karya mereka. Ibn Taimiyyah juga tidak taklid buta, misal hanya bermodal mengutip pendapat Ibnul Jauzi (sebagai pendahulunya) yang terkenal keras dalam melancarkan serangannya terhadap kelompok-kelompok tasawuf.

Berkat pembacaan secara saksama, lahirlah kebijaksanaan dalam menulis syarahan-nya. Tidak sekadar memberi kritik terhadap hal-hal yang dianggapnya menyimpang, Ibn Taimiyyah tak enggan untuk turut memberi apresiasi terhadap sosok yang sedang dikritisi. Sebuah sikap objektif yang tidak mudah. 

Hal yang tidak banyak orang tahu. Kita ambil satu contoh. Ihwal Imam al-Ghazali dan pandangan tasawufnya, Ibn Taimiyyah justru mempunyai banyak kesamaan dengannya. Mereka berdua sama-sama berusaha membersihkan pemikiran Islam dari praktik bid'ah yang dimunculkan para filsuf yang menyimpang, kejumudan sebagian fuqaha, dan ta'wil golongan Batiniyyah. Meskipun keduanya mendukung tasawuf, namun mereka tak luput memberi kritik terhadap praktif sufi yang menyalahi Al-Qur'an dan sunnah. 

Dalam mengkritik kelompok hululiyyah yang mengaku bisa menyatu dengan Allah melalui bahasa yang sulit dipahami misal, Imam Al-Ghazali memberikan komentarnya: "Ucapan mereka sama sekali tidak mendatangkan faedah, hanya membuat hati, akal, dan pikiran kebingungan." Ibn Taimiyyah mendukung pandangan ini. (Hlm. 100). 
 
Perbedaan di antaranya keduanya sesungguhnya masih bisa didamaikan. Misal ketika Al-Ghazali mengatakan bahwa kenikmatan dan kebahagiaan akan tercapai bila kita telah mengenal Allah (ma'rifatullah). Sementara Ibn Taimiyyah menganggap bahwa puncak kebahagiaan dicapai dengan beribadah hanya untuk dan kepada Allah (tanpa level ma'rifah). 

Ada pun yang ditentang oleh Ibn Taimiyyah dari teori Al-Ghazali adalah perkara wilayah. Al-Ghazali menganggap bahwa wahyu yang diturunkan kepada para nabi derajatnya sama dengan ilham yang dianugerahkan kepada wali, demikian pula ilmu para nabi dan para wali. Sementara bagi Ibn Taimiyyah, setinggi apa pun maqam dan ilmu para wali tak bisa mengungguli para nabi, sebagaimana karamah tidak akan pernah melebihi mukjizat.

Pertentangan ini pun, bila kita memahami bahwa sesungguhnya nabi itu juga adalah sekaligus seorang wali (di luar statusnya sebagai nabi), maka kedua perbedaan ini bisa saling rekonsiliasi.

Namun demikian, perbedaan di atas pada akhirnya menjadi dasar perbedaan rancang bangun atas tasawuf salafi yang diwakili oleh Ibn Taimiyyah dengan tasawuf sunni yang diwakili oleh Al-Ghazali. 

Yang perlu ditegaskan di sini yang menjadi sebab perbedaan paling mendasar antara tasawuf salafi dan tasawuf sunni adalah pada takwil. Salafi mengingkari takwil sedangkan sunni masih menggunakannya. Sebab pengingkaran ini menyebabkan tasawuf salafi mendapat label sebagai kelompok mujassimah. 

Secara epistemologi Ibn Taimiyyah selalu mendahulukan naql daripada aql. Hal yang selalu ditegaskan berulang kali dalam buku ini adalah bahwa ia selalu mendahulukan Al-Qur'an, sunnah dan pendapat para salafus salih. Tidak mengikuti figur ketokohan di luar itu. Menurutnya, sumber dasar syariat adalah Al-Qur'an dan tafsir Rasulullah atasnya (sunnah), sedangkan para sahabat (salafus salih) adalah orang yang mempelajari tafsir Al-Qur'an langsung dari nabi. 

Ibn Taimiyyah tidak mengingkari penggunaan akal, namun yang paling penting menurutnya: "orang yang mencari akidah hanya dengan menggunakan akal semata akan tersesat, karena akal semata tak akan mampu menemukan hakikat agama". (Hlm. 240) 

Sebenernya masih banyak tokoh lain yang dibahas dalam buku ini, terkait Ibn Taimiyyah dan pertentangan pemikirannya dengan tokoh-tokoh sufi (baik tasawuf sunni atau pun falsafi) seperti Abdul Qadir al-Jilani, Abu Yazid al-Bustami, Ibn Arabi, dan lain-lain. Namun saya tidak akan memaparkan semuanya di sini. Silakan Anda baca langsung bukunya. 

Sengaja saya pilih hanya untuk memaparkan Ibn Taimiyyah vis a vis dengan Imam Al-Ghazali, sekadar untuk membuka wawasan buat khalayak. Sebab di zaman kiwari, justru pengikut masing-masing dari kedua sosok ulama ini yang paling banyak berseteru dan sulit untuk didamaikan. 

Menarik untuk menyimak pendapat Yahya Michot, seorang Muslim Belgia yang merupakan profesor studi Islam (yang juga dikutip dalam buku ini): "Hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa informasi dan pemahaman Ibn Taimiyyah tentang Al-Ghazali jauh lebih baik daripada Ibn Rusyid, penulis "Tahafut al-Tahafut"* yang isinya mengoreksi Tahafut-nya Al-Ghazali, juga Ibn Tufail. Sayangnya, Ibn Taimiyyah jarang dipertimbangkan dalam kajian tentang Al-Ghazali (Ghazalian Studies) sehingga uraian ini diharapkan akan memberi kontribusi untuk meluruskan bias ini." (Tanda * saya cantumkan untuk mengoreksi yang tertulis di buku ini: Tahafut al-Falasifah). (Hlm.99). 

Terima kasih atas sharing ilmunya melalui buku ini, DR. Hamdan Maghribi. Saya sepakat dengan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi yang menyatakan dalam kata pengantarnya bahwa buku ini: tidak dimaksudkan untuk membela Ibn Taimiyyah sebagai penganut tasawuf, namun tidak juga mengelompokkannya sebagai anti-tasawuf. 

Saya juga membenarkan penyataan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi: "Hasil kajian buku ini mungkin akan ditentang pendukung Ibn Taimiyyah yang anti-tasawuf dan pengamal tarekat yang anti-Ibn Taimiyyah. Namun para cendekiawan tidak perlu mengikuti sentimen kedua kelompok ini, apalagi jika hanya mendasarkan pada fanatisme tanpa argumentasi ilmiah. Kritik maupun dukungan terhadap pandangan ulama harus berdasarkan dan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Seorang ulama tidak mungkin sempurna ilmunya, atau sebaliknya, seorang ulama juga tidak mungkin ditolak semua pemikirannya. Di sinilah tugas ilmuwan adalah untuk merekonstruksi pemikiran ulama pada masa lalu untuk bisa dipersembahkan kepada umat masa sekarang." (Hlm. 9) 

Selamat membaca.

Iwan Mariono

HERRI PRAS, FENOMENA KONTEN REAKSI, DAN PENTINGNYA PRINSIP KEBIJAKSANAAN DAKWAH ISLAM

Mungkin banyak warganet yang tidak sadar, bahwa keributan kita di media sosial terkait polemik salafi vis a vis non-salafi itu, banyak diproduksi dan sebagian difabrikasi oleh satu akun YouTube dengan jutaan subscriber bernama: Herri Pras. 

Akun ini menjadi semacam mahkamah penghakiman terhadap aktivitas dakwah yang berbeda afiliasi. Paling heboh tentu saja reaksinya terhadap terhadap Ustadz Adi Hidayat (bukan hanya sekali). Termasuk menyerang orang-orang yang membela beliau. Yang terbaru adalah reaksinya Ustadz Felix Siauw. Hampir semua kontennya berisi reaksi, bahkan kosakata Fir'aun yang pernah dilontarkan Cak Nun untuk Jokowi, juga tidak lepas dari reaksinya. 

Yang pula sempat viral (dalam makna positif) adalah reaksinya terhadap ceramah Kiyai Marzuqi.
https://youtu.be/VYR0ciSCfXY?si=46Cc5VWhkKOLuoEB
Judul videonya (sangat bombastis dan berpotensi memecah belah kerukunan antar jama'ah dan harakahnya): Ceramah Kyai Marzuki Mustamar Ini Akan Buat Seluruh Aswaja Kelonjotan.?! (judul yang justru tidak akan pernah kita temui dalam seluruh video di akun resmi ustadz salafi yang menjadi guru dari Herri Pras sendiri). 

Arkian, dalam video klarifikasinya, Kiyai Marzuqi justru menganggap reaksi video itu sebagai framing, dan beliau tetap sebagai seorang warga NU. 
https://youtu.be/LzS-eTW_uRs?si=lQLfAjY2CiWE3dwU

Kita tahu bahwa Herri Pras adalah seorang pesilat asal Jember yang hijrah menjadi seorang jamaah dakwah sunnah. Melihat akunnya yang hampir setiap hari rilis video baru, kita bisa menebak bahwa aktivitasnya memang seorang kreator digital (Dalam 5 tahun video di akunnya sudah mencapai lebih dari 1300). 

Tiga hari yang lalu rilis video di akun YouTube Ustadz Khalid Basalamah
https://youtu.be/yPxXTrhOqFU?si=CA3UV9i1tvY3lpk1
Dari wawancara beliau dengan Herri Pras kita jadi tahu bahwa ia termasuk generasi milenial (usianya 32 tahun), seorang kreator digital independen yang tidak menggunakan tim dalam kreasi videonya, dan baru dua tahun ini mengenal dakwah sunnah (2022). Dalam waktu sesingkat itu, ia sudah mendapat julukan sebagai pesilat anti-khurafat dari Ustadz Khalid. Julukan yang baik tentunya, semoga ia bisa istiqomah. Dalam riwayat hijrah semuda itu, kita tidak bisa berharap banyak bahwa ia akan menganut prinsip kebijaksanaan dakwah Islam (meminjam kalimat dari judul buku Buya Hamka). 

Di akhir wawancara, Ustadz Khalid Basalamah memberikan masukan untuk dia agar dalam menggunakan media sosial lebih hati-hati dan tidak melampui batas, seperti berbicara di luar kapasitas ilmunya. 

Kalau Anda menonton wawancara itu sampai selesai, terlihat satu ketidakjujuran dia dalam membangun argumen melalui konten reaksinya. Seperti ketika ia mengatakan bahwa sebelum memberikan komentar ia menonton video aslinya dulu secara full, baru ditarik benang merahnya. Padahal dalam kasus Ustadz Adi Hidayat, yang terjadi tidaklah demikian. Untuk hal ini, Fuadbakh sudah membuat konten kontra narasi:
https://youtu.be/5IrRi7LDHwU?si=a56kJyfsUvDuVPqP

Tentu bukan hanya Harri Pras yang punya fenotipe konten seperti ini, dari kelompok atau harakah manapun sosok-sosok seperti ia selalu ada. Hanya saja saya memang sengaja menjadikan ia sebagai role model untuk tulisan ini. 

Saya menulis panjang lebar semua ini bukan untuk mengajak Anda membenci seorang Herri Pras, yang baru saja hijrah. Melainkan ingin menegaskan apa yang sudah saya tulis beberapa jam yang lalu terkait penting prinsip kebijaksanaan dalam dakwah. 
https://www.facebook.com/share/p/5f9N5UqH9y2qeyA6/ 

Sebaliknya, kebijaksanaan itu juga penting buat kita sebagai objek dakwah agar tidak mudah terprovokasi oleh sebuah judul konten yang bombastis. Sebab, di zaman konten kreator menjadi subyek dari kapital, yang untung adalah mereka yang videonya viral. Sementara yang rugi adalah kita, yang tidak dapat apa-apa, kecuali justru semakin merenggangnya ukhuwah.

Iwan Mariono