Mendarasnya pelan-pelan dan paralel dengan judul lain, akhirnya saya khatamkan juga buku ini.
Mungkin masih banyak yang mengira kalau Ibn Taimiyyah adalah sosok yang anti-tasawuf, buku ini membuktikan sebaliknya, melalui pembacaan penulisnya terhadap sumber primer, maupun sekunder --melalui karya peneliti-peneliti terdahulu.
Di bagian epilog, dengan tegas DR. Hamdan Maghribi menulis: "Dalam membahas tema-tema pokok tasawuf, Ibn Taimiyyah tidak berhenti pada al-hadm (dekonstruksi), tapi sebagaimana pembahasannya dalam tema-tema keislaman lainnya, ia juga menghadirkan al-bina (rekonstruksi). Ibn Taimiyyah membongkar pemikiran tasawuf yang menurutnya bersebrangan dengan agama, namun juga meletakkan pondasi kokoh dalam bertasawuf yang berkelindan dengan Al-Qur'an, sunnah, dan salaf al-salih."
Ibn Taimiyyah tidak menulis sebuah kritik terhadap para Sufi terdahulu, sebelum ia membaca karya-karya mereka. Ibn Taimiyyah juga tidak taklid buta, misal hanya bermodal mengutip pendapat Ibnul Jauzi (sebagai pendahulunya) yang terkenal keras dalam melancarkan serangannya terhadap kelompok-kelompok tasawuf.
Berkat pembacaan secara saksama, lahirlah kebijaksanaan dalam menulis syarahan-nya. Tidak sekadar memberi kritik terhadap hal-hal yang dianggapnya menyimpang, Ibn Taimiyyah tak enggan untuk turut memberi apresiasi terhadap sosok yang sedang dikritisi. Sebuah sikap objektif yang tidak mudah.
Hal yang tidak banyak orang tahu. Kita ambil satu contoh. Ihwal Imam al-Ghazali dan pandangan tasawufnya, Ibn Taimiyyah justru mempunyai banyak kesamaan dengannya. Mereka berdua sama-sama berusaha membersihkan pemikiran Islam dari praktik bid'ah yang dimunculkan para filsuf yang menyimpang, kejumudan sebagian fuqaha, dan ta'wil golongan Batiniyyah. Meskipun keduanya mendukung tasawuf, namun mereka tak luput memberi kritik terhadap praktif sufi yang menyalahi Al-Qur'an dan sunnah.
Dalam mengkritik kelompok hululiyyah yang mengaku bisa menyatu dengan Allah melalui bahasa yang sulit dipahami misal, Imam Al-Ghazali memberikan komentarnya: "Ucapan mereka sama sekali tidak mendatangkan faedah, hanya membuat hati, akal, dan pikiran kebingungan." Ibn Taimiyyah mendukung pandangan ini. (Hlm. 100).
Perbedaan di antaranya keduanya sesungguhnya masih bisa didamaikan. Misal ketika Al-Ghazali mengatakan bahwa kenikmatan dan kebahagiaan akan tercapai bila kita telah mengenal Allah (ma'rifatullah). Sementara Ibn Taimiyyah menganggap bahwa puncak kebahagiaan dicapai dengan beribadah hanya untuk dan kepada Allah (tanpa level ma'rifah).
Ada pun yang ditentang oleh Ibn Taimiyyah dari teori Al-Ghazali adalah perkara wilayah. Al-Ghazali menganggap bahwa wahyu yang diturunkan kepada para nabi derajatnya sama dengan ilham yang dianugerahkan kepada wali, demikian pula ilmu para nabi dan para wali. Sementara bagi Ibn Taimiyyah, setinggi apa pun maqam dan ilmu para wali tak bisa mengungguli para nabi, sebagaimana karamah tidak akan pernah melebihi mukjizat.
Pertentangan ini pun, bila kita memahami bahwa sesungguhnya nabi itu juga adalah sekaligus seorang wali (di luar statusnya sebagai nabi), maka kedua perbedaan ini bisa saling rekonsiliasi.
Namun demikian, perbedaan di atas pada akhirnya menjadi dasar perbedaan rancang bangun atas tasawuf salafi yang diwakili oleh Ibn Taimiyyah dengan tasawuf sunni yang diwakili oleh Al-Ghazali.
Yang perlu ditegaskan di sini yang menjadi sebab perbedaan paling mendasar antara tasawuf salafi dan tasawuf sunni adalah pada takwil. Salafi mengingkari takwil sedangkan sunni masih menggunakannya. Sebab pengingkaran ini menyebabkan tasawuf salafi mendapat label sebagai kelompok mujassimah.
Secara epistemologi Ibn Taimiyyah selalu mendahulukan naql daripada aql. Hal yang selalu ditegaskan berulang kali dalam buku ini adalah bahwa ia selalu mendahulukan Al-Qur'an, sunnah dan pendapat para salafus salih. Tidak mengikuti figur ketokohan di luar itu. Menurutnya, sumber dasar syariat adalah Al-Qur'an dan tafsir Rasulullah atasnya (sunnah), sedangkan para sahabat (salafus salih) adalah orang yang mempelajari tafsir Al-Qur'an langsung dari nabi.
Ibn Taimiyyah tidak mengingkari penggunaan akal, namun yang paling penting menurutnya: "orang yang mencari akidah hanya dengan menggunakan akal semata akan tersesat, karena akal semata tak akan mampu menemukan hakikat agama". (Hlm. 240)
Sebenernya masih banyak tokoh lain yang dibahas dalam buku ini, terkait Ibn Taimiyyah dan pertentangan pemikirannya dengan tokoh-tokoh sufi (baik tasawuf sunni atau pun falsafi) seperti Abdul Qadir al-Jilani, Abu Yazid al-Bustami, Ibn Arabi, dan lain-lain. Namun saya tidak akan memaparkan semuanya di sini. Silakan Anda baca langsung bukunya.
Sengaja saya pilih hanya untuk memaparkan Ibn Taimiyyah vis a vis dengan Imam Al-Ghazali, sekadar untuk membuka wawasan buat khalayak. Sebab di zaman kiwari, justru pengikut masing-masing dari kedua sosok ulama ini yang paling banyak berseteru dan sulit untuk didamaikan.
Menarik untuk menyimak pendapat Yahya Michot, seorang Muslim Belgia yang merupakan profesor studi Islam (yang juga dikutip dalam buku ini): "Hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa informasi dan pemahaman Ibn Taimiyyah tentang Al-Ghazali jauh lebih baik daripada Ibn Rusyid, penulis "Tahafut al-Tahafut"* yang isinya mengoreksi Tahafut-nya Al-Ghazali, juga Ibn Tufail. Sayangnya, Ibn Taimiyyah jarang dipertimbangkan dalam kajian tentang Al-Ghazali (Ghazalian Studies) sehingga uraian ini diharapkan akan memberi kontribusi untuk meluruskan bias ini." (Tanda * saya cantumkan untuk mengoreksi yang tertulis di buku ini: Tahafut al-Falasifah). (Hlm.99).
Terima kasih atas sharing ilmunya melalui buku ini, DR. Hamdan Maghribi. Saya sepakat dengan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi yang menyatakan dalam kata pengantarnya bahwa buku ini: tidak dimaksudkan untuk membela Ibn Taimiyyah sebagai penganut tasawuf, namun tidak juga mengelompokkannya sebagai anti-tasawuf.
Saya juga membenarkan penyataan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi: "Hasil kajian buku ini mungkin akan ditentang pendukung Ibn Taimiyyah yang anti-tasawuf dan pengamal tarekat yang anti-Ibn Taimiyyah. Namun para cendekiawan tidak perlu mengikuti sentimen kedua kelompok ini, apalagi jika hanya mendasarkan pada fanatisme tanpa argumentasi ilmiah. Kritik maupun dukungan terhadap pandangan ulama harus berdasarkan dan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Seorang ulama tidak mungkin sempurna ilmunya, atau sebaliknya, seorang ulama juga tidak mungkin ditolak semua pemikirannya. Di sinilah tugas ilmuwan adalah untuk merekonstruksi pemikiran ulama pada masa lalu untuk bisa dipersembahkan kepada umat masa sekarang." (Hlm. 9)
Selamat membaca.