Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

KENAPA KITA TIDAK BISA BAHASA BELANDA

Jawaban di kolom komentar foto ini sekadar guyon. Hehe.. Tapi kalau mau ditelusuri lebih serius ada beberapa alternatif jawaban. Dalam catatan ini setidaknya ada tiga alasan yang akan saya coba uraikan. 

Pertama. Kalau kita banyak membaca buku-buku biografi/otobiografi atau karya sastra yang ditulis oleh generasi veteran, kita akan bisa membuat kesimpulan bahwa kolonialisme Belanda memang yang paling rasis dari kolonialisme Eropa yang lain. Selain membedakan status hukum berdasarkan ras, orang-orang Londo juga melarang masyarakat Pribumi menggunakan bahasa Belanda ketika bercakap dengan mereka. Dengan nada yang sangat merendahkan, bahasa Belanda dianggap terlalu bersih untuk diucapkan oleh inlander yang kotor dan najis. Kalau ada Pribumi yang kemudian bisa berbahasa Belanda, itu sebab ia mendapat akses pendidikan di sekolah milik pemerintah kolonial yang hanya untuk kalangan elit atau anak priyayi rendahan tertentu itu. 

Kedua. Ternyata banyak pula Pribumi yang enggan atau bahkan menolak untuk mempelajari bahasa Belanda ataupun bahasa Inggris, yakni dari kalangan santri. Dianggapnya itu bahasa kafir. Ini bisa kita baca dari buku biografi KH. Wahid Hasyim yang ditulis oleh Aboebakar Atjeh. Tidak sedikit yang mempertanyakan atau bahkan mengecam maksud Wahid Hasyim, ketika beliau memberikan kursus untuk dua bahasa ini kepada para santri saat itu. Padahal manfaatnya sangat besar sekali, dan putra KH Hasyim Asy'ari ini berhasil mendobrak stigma itu dengan belajar secara otodidak.

Ketiga. Sumpah Pemuda. Ini adalah titik balik dari pemuda Indonesia yang progresif saat itu. Mereka mendeklarasikan diri dengan HANYA menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, dan mengidentikkan penggunaan bahasa itu sebagai bagian dari semangat nasionalisme. Ada "berkah" ketika bahasa ini kemudian dijadikan bahasa resmi nasional, saat Jepang hadir ke Indonesia menggantikan Belanda. Jepang yang ingin menghapus semua yang berbau Netherland itu tidak punya pilihan kecuali menggunakan bahasa Indonesia. 

Sumpah Pemuda inilah yang membedakan negara Indonesia dengan negara-negara bekas jajahan lain di Asia maupun Afrika. Segala perbedaan etnis dan bahasa dipersatukan oleh satu-satunya bahasa resmi negara. Jadi kita tidak punya problem terkait penggunaan bahasa. Bandingkan dengan negara lain yang punya lebih satu bahasa nasional, sangat rentan untuk terjadinya konflik.

ORANG BANGKALAN DAN BURJO MADURA

Saya selalu suka dan sering makan Bubur Kacang Ijo Madura sejak awal kuliah. Berpindah-pindah tempat dari Jawa Timur sampai Jawa Barat, masih saja saya temukan kuliner rakyat satu ini. 

Di Sukabumi saja, saya sudah mencicipi burjo ini di empat tempat berbeda. Ya, saya temukan penjualnya di hampir setiap kecamatan (bahkan desa), dari Cicurug sampai Sukalarang. Mereka semua asli orang Madura. 

Satu hal yang tidak pernah saya lewatkan setiap kali singgah adalah menanyakan Madura-nya daerah mana? Dan semua jawaban sama: Bangkalan. 

Satu-satunya yang bukan dari Bangkalan saya temukan di dekat kampus saya, yang ini dari Pamekasan. Itu pun saat saya konfirmasi ke Cak Mail yang ada di foto ini, kata beliau, "Boleh jadi orang itu dulu pernah ikut orang Bangkalan jualan bubur kacang ijo, sebelum jualan sendiri."

(Kalau teman-teman ada yang menemukan di luar Bangkalan tolong tulis di komentar ya, hehe.) 

Cak Mail menguatkan argumennya dengan menyebut bahwa semua penjual burjo Madura itu terhimpun dalam satu komunitas. Rata-rata mereka dari Kecamatan Tanah Merah, Bangkalan. 

Terkait mudik hari raya. Berbeda dari orang Madura bagian timur yang rata-rata euforia hari lebarannya saat Idul Adha, komunitas burjo Tanah Merah ini justru yang ikut arustama muslim di Indonesia: Idul Fitri. 

Cak Mail terlihat bangga waktu saya puji kuliner dari Bangkalan enak-enak, bahkan lebih enak dari daerah Madura lainnya menurut ukuran lidah saya. Favorit saya waktu tur Bangkalan-Sumenep Madura adalah Bebek Sinjai (khas Bangkalan). 

Satu lagi. Ternyata bukan hanya penjual burjo, tapi juga pangkas rambut Madura --yang bahkan sampai masuk di pelosok desa-desa yang ada di Sulawesi-- yang sudah saya tanya, semuanya berasal dari Bangkalan. Khusus penjual sate Madura saya belum survei, karena saya jarang makan sate (kecuali sate Ponorogo yang cocok di lidah saya, hehe.). 

Mungkin di sini ada bisa menjelaskan, kenapa perantau Madura itu didominasi oleh orang Bangkalan daripada daerah lainnya? Saya sudah baca disertasi Pak Kunto tentang perubahan sosial masyarakat Madura, tapi saya belum menemukan jawaban atas pertanyaan ini. 🙂