Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

OLIGARKI, NU, DAN KONSENSI TAMBANG

Oleh: Iwan Mariono


Oligarki selalu ada dalam setiap rezim politik --apa pun sistem pemerintahannya-- dari sejak zaman Fir'aun sampai era demokrasi. Kira-kira demikian pernyataan Jeffrey A. Winters, peneliti dan penulis buku Oligarchy (2011). 

Ia (Jeffrey) kemudian mengelompokkan oligarki menjadi empat tipe atau golongan (karena penjelasannya agak panjang silakan baca sendiri bukunya). Intinya saya cuma mau bilang, tipe oligark zaman kiwari itu ciri khasnya adalah pemilik kekayaan super yang mayoritasnya adalah pemegang konsesi tambang. 

Sebenarnya tidak ada masalah dengan adanya oligark. Kita tidak bisa melawan oligarki. Yang bisa dilakukan oleh seorang pemimpin adalah 'menjinakkan' oligarki. Caranya bagaimana, ya dengan menarik pajak dari mereka sebesar-besarnya, kemudian mendistribusikan kekayaan tersebut untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 

Ironisnya, bergantinya sistem dari otoritarianisme (Orde Baru) ke demokrasi tidak lantas membuat oligarki menjadi lebih baik buat rakyat. Sebab, kalau mengikuti klasifikasi yang dibuat oleh Jeffrey Winters di atas, kita sesungguhnya hanya berpindah dari Oligarki Panglima menjadi Oligarki Sipil yang keberadaan tidak otomatis lebih menguntungkan rakyat. Bisa saja justru kondisi sebaliknya: merugikan. 

Untuk menjelaskan perbedaan antara kedua tipe oligarki tersebut, saya kasi saja percakapan imajiner antara Gus Dur dan Pak Harto di alam barzakh, yang digambarkan secara kelakar oleh Cak Nun. 

Alkisah, usai dimakamkan, Gus Dur datang menemui Pak Harto yang setahun lebih dulu kepergiannya. Ia (Gus Dur) membawa cerita bahwa generasi kita sekarang justru kangen zaman Orba. Itu dibuktikan dengan anekdot, sosok gambar di belakang bak truk disertai tulisan: Piye, jik penak zaman toh?

"Kok iso arek-arek jik kangen zamanku (Kok bisa anak-anak masih kangen zamanku)?", demikian Pak Harto terheran-heran bertanya disertai senyumnya yang khas itu. 

"Yo jelas noh Pak. Mbiyen ki Suharto-ne mung njenengan. Saiki Suharto-ne akeh tenan (Ya jelas dong Pak. Dulu Suharto-nya cuma bapak. Sekarang Suharto-nya banyak sekali," jawab Gus Dur penuh sarkas. 

Demikianlah. Kalau masih belum paham saya mohon dimaafkan. Intinya, oligark zaman dulu tidak sebanyak sekarang. Kalau dulu dikendalikan oleh satu orang, sekarang justru tidak terkendali. Maka tidak mengherankan bila kesejahteraan ekonomi rakyat paska Reformasi tidak lebih baik dari era Otoritarian, sekalipun bayarannya adalah kebebasan berbicara yang terbungkam. 

Sekadar nostalgia, tentu tidak berarti kita ingin kembali ke zaman otoritarian. Yang kita butuhkan sekarang adalah, bagaimana kita punya pemimpin sejati yang punya kebijaksanaan (practical wisdom). Dalam kaitannya dengan oligarki dan konsensi tambang, tentu kita berharap bahwa kekayaan --ironisnya sekaligus kerusakan-- alam yang dihasilkan oleh mineral tambang itu tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. 

Ketika kemudian NU mendapat tawaran konsensi tambang dari rezim Jokowi, saya kok justru punya pandangan yang lebih positif daripada mengikuti pendapat warganet kritis arustama. Pandangan ini tentunya tetap harus disertai sikap berhati-hati (chary). 

Semoga jatah kue yang diterima NU itu bisa memberi sumbangsih untuk kesejahteraan ekonomi rakyat, minimal rakyat yang menjadi warga ormasnya --yang jumlahnya puluhan juta itu.