Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

AIR GALON DI SERAMBI MASJID

Zaman di mana air minum sudah menjadi barang yang ter-privatisasi, alangkah baiknya bila semua masjid menyediakan dispenser dan air galon di serambinya. Anggarkan saja dari uang kotak amal. 

Harga per botol (600ml) air kemasan kini berkisar 3rb-5rb rupiah (paling murah). Dengan adanya air galon di serambi tiap-tiap masjid, ini akan sangat membantu menghemat pengeluaran jamaah masjid khususnya, dan ummat pada umumnya. 

Bahkan, boleh jadi, hanya dari se-galon air, bisa mengundang orang-orang yg sedang safar dan tadinya tidak berniat shalat di masjid jadi sekalian mampir untuk shalat. Jangan terburu menyalahkan niatnya, tapi lihatlah bagaimana fasilitas masjid mampu mengundang kebaikan buat lingkungan di sekitarnya --bahkan bila orang-orang tersebut yang mampir hanya sekadar mengambil air tanpa berniat shalat di masjid. 

Tiba-tiba imajinasi saya terbayang di era tahun 70an awal di mana belum ada air yang dikemas dan dikomersilkan. Dari bukunya Cak Nun --Indonesia Bagian Dari Desa Saya--, waktu itu hampir setiap rumah-rumah di perkampungan menyediakan air dalam kendi di pagar rumah mereka. Siapa pun boleh meminumnya tanpa harus meminta izin kepada pemiliknya. 

Alangkah indahnya bila kebaikan yang pernah pernah ada (dan kini hilang) setengah abad silam itu kita hidupkan kembali. 

Dan semua dimulai dari serambi masjid.

ARUS MUDIK DI PULAU JAWA DAN SELURUH KENANGANNYA


Iwan Mariono

Peristiwa arus mudik di Jawa adalah momen yang selalu bikin rindu. Saya merasakannya bahkan jauh sebelum menginjakkan kaki di pulau ini. Lho, kok bisa? Begini cerita selengkapnya.

Kerinduan ingin turut merasakan kemacetan mudik itu muncul sejak masa remaja ketika saya (hanya bisa) menyaksikan reporter melaporkan arus kendaraan setiap harinya menjelang Idul Fitri di layar TV, melalui kanal berita Liputan 6 SCTV dan Seputar Indonesia di RCTI. Hampir setiap musim di tahun 2000an awal saya mengikuti berita-berita itu melalui dua portal tadi. 

Entah kenapa, saya bisa begitu menikmati hanya dengan menyaksikan kendaran berjubel di jalur Pantura, atau laporan presenter berita terkait kondisi terkini di jalur Nagrek-Bandung saat itu yang padat lalu lintas. Kemudian terbayang dalam benak, saya ikut memeriahkan arus mudik itu dengan naik bis atau mengendarai motor di tengah-tengah lautan manusia itu. Betapa nikmatnya. 

Ditambah iklan-iklan TV yang ikut menyemarakkan momen mudik. Salah satu yang paling membekas dalam ingatan adalah iklan Djarum. Seorang pemuda sedang mudik mengendarai sepeda motor, singgah di sebuah masjid hendak shalat magrib kemudian berbuka. Sehabis  shalat, tiba-tiba bekal kurma yang ia bawa hanya tersisa satu butir –habis dimakan oleh pemudik lain yang juga singgah di masjid itu. Sebelum melanjutkan perjalanan, pemuda kita tadi juga mencoba mengingat kembali empat orang itu. Pemudik berempat –berkendara mobil sedan– yang memakan kurmanya barusan ternyata juga adalah pemudik yang mobilnya tak sengaja mencipratkan air dari kubangan jalan ke wajahnya saat papasan. Tapi pemuda tadi tidak marah, ia ikhlas hanya minum sebotol air dan sebutir kurma. Waktu berlalu. Saat tiba di kampungnya, pemuda kita bertemu kembali dengan pemudik dan pengedara mobil saat itu, yang kini tanpa sadar shalat ied mengambil shaf di sampingnya. Orang itu lupa membawa sajadah, tapi pemuda kita yang amat mulia hatinya ini tidak mencoba membahas yang sudah berlalu, ia justru berbagi sajadah untuk orang yang disampingnya. Mereka kemudian bersalaman dan bersahabat. 

Dari cerita di atas, semakin terbayang betapa nikmatnya mudik dengan berkendara motor. Kemudian singgah di masjid atau di rest area di mana saja yang kita jumpai sambil mendengarkan lagu-lagunya Ebiet G. Ade (apalagi iklan itu memang menggunakan backsound Ebiet pula, lagu Berita Kepada Kawan). Kita belajar untuk menguji keteguhan hati dengan berlelah-lelah di sepanjang jalan. Termasuk menghadapi ujian kesabaran dari kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan. 

Dan imajinasi puluhan tahun silam itu benar-benar menjadi kenyataan. Saya tidak menyangka kalau belasan tahun kemudian saya benar-benar menginjakkan kaki di Pulau Jawa, pulau dengan populasi penduduk terbesar se-dunia. Kemudian benar-benar ikut merasakan gegap gempita arus mudik setiap tahunnya.  

Oleh karena selama kuliah –sampai lanjut kerja– saya hanya sekali lebaran di Sulawesi (2019), jadilah setiap menjelang Idul Fitri sebanyak sebelas kali saya memanfaatkan mudik ke berbagai tempat di mana saja di Pulau Jawa. Pernah mudik ke Probolinggo-Batu-Malang, Jember-Lumajang, Ponorogo, Solo-Jogja, Majalengka-Karawang, sampai Sukabumi di ujung Jawa Barat. Di tempat-tempat itu, saya mudik dan berlebaran mulai dari rumah teman kuliah, saudara sepupu, atau siapa saja kenalan yang bisa saya jadikan tempat mudik hari raya, sampai akhirnya saya ber-lebaran di rumah keluarga baru.

Pengalaman unik di perjalanan itu baik pula saya ceritakan di sini. Misalnya, tahun 2013 ketika mudik bersama mama dari Solo naik bis ke Jember. Perjalanan itu kami tempuh selama sehari semalam (waktu itu belum ada tol trans Jawa). Padahal di hari normal waktu tempuh hanya setengahnya. Pemandangan dan pengalaman uniknya begini. Jalanan merayap, saking macetnya, dalam perjalanan bis Solo-Surabaya itu, saya melihat hampir semua penumpang turun untuk kencing atau sekadar berdiri meluruskan kaki di pinggir jalan dan di tegalan sepanjang Madiun-Caruban, tidak terkecuali saya dan mama. Saya juga kencing di tegalan itu. Selesai buang hajat danleyeh-leyeh sejenak saya kembali masuk ke dalam bis. Tapi di mana ibu saya? Kok tidak ada? Walaupun sama-sama PO Eka (ada banyak bis yang sama), tapi yang saya tumpangi sudah maju agak jauh di depan. Ternyata saya salah masuk bis. Saya langsung turun dan berlari ke mencari bis yang saya tumpangi. Mama hanya tertawa setelah saya ceritakan pengalaman itu.  

Pengalaman lain saat mudik naik kerata api ekonomi Solo-Cirebon (2018). Saya sudah pesan tiket sehari sebelumnya. Jadwal keberangkatan di tiket tertulis pukul 16.00 dari Stasiun Purwosari. Saya yang tidak fokus membaca jam justru berangkat ke stasiun menjelang magrib, saya pikir pukul 16.00 itu jam 6, ternyata jam 4 sore. Haha. Jadilah petugas penjaga pintu stasiun bengong sejenak waktu memeriksa tiket saya. “Loh, Mas, ini sudah berangkat keretanya sejak sore tadi.” Mampuslah. Saya tanya apa masih ada tiket jurusan ke Cirebon hari ini. Setelah dibantu cek oleh petugas loket, katanya masih ada tapi saya harus berangkat lewat Stasiun Jebres. Setengah jam lagi! Saya langsung minta mamang ojek untuk mengantarkan saya ke stasiun itu secepat yang ia bisa. Sampai di sana saya pesan lagi tiket ekonomi. Sebagai mahasiswa dompet pas-pasan, saya tidak beli tiket eksekutif demi menghemat biaya. Tapi dua kali beli tiket ekonomi itu pada akhirnya setara harga satu tiket eksekutif. 

Demikian pengalaman unik saya. Ada banyak pengalaman mudik orang lain yang lebih unik dan konyol yang bisa kita baca melalui berita atau medsos. Seperti yang pernah viral, seorang bapak yang ketinggalan istrinya di rest area. Itu belum termasuk hiburan membaca kutipan-kutipan yang dibawa oleh para pengendara motor di sepanjang jalan. Ada jeritan hati seorang jomblo menulis di belakang sepeda motornya: “Maafkan anakmu Mak, hanya bisa bawa ilmu, belum bisa bawa mantu”. Atau seperti seorang perantau bersepeda motor yang juga membawa tulisan: “Belum bisa beli Pajero, hanya bisa beli Revo”. Termasuk tulisan yang penuh makna seperti: “Wong tuo ora butuh bondo. Tapi butuh anak e teko. Sugih-kere tetep mulih Kediri (Orang tua tidak butuh harta benda. Tapi butuh anaknya tiba. Kayah-miskin tetap mudik ke Kediri).” Dan masih banyak lagi. Semuanya membawa kenangan indah tersendiri. 

Demikianlah. Saya benar-benar rindu kemacetan arus mudik di Jawa (sekali lagi, kemacetan arus mudik! Bukan kemacetan harian orang-orang yang hendak berangkat kerja. Seperti potret harian penduduk Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya). Kangen menyaksikan bahkan menjadi bagian langsung, dari antrian padat orang-orang, yang merayap menuju jalan panjang untuk pulang. 

Dalam makna yang lebih sufistik, mudik tidak sekadar pulang ke kampung halaman. Pada akhirnya, mudik adalah pengalaman yang akan dilewati oleh seluruh umat manusia: kembali kepada-Nya.


Morowali, Sulawesi Tengah, 7 April 2024  
Foto: mudik saya terakhir kali di Jawa (2022)