Bagi saya, salah satu cara terbaik untuk berpihak, mendukung, bahkan menumbuhkan rasa cinta pada Palestina, adalah dengan membaca. Bacaan itu akan menjadi suluh buat kita agar tak mudah goyah, oleh banyaknya apologi yang beredar di luar sana.
***
Mungkin masih banyak yang belum bisa membedakan antara penganut Yahudi dan Zionisme. Penganut Yahudi belum tentu seorang Zionis, sedangkan Zionisme sudah pasti orang Yahudi. Silakan buka KBBI untuk mengetahui definisi lengkapnya.
Memahami dua perbedaan ini penting, sebab di awal berdirinya negara Israel (1948) yang diperjuangkan oleh kelompok Zionis justru banyak ditentang oleh penganut Yahudi (Judaisme).
Di antara keturunan Yahudi yang namanya paling popular mengutuk pendirian negara Israel adalah Albert Einstein. Pada 1938, sepuluh tahun sebelum Israel resmi menjadi sebuah negara (state), Einstein pernah berkata demikian:
“Menurut pendapat saya, akan lebih masuk akal untuk mencapai kesepakatan dengan orang-orang Arab atas dasar kehidupan bersama yang damai daripada menciptakan negara Yahudi. Kesadaran yang saya miliki tentang sifat yang penting mengenai Judaisme akan bertabrakan dengan ide negara Yahudi yang dilengkapi dengan perbatasan, angkatan bersenjata, proyek kekuasaan sementara, bagaimanapun sederhananya hal itu. Saya takut akan kerusakan internal yang akan diderita Judaisme karena berkembangnya dalam barisan kita sebuah nasionalisme sempit. Kita bukan lagi orang-orang Yahudi dalam periode Macchabea. Kembali lagi dalam konsep negara, dalam arti politik, akan sama halnya dengan membelok dari spiritualisasi masyarakat kita yang kita terima dari kejeniusan nabi-nabi kita.” (Rabi Moshe Menuhin, The decadence of Judaisme in Our Time, [1969], hlm. 324) (Roger Garaudy, Mitos dan Politik Israel [2000], hlm. 6).
Maka jangan heran jika sampai hari ini masih kita dapati orang Yahudi yang justru mengecam kebrutalan Israel terhadap warga Palestina. Seperti yang terjadi di Washington DC (18 Oktober 2023).
Dalam buku ‘Mitos dan Politik Israel’ yang ditulis oleh Roger Garaudy ini, dijelaskan bahwa kelompok Zionis justru melakukan kolusi dengan Nazi. Jadi, pembantaian atas orang-orang Yahudi itu sendiri bukan tidak diketahui oleh Zionis. Bukti-buktinya banyak dipaparkan dalam buku ini. Mulai dari deklarasi pemimpinnya sendiri, sampai surat-menyurat dan memorandum antara Partai Nazi dan kelompok Zionis Jerman.
Di antara banyaknya pernyataan yang dicantumkan dalam buku ini oleh Garaudy, berikut adalah salah satu memorandum yang berhasil dikutip dari Ben Gurion (pemimpin pertama negara Israel), saat memproklamirkan di hadapan para pemimpin Zionis “buruh” pada tanggal 7 Desember 1938:
“Haruskah kita membantu semua orang yang membutuhkan tanpa memperhitungkan karakteristik setiap orang? Tidakkah kita harus memberikan satu karakter nasional Zionis pada aksi ini dan berusaha menyelamatkan mereka yang berguna bagi tanah air Israel dan Judaisme? Saya tahu bahwa tampaknya kejam untuk mengajukan pertanyaan semacam ini, teapi kita harus menegaskan secara jelas bahwa kita dapat menyelamatkan 10.000 dari 50.000 orang yang benar-benar dapat memberikan kontribusi bagi pendirian negara dan kelahiran kembali bangsa, atau menyelamatkan satu juta orang Yahudi yang akan menjadi beban bagi kita, atau paling kurang tidak memberikan kontribusi apa pun, kita harus menyelamatkan yang 10.000 itu walaupun dipersalahkan dan dipanggil oleh jutaan orang yang diabaikan.” (Garaudy, ibid, hlm. 37).
Jadi, negara Yahudi lebih penting daripada kehidupan orang Yahudi itu sendiri.
Dalam buku ini juga dijelaskan doktrin teologis mengenai tanah yang dijanjikan sesungguhnya hanyalah mitos untuk membenarkan penjajahan negara Israel atas Palestina. Setelah mengutip pendapat beberapa sejarawan dan teolog yang menentang doktrin ini, Garaudy menyimpulkan bahwa janji kepada orang nomaden (baca: Yahudi) tersebut sesungguhnya bukanlah untuk penaklukan politik dan militer atas suatu kawasan atau seluruh negeri, melainkan sekadar menetap (sedentarisasi) dalam wilayah tertentu.
Fundamentalis Zionis justru menjadikan ayat “Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Euprates.” untuk membenarkan pembantaian terhadap orang-orang Arab. Profesor Benjamin Cohen dari Universitas Tel-Aviv pada 8 Juni 1982 (saat berlangsungnya invasi Israel ke Lebanon) bahkan sampai mengatakan: “Sukses terbesar dari Zionisme hanya ini: ‘dejudaisasi’ orang-orang Yahudi.” (Le Monde 19 Juni 1982, hlm. 2).
Inilah pembelokan ideologi Yahudi yang semula bersifat spiritual religius ke nasionalisme Israel. Ideologi yang dicetuskan oleh pendiri Zionisme, Theodore Herzl (1860 – 1904) pada tahun 1897, setengah abad sebelum mereka (para penerusnya) berhasil menduduki tanah Palestina atas bantuan Inggris. Bukan tidak mungkin, jika mengacu pada teks dalam kitab yang kita sebut di atas (Genesis, XV: 18), bahkan seandainya seluruh wilayah Palestina itu ditaklukkan oleh Israel, tetap tidak akan cukup buat mereka. Sebab tanah yang “dijanjikan” tersebut membentang jauh dari selatan (Mesir) sampai ke utara di sungai Eufrat (Irak).
Watak kolonial memang tidak akan pernah puas –bahkan bila dunia dan seluruh isinya sudah diberikan kepada mereka. Justru sebaliknya, semakin buas.[]
Morowali, 4 November 2023