Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

MENDAPAT KEPERCAYAAN

Bacaan yang ringan namun membuka banyak cakrawala pikiran. Eric Weiner mengunjungi sepuluh negara untuk mencari tahu mana yang penduduknya paling bahagia. Dari ujung barat sampai ujung timur. 


Ternyata, setiap negara yang dikunjungi punya definisi kebahagiaannya masing-masing. Tidak ada yang sama, bahkan terdapat saling kontradiksi. Ada kebahagiaan karena dominasi kekayaan materi, ada pula yang sebaliknya. 

Eric Weiner tidak menentukan satu pilihan. Tapi, dari membaca buku ini saya punya satu kesimpulan di mana terdapat satu titik persamaan. Jadi apa yang membuat umumnya orang bahagia? Jawabannya adalah kepercayaan. Kepercayaanlah --melebihi penghasilan bahkan kesehatan-- yang membuat manusia bisa mendapatkan kebahagiaannya. 

Jadi, lebih dari sekadar lingkungan fisik, lingkungan budaya sangat terkait erat dengan kehidupan yang menjadi penentu kebahagiaan seseorang. 

Buku ini memang lebih cocok disebut sebagai buku analisa sosial budaya.

SAYA PILIH POLIGAMI


Iwan Mariono

Tidak biasanya saya minum teh. Sudah tiga hari ini, saya harus mengganti kopi yang kadang empat sampai lima gelas per 24 jam, oleh karena kedatangan "tamu" bernama gastritis setelah sekian tak menyapa. 

***

Menyimak ramainya isu tentang poligami akhir-akhir ini. Saya menyarankan bapak-ibu sekalian untuk membaca buku yang diberi pengantar oleh Hadji Agus Salim ini. Monogami atau Poligami di sini dibahas melalui satu sudut pandang ilmiah oleh Mr. Yusuf Wibisono (1909-1982), dengan banyak mengutip pendapat ahli sosiologi Barat yang punya concern terhadap masalah ini. 

Oleh karena penulisnya adalah seorang sarjana hukum, maka tulisan ini pun banyak mengambil sudut pandang hukum. Khususnya sosiologi hukum. Jadi, poligini dalam hal ini tidak dipandang sekadar sebagai problem sentimen kewanitaan, melainkan dari sudut pandang yang lebih ilmiah dan holistik, yakni problem sosial. Bagaimana tanpa poligami yang diatur oleh lembaga negara, yang merebak justru menjamurnya prostitusi. 

Prostitusi ini sangat merendahkan martabat wanita yang hanya menjadi objek pemuas nafsu laki-laki. Jadi, mereka yang menolak poligini sesungguhnya adalah penganut poligami munafik, yang mengakui kebebasan seksual sebagai ganti terhadap pembatasan hubungan pernikahan (monogami). 

Inilah problem masyarakat di Barat sejak zaman kebebasan oleh Napoleon I (Bonaparte) sampai zaman kita hari ini. Bonaparte-lah yang menjadi aktor intelektual adanya prostitusi oleh negara. Dan sekaligus dalam kodenya (Code Napoleon) ia melarang adanya penyelidikan siapa bapak dari anak hasil hubungan di luar nikah. 

Sementara itu, undang-undang tentang wanita dari Nabi Muhammad, menurut Dr. Annie Bessant, seorang sosialis, teosfis dan aktivis hak asasi wanita asal Inggris (sebagaimana dikutip oleh Mr. Yusuf Wibisono) melihat justru sebaliknya:

"Adalah undang-undang yang jauh lebih liberal mengenai kemerdekaan wanita daripada undang-undang Kristen di Inggris dua puluh tahun lebih yang lalu." 

"Undang-undang kaum Muslimin mengenai kaum wanita ternyata adalah suatu teladan yang bagus."

Mengenai penganut poligami munafik tersebut, Mr. Yusuf Wibisono mengutip pendapat Gustave Le Bon (seorang ahli sosiologi Perancis), dan Schopenhauer (filsuf Kantianisme Jerman), masing-masing sebagai berikut: 

"Saya tidak melihat, dalam segi mana poligami bangsa-bangsa Timur yang diatur oleh undang-undang adalah lebih rendah daripada poligami yang munafik orang-orang Eropa: sebaliknya saya melihat benar-benar, bahwa poligami Timur lebih tinggi daripada poligami Eropa."

"Tentang adanya poligami adalah terang dan tak bisa diragu-ragukan, akan tetapi di mana-mana telah terjadi suatu kenyataan yang wajar, dan hanya memerlukan supaya diatur. Di mana ada benar-benar orang monogam? Kita semua hidup paling sedikit beberapa waktu ber-poligami, yang terbanyak selalu hidup dalam poligami."

Poligami munafik yang diterapkan oleh Barat dalam bentuk prostitusi dan pergundikan itulah yang diprotes oleh para ahli filsuf. Tidak berhenti di sana, bahkan pengaruhnya dibawa sampai ke negara jajahannya. Candu dan prostitusi adalah warisan Eropa yang dibawa ke seluruh dunia.

***

Jadi kembali ke pertanyaan dasar antara Monogami atau Poligami, maka jawaban saya adalah saya pilih Poligami. 

Oleh karena beratnya tanggung jawab yang harus saya pikul, saya tidak atau belum memberanikan diri ke arah sana. Entah kapan baru sampai ke sana? Boleh jadi sampai mati tidak akan pernah bisa saya lakukan. Saya takut tidak bisa menafkahi, lebih takut lagi tidak bisa berbuat adil. 

Kemampuan saya dalam hal ini sebatas mendukung syariat tersebut. Dan hal inilah yang terbukti dilakukan oleh tokoh-tokoh Masyumi, walaupun dalam praktiknya, saya belum menemukan satu pun pelaku poligami dari mereka, termasuk Mr. Yusuf Wibisono.

Boleh jadi, mereka terlalu asyik bergelut dengan masalah keilmuan, sampai-sampai tidak sempat memikirkan masalah yang satu ini. Hal inilah yg pernah kami diskusikan bersama di rumah Ust. Arif Wibowo, mengenai tokoh Masyumi yang tidak berpoligami sekalipun menjadi pembela teguh syariat ini. 

Memang, orang kalau sudah serius bicara tentang keilmuan, dia tidak akan sempat lagi berpikir masalah di luar itu. Seperti yang Ust. Arif sendiri katakan: "Para pembaca buku-buku serius, bukan buku motivasi dan semisalnya, apalagi pembaca buku serius yang juga aktif terlibat dalam pelayanan kepada umat, relawan lapangan dan yang semisalnya, bukan kalangan mubaligh atau motivator, sepanjang pengalaman saya bergaul, adalah orang-orang yang paling tidak tertarik bicara poligami walau sekedar untuk dijadikan bahan candaan."

Saya sendiri merasakan hal tersebut. Bahkan pernah saya sampaikan ke istri saya secara langsung, dan didengar langsung oleh Mas Dharma Setyawan bersama istrinya sebagai saksinya, demikian: "Saya tidak berani melangkahi takdir Allah, tapi hampir pasti saya tidak mungkin berpoligami, karena dengan satu istri saja waktu membaca saya jadi berkurang banyak, apalagi dengan dua istri."

Kemudian saya ceritakan kisah bagaimana Buya HAMKA (yang juga adalah tokoh Masyumi itu) mendapat saran dari AR Sutan Mansur agar tetap mempertahankan satu istri. Alasannya adalah, mengurus keluarga (dua istri atau lebih ditambah anak) akan lebih banyak menyita waktu belajar dan berkarir. Kakak ipar Buya sebagai pelaku poligini mengakui sendiri hal tersebut.

Sekian.