BACAAN MENJELANG PILPRES. Selesai membaca kata pengantar dua buku ini, saya putuskan untuk terlebih dahulu meneruskan buku yang kanan: Oligarki.
Ini adalah pertama kali saya membaca bukunya Jeffrey A.Winters. Saya mengenal namanya sejak dua tahun yang lalu, mengikuti beberapa kuliahnya di Youtube, termasuk saat membedah buku Oligarki, yang sudah saya buat ringkasan materi di FB. Ini linknya:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid035fYUbFFHCwBjfuxAw9hVewEZ9Fhs5CtNwgS5xiwSNY1uDRjSgvAHXHSBocGfdcnzl&id=100000467690969&mibextid=Nif5oz
***
Buku ini langsung saya baca sampai halaman 60 (Bab 1) mengenai dasar material oligarki. Dari bab satu ini saja ada banyak sekali ringkasan yang bisa dibuat supaya pembaca punya gambaran yang jelas mengenai oligarki.
Berikut lima ringkasan yang saya buat terkait oligarki (yang harus dibaca secara berurutan):
1. Oligarki secara etimologi berasal dari Bahasa Yunani olig-arkhia: oligoi (sedikit) dan arkhein (memerintah), yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit. Namun secara terminologi mempunyai banyak definisi, yang paling popular berdasarkan KBBI: “Pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang dari golongan atau kelompok tertentu.”
Setelah membaca buku ini kita harus memperjelas lagi bahwa kelompok tertentu yang dimaksud itu adalah minoritas orang atau individu (oligark) yang mempunyai kekayaan material SANGAT BESAR. Kemudian dengan kekayaan itu dia ikut mengendalikan sistem pemerintahan, yang MOTIF utamanya adalah untuk (tidak hanya) mempertahankan kekayaannya, namun juga menambah pendapatannya. Caranya bisa bermacam-macam, ada yang melalui pemaksaan (koersi), ada pula yang melalui undang-undang yang mengatur hak milik. Puncaknya adalah melalui kekerasan.
Terkait minoritas oligark ini, Jeffrey Winters menulis: “Kekayaan sangat besar di tangan minoritas kecil menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah politik, termasuk dalam demokrasi. Menyangkalnya berarti mengabaikan analisis politik berabad-abad yang menelusuri akrabnya hubungan antara kekayaan dan kekuasaan.” (Hlm.7).
Di zaman kita yang menganut sistem demokrasi ini, oligark sanggup mendanai biaya kampanye (berapapun besarnya) terhadap calon kepala negara yang dianggap lebih menguntungkan kepentingan mereka, bahkan bisa mereka kendalikan.
2. Oligarki tidak terikat dengan sistem pemerintahan, ia bisa masuk di mana saja, baik imperium, kerajaan, otoriter, maupun demokrasi. Oligarki sudah ada sejak zaman Fir’aun sampai Yunani Kuno –yang terakhir ini bahkan Aristoteles sudah menulis panjang lebar tentangnya. Oligarki selalu ada di sepanjang zaman, yang berbeda dari setiap zaman itu hanya sifatnya: JINAK atau LIAR.
Karena hampir tidak mungkin menghapus keberadaan oligark yang membentuk oligarki, maka paling penting yang menjadi TUGAS NEGARA melalui pemerintahannya (di zaman demokrasi ini) adalah bagaimana pemerintah bisa MENJINAKKANNYA.
Jefrrey Winters menulis: “Penjinakan oligark adalah fenomena politik mahapenting yang tidak ada hubungannya dengan demokratisasi. Oligarki penguasa kolektif dan sultanistik selalu bukan demokrasi, tapi juga berkisar antara oligarki jinak dan liar. Sementara itu, oligarki sipil per definisi adalah sistem pemerintahan tak-pribadi di bawah rezim hukum yang lebih kuat daripada individu oligark.” (hlm. 57).
Kata kuncinya adalah menjinakkan, agar kekayaan yang mereka miliki dapat didistribusikan untuk sebanyak-banyaknya orang –melalui aturan pajak, denda, dan pengawasan kekayaan. Yang terakhir ini penting untuk diketahui karena di mana pun keberadaan oligark, ia selalu memiliki potensi dan kecenderungan untuk: menyembunyikan kekayaan, mengatur kekayaan untuk berkelit dari pajak, bahkan mengendalikan petugas pajak.
Bayangkan jika satu saja oligark mempunyai kekayaan misal seratus triliun, apa mereka rela melepas 10 triliun "saja" (pajak 10%-nya) untuk kesejahteraan masyarakat? Mungkin ada, tapi jelas lebih banyak yang berat untuk berbagi dan mendistribusikan kekayaannya.
3. Dari poin 1 dan 2 di atas kita bisa menyimpulkan sendiri bahwa akan selalu ada tawar-menawar antara oligark dan elit penguasa yang menjalankan pemerintahan. Hasilnya bisa menguntungkan rakyat, atau sebaliknya: merugikan rakyat, bahkan mendindas. Elit penguasa yang baik akan selalu berusaha memperjuangkan kepentingan rakyat. Negosiasi dengan oligark jangan sampai merugikan kepentingan rakyat yang telah mengangkatnya naik menjadi penguasa.
Sekarang, tidak kalah penting harus diperjelas dan dipisahkan di sini adalah istilah ELIT dan OLIGARKI. Keduanya tidak sama. Elit adalah orang yang memiliki kedudukan, tapi belum tentu seorang oligark. Sementara oligark bisa menjadi seorang elit. Presiden itu elit, tapi belum tentu oligark. Namun ada presiden yang sekaligus oligark.
“Oligark bisa menjadi pemerintah, tapi tidak tidak harus menjadi pemerintah. Selain itu, karena pemerintahan bukan unsur pembentuk oligark, maka ketiadaan oligark dalam peran pemerintahan tak berpengaruh pada keberadaan oligark dan oligarki. Oligark adalah pelaku yang didefinisikan oleh sumber daya kekuasaan tertentu yang dimiliki dan dikuasai. Mereka merupakan satu bentuk kekuasaan dan pengaruh minoritas berkat sumber daya material yang telah mereka kumpulkan secara pribadi dan mereka mau simpan serta pertahankan." (Hlm. 58).
Dalam bukunya, Jeffrey Winters mendefinisikan dengan jelas ciri-ciri seorang oligark. Penelitiannya di beberapa negara (yang salah satunya Indonesia) adalah dengan mewawancarai masing-masing oligark. Ada yang namanya dirahasiakan, ada pula yang dia sebut secara jelas. Ada satu sosok nama yang disebut dengan jelas dalam buku ini, yakni pemilik PT. Lapindo, Abu Rizal Bakrie. Di antara semua narasumbernya, hanya satu orang yang dirinya menolak dikelompokkan sebagai bagian oligark.
4. Agar bisa membedakan dengan baik oligarki yang jinak dan yang liar, kita perlu juga mengetahui tipe-tipe oligarki. Ada empat tipe oligarki: (1) olilgarki panglima (warring), (2) oligarki penguasa kolektif (ruling), (3) oligarki sultanistik (sultanistic), dan (4) oligarki sipil (civil).
Sederhananya, oligarki panglima adalah kebalikan dari oligarki penguasa kolektif. Yang pertama mereka berebut kekayaan dengan cara kekerasan, yakni melalui konflik atau perang antar oligark, pengumpulan kekayaaan paling sering melalui penaklukan. Sedang yang kedua mereka saling bekerjasama. "Pemerintahan kolektif oleh oligarki penguasa kolektif itu lebih tahan lama karena para oligark yang terlibat berperan lebih kecil secara pribadi dalam pelaksanaan kekerasan untuk pertahanan kekayaan. Oligark penguasa kolektif membagi biaya kekuatan pemaksa, antara yang mereka bayar dan mereka gunakan sendiri," demikian tulis Winters. (Hlm. 52-53).
Oligarki sultanistik ada ketika monopoli sarana pemaksaan berada di tangan satu oligark, bukan negara terlembaga yang dibatasi hukum. Demikian pendapat Chehabi dan Linz sebagaimana dikutip Winters, sekaligus dia memberikan contohnya adalah Presiden Soeharto.
Terakhir oligarki sipil, adalah kebalikan dari oligarki sultanisitik, sekalipun tidak sepenuhnya berbeda. "Bedanya dalam oligarki sipil, yang menggantikan individu tunggal sebagai pelaksana pemaksaan yang mempertahankan harta oligarki, ada lembaga pelaku yang dikendalikan oleh hukum," demikian penjelasan Winters.
5. Membaca penjelasan terakhir di atas saya langsung teringat omnibus law. Tentu hukum itu dibuat sebagai tanda dari negara yang demokratis, tapi jelas proses pembuatan undang-undang sampai pengesahan hukum tersebut tidak lepas dari campur tangan dan kepentingan oligarki.
Semoga catatan singkat ini bermanfaat dan menambah wawasan kita tentang oligarki.