Tidaklah berlebihan kalau saya katakan bahwa buku
"#ResetIndonesia, Gagasan tentang Indonesia baru" merupakan buku
paling lengkap dalam membedah permasalahan Indonesia dari berbagai aspek:
sosial, budaya, ekonomi, ekologi, politik, pendidikan, kesehatan, sampai tata
ruang.
Meskipun tak semua aspek tersebut dibahas sampai rinci
mengenai teknis di lapangan, namun ia pantas kita sebut sebagai sebuah
prolegomena terhadap pembacaan Indonesia secara paripurna, dengan filosofi yang
baru.
Anda yang sudah selesai membaca akan sepakat bahwa buku ini
membuat kita mengetahui banyak hal, meski beberapa aspek hanya superfisial.
Jurnalis yang baik memang dituntut menguasai berbagai dimensi pengetahuan,
untuk kemudian mengartikulasikannya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh
semua orang. Buku ini memenuhi kriteria tersebut.
Ditulis oleh dua orang jurnalis par excellent, yang
masing-masing sudah berkeliling Indonesia sebanyak dua kali selama setahun,
Farid Gaban (2009-2010) dan Dandhy Dwi Laksono (2015-2016). Ekspedisi kedua
mereka tempuh bersama (2022-2023) selama 424 hari. Dan nampak lebih seru karena
ditemani oleh dua orang junior yang mewakili generasi baru: Yusuf Priambodo
(millenial), dan Benaya Harobu (gen Z). Mereka berdua juga menyumbang tulisan
untuk buku ini. Ekspedisi ketiga secara kolektif ini mereka beri nama: Ekspedisi
Indonesia Baru. Semua ekspedisi yang sudah mereka jalani ditempuh dengan sepeda
motor.
Kembali kepada masalah yang dibahas dalam buku Reset
Indonesia. Saya pikir masalah negara ini sudah sedemikian kompleks, sehingga
perlu untuk di-RESET. Pemilihan diksi yang tepat. Tak sekadar restart, apalagi
refresh.
Mungkin tidak urut, tapi mari kita bahas tiga hal paling
fundamental yang menurut saya ada dalam buku ini.
(I)
Paradigma
Untuk mewujudkan Indonesia yang baru, pertama-tama harus
di-reset adalah paradigma. Yakni mengubah cara kita berpikir, baik secara
kolektif maupun personal. Terutama untuk para pemangku kebijakan. Sebab
merekalah penentu arah pembangunan ekonomi secara nasional.
Dalam memahami pertumbuhan ekonomi, misal. Tak semua
pertumbuhan mesti dinilai dari seberapa banyak yang kita produksi (apalagi
produksi massal). Buku ini, mengambil inspirasi dari karya EF Schumacher "Small
is Beautiful", mengajarkan sebaliknya: kecil namun punya manfaat yang
keberlanjutan (sustainable) justru yang paling utama. Mengambil secukupnya dan
seperlunya saja.
Kehidupan dari beberapa masyarakat adat dijadikan contoh
dalam buku ini. Salah satunya yang perlu saya sebut: Kasepuhan Ciptagelar. Ini
adalah kampung adat yang terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Kebetulan saya sendiri pernah berkunjung dan melihat langsung kehidupan di
tempat tersebut. Kampung adat yang mandiri, mereka tidak menjual hasil panen.
Menanam hanya setahun sekali. Tetapi dalam hal ketahanan pangan, mereka siap
diadu dengan proyek food estate.
Manusia harus belajar membedakan antara kebutuhan dan
keinginan. Seringkali keinginan yang tanpa batas itu dengan mudah tumbuh
menjadi keserakahan. Sistem ekonomi apa yang kita anut ternyata sangat
menentukan pandangan hidup. Dalam hal ini, ilmu ekonomi tak ada yang bebas
nilai, ia selalu bias dengan ideologi tertentu.
Buku ini jelas menolak ekonomi liberal, yang dalam
praktiknya banyak merugikan masyarakat kecil. Dalam pasar bebas, tidak mungkin
masyarakat kecil bisa bersaing dan mengalahkan kapitalis pemilik modal besar.
Salah satu efek negatifnya adalah privatisasi sektor publik.
Agar mudah memahami kita ambil satu contoh. Mungkin gen Z
atau gen Alfa tidak merasakan, menganggap hal ini lumrah dan baisa, tetapi Anda
yang terlahir sebagai generasi boomer harusnya terheran-heran dan tidak
menyangka bagaimana bisa air minum yang dulu diperoleh secara gratis, bahkan
beberapa tinggal minum tanpa harus dimasak, semakin kiwari justru makin banyak
dikemas dan dikomersilkan. Sekarang apa-apa harus beli, bahkan untuk air yang
menjadi kebutuhan hidup paling mendasar. Ditambah, eksploitasi alam yang
berlebihan membuat air di sumur Anda jadi tidak layak untuk diminum karena
potensi logam berat yang terkandung.
Sumber mata air yang harusnya jadi milik publik malah
terprivatisasi. Privatisasi adalah pilar dari kapitalisme. Sungguh ironis oleh
karena dalam konstitusi kita ada pasal 33, yang salah satu ayatnya mengatur
kepemilikan air: "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat."
Itu baru satu contoh kasus. Kita belum membahas contoh yang
lain seperti tanah, garis pantai, reklamasi, wisata premium, dan lain-lain.
Pada akhirnya warga akan semakin terdesak dan tidak berdaulat. Sehingga:
".... semakin liberal ekonomi justru makin kecil peluang kita sebagai
bangsa merumuskan apa yang baik untuk diri sendiri secara berdaulat."
(Hlm. 79).
Sebagai penggantinya adalah koperasi. Tetapi perlu diingat,
ada perbedaan yang mendasar antara koperasi yang autentik dan koperasi
abal-abal, bahkan rentenir berkedok koperasi. Koperasi yang baik, salah satunya
melibatkan partisipasi masyarakat, ia tumbuh dari bawah (bottom up), dan bukan
sebaliknya dari atas ke bawah (top down). Itulah koperasi yang dicita-citakan
oleh Bung Hatta.
Buku ini tidak merinci secara lengkap bagaimana cara kerja
koperasi. Saya pun tidak akan membahasnya secara mendalam. Namun ada
rekomendasi buku yang layak dibaca untuk lebih memahami bagaimana koperasi
dijalankan secara teknis, yakni buku karya Suroto berjudul "Koperasi Lawan
Tanding Kapitalisme". Ini buku bagus, sudah pernah saya buat resensinya.
(II)
Reforma agraria (land-reform)
Sebagian besar isi buku ini dijiwai oleh pemikiran Bung
Hatta. Saya catat ada lebih dari tiga puluh kali namanya disebut sepanjang isi
buku. Tidak saja perihal koperasi dengan ekonomi kerakyatannya, melainkan juga
mengenai reforma agraria. Sampai dibuat satu judul khusus dalam buku ini:
"Bagi-Bagi Tanah ala Bung Hatta, reforma agraria tanpa basa-basi".
Kenapa setiap tahun harga tanah bisa melambung tinggi? Sebab
tanah sudah menjadi komoditas paling seksi yang mengalahkan harga emas. Dengan
hanya bertumpu pada gaji UMR, tidak heran bila generasi milenial banyak yang
tidak bisa menjangkau harga tanah, apalagi dilanjut membangun rumah. Jangan
tanya generasi yang di bawahnya. Tanah harus dikembalikan kepada fungsi
dasarnya.
Tanah (selain air) harusnya tidak boleh dijadikan komoditas.
Sebab, seperti yang dikatakan oleh Bung Hatta: "Akumulasi penguasaan tanah
dapat menjadi alat satu kelompok masyarakat untuk menindas kelompok lain."
(Hlm. 178).
Merenungkan kembali pembahasan mengenai reforma agraria ini.
Tiba-tiba saya teringat pada uraian Nurcholish Madjid aka Cak Nur dalam karya
bukunya "Islam, Doktrin dan Peradaban". Dalam salah satu tulisannya
di buku itu Cak Nur memuji ijtihad yang berani dari Umar bin Khattab, ketika
menolak menjadikan tanah hasil penaklukan sebagai harta rampasan perang (ghanimah).
Padahal Al-Quran sudah mengatur mengenai ghanimah ini.
Bayangkan bila tak ada ijtihad dari Umar, tanah Imperium
Persia yang maha luas itu mungkin akan dikuasai oleh hanya segelintir orang.
Semangat jihad dan penaklukan mungkin tak lagi bersandar pada niat untuk
tegaknya syariat, melainkan ingin menguasai lahan seluas-luasnya. Etika Islam
yang dibangun oleh Umar jelas bertentangan dengan spirit kapitalisme.
Entah kenapa reforma agraria ini jarang sekali menjadi
pembicaraan publik, mungkin masih ada anggapan bahwa itu gagasannya PKI pada
masa lalu. Padahal, seperti yang tertulis dalam buku ini: "Bung Hatta,
yang memainkan peran kunci dalam menyusun rancangan undang-undang agraria,
bahkan sudah menulis soal ketidakadilan tanah ketika dia mengasuh majalah
Hindia Poetra di Negeri Belanda pada 1922, pada usia 20 tahun. Jadi, keliru
yang mengatakan bahwa land-reform adalah gagasan PKI." (Hlm. 183)
Tak heran bila kalimat dalam pasal 33 itu merupakan hasil
pemampatan dari pemikiran-pemikiran Bung Hatta. Betapa pentingnya masalah
land-reform ini. Bila tak bisa menjadikan tanah sebagai properti bersama,
minimal kita bisa membatasi berapa banyak seorang individu boleh memiliki
tanah. Termasuk pembatasan lahan konsesi untuk korporasi.
Fakta mengejutkan dalam buku ini: "Bahkan di kalangan
perusahaan ada ketimpangan tajam: 60 persen lahan konsesi dikuasai oleh 1
persen saja perusahaan. Sinar Mas Group, misalnya, menguasai konsesi lahan
sekitar 5 juta hektare, lebih luas dari wilayah kelola seluruh badan usaha
milik negara (BUMN) digabung jadi satu. Padahal, menurut aturan awal, maksimal
konsesi hutan adalah 500 hektare. Perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, yang
sudah menguasai luas lahan rata-rata ribuan hektare, masih bersaing ketat satu
sama lain. Seringkali dengan menyerobot lahan masyarakat atau hutan negara yang
kosong di luar wilayah konsesi." (Hlm. 179).
Ini semua perlu kita suarakan, untuk mencapai keadilan
sosial sekaligus mencegah agar tanah tidak dijadikan sebagai alat untuk
menindas rakyat kecil, seperti yang dikemukakan oleh Bung Hatta di atas.
(III)
Demokrasi desa
Saya sepakat bahwa demokrasi yang autentik itu ada di desa.
Ini berbeda dengan demokrasi skala nasional yang lebih sering abal-abal, bahkan
tipu-tipu. Kadang kita disodorkan dengan pilihan-pilihan yang tak kita
kehendaki. Sebab, kita memang tak bisa memilih dalam arti yang sebenarnya.
Demokrasi nasional sangat transaksional, disebabkan oleh biayanya yang terlalu
mahal.
Kadang kita memilih pemimpin berdasarkan kriteria penuh
pencitraan yang digambarkan oleh media. Sudah menjadi kebiasaan rakyat
Indonesia gampang terpukau oleh pemimpin populis, menganggap ia mewakili
aspirasi rakyat. Kenyataan belum tentu demikian. Dan ini kejadian yang sering
terulang. Bahasa kasarnya: gampang dibodohi.
Istilah demokrasi desa tidaklah disebut secara spesifik
dalam buku ini. Istilah tersebut saya pakai untuk menyimpulkan secara
keseluruhan isi dari Bab 6 (Reset Indonesia) --bab terakhir dalam buku ini.
Gagasannya banyak terinspirasi dari Bung Hatta. Demokrasi desa dasarnya
kedaulatan rakyat.
Berbeda dengan demokrasi Barat yang cenderung bersandar pada
individualisme, dalam pandangan Hatta, demokrasi Indonesia terbentuk
berdasarkan pada semangat kolektivisme (kebersamaan). Inilah semangat yang
hidup di desa-desa kita, sejak zaman dahulu kala. Bung Hatta pernah membahas
hal ini panjang lebar dalam salah satu karyanya berjudul Demokrasi Kita.
Dan inilah pula yang coba untuk dihidupkan kembali melalui
diskursus yang ada dalam buku ini. Melalui demokrasi desa yang diuraikan dalam
salah satu sub-bab di buku ini "Mencoblos Murah Meriah", kita bisa
menghasilkan, salah satunya: sistem pemilu yang murah dan berkualitas.
Murah dan berkualitas, dua kata kunci yang saling
berkorelasi. Sebab, pemilu yang berbiaya mahal, apalagi anggarannya disuplai
oleh jaringan oligarki, akan membawa kita pada tumbuh suburnya demokrasi
transaksional seperti sebutkan di atas. Ditambah masih banyak masyarakat kita
yang hidup di bawah garis kemiskinan, maka money politic menjadi pilihan yang
hampir tak terhindarkan. Sudahlah mahal, kualitas pemimpin yang dihasilkan
sangat mengecewakan.
Zaid Nasution dan Harum Marpaung (2015), dua orang penulis
yang namanya dikutip dalam buku ini, pernah membuat presentasi berjudul Pemilu
Alternatif ala Bung Hatta, berisi usulan yang rinci terkait sistem pemilu,
mengambil inspirasi dari Pancasila dan Bung Hatta. Bagaimana mekanismenya dan
secara teknis seperti apa, penjelasannya ada di bawah ini:
"Voting (pemungutan suara) bukan diharamkan sama
sekali. Tapi, dibatasi hanya di tingkat desa sebagai satuan demokrasi terkecil
namun paling penting. Warga memilih seseorang ddu tingkat kampung/dusun/Rukun
Warga untuk menjadi dewan perwakilan di tingkat desa. Para anggota dewan desa
ini kemudian bermusyawarah memilih di antara mereka untuk mewakili di tingkat
kabupaten. Selanjutnya, mereka bermusyawarah menentukan wakil di antara mereka
untuk menjadi wakil di tingkat provinsi. Dan akhirnya, dewan provinsi memilih
wakil tingkat nasional. Pejabat eksekutif masing-masing tingkat (lurah, bupati,
gubernur, presiden) dipilih oleh dewan perwakilan yang setara." (Hlm.
357-358).
Materi presentasi itu ada dan bisa Anda telusuri sendiri
lewat Google. Walaupun semua hal yang kita bahas di atas tak serta merta bisa
diterapkan, tetapi gagasan ini menarik untuk kita jadikan bahan diskursus.
Agar semakin dekat dengan demokrasi yang autentik tersebut,
buku ini juga menawarkan solusi terkait bentuk pemerintahan, yakni agar kembali
seperti zaman RIS: sistem federal. Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta
se-pemikiran dalam hal ini. Alasan utamanya: otonomi seluas-luasnya. Lagi-lagi,
sepakat dengan masukan ini.
Sebenarnya sejak awal Reformasi 98, semangat untuk kembali
ke sistem federal itu sudah digaungkan oleh beberapa tokoh, saya sebut dua
nama: YB. Mangunwijaya dan Arief Budiman. Saya belum lama membaca wawancara
mereka terkait hal ini.
Lantas apa bedanya dengan otonomi daerah? Otonomi daerah
yang ada saat ini tidak sepenuhnya bebas dari kepentingan pusat. Buku ini
menyebutnya sebagai otonomi semu: "Antara lain karena tidak ada otonomi
keuangan daerah. Daerah menjadi kungkungan pusat, sementara kewenangan dan
aspirasinya kurang didengarkan. Pada masa Presiden Jokowi, kewenangan daerah
bahkan dikurangi lewat UU Cipta Kerja (Omnibus Law)." (Hlm. 375).
Dalam bidang ekonomi misal, sebagai bupati atau gubernur,
Anda tak mungkin bisa menjalin kerjasama dengan investor dari luar negeri tanpa
se-izin dari pusat. Padahal di negara-negara bagian seperti Amerika Serikat,
kebijakan itu dimungkinkan. Hanya dalam dua kebijakan negara bagian tak mungkin
tak sama dengan induk pusat: militer dan kebijakan luar negeri. Penjelasan
tersebut tak saya dapatkan dari buku ini, melainkan dari buku lain yang berisi
wawancara dengan Arief Budiman.
Kenapa federalisme menjadi sebuah keniscayaan, setidaknya
menurut buku ini, dan menurut saya pribadi? Sebab negara ini terlampau luas
bila hanya dikendalikan oleh Jakarta. Orang Aceh punya keinginan sendiri dalam
membangun daerahnya. Apalagi Papua, jelas, tidak mungkin sama.
"Tidak cuma Aceh dan Papua, semua daerah di Indonesia
pada dasarnya memiliki kekhususan dan aspirasi berbeda, sehingga harus diatur
dengan cara-cara khusus pula. Dan itulah hakikat federalisme. Biarlah orang
Kalimantan mengurus dirinya sendiri. Begitu pula Papua, Sumatera, dan Sulawesi.
Biarlah mereka memutuskan apa yang baik bagi mereka, dan kemajuan seperti apa
yang akan kita capai. Tidak semua kemajuan hanya bersifat ekonomi dan bisa
diwakili oleh rimba beton yang menggantikan hutan belantara." (Hlm. 376).
Buku ini juga membahas tentang adanya partai lokal, yang
ternyata hanya ada di Aceh sebagai hasil dari Perjanjian Helsinski yang
mengakhiri konflik GAM dan Pemerintahan Republik Indonesia. Manfaat partai ini
ternyata sangat besar dalam menampung aspirasi masyarakat lokal. Silakan Anda
baca sendiri, saya tidak akan menguraikan di sini. Saya hanya ingin menegaskan,
keberadaan partai lokal itu sangat dimungkinkan di negara dengan sistem
federal.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, jika sistem negara federal
itu lebih baik, lantas kenapa dulu kita berganti menjadi negara kesatuan
(NKRI)? Jawabannya harus kita sesuaikan dengan konteks zamannya. Negara federal
kita ketika itu sebagian besar adalah hasil bentukan Belanda pada zaman
revolusi. Dan memang itu cara yang ampuh digunakan oleh pemerintah kolonial
untuk memecah belah negara yang baru merdeka ini. Sehingga paska KMB (1949) dan
terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), atas inisiatif Mohammad Natsir
melalui Mosi Integral-nya, RIS berubah menjadi NKRI.
Sementara sekarang, apa kendalanya bila kita kembali ke
sistem federal? Kita tidak lagi mengalami penjajahan dan penindasan bangsa
asing. Justru dengan konsep kesatuan seperti sekarang ini, kita sangat
berpotensi untuk "dijajah" dan "dieksploitasi" oleh bangsa
sendiri.
Terkait kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi, buku
sudah menyiapkan jawabannya, demikian: "Luasnya wilayah dan keragaman suku
yang terpecah-pecah dipisahkan oleh laut memang rawan disintegrasi dan
separatisme. Tapi, sejarah pemberontakan Permesta di masa lalu dan Gerakan Aceh
Merdeka di masa kontemporer menunjukakan bahwa separatisme dipicu oleh
ketidakadilan serta kurangnya otonomi yang mewadahi aspirasi lokal. Konsep
federasi justru merupakan cara untuk mencegah separatisme, seperti sudah ditunjukkan
lewat otonomi khusus Aceh. Banyak orang akan senang bergabung dalam Indonesia
yang adil dan mampu mendengar aspirasi warganya yang beragam." (Hlm. 376).
Demikianlah. Saya akhiri catatan ini dengan mengutip dua
paragraf dari salah satu sub-bab "Demokrasi Bukan Pesta", demikian:
"Demokrasi memang tidak cuma tentang pemilu. Jika kita
mau menilai apakah sebuah sistem masyarakat itu demokratis atau tidak,
ukurannya adalah seberapa kuat partisipasi masyarakat, musyawarah (deliberasi),
kebebasan berpendapat, penguatan pers yang independen, supremasi hukum,
transparansi, akuntabilitas, serta integritas di kalangan ilmuwan dan alim
ulama."
"Bahkan itu saja belum cukup. Di samping demokrasi
politik, Bung Hatta menekankan pula pentingnya demokrasi ekonomi untuk mencapai
keadilan sosial. Salah satunya lewat koperasi. Koperasi yang benar harus
dikelola secara demokratis dan partisipatif, menjadikannya lembaga terkecil
tempat kita bisa menyemai prinsip-prinsip demokrasi politik maupun ekonomi dari
bawah. Jadi, kita pun bisa membangun koperasi yang bagus sebagai cara
meningkatkan kualitas demokrasi di luar saluran pemilu." (Hlm. 353-354).
***
Sebenarnya masih banyak hal yang bisa kita elaborasi dan
diskusikan dari buku prolegomena ini. Tapi biarlah catatan dari saya ini pun
menjadi semacam "prolegomena kecil" agar Anda membaca langsung
bukunya.
Selamat membaca. Dari semua buku yang sudah saya baca
sepanjang tahun ini, saya memasukkan buku ini sebagai one of the most
recommended book of the year (tebal halaman: 448+xii).
Salam.
Iwan Mariono
Sukabumi, 23 Oktober 2025