Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

KONFERENSI MEJA BUNDAR (KMB) DAN LAHIRNYA SENTRAL

Ini buku sangat bagus. Dengan referensi yang kaya, buku ini menjelaskan bagaimana sejak awal merdeka, Indonesia sudah menanggung utang milyaran gulden. Kita merdeka secara politik, tetapi secara ekonomi kita benar-benar dicekik. Dualisme bank sentral antara BNI dan DJB (De Javasche Bank) sepanjang periode revolusi (1945-1949) menunjukkan bahwa perang di lapang ekonomi tak kalah sengitnya. 

Begitu sampai pada bab 4, saya benar-benar dibuat gregetan. Sebenarnya sejak sepuluh tahun yang lalu, ketika 2015 saya baca biografinya Soemitro Djojohadikusumo terbitan Sinar Harapan, 2019 saya baca biografinya Sjafruddin Prawiranegara yang ditulis oleh Ajip Rosidi, dan 2022 saya baca "Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia"-nya Kahin, perasaan saya tidak berubah: gregetan. Tiga buku tersebut termasuk yang dijadikan sebagai referensi untuk menyusun buku ini. Semua menjelaskan betapa berat beban negara yang baru merdeka ini. Indonesia dituntut menanggung utang sebesar 6.2 milyar gulden. 

Setelah melalui perdebatan panjang dan alot tanpa titik temu, di akhir Perjanjian KMB itu ditetapkan angka sebesar 4.2 milyar gulden. Dengan rincian: 2.5 milyar utang dalam negeri, 1.7 milyar hutang luar negeri. Utang dalam negeri yang dimaksud tak lain adalah biaya yang dihabiskan oleh Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia melalui pendudukan kembali dan agresi militer (I dan II). 

Itulah sebabnya pada periode revolusi itu Belanda menolak istilah agresi, dan memilih polisionil (pengamanan). Sebab agresi adalah sebuah bentuk serangan terhadap negara lain, sementara Belanda menganggap tindakannya adalah bentuk pengamanan dalam negeri (Hindia Belanda). Artinya, para pejuang kemerdekaan itu tak lain dianggap sebagai pemberontak. 

Ibaratnya, ada maling yang menjarah rumahmu, tetapi justru engkau yang dituntut untuk mengganti semua kerugian.

 


 

MEMBACA INDONESIA BARU SECARA PARIPURNA (Sebuah Prolegomena)

 

Tidaklah berlebihan kalau saya katakan bahwa buku "#ResetIndonesia, Gagasan tentang Indonesia baru" merupakan buku paling lengkap dalam membedah permasalahan Indonesia dari berbagai aspek: sosial, budaya, ekonomi, ekologi, politik, pendidikan, kesehatan, sampai tata ruang.

 

Meskipun tak semua aspek tersebut dibahas sampai rinci mengenai teknis di lapangan, namun ia pantas kita sebut sebagai sebuah prolegomena terhadap pembacaan Indonesia secara paripurna, dengan filosofi yang baru.

 

Anda yang sudah selesai membaca akan sepakat bahwa buku ini membuat kita mengetahui banyak hal, meski beberapa aspek hanya superfisial. Jurnalis yang baik memang dituntut menguasai berbagai dimensi pengetahuan, untuk kemudian mengartikulasikannya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh semua orang. Buku ini memenuhi kriteria tersebut.

 

Ditulis oleh dua orang jurnalis par excellent, yang masing-masing sudah berkeliling Indonesia sebanyak dua kali selama setahun, Farid Gaban (2009-2010) dan Dandhy Dwi Laksono (2015-2016). Ekspedisi kedua mereka tempuh bersama (2022-2023) selama 424 hari. Dan nampak lebih seru karena ditemani oleh dua orang junior yang mewakili generasi baru: Yusuf Priambodo (millenial), dan Benaya Harobu (gen Z). Mereka berdua juga menyumbang tulisan untuk buku ini. Ekspedisi ketiga secara kolektif ini mereka beri nama: Ekspedisi Indonesia Baru. Semua ekspedisi yang sudah mereka jalani ditempuh dengan sepeda motor.

 

Kembali kepada masalah yang dibahas dalam buku Reset Indonesia. Saya pikir masalah negara ini sudah sedemikian kompleks, sehingga perlu untuk di-RESET. Pemilihan diksi yang tepat. Tak sekadar restart, apalagi refresh.

 


Mungkin tidak urut, tapi mari kita bahas tiga hal paling fundamental yang menurut saya ada dalam buku ini.

 

(I)

Paradigma

 

Untuk mewujudkan Indonesia yang baru, pertama-tama harus di-reset adalah paradigma. Yakni mengubah cara kita berpikir, baik secara kolektif maupun personal. Terutama untuk para pemangku kebijakan. Sebab merekalah penentu arah pembangunan ekonomi secara nasional.

 

Dalam memahami pertumbuhan ekonomi, misal. Tak semua pertumbuhan mesti dinilai dari seberapa banyak yang kita produksi (apalagi produksi massal). Buku ini, mengambil inspirasi dari karya EF Schumacher "Small is Beautiful", mengajarkan sebaliknya: kecil namun punya manfaat yang keberlanjutan (sustainable) justru yang paling utama. Mengambil secukupnya dan seperlunya saja.

 

Kehidupan dari beberapa masyarakat adat dijadikan contoh dalam buku ini. Salah satunya yang perlu saya sebut: Kasepuhan Ciptagelar. Ini adalah kampung adat yang terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Kebetulan saya sendiri pernah berkunjung dan melihat langsung kehidupan di tempat tersebut. Kampung adat yang mandiri, mereka tidak menjual hasil panen. Menanam hanya setahun sekali. Tetapi dalam hal ketahanan pangan, mereka siap diadu dengan proyek food estate.

 

Manusia harus belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Seringkali keinginan yang tanpa batas itu dengan mudah tumbuh menjadi keserakahan. Sistem ekonomi apa yang kita anut ternyata sangat menentukan pandangan hidup. Dalam hal ini, ilmu ekonomi tak ada yang bebas nilai, ia selalu bias dengan ideologi tertentu.

 

Buku ini jelas menolak ekonomi liberal, yang dalam praktiknya banyak merugikan masyarakat kecil. Dalam pasar bebas, tidak mungkin masyarakat kecil bisa bersaing dan mengalahkan kapitalis pemilik modal besar. Salah satu efek negatifnya adalah privatisasi sektor publik.

 

Agar mudah memahami kita ambil satu contoh. Mungkin gen Z atau gen Alfa tidak merasakan, menganggap hal ini lumrah dan baisa, tetapi Anda yang terlahir sebagai generasi boomer harusnya terheran-heran dan tidak menyangka bagaimana bisa air minum yang dulu diperoleh secara gratis, bahkan beberapa tinggal minum tanpa harus dimasak, semakin kiwari justru makin banyak dikemas dan dikomersilkan. Sekarang apa-apa harus beli, bahkan untuk air yang menjadi kebutuhan hidup paling mendasar. Ditambah, eksploitasi alam yang berlebihan membuat air di sumur Anda jadi tidak layak untuk diminum karena potensi logam berat yang terkandung.

 

Sumber mata air yang harusnya jadi milik publik malah terprivatisasi. Privatisasi adalah pilar dari kapitalisme. Sungguh ironis oleh karena dalam konstitusi kita ada pasal 33, yang salah satu ayatnya mengatur kepemilikan air: "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

 

Itu baru satu contoh kasus. Kita belum membahas contoh yang lain seperti tanah, garis pantai, reklamasi, wisata premium, dan lain-lain. Pada akhirnya warga akan semakin terdesak dan tidak berdaulat. Sehingga: ".... semakin liberal ekonomi justru makin kecil peluang kita sebagai bangsa merumuskan apa yang baik untuk diri sendiri secara berdaulat." (Hlm. 79).

 

Sebagai penggantinya adalah koperasi. Tetapi perlu diingat, ada perbedaan yang mendasar antara koperasi yang autentik dan koperasi abal-abal, bahkan rentenir berkedok koperasi. Koperasi yang baik, salah satunya melibatkan partisipasi masyarakat, ia tumbuh dari bawah (bottom up), dan bukan sebaliknya dari atas ke bawah (top down). Itulah koperasi yang dicita-citakan oleh Bung Hatta.

 

Buku ini tidak merinci secara lengkap bagaimana cara kerja koperasi. Saya pun tidak akan membahasnya secara mendalam. Namun ada rekomendasi buku yang layak dibaca untuk lebih memahami bagaimana koperasi dijalankan secara teknis, yakni buku karya Suroto berjudul "Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme". Ini buku bagus, sudah pernah saya buat resensinya.

 

(II)

Reforma agraria (land-reform)

 

Sebagian besar isi buku ini dijiwai oleh pemikiran Bung Hatta. Saya catat ada lebih dari tiga puluh kali namanya disebut sepanjang isi buku. Tidak saja perihal koperasi dengan ekonomi kerakyatannya, melainkan juga mengenai reforma agraria. Sampai dibuat satu judul khusus dalam buku ini: "Bagi-Bagi Tanah ala Bung Hatta, reforma agraria tanpa basa-basi".

 

Kenapa setiap tahun harga tanah bisa melambung tinggi? Sebab tanah sudah menjadi komoditas paling seksi yang mengalahkan harga emas. Dengan hanya bertumpu pada gaji UMR, tidak heran bila generasi milenial banyak yang tidak bisa menjangkau harga tanah, apalagi dilanjut membangun rumah. Jangan tanya generasi yang di bawahnya. Tanah harus dikembalikan kepada fungsi dasarnya.

 

Tanah (selain air) harusnya tidak boleh dijadikan komoditas. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Bung Hatta: "Akumulasi penguasaan tanah dapat menjadi alat satu kelompok masyarakat untuk menindas kelompok lain." (Hlm. 178).

 

Merenungkan kembali pembahasan mengenai reforma agraria ini. Tiba-tiba saya teringat pada uraian Nurcholish Madjid aka Cak Nur dalam karya bukunya "Islam, Doktrin dan Peradaban". Dalam salah satu tulisannya di buku itu Cak Nur memuji ijtihad yang berani dari Umar bin Khattab, ketika menolak menjadikan tanah hasil penaklukan sebagai harta rampasan perang (ghanimah). Padahal Al-Quran sudah mengatur mengenai ghanimah ini.

 

Bayangkan bila tak ada ijtihad dari Umar, tanah Imperium Persia yang maha luas itu mungkin akan dikuasai oleh hanya segelintir orang. Semangat jihad dan penaklukan mungkin tak lagi bersandar pada niat untuk tegaknya syariat, melainkan ingin menguasai lahan seluas-luasnya. Etika Islam yang dibangun oleh Umar jelas bertentangan dengan spirit kapitalisme.

 

Entah kenapa reforma agraria ini jarang sekali menjadi pembicaraan publik, mungkin masih ada anggapan bahwa itu gagasannya PKI pada masa lalu. Padahal, seperti yang tertulis dalam buku ini: "Bung Hatta, yang memainkan peran kunci dalam menyusun rancangan undang-undang agraria, bahkan sudah menulis soal ketidakadilan tanah ketika dia mengasuh majalah Hindia Poetra di Negeri Belanda pada 1922, pada usia 20 tahun. Jadi, keliru yang mengatakan bahwa land-reform adalah gagasan PKI." (Hlm. 183)

 

Tak heran bila kalimat dalam pasal 33 itu merupakan hasil pemampatan dari pemikiran-pemikiran Bung Hatta. Betapa pentingnya masalah land-reform ini. Bila tak bisa menjadikan tanah sebagai properti bersama, minimal kita bisa membatasi berapa banyak seorang individu boleh memiliki tanah. Termasuk pembatasan lahan konsesi untuk korporasi.

 

Fakta mengejutkan dalam buku ini: "Bahkan di kalangan perusahaan ada ketimpangan tajam: 60 persen lahan konsesi dikuasai oleh 1 persen saja perusahaan. Sinar Mas Group, misalnya, menguasai konsesi lahan sekitar 5 juta hektare, lebih luas dari wilayah kelola seluruh badan usaha milik negara (BUMN) digabung jadi satu. Padahal, menurut aturan awal, maksimal konsesi hutan adalah 500 hektare. Perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, yang sudah menguasai luas lahan rata-rata ribuan hektare, masih bersaing ketat satu sama lain. Seringkali dengan menyerobot lahan masyarakat atau hutan negara yang kosong di luar wilayah konsesi." (Hlm. 179).

 

Ini semua perlu kita suarakan, untuk mencapai keadilan sosial sekaligus mencegah agar tanah tidak dijadikan sebagai alat untuk menindas rakyat kecil, seperti yang dikemukakan oleh Bung Hatta di atas.

 

(III)

Demokrasi desa

 

Saya sepakat bahwa demokrasi yang autentik itu ada di desa. Ini berbeda dengan demokrasi skala nasional yang lebih sering abal-abal, bahkan tipu-tipu. Kadang kita disodorkan dengan pilihan-pilihan yang tak kita kehendaki. Sebab, kita memang tak bisa memilih dalam arti yang sebenarnya. Demokrasi nasional sangat transaksional, disebabkan oleh biayanya yang terlalu mahal.

 

Kadang kita memilih pemimpin berdasarkan kriteria penuh pencitraan yang digambarkan oleh media. Sudah menjadi kebiasaan rakyat Indonesia gampang terpukau oleh pemimpin populis, menganggap ia mewakili aspirasi rakyat. Kenyataan belum tentu demikian. Dan ini kejadian yang sering terulang. Bahasa kasarnya: gampang dibodohi.

 

Istilah demokrasi desa tidaklah disebut secara spesifik dalam buku ini. Istilah tersebut saya pakai untuk menyimpulkan secara keseluruhan isi dari Bab 6 (Reset Indonesia) --bab terakhir dalam buku ini. Gagasannya banyak terinspirasi dari Bung Hatta. Demokrasi desa dasarnya kedaulatan rakyat.

 

Berbeda dengan demokrasi Barat yang cenderung bersandar pada individualisme, dalam pandangan Hatta, demokrasi Indonesia terbentuk berdasarkan pada semangat kolektivisme (kebersamaan). Inilah semangat yang hidup di desa-desa kita, sejak zaman dahulu kala. Bung Hatta pernah membahas hal ini panjang lebar dalam salah satu karyanya berjudul Demokrasi Kita.

 

Dan inilah pula yang coba untuk dihidupkan kembali melalui diskursus yang ada dalam buku ini. Melalui demokrasi desa yang diuraikan dalam salah satu sub-bab di buku ini "Mencoblos Murah Meriah", kita bisa menghasilkan, salah satunya: sistem pemilu yang murah dan berkualitas.

 

Murah dan berkualitas, dua kata kunci yang saling berkorelasi. Sebab, pemilu yang berbiaya mahal, apalagi anggarannya disuplai oleh jaringan oligarki, akan membawa kita pada tumbuh suburnya demokrasi transaksional seperti sebutkan di atas. Ditambah masih banyak masyarakat kita yang hidup di bawah garis kemiskinan, maka money politic menjadi pilihan yang hampir tak terhindarkan. Sudahlah mahal, kualitas pemimpin yang dihasilkan sangat mengecewakan.

 

Zaid Nasution dan Harum Marpaung (2015), dua orang penulis yang namanya dikutip dalam buku ini, pernah membuat presentasi berjudul Pemilu Alternatif ala Bung Hatta, berisi usulan yang rinci terkait sistem pemilu, mengambil inspirasi dari Pancasila dan Bung Hatta. Bagaimana mekanismenya dan secara teknis seperti apa, penjelasannya ada di bawah ini:

 

"Voting (pemungutan suara) bukan diharamkan sama sekali. Tapi, dibatasi hanya di tingkat desa sebagai satuan demokrasi terkecil namun paling penting. Warga memilih seseorang ddu tingkat kampung/dusun/Rukun Warga untuk menjadi dewan perwakilan di tingkat desa. Para anggota dewan desa ini kemudian bermusyawarah memilih di antara mereka untuk mewakili di tingkat kabupaten. Selanjutnya, mereka bermusyawarah menentukan wakil di antara mereka untuk menjadi wakil di tingkat provinsi. Dan akhirnya, dewan provinsi memilih wakil tingkat nasional. Pejabat eksekutif masing-masing tingkat (lurah, bupati, gubernur, presiden) dipilih oleh dewan perwakilan yang setara." (Hlm. 357-358).

 

Materi presentasi itu ada dan bisa Anda telusuri sendiri lewat Google. Walaupun semua hal yang kita bahas di atas tak serta merta bisa diterapkan, tetapi gagasan ini menarik untuk kita jadikan bahan diskursus.

 

Agar semakin dekat dengan demokrasi yang autentik tersebut, buku ini juga menawarkan solusi terkait bentuk pemerintahan, yakni agar kembali seperti zaman RIS: sistem federal. Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta se-pemikiran dalam hal ini. Alasan utamanya: otonomi seluas-luasnya. Lagi-lagi, sepakat dengan masukan ini.

 

Sebenarnya sejak awal Reformasi 98, semangat untuk kembali ke sistem federal itu sudah digaungkan oleh beberapa tokoh, saya sebut dua nama: YB. Mangunwijaya dan Arief Budiman. Saya belum lama membaca wawancara mereka terkait hal ini.

 

Lantas apa bedanya dengan otonomi daerah? Otonomi daerah yang ada saat ini tidak sepenuhnya bebas dari kepentingan pusat. Buku ini menyebutnya sebagai otonomi semu: "Antara lain karena tidak ada otonomi keuangan daerah. Daerah menjadi kungkungan pusat, sementara kewenangan dan aspirasinya kurang didengarkan. Pada masa Presiden Jokowi, kewenangan daerah bahkan dikurangi lewat UU Cipta Kerja (Omnibus Law)." (Hlm. 375).

 

Dalam bidang ekonomi misal, sebagai bupati atau gubernur, Anda tak mungkin bisa menjalin kerjasama dengan investor dari luar negeri tanpa se-izin dari pusat. Padahal di negara-negara bagian seperti Amerika Serikat, kebijakan itu dimungkinkan. Hanya dalam dua kebijakan negara bagian tak mungkin tak sama dengan induk pusat: militer dan kebijakan luar negeri. Penjelasan tersebut tak saya dapatkan dari buku ini, melainkan dari buku lain yang berisi wawancara dengan Arief Budiman.

 

Kenapa federalisme menjadi sebuah keniscayaan, setidaknya menurut buku ini, dan menurut saya pribadi? Sebab negara ini terlampau luas bila hanya dikendalikan oleh Jakarta. Orang Aceh punya keinginan sendiri dalam membangun daerahnya. Apalagi Papua, jelas, tidak mungkin sama.

 

"Tidak cuma Aceh dan Papua, semua daerah di Indonesia pada dasarnya memiliki kekhususan dan aspirasi berbeda, sehingga harus diatur dengan cara-cara khusus pula. Dan itulah hakikat federalisme. Biarlah orang Kalimantan mengurus dirinya sendiri. Begitu pula Papua, Sumatera, dan Sulawesi. Biarlah mereka memutuskan apa yang baik bagi mereka, dan kemajuan seperti apa yang akan kita capai. Tidak semua kemajuan hanya bersifat ekonomi dan bisa diwakili oleh rimba beton yang menggantikan hutan belantara." (Hlm. 376).

 

Buku ini juga membahas tentang adanya partai lokal, yang ternyata hanya ada di Aceh sebagai hasil dari Perjanjian Helsinski yang mengakhiri konflik GAM dan Pemerintahan Republik Indonesia. Manfaat partai ini ternyata sangat besar dalam menampung aspirasi masyarakat lokal. Silakan Anda baca sendiri, saya tidak akan menguraikan di sini. Saya hanya ingin menegaskan, keberadaan partai lokal itu sangat dimungkinkan di negara dengan sistem federal.

 

Mungkin ada yang bertanya-tanya, jika sistem negara federal itu lebih baik, lantas kenapa dulu kita berganti menjadi negara kesatuan (NKRI)? Jawabannya harus kita sesuaikan dengan konteks zamannya. Negara federal kita ketika itu sebagian besar adalah hasil bentukan Belanda pada zaman revolusi. Dan memang itu cara yang ampuh digunakan oleh pemerintah kolonial untuk memecah belah negara yang baru merdeka ini. Sehingga paska KMB (1949) dan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), atas inisiatif Mohammad Natsir melalui Mosi Integral-nya, RIS berubah menjadi NKRI.

 

Sementara sekarang, apa kendalanya bila kita kembali ke sistem federal? Kita tidak lagi mengalami penjajahan dan penindasan bangsa asing. Justru dengan konsep kesatuan seperti sekarang ini, kita sangat berpotensi untuk "dijajah" dan "dieksploitasi" oleh bangsa sendiri.

 

Terkait kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi, buku sudah menyiapkan jawabannya, demikian: "Luasnya wilayah dan keragaman suku yang terpecah-pecah dipisahkan oleh laut memang rawan disintegrasi dan separatisme. Tapi, sejarah pemberontakan Permesta di masa lalu dan Gerakan Aceh Merdeka di masa kontemporer menunjukakan bahwa separatisme dipicu oleh ketidakadilan serta kurangnya otonomi yang mewadahi aspirasi lokal. Konsep federasi justru merupakan cara untuk mencegah separatisme, seperti sudah ditunjukkan lewat otonomi khusus Aceh. Banyak orang akan senang bergabung dalam Indonesia yang adil dan mampu mendengar aspirasi warganya yang beragam." (Hlm. 376).

 

Demikianlah. Saya akhiri catatan ini dengan mengutip dua paragraf dari salah satu sub-bab "Demokrasi Bukan Pesta", demikian:

 

"Demokrasi memang tidak cuma tentang pemilu. Jika kita mau menilai apakah sebuah sistem masyarakat itu demokratis atau tidak, ukurannya adalah seberapa kuat partisipasi masyarakat, musyawarah (deliberasi), kebebasan berpendapat, penguatan pers yang independen, supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas, serta integritas di kalangan ilmuwan dan alim ulama."

 

"Bahkan itu saja belum cukup. Di samping demokrasi politik, Bung Hatta menekankan pula pentingnya demokrasi ekonomi untuk mencapai keadilan sosial. Salah satunya lewat koperasi. Koperasi yang benar harus dikelola secara demokratis dan partisipatif, menjadikannya lembaga terkecil tempat kita bisa menyemai prinsip-prinsip demokrasi politik maupun ekonomi dari bawah. Jadi, kita pun bisa membangun koperasi yang bagus sebagai cara meningkatkan kualitas demokrasi di luar saluran pemilu." (Hlm. 353-354).

 

***

 

Sebenarnya masih banyak hal yang bisa kita elaborasi dan diskusikan dari buku prolegomena ini. Tapi biarlah catatan dari saya ini pun menjadi semacam "prolegomena kecil" agar Anda membaca langsung bukunya.

 

Selamat membaca. Dari semua buku yang sudah saya baca sepanjang tahun ini, saya memasukkan buku ini sebagai one of the most recommended book of the year (tebal halaman: 448+xii).

 

Salam.

 

Iwan Mariono

Sukabumi, 23 Oktober 2025