Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

MENGEMBARA KE ALAM PIKIRAN DAN PERASAAN

MENGEMBARA KE ALAM PIKIRAN DAN PERASAAN

(Apresiasi dan Kritik untuk karya terbaru Agustinus Wibowo)

Iwan Mariono

Saya tidak meragukan seorang Agustinus sebagai seorang pengembara. Ketika dia menuliskan bukunya yang ke-5 ini, benarlah dugaan awal saya bahwa buku itu boleh jadi refleksi dari hasil pengembaraannya ke berbagai belahan dunia selama belasan tahun. Setidaknya itu kesimpulan saya sekilas dari membaca judul dan sub judulnya: Kita dan Mereka, Perjalanan Menelusuri Identitas dan Konflik Manusia.

Ada catatan kritis saya untuk buku terbarunya ini. Tidak banyak, hanya dua (bab 7 dan 8) dari tiga belas bab isi bukunya, yakni bab Cerita (menurut saya lebih cocok jika judul bab-nya adalah Mitos, karena sepanjang bab tersebut membahas tentang sejarah mitos) dan bab Agama. 

Tetapi ada baiknya kita awali dulu dengan apresiasi atas keberhasilannya mencurahkan tenaga dan pikiran untuk menghasilkan buku dengan tema yang berat ini. 

Selesai membaca buku ini, harus saya akui: tidaklah mudah menuliskannya. Butuh energi yang besar, riset lapangan yang panjang, dan kajian literatur yang serius dan mendalam. Hanya orang yang pernah menjelajah ke berbagai pelosok, melewati selimut debu, dan menembus garis batas, yang bisa menuliskannya. Termasuk ketika membahas sejarah rasis, tulisannya sangat menjiwai. Penjiwaan itu lahir justru karena penulisnya tinggal di sebuah negara dengan statusnya sebagai dobel minoritas (etnis dan agama). 

Tidak heran jika buku ini menjadi buku yang paling lama proses penulisannya, sekaligus paling tebal dari buku-buku sebelumnya. Jika dalam buku pertama sampai ketiga (buku keempat saya belum baca sampai khatam) Agustinus banyak menuliskan hasil ekplorasinya, maka di buku terbaru ini dia lebih cenderung menuliskan hasil kontemplasinya. Namun keduanya punya keterikatan dan ketersambungan.

Berbeda dari keempat karya sebelumnya, buku ini dipenuhi dengan banyak sekali referensi. Dari seratusan lebih nama penulis dan buku yang dijadikan rujukan (lebih dari 90 persen berbahasa Inggris), hanya belasan nama yang saya kenali dan pernah baca bukunya. Juga berbeda dari buku-buku sebelumnya, saya memulai buku ini justru dari bagian belakang: Bibliografi. Butuh waktu sejam lebih untuk membacanya, setebal dua puluh halaman. 

***

Saya coba bedah secara ringkas isinya. Buku ini dibagi menjadi tiga bagian: Dalam Kotak-Kotak Berbeda (5 bab); Pertanyaan-Pertanyaan Besar (5 bab); dan Menuju Harmoni (3 bab). 

Dalam bagian pertama, Agustinus membahas bagaimana identitas dibentuk. Yakni melalui tembok. Dari sejak zaman imperium, sampai abad modern di mana gerak manusia dibatasi konsep abstrak negara-bangsa (nation-state), manusia telah terbiasa untuk membangun tembok fisik. Tembok Cina dan Tembok Berlin adalah contoh untuk masing-masing zaman tersebut. Alasan dibangun tembok tersebut sangat paradoks: di satu sisi untuk melindungi orang-orang yang ada di luar tembok; di sisi lain justru mengungkung mereka yang ada di dalam. 

Ada pun dinding abstrak yang jarang disadari manusia: tembok dalam otak. Ini semua diciptakan untuk membedakan antara aku atau "Kita" yang mengklaim diri atau kelompoknya sebagai paling baik dan beradab, dengan "Meraka" atau liyan yang dianggap paling buruk dan tak beradab. 

Tembok-tembok inilah yang kemudian melahirkan konflik dan permusuhan, bahkan sampai memicu perang. Namun perang itu dibutuhkan justru untuk menciptakan perdamaian. Penjelasannya cukup panjang, mending baca langsung bukunya. 

Inilah ciri khas Agustinus dalam banyak karya tulisnya: menulis hal-hal yang sifatnya paradoks. 

Termasuk ketika dia mencoba menggambarkan seperti apa kehidupan kaum nomade, apakah benar peradaban mereka yang paling terbelakang. Banyak kesimpulan dibuat yang justru di luar dugaan. 

Agustinus juga mencoba menjelaskan sejarah dan filosofi garis batas disertai paradoks berdasarkan pengamatannya secara langsung. Dan batas yang paling besar pengaruhnya terhadap pembentukan identitas manusia di zaman modern ini adalah batas negara. Ini murni ciptaan manusia, namun pengaruhnya sangat signifikan membentuk peradaban manusia. Contoh kontradiktif adalah garis batas antara Afghanistan dan Turkmenistan. 

Sejarah terciptanya bahasa dan lahirnya alfabet juga dijelaskan oleh Agustinus dalam bukunya ini. Untuk menunjukkan kepada kita bagaimana sebuah peradaban manusia mengalami evolusi. 

***

Masuklah kita sekarang di bagian kedua tentang Pertanyaan-Pertanyaan Besar yang diajukan oleh Agustinus setelah terlebih dahulu ia menjelaskan manusia yang hidup Dalam Kotak-Kotak yang Berbeda. 

Saya tidak meragukan Agustinus ketika membahas sejarah lahirnya identitas. Dimulai dari manusia yang membangun tembok pembatas; bagaimana kaum nomade berevolusi menjadi sedenter; proses panjang terbentuknya jalur sutra dari Siberia sampai ke Roma yang menjadi cikal bakal globalisasi, tempat lahir peradaban melalui pertukaran budaya, yang mewujud dalam bentuk migrasi, perang, dan perdagangan; kemudian terbentuknya imperium yang menjadi akar kata dari imperialisme, sampai akhirnya melahirkan abad modern yang ditandai dengan lahirnya kesadaran untuk berbangsa dan bernegara (nation-state). Saya tidak meragukan dan tidak bisa menyangkal itu semua, apalagi beberapa karya tentang ini sudah pernah terlebih dahulu saya baca. Tetapi saya mulai meragukannya saat dia mencoba mengulik hal yang paling sensitif dalam perkara identitas: Agama. 

Sekarang kita masuk ke bab 7 dan bab 8, dua bab yang menurut saya menjadi sumber kontroversi: Cerita dan Agama. Dua bab yang kalau digabungkan jadi setebal 125 halaman ini sebenarnya masih nyambung. Seandainya Agustinus mau mengembangkan lagi, saya yakin dua bab ini akan menjadi satu tema buku tersendiri –dan sebaiknya memang dikembangkan lagi, semoga suatu saat nanti. Jadi bukan sekadar aspek ritual dan budayanya, melainkan juga aspek teologi/metafisika.

Dalam dua bab ini, Agustinus menjelaskan secara detail bagaimana mitos terbentuk (saya fokuskan yang dalam hal agama) dan terus berevolusi membentuk beberapa ritual agama yang ternyata serupa, dari zaman animisme sampai agama-agama Abrahamik. Dijelaskan bahwa beberapa ritual-ritual dari agama Abrahamik tersebut diadopsi dari mitos-mitos berkembang di masa lalu. 

Ia menulis: "Cara paling konsisten untuk membedakan mitos dari yang bukan-mitos adalah, sekali lagi, dengan melihat pengaruh kepercayaan. Apabila suatu hal baru berfungsi ketika orang percaya, itu adalah mitos; dan sebaliknya, jika suatu hal itu berfungsi sama kepada orang yang percaya maupun yang tidak percaya, itu bukan mitos." Dan dilanjutkan dengan pertanyaan, "Mengapa kita sulit sekali bisa menerima bahwa semua itu adalah mitos?" (Hlm. 296). Jadi, Agustinus membedakan mitos dan realitas hanya berdasarkan fungsinya.

Oh, iya, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, di sini Agustinus membahas mitos tidak dalam makna yang bersifat peyoratif. Mitos tersebut justru dibutuhkan oleh manusia sampai hari ini, bukan hanya terkait agama (kebetulan yang saya soroti hanya yang ia kaitkan dengan agama), bahkan dalam doktrin nasionalisme dan kebangsaan. Termasuk uang yang kita gunakan sebagai alat transaksi hari ini, semua itu dibangun dari mitos. Apa yang dia tulis dalam bab Cerita adalah hasil dari kajian lintas disiplin ilmu. 

Sayangnya, jika kita membahas agama, kita tidak bisa hanya berhenti pada aspek ritual dan budaya yang terus mengalami evolusi tersebut. Memang ada agama yang hanya lahir dari sejarah dan budaya, tapi tidak semua. Jika serius membahas agama, kita perlu masuk sampai ke aspek teologi/metafisika. Dari pembahasan ini kita jadi punya legitimasi untuk membuktikan mana agama yang otentik (dari Tuhan) di antara banyaknya keyakinan. Sebab agama memang perlu klaim kebenaran mutlak. 

Kesan sebaliknya yang justru saya tangkap saat Agustinus menulis: "Mudah bagi kita yang bukan berasal dari kebudayaan Cina atau India untuk mengatakan bahwa kepercayaan tentang Kaisar Langit atau sistem kasta itu adalah mitos belaka. Mudah pula bagi seorang Muslim untuk menyebut kepercayaan Buddhis sebagai mitos, dan demikian pula sebaliknya. Selalu mudah bagi kita untuk menyebut kepercayaan orang lain sebagai mitos, tapi sebaliknya, kita tidak akan terima jika dikatakan bahwa agama kita, tradisi kita, uang kita, negara kita, atau ideologi kita disebut sebagai mitos." (Hlm. 293) 

Pernyataan di atas menunjukkan kesan bahwa agama –kalau tidak bisa dikatakan semua– pada dasarnya dibentuk dari mitos. Dalam perkara agama, menolak klaim kebenaran mutlak (sebaliknya menganggapnya sebagai relatif) juga sesungguhnya klaim kebenaran mutlak. Artinya, mengklaim bahwa semua agama membawa kebenaran yang sama juga sesungguhnya adalah klaim. Ini yang kita sebut sebagai penganut paham pluralisme agama. Saya tidak ingin membahasnya secara rinci. Jika ingin mengetahui lebih dalam sejarah lengkap lahirnya tren ini, saya sarankan untuk membaca buku Dr. Anis Malik Thoha: Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis. Buku itu ditulis dua dekade silam yang menurut saya masih relevan sampai sekarang. Penelusuran akar dari paham tersebut dari sejak abad Renaissance sampai zaman paska modern, dengan literatur yang sangat lengkap. 

Kembali aspek teologi/metafisika, inilah yang tidak ada dalam bukunya Agustinus saat dia membahas tentang agama. Sehingga kesan yang kemudian terjadi adalah generalisasi bahwa semua agama itu sama. Sebagaimana klaim Agustinus dalam satu paragraf saat hendak mengakhiri dua bab ini: “Agama sebenarnya adalah ajaran Kebenaran yang dibungkus budaya. Ajaran kebenaran yang universal, tetapi budaya yang membungkusnya mungkin berbeda-beda. Ada perbedaan mantra, bahasa suci, kitab suci, cerita dewa-dewa dan nabi. Namun, intinya selalu sama: Kebenaran, Hakikat, Hukum Alam yang Universal.” (Hlm. 390). 

Buat saya, dalam beragama tidak ada masalah terhadap klaim kebenaran mutlak –sekalipun jadi terkesan fanatik– selama tidak merendahkan keyakinan orang lain apalagi sampai berbuat anarki. Walaupun tidak dipungkiri ada orang yang sampai menjadi radikal (apresiasi untuk Agustinus dalam bukunya yang menjelaskan dengan rinci perbedaan antara fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme, dan menyematkannya tidak hanya dalam perkara agama, apalagi hanya dalam satu golongan saja). 

Tujuan saya menerangkan ini adalah agar orang-orang yang belum tahu jadi tahu, bahwa pluralisme itu adalah suatu paham tersendiri. Saya pribadi tidak menolak apalagi anti terhadap penganut paham pluralisme. Apalagi Kuntowijoyo-pun dalam buku Muslim Tanpa Masjid mengembangkan diksi tersebut dengan mengenalkan istilah: Pluralisme Positif. Yakni, sikap berterus terang dan berpegang teguh terhadap suatu keyakinan, dan pada saat yang sama bisa menerima orang lain yang berbeda.

Saya tidak akan membahas lebih dalam mengenai teologi dan metafisika, karena penjelasan tersebut akan memakan banyak sekali halaman. Dalam sudut pandang (weltanschauung/ worldview) Islam, literatur yang menurut saya otoritatif dalam membahas aspek ini adalah dua buku yang ditulis oleh seorang filsuf muslim, Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Dua buku tersebut adalah Islam and Secularism dan Prolegomena to the Metaphysic of Islam. Semoga Agustinus berkenan mengkaji (atau mungkin sudah membacanya?). 

Apresiasi saya untuk Agustinus yang telah bersusah payah memahami kekompleksan agama, apalagi tidak mudah buat dia yang dibesarkan dalam tradisi dua agama berbeda sekaligus. Ibunya seorang penganut agama Budha yang taat. Sementara dia (Agustinus) di saat yang sama juga menjadi murid sekolah dasar Kristen, di mana ia diajarkan bahwa Yesus adalah Tuhan yang menjadi juru selamat di akhir zaman. Ia sampai menulis: “Bertubi-tubi pertanyaan tentang Tuhan yang merundung saya sejak kecil membuat saya membaca ratusan buku tentang berbagai ajaran agama dan spiritualitas.” 

Pengalaman ini semua jelas membuat dia menjadi seorang yang sangat terbuka (inklusif). Dan memang, sebagian dalam bukunya ini, secara imperatif kita diajak –dalam menganut keyakinan– untuk menjadi orang yang inklusif. Alih-alih yang sering kita jumpai justru sebaliknya, sifat eksklusif. Padahal ini sikap yang justru menghambat kemajuan peradaban Islam. 

Dalam hal ini saya sepakat dan sangat menerima kritik darinya saat dia menulis: “Gerakan-gerakan fundamentalisme dan radikalisme itu juga sering mengobarkan permusuhan terhadap apa pun yang dipandang tidak islami. Ini sebenarnya adalah tembok isolasi yang tidak akan membangkitkan kejayaan Islam, namun justru menimbulkan pemikiran yang tertutup, menampik introspeksi diri, serta mematikan penemuan ilmiah. Mereka yang terbenam dalam nostalgia sejarah kejayaan Islam justru melupakan fakta sejarah penting bahwa para ilmuwan Islam pada masa Abad Pertengahan adalah orang-orang dengan pemikiran terbuka yang tak segan belajar dari kemajuan peradaban-peradaban lain.” (Hlm. 476) 

Ini menjadi otokritik buat kita yang beragama Islam. 

***

Bagian ketiga Menuju Harmoni. Saya tidak akan membahasnya secara panjang-lebar, selain karena yang saya tulis di atas sudah terlalu panjang dan sudah terlalu lebar. 

Sekadar memberi tahu, yang menarik dari bagian penutup ini adalah sejarah dan analisa bagaimana sebuah ideologi bisa bangkit dan runtuh silih berganti. 

Dan juga penutup bagaimana identitas itu adalah sesuatu yang cair yang bisa berganti posisi dalam situasi yang berbeda. Kita bisa melihat identitas sebagai sesuatu homogen sekaligus heterogen. Ia mewujud dalam bermacam-macam karakter tapi sesungguhnya adalah dari zat yang tunggal. 

Dalam menyikapi perbedaan pandangan hidup, ada satu kutipan penutupnya yang saya sukai: "kita tidak mungkin mengubah seluruh dunia agar sesuai dengan keinginan kita, tetapi kita selalu bisa mengubah cara pandang kita terhadap dunia."

*** 

Terima kasih, Mas Agustinus Wibowo atas karyanya yang sangat gemilang. Kritikan saya tulus dari hati, begitu pula apresiasi yang saya berikan, untuk buku ini.

PERJALANAN SEMINGGU LINTAS PULAU

Aku baru saja menyelesaikan perjalanan panjang dengan mobil sedan, dari Kabupaten Morowali (Sulawesi Tengah) sampai ke Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat), selama seminggu. 

Berangkat dari tanggal 24 April sampai 2 Mei 2024. Berdasarkan spidometer, aku telah menempuh perjalanan sejauh 1.840 kilometer (di luar jalur laut Makassar-Surabaya selama 30 jam). 

Sebelum ini pun aku sudah pernah berkendara lintas pulau yang jauh: Jawa-Sulawesi; Jawa-Bali; bahkan Jawa-Sumatera. 

Tetapi yang membuat perjalanan kali ini istimewa adalah, aku hanya berdua bersama putriku Naira yang masih berusia 3,5 tahun. Benar-benar perjalanan yang melelahkan, menguras tenaga, namun berkesan untuk dikenang. 

Mobil penuh sesak barang, terutama oleh mainan Naira. Dari yang kecil-kecil seperti alat masak-masak, boneka, lego, bola-bola, sampai yang paling besar: sepeda, ayunan, dan prosotan. 

Butuh waktu sehari untuk mengemasnya. Kemudian hanya menyisakan dua kursi di depan untuk kami berdua. Aku kosongkan di belakang kursi Naira, supaya kursi bisa dilipat kalau dia mau tidur. 

Semoga tidak dicegat polantas selama di perjalanan, boleh jadi ini melanggar, karena penuh muatan sampai menutup pandangan di spion tengah, walau berat mainan itu tidak seberapa --jauh lebih berat memuat orang. 

RABU, 24 APRIL 2024. Berangkat sore (16.00 WITA). Naira dan aku dilepas oleh doa dan air mata mama. Sedih juga liat mama nangis waktu mobil kami mulai berangkat. 

Setelah lima jam perjalanan, waktunya untuk istirahat. Jam 9 malam kami sampai di Lembon Tonara, sebuah desa di ujung perbatasan Kabupaten Morowali Utara dan Kabupaten Poso. Aku ambil penginapan dengan kamar yang paling murah. Seratus ribu pakai kipas. Lumayan, sekadar untuk mandi dan merebahkan badan. 


Aku lihat Naira sangat menikmati perjalanan ini. Seperti tidak lelah. Dia tidak pernah nangis atau mengeluh. Bahkan selama 5 jam itu dia tidak tertidur sama sekali, asyik mengikuti. Banyak bertanya sepanjang perjalanan. 

KAMIS, 25 APRIL 2024. Jam 4 shubuh aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Aku gunakan waktu untuk berkemas, sembari menunggu adzan. 

Selesai shalat, Naira yang masih tidur aku pindahkan ke mobil. Kami melanjutkan perjalanan selama 18 jam untuk sampai di Pare-pare (dari jam 5 pagi sampai jam 12 malam). 

Pagi yang dingin, hujan gerimis, mobil kami berjalan pelan, apalagi di perbatasan banyak melewati bukit-bukit. Jalan berkelok menanjak dan licin, kadang pula disertai kabut, bahkan ada beberapa titik longsor. Dua setangah jam perjalanan dari batas kabupaten, barulah kami tiba di batas provinsi Sulteng-Sulsel. 

Naira selama perjalanan ini sudah 3x tertidur; 5x singgah di masjid nyari toilet buat Naira pup tapi belum keluar juga; dan baru di toilet masjid yang ke-6 bisa keluar pupnya. Posisi kami sudah masuk di Kabupaten Wajo. Masih menempuh waktu enam jam untuk sampai di Pare-pare. 

JUM'AT, 26 APRIL 2024. Di Pare-pare aku gunakan waktu benar-benar untuk istirahat. Itu sebabnya istri melalui aplikasi mencarikan hotel yang agak lebih nyaman. Aku baru keluar sejam menjelang waktu cek out habis (jam 11 siang). Semua pakaian kotor aku cuci di kamar mandi hotel tersebut. Termasuk mengisi termos air panas pake teko listrik milik hotel. 


Jam 11 siang perjalanan kami lanjutkan. Masih butuh sekitar 3 jam untuk sampai di Makassar dengan jarak tempuh 150 kilometer. Mobil jalan pelan-pelan, belum sampai sejam Naira sudah tidur. Aku tidak ikut shalat jum'at, ganti dengan dzuhur-ashar dijamak qasar. 

Sampailah kami di Makassar. Tempat yang pertama kali aku tuju adalah kampus Unhas. Entah kenapa aku merasa hanya di sini tempat paling nyaman dan gratis yang ada di Makassar (2018-2019 dulu aku internship di sini). Banyak pohon tempat berlindung dari panasnya matahari. Juga masjidnya sejuk ditambah kamar mandinya yang banyak, dan airnya kencang.

Apalagi sekarang tepat di depan pintu gerbang kampus ada Mie Gacoan, kesempatan itu tak aku sia-siakan. Rasanya sudah lama sekali aku tidak makan mie satu ini. Langsung pesan 2 porsi, level 3 dan level 6. Hehe. 

Sore hari. Masih di Unhas, sebelum ke pelabuhan aku gunakan kesempatan untuk melihat peternakan rusa yang ada di dalam kampus. Naira senang sekali ke kebun binatang. Ini akan menjadi hiburan buat dia. 

Sebelum waktu maghrib kami pergi ke DLU (Dharma Lautan Utama) yang kantornya berada di pasar sentral, cetak tiket sekaligus tanya detail jadwal keberangkatan kapal. Kapal berangkat jam 12 malam, pukul 23.00 kami sudah harus menunggu di sana, kata petugasnya. 

Dari kantor DLU kami rehat sejenak di Mixue, tempat favorit Naira. 

Kapal yang akan membawa kami berangkat adalah Dharma Kencana VII (kapal yang juga aku naiki waktu berangkat dari Surabaya ke Makassar 7 bulan sebelumnya, bersama istri dan Naira). 

Juga sebelum ke pelabuhan aku sempatkan untuk berkunjung ke Masjid Kubah 99, masjid indah karya desain Kang Emil itu. Lima tahun yang lalu masih belum jadi sekalipun bentuk kubahnya sudah kelihatan. Sekarang, di sini jauh lebih rame daripada di Anjungan Pantai Losari. Bahkan indahnya sunset di anjungan itu sudah tertutup oleh masjid yang berdiri di atas tanah reklamasi ini. Selain ada spot makanan, parkir yg lebih luas daripada tempat lain, juga ada spot mainan anak-anak. Naira senang sekali bermain mobil-mobil di depan masjid. 

Selesai MCK dan shalat di Masjid Kubah 99, kami berangkat ke pelabuhan lebih awal pukul 21.00. Niatnya supaya tidak antri paling belakang, harap maklum karena kapal Ferry hanya punya satu pintu masuk. Sampai di sana, ternyata kami harus menunggu selama 7 jam: 21.00 s/d 04.00 WITA sampai kapal benar-benar berangkat. 

Rinciannya: pukul 22.00 kapal sudah datang. Aku kira cukup sejam untuk kendaraan keluar. Ternyata sampai dua jam. Sebaliknya menata mobil masuk empat jam. Mobil kami berada di antrian terdepan masuk. Jadilah jam 00.00 kami sudah di dalam kapal. Jadi, jam 04.00 pagi kapal baru lepas sauh. 

Badan terasa lelah saat menunggu ini, sekalipun di pinggir pantai, hawa pelabuhan ini terasa panas, aku sampai mimisan. 

Naira mengeluh sakit perut. Toilet tidak ada. Ada toilet masjid pelabuhan tapi sudah dikunci. Aku harus jalan jauh menggendongnya (berat Naira 20 kg) sampai di kantor syahbandar. Beruntung satpam dengan baik hati menarkan toiletnya untuk Naira buang hajat. Setelah selesai aku menggendongnya kembali ke mobil. Tak berselang lama dia tertidur. Aku yakin dia pun kelelahan. 

SABTU, 27 APRIL 2024. Pagi hari, badan lebih segar, kami jalan-jalan melihat-lihat kondisi di dalam kapal. Melewati peron kamar kelas II dan berhenti di kamar nomor 326. Aku sempatkan ambil gambar Naira di depan pintu kamar itu, kamar yang dulu kami tempati bertiga dari Surabaya ke Makassar, bersama mamanya. 

Sampailah kami di anjungan lantai 7 kapal. Di tangga naik kami bertemu dengan beberapa awak ABK yang sedang nongkrong di situ. Salah satu dari mereka menyapa kami. 

Aku tahu kapal baru berangkat jam 4 pagi dari ABK yang menyapa kami di anjungan ini. 

Mas ABK agak terkejut setelah tahu kami hanya berdua menempuh perjalanan panjang. Dan memang, sejauh ini selama di perjalanan, setiap kali singgah, banyak yang heran aku menempuh perjalanan panjang ini dan hanya berdua dengan Naira. 

Naira juga, gampang akrab dengan siapa saja yang ia temui. Bahkan ada saat dia tidak mengizinkan aku lanjutkan perjalanan karena ia sedang asyik dengan teman barunya. 

Kembali ke Mas ABK. Tidak hanya menyapa, tetapi dia juga bertanya apakah kami sudah dapat kamar. Aku jawab belum. Dan yang aku tahu memang di aplikasi kamar penuh. Ternyata dia menawarkan kamar kelas I, hanya perlu nambah 500 ribu (sesuai tarif normal naik kelas). Mungkin itu jatah kamarnya bersama kawan ABK-nya yang lain, aku tak tahu. Yang pasti, aku tidak menolak tawaran itu. Cincai. Uang aku transfer ke rekening milik temannya (setelah tiba di pelabuhan, karena tak ada sinyal sepanjang perjalanan).

Di kamar kelas I ada dua ranjang tidur dan satu kursi panjang. Kamar mandi di dalam. Fasilitas lain adalah TV dengan tayangan yang tak menarik. Ini jauh lebih nyaman daripada kamar ekonomi yang terbuka dan agak repot buat saya jika harus meninggalkan Naira ke toilet atau mengambil makan. Perlu menjelaskan panjang lebar supaya dia tidak nangis atau pengen ikut. Aku sebenarnya tidak memerlukan kamar kelas andai aku tidak bersamanya. 

Jadilah sejak dari jam 10 pagi kami sudah pindah ke kamar kelas I (kamar nomor 206), sampai kapal mendarat di pelabuhan Tanjung Perak jam 9 pagi besoknya. 

Selama 23 jam aku tidak kuatir lagi saat meninggalkan Naira ke mobil mengambil keperluannya, atau sekadar ke kantin mengambil air panas. 

Air panas ada yang gratis, ada pula yang bayar (5rb sekali isi). Yang gratis cepat sekali habis. Padahal teko listrik (water boiler) itu cukup besar isi 11 liter. Butuh 30-45 menit untuk membuatnya panas. Dan hanya butuh kurang dari 5 menit untuk membuatnya habis. Tips biar tidak kehabisan air: jangan nyari air pas jam makan. Jadi memang harus sedia termos air panas. 

Selama di kapal, waktu lebih banyak aku gunakan untuk tidur atau baca buku sambil ngopi. Adapun Naira main mainan yang baru dia beli, hasil merengek saat melihat barang tersebut di kantin kapal. 

Di kapal Ferry ini tidak ada sinyal internet. Sementara kalau naik Pelni ada (pengalaman waktu aku naik dari Pangkalan Bun ke Semarang). 

Oh iya, buat yang belum tahu, biaya kapal untuk satu mobil sedan golongan 3A tarifnya Rp 3,6 juta. Sementara penumpang dewasa untuk kamar tidur ekonomi 375 ribu, anak 290 ribu.

AHAD PAGI, 28 APRIL 2024. Jam 9 kapal tiba di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Sebelum turun ke lantai 2, aku gunakan untuk beres-beres barang bawaan yang sebagiannya sudah aku cicil sejak awal bangun shubuh. Akan sanga repot naik turun bawa barang kalau kapal sudah sandar, sebab antrian di pintu lift (hanya ada satu pintunya) ramainya minta ampun. Kalau mau cepat harus lewat tangga, tapi capeknya bukan main. 

Buat yang belum tahu, kapal Ferry Dharma Kencana VII punya tujuh lantai. Lantai 1 untuk mesin di dek kapal. Lantai 2-5 untuk kendaraan. Jadi tempat penumpang hanya di dua lantai sisanya, ditambah atap lantai 7 yang jadi gladak. 

Sama seperti saat masih di Pelabuhan Makassar, di Perak juga menunggu dua jam sampai mobil bisa keluar semua. Enaknya mobil sedan memang yang duluan masuk, tapi saat keluar sedanlah yang paling akhir. 

Pukul 10.30 mobil kami sudah menginjak tanah Jawa. Langsung aku tancap gas keluar Surabaya via tol. Sampai di Mojokerto aku masuk ke jalan utama non-tol. Aku pengen jalan santai, sebab tidak ada yang dikejar. Tetap di tol membuat godaan ngebut tidak bisa dihindari. Hehe.

Di jalan non-tol ini juga aku jadi bisa mengajak Naira diskusi sepanjang jalan, berhenti sejenak bila ia ingin susu. Dan tentu saja, menjawab semua pertanyaan recehnya. Receh buat orang dewasa, tapi sangat penting bagi anak-anak seusianya. Kadang ada pertanyaan yang diulang-ulang sampai puluhan kali. 

Aku baru masuk tol saat hendak masuk kota, di mana jalanan mulai padat merayap.  

Hari sudah malam saat kami tiba di Solo. Sebelum ke penginapan aku sempatkan singgah di rumah Ust. Arif Wibowo (guru saya) untuk mengambil buku-bukuku yang aku titip di sana.

SENIN 29 APRIL 2024. Sengaja aku tidak kabari teman-teman kuliah, karena waktu yang mepet, sementara hari ini Naira pengen segera sampai ke Ajibarang (Kab. Banyumas), ketemu mamanya yang sedang internship di sana. Target sore hari kami sudah sampai di sana. 

Jadilah aku hanya mendatangi kosan senior, sahabat sekaligus guruku, Kang Saepul Rochman. Usai ngobrol santai sekitar satu jam, aku dan Naura undur pamit. Perjalanan ke barat kami lanjutkan.

Mampir sejenak di Jogja, ke Togamas untuk liat-liat buku. Karena buku yang diincar tidak ada, aku tidak beli buku. Alhamdulillah, uang yang tersisa (tak seberapa ini) selamat. 
 
Sore hari kami sudah tiba di Purwokerto. Aku dan Naira menunggu di Mixue (tempat yang menyediakan es krim dan wahana main anak) sampai jam 8 malam, menjelang mamanya selesai piket jaga shift sore. Barulah setelah itu kami lanjut ke kosannya. 

SELASA-RABU, 30 APRIL-1 MEI 2024
Acara lepas kangen yang sangat singkat. Kami harus beranjak ke arah lebih barat lagi. Di Banyumas pun kami tak lama. Hanya dua hari. Sebab, target tanggal 4-5 Mei aku harus ke Bandung untuk ikut pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support), sebagai salah satu syarat untuk melamar kerja di sebuah RS di Sukabumi. 

Jadi Naira sudah harus sampai di Sukabumi, sebelum kemudian aku titipkan ia ke neneknya di sana.

KAMIS, 2 MEI 2024. Begitulah kisah ini aku akhiri. Tanggal 2 pagi aku dan Naira berangkat dari Ajibarang ke arah barat. Malam kemudian kami sampai di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Besoknya (3 Mei) aku sendirian ke Bandung naik sepeda motor untuk mengikuti pelatihan. Kembali ke timur.

*** 

Aku sangat menikmati perjalanan ini. Bagiku, menikmati perjalanan ini jauh lebih asyik daripada sampai tujuan. Sembari berdoa semoga tiba dengan selamat di tujuan. 

Sesungguhnyalah, hidup di dunia ini hanya menempuh perjalanan.