MENGEMBARA KE ALAM PIKIRAN DAN PERASAAN
(Apresiasi dan Kritik untuk karya terbaru Agustinus Wibowo)
Iwan Mariono
Saya tidak meragukan seorang Agustinus sebagai seorang pengembara. Ketika dia menuliskan bukunya yang ke-5 ini, benarlah dugaan awal saya bahwa buku itu boleh jadi refleksi dari hasil pengembaraannya ke berbagai belahan dunia selama belasan tahun. Setidaknya itu kesimpulan saya sekilas dari membaca judul dan sub judulnya: Kita dan Mereka, Perjalanan Menelusuri Identitas dan Konflik Manusia.
Ada catatan kritis saya untuk buku terbarunya ini. Tidak banyak, hanya dua (bab 7 dan 8) dari tiga belas bab isi bukunya, yakni bab Cerita (menurut saya lebih cocok jika judul bab-nya adalah Mitos, karena sepanjang bab tersebut membahas tentang sejarah mitos) dan bab Agama.
Tetapi ada baiknya kita awali dulu dengan apresiasi atas keberhasilannya mencurahkan tenaga dan pikiran untuk menghasilkan buku dengan tema yang berat ini.
Selesai membaca buku ini, harus saya akui: tidaklah mudah menuliskannya. Butuh energi yang besar, riset lapangan yang panjang, dan kajian literatur yang serius dan mendalam. Hanya orang yang pernah menjelajah ke berbagai pelosok, melewati selimut debu, dan menembus garis batas, yang bisa menuliskannya. Termasuk ketika membahas sejarah rasis, tulisannya sangat menjiwai. Penjiwaan itu lahir justru karena penulisnya tinggal di sebuah negara dengan statusnya sebagai dobel minoritas (etnis dan agama).
Tidak heran jika buku ini menjadi buku yang paling lama proses penulisannya, sekaligus paling tebal dari buku-buku sebelumnya. Jika dalam buku pertama sampai ketiga (buku keempat saya belum baca sampai khatam) Agustinus banyak menuliskan hasil ekplorasinya, maka di buku terbaru ini dia lebih cenderung menuliskan hasil kontemplasinya. Namun keduanya punya keterikatan dan ketersambungan.
Berbeda dari keempat karya sebelumnya, buku ini dipenuhi dengan banyak sekali referensi. Dari seratusan lebih nama penulis dan buku yang dijadikan rujukan (lebih dari 90 persen berbahasa Inggris), hanya belasan nama yang saya kenali dan pernah baca bukunya. Juga berbeda dari buku-buku sebelumnya, saya memulai buku ini justru dari bagian belakang: Bibliografi. Butuh waktu sejam lebih untuk membacanya, setebal dua puluh halaman.
***
Saya coba bedah secara ringkas isinya. Buku ini dibagi menjadi tiga bagian: Dalam Kotak-Kotak Berbeda (5 bab); Pertanyaan-Pertanyaan Besar (5 bab); dan Menuju Harmoni (3 bab).
Dalam bagian pertama, Agustinus membahas bagaimana identitas dibentuk. Yakni melalui tembok. Dari sejak zaman imperium, sampai abad modern di mana gerak manusia dibatasi konsep abstrak negara-bangsa (nation-state), manusia telah terbiasa untuk membangun tembok fisik. Tembok Cina dan Tembok Berlin adalah contoh untuk masing-masing zaman tersebut. Alasan dibangun tembok tersebut sangat paradoks: di satu sisi untuk melindungi orang-orang yang ada di luar tembok; di sisi lain justru mengungkung mereka yang ada di dalam.
Ada pun dinding abstrak yang jarang disadari manusia: tembok dalam otak. Ini semua diciptakan untuk membedakan antara aku atau "Kita" yang mengklaim diri atau kelompoknya sebagai paling baik dan beradab, dengan "Meraka" atau liyan yang dianggap paling buruk dan tak beradab.
Tembok-tembok inilah yang kemudian melahirkan konflik dan permusuhan, bahkan sampai memicu perang. Namun perang itu dibutuhkan justru untuk menciptakan perdamaian. Penjelasannya cukup panjang, mending baca langsung bukunya.
Inilah ciri khas Agustinus dalam banyak karya tulisnya: menulis hal-hal yang sifatnya paradoks.
Termasuk ketika dia mencoba menggambarkan seperti apa kehidupan kaum nomade, apakah benar peradaban mereka yang paling terbelakang. Banyak kesimpulan dibuat yang justru di luar dugaan.
Agustinus juga mencoba menjelaskan sejarah dan filosofi garis batas disertai paradoks berdasarkan pengamatannya secara langsung. Dan batas yang paling besar pengaruhnya terhadap pembentukan identitas manusia di zaman modern ini adalah batas negara. Ini murni ciptaan manusia, namun pengaruhnya sangat signifikan membentuk peradaban manusia. Contoh kontradiktif adalah garis batas antara Afghanistan dan Turkmenistan.
Sejarah terciptanya bahasa dan lahirnya alfabet juga dijelaskan oleh Agustinus dalam bukunya ini. Untuk menunjukkan kepada kita bagaimana sebuah peradaban manusia mengalami evolusi.
***
Masuklah kita sekarang di bagian kedua tentang Pertanyaan-Pertanyaan Besar yang diajukan oleh Agustinus setelah terlebih dahulu ia menjelaskan manusia yang hidup Dalam Kotak-Kotak yang Berbeda.
Saya tidak meragukan Agustinus ketika membahas sejarah lahirnya identitas. Dimulai dari manusia yang membangun tembok pembatas; bagaimana kaum nomade berevolusi menjadi sedenter; proses panjang terbentuknya jalur sutra dari Siberia sampai ke Roma yang menjadi cikal bakal globalisasi, tempat lahir peradaban melalui pertukaran budaya, yang mewujud dalam bentuk migrasi, perang, dan perdagangan; kemudian terbentuknya imperium yang menjadi akar kata dari imperialisme, sampai akhirnya melahirkan abad modern yang ditandai dengan lahirnya kesadaran untuk berbangsa dan bernegara (nation-state). Saya tidak meragukan dan tidak bisa menyangkal itu semua, apalagi beberapa karya tentang ini sudah pernah terlebih dahulu saya baca. Tetapi saya mulai meragukannya saat dia mencoba mengulik hal yang paling sensitif dalam perkara identitas: Agama.
Sekarang kita masuk ke bab 7 dan bab 8, dua bab yang menurut saya menjadi sumber kontroversi: Cerita dan Agama. Dua bab yang kalau digabungkan jadi setebal 125 halaman ini sebenarnya masih nyambung. Seandainya Agustinus mau mengembangkan lagi, saya yakin dua bab ini akan menjadi satu tema buku tersendiri –dan sebaiknya memang dikembangkan lagi, semoga suatu saat nanti. Jadi bukan sekadar aspek ritual dan budayanya, melainkan juga aspek teologi/metafisika.
Dalam dua bab ini, Agustinus menjelaskan secara detail bagaimana mitos terbentuk (saya fokuskan yang dalam hal agama) dan terus berevolusi membentuk beberapa ritual agama yang ternyata serupa, dari zaman animisme sampai agama-agama Abrahamik. Dijelaskan bahwa beberapa ritual-ritual dari agama Abrahamik tersebut diadopsi dari mitos-mitos berkembang di masa lalu.
Ia menulis: "Cara paling konsisten untuk membedakan mitos dari yang bukan-mitos adalah, sekali lagi, dengan melihat pengaruh kepercayaan. Apabila suatu hal baru berfungsi ketika orang percaya, itu adalah mitos; dan sebaliknya, jika suatu hal itu berfungsi sama kepada orang yang percaya maupun yang tidak percaya, itu bukan mitos." Dan dilanjutkan dengan pertanyaan, "Mengapa kita sulit sekali bisa menerima bahwa semua itu adalah mitos?" (Hlm. 296). Jadi, Agustinus membedakan mitos dan realitas hanya berdasarkan fungsinya.
Oh, iya, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, di sini Agustinus membahas mitos tidak dalam makna yang bersifat peyoratif. Mitos tersebut justru dibutuhkan oleh manusia sampai hari ini, bukan hanya terkait agama (kebetulan yang saya soroti hanya yang ia kaitkan dengan agama), bahkan dalam doktrin nasionalisme dan kebangsaan. Termasuk uang yang kita gunakan sebagai alat transaksi hari ini, semua itu dibangun dari mitos. Apa yang dia tulis dalam bab Cerita adalah hasil dari kajian lintas disiplin ilmu.
Sayangnya, jika kita membahas agama, kita tidak bisa hanya berhenti pada aspek ritual dan budaya yang terus mengalami evolusi tersebut. Memang ada agama yang hanya lahir dari sejarah dan budaya, tapi tidak semua. Jika serius membahas agama, kita perlu masuk sampai ke aspek teologi/metafisika. Dari pembahasan ini kita jadi punya legitimasi untuk membuktikan mana agama yang otentik (dari Tuhan) di antara banyaknya keyakinan. Sebab agama memang perlu klaim kebenaran mutlak.
Kesan sebaliknya yang justru saya tangkap saat Agustinus menulis: "Mudah bagi kita yang bukan berasal dari kebudayaan Cina atau India untuk mengatakan bahwa kepercayaan tentang Kaisar Langit atau sistem kasta itu adalah mitos belaka. Mudah pula bagi seorang Muslim untuk menyebut kepercayaan Buddhis sebagai mitos, dan demikian pula sebaliknya. Selalu mudah bagi kita untuk menyebut kepercayaan orang lain sebagai mitos, tapi sebaliknya, kita tidak akan terima jika dikatakan bahwa agama kita, tradisi kita, uang kita, negara kita, atau ideologi kita disebut sebagai mitos." (Hlm. 293)
Pernyataan di atas menunjukkan kesan bahwa agama –kalau tidak bisa dikatakan semua– pada dasarnya dibentuk dari mitos. Dalam perkara agama, menolak klaim kebenaran mutlak (sebaliknya menganggapnya sebagai relatif) juga sesungguhnya klaim kebenaran mutlak. Artinya, mengklaim bahwa semua agama membawa kebenaran yang sama juga sesungguhnya adalah klaim. Ini yang kita sebut sebagai penganut paham pluralisme agama. Saya tidak ingin membahasnya secara rinci. Jika ingin mengetahui lebih dalam sejarah lengkap lahirnya tren ini, saya sarankan untuk membaca buku Dr. Anis Malik Thoha: Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis. Buku itu ditulis dua dekade silam yang menurut saya masih relevan sampai sekarang. Penelusuran akar dari paham tersebut dari sejak abad Renaissance sampai zaman paska modern, dengan literatur yang sangat lengkap.
Kembali aspek teologi/metafisika, inilah yang tidak ada dalam bukunya Agustinus saat dia membahas tentang agama. Sehingga kesan yang kemudian terjadi adalah generalisasi bahwa semua agama itu sama. Sebagaimana klaim Agustinus dalam satu paragraf saat hendak mengakhiri dua bab ini: “Agama sebenarnya adalah ajaran Kebenaran yang dibungkus budaya. Ajaran kebenaran yang universal, tetapi budaya yang membungkusnya mungkin berbeda-beda. Ada perbedaan mantra, bahasa suci, kitab suci, cerita dewa-dewa dan nabi. Namun, intinya selalu sama: Kebenaran, Hakikat, Hukum Alam yang Universal.” (Hlm. 390).
Buat saya, dalam beragama tidak ada masalah terhadap klaim kebenaran mutlak –sekalipun jadi terkesan fanatik– selama tidak merendahkan keyakinan orang lain apalagi sampai berbuat anarki. Walaupun tidak dipungkiri ada orang yang sampai menjadi radikal (apresiasi untuk Agustinus dalam bukunya yang menjelaskan dengan rinci perbedaan antara fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme, dan menyematkannya tidak hanya dalam perkara agama, apalagi hanya dalam satu golongan saja).
Tujuan saya menerangkan ini adalah agar orang-orang yang belum tahu jadi tahu, bahwa pluralisme itu adalah suatu paham tersendiri. Saya pribadi tidak menolak apalagi anti terhadap penganut paham pluralisme. Apalagi Kuntowijoyo-pun dalam buku Muslim Tanpa Masjid mengembangkan diksi tersebut dengan mengenalkan istilah: Pluralisme Positif. Yakni, sikap berterus terang dan berpegang teguh terhadap suatu keyakinan, dan pada saat yang sama bisa menerima orang lain yang berbeda.
Saya tidak akan membahas lebih dalam mengenai teologi dan metafisika, karena penjelasan tersebut akan memakan banyak sekali halaman. Dalam sudut pandang (weltanschauung/ worldview) Islam, literatur yang menurut saya otoritatif dalam membahas aspek ini adalah dua buku yang ditulis oleh seorang filsuf muslim, Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Dua buku tersebut adalah Islam and Secularism dan Prolegomena to the Metaphysic of Islam. Semoga Agustinus berkenan mengkaji (atau mungkin sudah membacanya?).
Apresiasi saya untuk Agustinus yang telah bersusah payah memahami kekompleksan agama, apalagi tidak mudah buat dia yang dibesarkan dalam tradisi dua agama berbeda sekaligus. Ibunya seorang penganut agama Budha yang taat. Sementara dia (Agustinus) di saat yang sama juga menjadi murid sekolah dasar Kristen, di mana ia diajarkan bahwa Yesus adalah Tuhan yang menjadi juru selamat di akhir zaman. Ia sampai menulis: “Bertubi-tubi pertanyaan tentang Tuhan yang merundung saya sejak kecil membuat saya membaca ratusan buku tentang berbagai ajaran agama dan spiritualitas.”
Pengalaman ini semua jelas membuat dia menjadi seorang yang sangat terbuka (inklusif). Dan memang, sebagian dalam bukunya ini, secara imperatif kita diajak –dalam menganut keyakinan– untuk menjadi orang yang inklusif. Alih-alih yang sering kita jumpai justru sebaliknya, sifat eksklusif. Padahal ini sikap yang justru menghambat kemajuan peradaban Islam.
Dalam hal ini saya sepakat dan sangat menerima kritik darinya saat dia menulis: “Gerakan-gerakan fundamentalisme dan radikalisme itu juga sering mengobarkan permusuhan terhadap apa pun yang dipandang tidak islami. Ini sebenarnya adalah tembok isolasi yang tidak akan membangkitkan kejayaan Islam, namun justru menimbulkan pemikiran yang tertutup, menampik introspeksi diri, serta mematikan penemuan ilmiah. Mereka yang terbenam dalam nostalgia sejarah kejayaan Islam justru melupakan fakta sejarah penting bahwa para ilmuwan Islam pada masa Abad Pertengahan adalah orang-orang dengan pemikiran terbuka yang tak segan belajar dari kemajuan peradaban-peradaban lain.” (Hlm. 476)
Ini menjadi otokritik buat kita yang beragama Islam.
***
Bagian ketiga Menuju Harmoni. Saya tidak akan membahasnya secara panjang-lebar, selain karena yang saya tulis di atas sudah terlalu panjang dan sudah terlalu lebar.
Sekadar memberi tahu, yang menarik dari bagian penutup ini adalah sejarah dan analisa bagaimana sebuah ideologi bisa bangkit dan runtuh silih berganti.
Dan juga penutup bagaimana identitas itu adalah sesuatu yang cair yang bisa berganti posisi dalam situasi yang berbeda. Kita bisa melihat identitas sebagai sesuatu homogen sekaligus heterogen. Ia mewujud dalam bermacam-macam karakter tapi sesungguhnya adalah dari zat yang tunggal.
Dalam menyikapi perbedaan pandangan hidup, ada satu kutipan penutupnya yang saya sukai: "kita tidak mungkin mengubah seluruh dunia agar sesuai dengan keinginan kita, tetapi kita selalu bisa mengubah cara pandang kita terhadap dunia."
***